Share

Bab 5 : Nafkah

Author: Shafitri D
last update Last Updated: 2022-09-25 00:34:21

Malam hari, aku duduk termenung di dekat jendela. Bibir tidak henti bergerak menyebut zikir yang biasa aku senandungkan ketika hati lagi galau. 

Ck, aku sudah mirip ABG baru kenal yang namanya pacaran belum? Kalau belum, mau aku perdalam lagi peran ini, biar mantap!

"Hiisss, mas Zaid dan segala prilakunya yang beracun!" Setelah mengumpat, spontan mulut mengucap istighfar berulang kali.

Oke, untuk panggilan untuk lelaki satu itu aku memang terbilang labil. Untuk berjaga-jaga, aku lebih sering memanggilkan “Pak” atau “Bapak”. Jika hanya berdua, “Mas” adalah panggilan yang kerap dia tuntut dan demi kesopanan antara majikan dan pembantunya aku ikut saja.

Pikiranku ini lagi ke mana sebenarnya?! Lagi berzikir saja, malah ingat suami. Mikirin panggilan untuknya yang sering berubah. 

Ini pikiran isinya duniawi semua, ya, begini jadinya.

Sekeras mungkin aku berusaha agar fokus. Meski pikiran kadang masih oleng belok ke Mas Zaid. 

Setelah menyelesaikan zikir, aku masih enggan beranjak dari jendela kamar. Menatap hamparan bintang yang ditemani siluet cahaya bulan yang sedikit tertutupi awan putih. 

"Suatu saat, pengen deh, nikmatin pemandangan begini bareng, mas Zaid. Kira-kira, dia mau enggak ya, kalau aku ajak?" monologku sembari mengelus perut dari balik mukena.

Kalau tidak salah prediksi, usia kandunganku sudah jalan empat Minggu. Anehnya, tidak ada tanda-tanda mual. Hanya aku jadi suka sensitif, bahkan mudah gerah di waktu-waktu tertentu yang membuatku harus memakai daster yang agak tipis. Kadang juga rasa lelah menghantam seolah menarikku agar bermalas-malasan saja di kamar.

"Zareen!"

"Eh, iya?!" 

Aku yang spontan menoleh ke belakang, lekas mengelus dada. Mas Zaid kenapa muncul tiba-tiba kayak makhluk astral?! Kan, aku jadi sedikit terlonjak tadi.

"Ke ruang tamu."

Sekarang? Atau besok? Lusa, mungkin?

Otakku masih mencerna, sedangkan si pembuat onar tanpa permisi menutup pintu kamar. Dia kira mudah kali memahami ucapannya yang kadang singkat, padat, dan tidak jelas itu!

Aku mendengkus sebelum beranjak mengganti mukena dengan jilbab instan sedada. Dengan daster cokelat bermotif bunga berwarna krem serta jilbab cokelat agak terang, aku bersiap ke ruang tamu. Namun, sebelum itu, jangan lupa kasih serum dan krim malam. 

Oh, ya, suamiku yang eh, bagaimana ya, menyebutnya? Intinya, suamiku yang tadi baru kelur kamar itu—biar begitu kelakuannya—kewajiban soal skincare istri tidak pernah absen dia penuhi.

Usai merasa penampilan sudah pantas, aku bergegas keluar kamar. Sebenarnya ragu mau lanjut kala terdengar suara tawa orang-orang dari ruang tamu. Kepala sedang menebak-nebak siapa gerangan tamu yang mengharuskan aku ikut keluar dari kamar. Sebelum aku sadar siapa aku hingga harus ada saat ada tamu di rumah besar Tuan Zaid.

Malam-malam begini, apa geng sosialita Bu Mareta melakukan arisan? Namun, kenapa harus di rumah anak sulungnya itu? 

Entah sejak kapan Tuan Zaid punya rumah dan memutuskan tinggal sendiri. Jelasnya, saat aku mulai bekerja dengannya, aku sudah berada di sini. Mungkin, bagi orang kaya seperti Bu Mareta tidak masalah bila anaknya memilih tinggal dan punya rumah sendiri.

Aku yang baru sampai, hanya bisa berdiri sedikit menjauh dari sofa yang diduduki oleh Ibu Mareta dan ... wanita yang mungkin saja calon besannya. Tatapanku tanpa tahu diri malah nyasar ke arah suami yang duduk bersama Andine yang digadang-gadang sebagai calon istrinya. Kedua orang itu duduk di sofa yang berhadapan dengan orang tua mereka. 

Seolah lupa padaku, Mas Zaid malah asik menyuapi Andine brownies cokelat keju. Wanita itu tersenyum sesekali menunduk. Tampang Mas Zaid memang memperlihatkan senyuman tipis, tapi aku yakin segitu saja sudah cukup membuat Andine meleleh.

Bahkan aku yang melihatnya pun, cukup membuatku hancur.

Coba kuhitung lagi sudah berapa kali kira-kira Mas Zaid menyuapiku begitu. Jawabannya tidak ada!

Sebagai istri—walau nyaris tak tampak—ingin rasanya aku berlari ke sana dan menerjang tubuh ke dua orang itu. Menjambak rambut keduanya, setidaknya sampai sejumput helai rambut berhasil aku cabut dengan akar-akarnya.

Baiklah, hormon kehamilan tampaknya sangat menyeramkan. Entah dari mana pemikiran saitan itu.

Tahan, Reen, tahan! Please, jangan nangis di sini. Bikin malu!

Daster berusaha aku remas sembari membuang pandang ke arah Bu Mareta yang asik mengobrol. Aku harap, wanita berambut cokelat terang itu memberiku tugas apa pun itu. Asal cepat pergi dari ruangan ini.

Tidak kusangka, Mas Zaid sekejam ini. Dia memanggilku ke ruang tamu, hanya ingin memamerkan aksi suap-menyuapnya? 

Keterlaluan kamu, Mas Zaidan!

"Oh, iya. Aku lupa tanya sama kamu. Itu, pembantu kamu, ya, Ta?" Telunjuk mulus mamanya Andine mengarah padaku yang hanya bisa tersenyum kikuk macam orang bodoh.

Astaghfirullah, aku kesal banget begini ya, Allah. Pengen nangis rasanya. Sangat-sangat ingin!

Di saat seperti ini, aku mengharapkan wajah tengil Zein. Terserah dia mau menjahiliku apa lagi kali ini, aku pasrah. Asal dia ada di sini. Tidak peduli juga kalau dia mau curhat sehari semalam soal kisah asmaranya dengan gadis bernama Marsya yang sudah dua tahun belum kasih hilal lamarannya diterima atau ditolak.

Anak itu biar tengil dan masih berumur 19 tahun, tapi dia sudah berani melamar seorang gadis bahkan saat usianya masih 17 tahun saat itu. Alih-alih mengajak gadis yang ditaksir pacaran, dia justru menginginkan keseriusan yaitu jenjang pernikahan.

Sampai sini, apa kalian sudah paham kenapa aku pernah bilang kalau aku lebih memilih Zein ketimbang Mas Zaid–Andai kata dibolehkan.

Eh, bentar. Dalam keadaan yang keterlaluan bikin tegang ini, kenapa aku malah bahas remaja tengil—yang sayangnya ganteng—satu itu?

"Eh, iya. Dia, Zareen, udah sepuluh bulan kerja di sini."

Suara tenang Ibu Mareta membuatku semakin menunduk dalam. Mas Zaid, setelah ini aku akan benar-benar mendiamimu yang membuatku harus terjebak dalam keadaan aneh ini!

"Ah, begitu, toh. Aku emang pernah lihat dia waktu datang ke sini, pas dia anterin minuman buat kita. Aku kaget aja lihat pembantumu masih muda banget. Tapi lupa nanya waktu itu."

Atmosfer semakin dingin menusuk punggungku kala suara lembut ibunya Andine memenuhi ruang tamu.

"Nak Zareen."

"Eh, iya, Bu?" Aku mengangguk sopan, berusaha keras agar tidak melirik ke samping dua wanita itu.

"Sini, duduk bareng! Kok, berdiri di situ?"

Saya enggak mau, Bu! Kalau bisa saya berdiri di sini sampai subuh pun saya siap ketimbang harus duduk di antara kalian dan menyaksikan lebih banyak lagi aksi mesra dua orang itu.

Ingin rasanya memekik keras. Namun, kaki hanya bisa melangkah setelah mendapat anggukan dari Bu Mareta.

Apa sekarang aku boleh menangis? Percayalah, duduk berdampingan dengan suami yang lagi asik menyuapi wanita lain, sangat-sangat menyakitkan. Bahkan aku rasa hanya dengan melirik sepasang calon pengantin itu, aku bisa mati terduduk akibat kehabisan oksigen. Ini saja leherku seperti dicekik.

"Zareen ini, masih muda loh. Tapi enggak malu ya, kerja sebagai ART. Hebat, loh.”

Makasih banyak, Bu atas pujian Anda, tapi sungguh saya lebih berkali-kali lipat bahagia bila Anda pulang membawa serta putri Anda. Bisa tidak, sekali saja apa yang ada di hati benar-benar keluar biar tidak nyesek banget di sana.

“Hidup butuh makan, Bu. Saya realistis saja, mana mungkin ada yang kasih makan malah sampe suapin saya yang hanya berpangku tangan. Saya enggak mau mengiba sebuah empati pada orang lain hanya untuk sebuah nafkah ... nafkah perut. Hidup saya, tanggung jawab saya, Bu.”

Apalagi itu nafkah perut?! Ya Allah, Reen, kalau mau nyindir yang elite dikit napa!

Andai pria yang sempat kulirik paham nada sindiran yang terselip di kalimat barusan. 

Wanita yang duduk di samping Bu Mareta terkekeh pelan sambil mengangguk. “Ya, ya, kamu bener banget. Saya suka pemikiran kamu, jadi perempuan emang harus realistis begitu. Nanti kalo kamu udah nikah, trus suami kamu enggak kasih nafkah entah itu lahir atau batin, kamu harus ambil tindakan. Kayak kata kamu, 'hidup kamu ya, tanggung jawab kamu'. Jadi ya, mending entar tinggalin aja.”

Tawa wanita itu menggema seolah memang ucapan barusan hanya sebuah lelucon yang tergambar jelas di kedua sudut matanya yang mengeluarkan bulir bening. 

“Duh, jadi ngelantur, kan, ucapan saya!”

“Enggak kok, Bu. Ibu, bener, emang harusnya ditinggalin aja,” tekanku pada kata 'ditinggalin' sambil mencuri lirik pada Tuan Zaid yang sudah selesai menyuapi Andine.

Peka dikitlah, Tuan Zaidan yang terhormat. Setidaknya gunakan IQ luar biasa Anda yang di atas rata-rata itu.

Aku sedang menyindirmu! Menyindir!

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei nyet, jgn banyak drama. sadar diri aja krn dari awal kamu menerima jd babu merangkap pemuas nafsu alias istri simpanan. jgn berharap diterima jd ratu klu pantasnya kamu jd babu.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Status Pembantu   43. Putriku, Reina

    “Reina, pake kaos kaki dulu!”Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, aku yang berteriak dan bocah kecil satu itu lari-lari keliling rumah. Ya Rabbi, anak siapa sebenarnya ini?! Kenapa Reina tidak ada kalem-kalemnya macam Bundanya.“Ayo, Ibun tangkap Reina!” Anak itu tertawa-tawa sambil lari ke sana ke mari menghindari kejaranku.Ibun! Ibun! Sudah dibilang, Bunda! Ya Allah, putriku speak Zein!Sama-sama tengil!“Ayo, kejar sini!” Mataku dibuat melotot saat Reina naik ke sofa dan menggoyangkan pinggulnya, anak itu memamerkan bokongnya yang mungil, mengejekku. “Dasar anak cantiknya Bunda, sini kamu!” Aku berlari nyaris meraih lengannya, tetapi Reina lebih gesit melompat lalu kabur.Lengkingan suaranya yang kaget membuatku mengurut dada. Sabar.Sesungguhnya aku ingin mengumpat Ya Allah sambil menyumpah-serapahi, tapi akalku masih waras. Ingat, Reen! Ucapan adalah doa. Terlebih kamu seorang Ibu, doa Ibu lebih mustajab! Rapalku dalam hati sembari menghela napas panjang-panjang.“Rein, stop!

  • Istri Status Pembantu   42. Tangisan Pertama si Bayi

    “Bi ....”Rupanya, bertindak tidak semudah berucap. Di pelukan Bibi, aku menangis hebat. Entah apa yang kutangisi. Entah karena sudah berbulan-bulan tidak menatap wajah teduh itu, atau karena hal lain.“Eh, kok, datang-datang langsung nangis begini?” Terdengar nada bingung Bibi. Meski begitu, Bibi tetap mendekapku seraya mengelus punggung dan bahuku yang bergetar.Bibi terdiam sejenak sebelum menarikku masuk ke rumah sederhananya. “Duduk dulu, ya,” kata wanita itu seraya membawaku duduk bersamanya di sofa usang yang terasa agak keras saat diduduki.Aku masih enggan melepas peluk. Tangis masih berderai dalam dekapan Bibi.Sungguh aku tidak ingin menangis! Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini. Dadaku begitu sesak. Seolah, ada tumpukan pasir di dalam sana, hingga bernapas pun terasa sulit.“Udah nangisnya, Neng. Itu, napasnya sampe kesendat-sendat gitu, 'kan. Udah, ya.” Bibi membujuk. Tangannya yang terasa sedikit kasar mengusap kedua pipiku dari lelehan air mata.

  • Istri Status Pembantu   41. Kini Lembaran Baru

    “Aku Ayah dari janin itu!”Teriakan lugas Zein membuat semua mata menatap ke arah pintu. Pemuda itu berjalan cepat lalu berdiri tepat di sampingku. “Aku dan Mbak Reen, punya hubungan! Jadi tolong jangan salahin dia. Ini salahku juga!”Entah harus kuapresiasi atau kutabok saja kepala anak ini. Kenapa Zein yang begitu usil dan suka cari gara-gara, justru kini berdiri tegak di sampingku. Pemuda yang masih dengan ransel di punggung, terlihat begitu gantle membela. Ibu Mareta maju selangkah, tanda amarahnya kian naik ke ubun-ubun.Kupikir, Zein akan mengalah melangkah mundur begitu ibunya dengan tampang menyeramkan maju. Namun, pemuda itu malah ikut maju selangkah seolah menantang.“Apa-apaan kamu ini, Zein?!” teriak wanita itu dengan wajah merah padam. Sudah jelas bagaimana kemarahan Nyonya Malik ini. “Sudah dicuci otak kamu itu sama perempuan ini!”Wanita itu sampai menunjuk-nunjuk kepala Zein dengan kuku merahnya. Kuku-kuku panjang yang kapan saja bisa menancap di kulitku atau Zein.“

  • Istri Status Pembantu   40. Teka-Teki

    “Di mana sih, map cokelat itu?!” Ruang kerja Pak Zaidan sudah kuacak-acak. Nyaris sejam aku memeriksa setiap berkas yang tertata di lemari, laci, hingga meja kerja pria itu. Namun, map cokelat yang kemarin dibawa oleh Dimas tidak berada di mana pun.“Huuu ....”Helaan napas panjang kukeluarkan begitu duduk di sofa. Sekali lagi, kuperhatikan setiap sudut ruangan. Benar-benar tidak ada celah, semuanya sudah kuperiksa bahkan dua kali ditelusuri. Namun, hasilnya nihil.“Sepertinya, pak Zaidan naruh map itu di tempat lain. Tapi, di mana? Masa iya, di kamarnya?” Memasuki kamar Pak Zaidan agak sulit. Semuanya jadi sulit begitu Andine menjadi istri pria itu. Tidak sembarang pembantu bisa masuk ke sana. Setelah Andine menjadi Nyonya rumah, hanya Mpok Yanti yang dipercakayan membersihkan kamar utama.Namun, apa iya map itu disimpan di kamar mereka?“Sebenarnya, ini ada apa sih? Kenapa mendadak penuh teka-teki begini?” Pening di kepala membuatku bersandar sembari memijat kening sesaat.Apa isi

  • Istri Status Pembantu   39. Rahasia Lagi?

    Ketukan pintu membuatku terpaksa beranjak dari kasur meski kantuk benar-benae tidak bisa ditahan lagi. Begitu pintu terbuka, kantuk tadi mendadak meluap terganti amarah yang siap meledak.“Kenapa dikunci?” Tanpa menunggu jawaban, pria yang memakai piyama biru masuk begitu saja. Wajar dia heran karena biasanya aku tidak akan mengunci pintu kamar sebab kebiasaannya muncul di kamar saat aku masih terlelap.Tidak ada lagi percakapan, aku pun malas menanggapi. Usai mengunci pintu, aku kembali berbaring dengan posisi memunggunginya.“Kamu kenapa?”Sumpah demi apa pun! Aku harap, Bapak diam! Jangan sampai aku mengamuk di saat semua orang sedang tidur dan akhirnya menimbulkan keributan.Ingin kuteriaki kalimat itu di depan wajahnya. Namun, aku lebih memilih diam. Berharap dia pun diam dan aku tidak terpancing karena kalau sampai terjadi, sudah pasti perang mulut tidak terhindarkan. “Reen, saya lagi ngomong.”Mata kututup rapat-rapat, berharap kantuk menenggelamkan aku dalam tidur panjang hi

  • Istri Status Pembantu   38. Dan Aku Benci

    Foto USG di tangan kuusap pelan sebelum beralih ke perut. Kandungan yang memasuki bulan ke lima membuat perutku yang hanya menonjol sedikit kian membesar. Ada perasaan resah menghantui.Bagaimana kalau kehamilanku akhirnya diendus oleh keluarga Pak Zaid, atau bahkan oleh pria itu sendiri?Bagaimana reaksi Ibu Mareta? Bagaimana dengan Pak Zaid? Sudah pasti dua orang itu akan malu luar biasa. Keturunan Malik berada dalam kandungan seorang Pembantu, sosok perempuan miskin sebatang kara. Tidak ada yang bisa kubanggakan hanya untuk membela diri bahwa aku juga layak mempertahankan keturunan keluarga terhormat ini. “Memangnya kamu siapa, Reen? Cuman pembantu, gak berpindidikan. Ijazah terakhir juga cuman ijazah SMA. Upik abu!” Di depan cermin besar yang memperlihatkan bayangan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku merutuk diri.Biar sadar sesadar-sadarnya, emang harus didikte satu per satu dulu segala kurang dalam diri yang tidak akan pernah bisa disandingkan dengan segala kesempurna

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status