Malam hari, aku duduk termenung di dekat jendela. Bibir tidak henti bergerak menyebut zikir yang biasa aku senandungkan ketika hati lagi galau.
Ck, aku sudah mirip ABG baru kenal yang namanya pacaran belum? Kalau belum, mau aku perdalam lagi peran ini, biar mantap!
"Hiisss, mas Zaid dan segala prilakunya yang beracun!" Setelah mengumpat, spontan mulut mengucap istighfar berulang kali.
Oke, untuk panggilan untuk lelaki satu itu aku memang terbilang labil. Untuk berjaga-jaga, aku lebih sering memanggilkan “Pak” atau “Bapak”. Jika hanya berdua, “Mas” adalah panggilan yang kerap dia tuntut dan demi kesopanan antara majikan dan pembantunya aku ikut saja.
Pikiranku ini lagi ke mana sebenarnya?! Lagi berzikir saja, malah ingat suami. Mikirin panggilan untuknya yang sering berubah.
Ini pikiran isinya duniawi semua, ya, begini jadinya.
Sekeras mungkin aku berusaha agar fokus. Meski pikiran kadang masih oleng belok ke Mas Zaid.
Setelah menyelesaikan zikir, aku masih enggan beranjak dari jendela kamar. Menatap hamparan bintang yang ditemani siluet cahaya bulan yang sedikit tertutupi awan putih.
"Suatu saat, pengen deh, nikmatin pemandangan begini bareng, mas Zaid. Kira-kira, dia mau enggak ya, kalau aku ajak?" monologku sembari mengelus perut dari balik mukena.
Kalau tidak salah prediksi, usia kandunganku sudah jalan empat Minggu. Anehnya, tidak ada tanda-tanda mual. Hanya aku jadi suka sensitif, bahkan mudah gerah di waktu-waktu tertentu yang membuatku harus memakai daster yang agak tipis. Kadang juga rasa lelah menghantam seolah menarikku agar bermalas-malasan saja di kamar.
"Zareen!"
"Eh, iya?!"
Aku yang spontan menoleh ke belakang, lekas mengelus dada. Mas Zaid kenapa muncul tiba-tiba kayak makhluk astral?! Kan, aku jadi sedikit terlonjak tadi.
"Ke ruang tamu."
Sekarang? Atau besok? Lusa, mungkin?
Otakku masih mencerna, sedangkan si pembuat onar tanpa permisi menutup pintu kamar. Dia kira mudah kali memahami ucapannya yang kadang singkat, padat, dan tidak jelas itu!
Aku mendengkus sebelum beranjak mengganti mukena dengan jilbab instan sedada. Dengan daster cokelat bermotif bunga berwarna krem serta jilbab cokelat agak terang, aku bersiap ke ruang tamu. Namun, sebelum itu, jangan lupa kasih serum dan krim malam.
Oh, ya, suamiku yang eh, bagaimana ya, menyebutnya? Intinya, suamiku yang tadi baru kelur kamar itu—biar begitu kelakuannya—kewajiban soal skincare istri tidak pernah absen dia penuhi.
Usai merasa penampilan sudah pantas, aku bergegas keluar kamar. Sebenarnya ragu mau lanjut kala terdengar suara tawa orang-orang dari ruang tamu. Kepala sedang menebak-nebak siapa gerangan tamu yang mengharuskan aku ikut keluar dari kamar. Sebelum aku sadar siapa aku hingga harus ada saat ada tamu di rumah besar Tuan Zaid.
Malam-malam begini, apa geng sosialita Bu Mareta melakukan arisan? Namun, kenapa harus di rumah anak sulungnya itu?
Entah sejak kapan Tuan Zaid punya rumah dan memutuskan tinggal sendiri. Jelasnya, saat aku mulai bekerja dengannya, aku sudah berada di sini. Mungkin, bagi orang kaya seperti Bu Mareta tidak masalah bila anaknya memilih tinggal dan punya rumah sendiri.
Aku yang baru sampai, hanya bisa berdiri sedikit menjauh dari sofa yang diduduki oleh Ibu Mareta dan ... wanita yang mungkin saja calon besannya. Tatapanku tanpa tahu diri malah nyasar ke arah suami yang duduk bersama Andine yang digadang-gadang sebagai calon istrinya. Kedua orang itu duduk di sofa yang berhadapan dengan orang tua mereka.
Seolah lupa padaku, Mas Zaid malah asik menyuapi Andine brownies cokelat keju. Wanita itu tersenyum sesekali menunduk. Tampang Mas Zaid memang memperlihatkan senyuman tipis, tapi aku yakin segitu saja sudah cukup membuat Andine meleleh.
Bahkan aku yang melihatnya pun, cukup membuatku hancur.
Coba kuhitung lagi sudah berapa kali kira-kira Mas Zaid menyuapiku begitu. Jawabannya tidak ada!
Sebagai istri—walau nyaris tak tampak—ingin rasanya aku berlari ke sana dan menerjang tubuh ke dua orang itu. Menjambak rambut keduanya, setidaknya sampai sejumput helai rambut berhasil aku cabut dengan akar-akarnya.
Baiklah, hormon kehamilan tampaknya sangat menyeramkan. Entah dari mana pemikiran saitan itu.
Tahan, Reen, tahan! Please, jangan nangis di sini. Bikin malu!
Daster berusaha aku remas sembari membuang pandang ke arah Bu Mareta yang asik mengobrol. Aku harap, wanita berambut cokelat terang itu memberiku tugas apa pun itu. Asal cepat pergi dari ruangan ini.
Tidak kusangka, Mas Zaid sekejam ini. Dia memanggilku ke ruang tamu, hanya ingin memamerkan aksi suap-menyuapnya?
Keterlaluan kamu, Mas Zaidan!
"Oh, iya. Aku lupa tanya sama kamu. Itu, pembantu kamu, ya, Ta?" Telunjuk mulus mamanya Andine mengarah padaku yang hanya bisa tersenyum kikuk macam orang bodoh.
Astaghfirullah, aku kesal banget begini ya, Allah. Pengen nangis rasanya. Sangat-sangat ingin!
Di saat seperti ini, aku mengharapkan wajah tengil Zein. Terserah dia mau menjahiliku apa lagi kali ini, aku pasrah. Asal dia ada di sini. Tidak peduli juga kalau dia mau curhat sehari semalam soal kisah asmaranya dengan gadis bernama Marsya yang sudah dua tahun belum kasih hilal lamarannya diterima atau ditolak.
Anak itu biar tengil dan masih berumur 19 tahun, tapi dia sudah berani melamar seorang gadis bahkan saat usianya masih 17 tahun saat itu. Alih-alih mengajak gadis yang ditaksir pacaran, dia justru menginginkan keseriusan yaitu jenjang pernikahan.
Sampai sini, apa kalian sudah paham kenapa aku pernah bilang kalau aku lebih memilih Zein ketimbang Mas Zaid–Andai kata dibolehkan.
Eh, bentar. Dalam keadaan yang keterlaluan bikin tegang ini, kenapa aku malah bahas remaja tengil—yang sayangnya ganteng—satu itu?
"Eh, iya. Dia, Zareen, udah sepuluh bulan kerja di sini."
Suara tenang Ibu Mareta membuatku semakin menunduk dalam. Mas Zaid, setelah ini aku akan benar-benar mendiamimu yang membuatku harus terjebak dalam keadaan aneh ini!
"Ah, begitu, toh. Aku emang pernah lihat dia waktu datang ke sini, pas dia anterin minuman buat kita. Aku kaget aja lihat pembantumu masih muda banget. Tapi lupa nanya waktu itu."
Atmosfer semakin dingin menusuk punggungku kala suara lembut ibunya Andine memenuhi ruang tamu.
"Nak Zareen."
"Eh, iya, Bu?" Aku mengangguk sopan, berusaha keras agar tidak melirik ke samping dua wanita itu.
"Sini, duduk bareng! Kok, berdiri di situ?"
Saya enggak mau, Bu! Kalau bisa saya berdiri di sini sampai subuh pun saya siap ketimbang harus duduk di antara kalian dan menyaksikan lebih banyak lagi aksi mesra dua orang itu.
Ingin rasanya memekik keras. Namun, kaki hanya bisa melangkah setelah mendapat anggukan dari Bu Mareta.
Apa sekarang aku boleh menangis? Percayalah, duduk berdampingan dengan suami yang lagi asik menyuapi wanita lain, sangat-sangat menyakitkan. Bahkan aku rasa hanya dengan melirik sepasang calon pengantin itu, aku bisa mati terduduk akibat kehabisan oksigen. Ini saja leherku seperti dicekik.
"Zareen ini, masih muda loh. Tapi enggak malu ya, kerja sebagai ART. Hebat, loh.”
Makasih banyak, Bu atas pujian Anda, tapi sungguh saya lebih berkali-kali lipat bahagia bila Anda pulang membawa serta putri Anda. Bisa tidak, sekali saja apa yang ada di hati benar-benar keluar biar tidak nyesek banget di sana.
“Hidup butuh makan, Bu. Saya realistis saja, mana mungkin ada yang kasih makan malah sampe suapin saya yang hanya berpangku tangan. Saya enggak mau mengiba sebuah empati pada orang lain hanya untuk sebuah nafkah ... nafkah perut. Hidup saya, tanggung jawab saya, Bu.”
Apalagi itu nafkah perut?! Ya Allah, Reen, kalau mau nyindir yang elite dikit napa!
Andai pria yang sempat kulirik paham nada sindiran yang terselip di kalimat barusan.
Wanita yang duduk di samping Bu Mareta terkekeh pelan sambil mengangguk. “Ya, ya, kamu bener banget. Saya suka pemikiran kamu, jadi perempuan emang harus realistis begitu. Nanti kalo kamu udah nikah, trus suami kamu enggak kasih nafkah entah itu lahir atau batin, kamu harus ambil tindakan. Kayak kata kamu, 'hidup kamu ya, tanggung jawab kamu'. Jadi ya, mending entar tinggalin aja.”
Tawa wanita itu menggema seolah memang ucapan barusan hanya sebuah lelucon yang tergambar jelas di kedua sudut matanya yang mengeluarkan bulir bening.
“Duh, jadi ngelantur, kan, ucapan saya!”
“Enggak kok, Bu. Ibu, bener, emang harusnya ditinggalin aja,” tekanku pada kata 'ditinggalin' sambil mencuri lirik pada Tuan Zaid yang sudah selesai menyuapi Andine.
Peka dikitlah, Tuan Zaidan yang terhormat. Setidaknya gunakan IQ luar biasa Anda yang di atas rata-rata itu.
Aku sedang menyindirmu! Menyindir!
Bersambung
Selesai dengan urusan memasak, aku sedikit merenggangkan otot-otot. Ah, ini pinggang nyeri lagi. Sakitnya baru agak berkurang kalau sudah kuusap-usap. Apalagi kalau sampai bayangin Tuan Zaid yang mengusap di sana, pasti nyerinya jadi makin cepat hilang. Efek Tuan Zaid seajaib itu malah. Nalarku saja sampe dibuat buntu hanya untuk memecahkan misteri nyeri pinggang dengan membayangkan Tuan Zaid yang mengelus di sana. Korelasinya aneh memang. “Sudah, Nak Zareen. Astaga, Nak istirahat saja, ini juga masaknya udah kelar. Udah ya, Nak, ini biar saya saja yang kerjain.” Ketawa boleh tidak, sih? Lihat ekspresi memelas Mpok Yanti bikin gemes. Selalu kayak gini kalau beliau lihat aku ambil pekerjaan rumah yang sebenarnya sudah seharusnya aku kerjakan. Selain sebagai istri—diam-diam—tapi aku juga masih berstatus ART di rumah ini, sama posisinya dengan para pembantu Tuan Zaid. “Iya, Mpok, iya. Ini aku mau cuci tangan aja, kok,” kataku sambil terkekeh membasuh tangan di wastafel usai diberi sab
Senyumku tersungging melihat tatanan makanan di taperware. Potongan sosis, ikan, dan sayuran yang dibentuk membuat sebuah wajah yang sedang tersenyum. Sebelum senyum itu pudar seiring kenyataan menghantam. Mungkin ini akan jadi hari terakhir aku mengirimkan bekal makan siang untuk Pak Zaid, sebelum status pria itu akan berganti besok. Waktu memang tidak main-main kalau soal memberi luka. Namun, aku belum lupa kalau hanya waktu juga yang bisa menyembuhkan walau tidak seutuhnya ampuh. “Wah, enak sekali, loh, Reen masakannya. Yang ini, buat mpok aja, ya.” Mpok Yanti nyengir yang kubalas anggukan sambil tersenyum. Semoga masakanku seenak yang dibilang Mpok Yanti. Takut gitu ngecewain lidah suami. Eh, masih bisa, kan, aku sebut dia suami? Lagi-lagi napas terhela panjang. Capek juga ya, lama-lama kalau berdiri tegak seolah sedang baik-baik saja. “Ck, jangan drama deh, Reen! Udah, ah! Jangan nangis, awas aja kalo sampe ini air mata jatoh!” Aku mendumel mendongak menatap langit-langit d
Rintik-rintik hujan seolah membuat pola di jendela kamar. Tempat menjadi titik aku menatap. Meniti kembali hati yang porak-poranda dengan segala macam jalan pikiran yang tak menentu arahnya.07.12 pagi ini dengan ditemani hujan yang seolah paham rasa hati, aku berdiri bersedekap dada. Kepala bersandar di jendela kamar. Hamparan taman yang bersimbah hujan jadi pemandangan meski pikiranku tidak benar-benar berada di antara bunga yang terguyur itu.Membayangkan bagaimana suami akan mengucap kabul tersemai nama perempuan lain. Seharusnya acara ijab kabul dilaksanakan kurang lebih dua jam delapan belas menit lagi. Tepatnya jam 09.30 di salah satu Masjid termegah di Bandung.Coba kuingat-ingat lagi saat dulu Pak Zaid mengikrar janji depan Penghulu. Dengan berbekal meja di salah satu kamar hotel bintang ... yang entah bintang berapa aku lupa dan omku—yang mungkin kini semakin tidak sudi menganggapku sebagai ponakannya—juga satu orang kepercayaan Pak Zaid dan satunya OB serta mahar seperangk
Selesai menyetrika dan melipat pakaian, aku memasukkan semua baju-baju itu ke lemari setelah tadi sempat merapikan kamar majikan—jangan lupa kalau aku masih marah dan panggilan itu layak untuk kami karena baru sore tadi dia ingatkan aku tentang status yang seolah melempar arang ke wajahku.Aku memang terlalu tidak tahu diri. Sukanya melampaui batas. Sekarang apa? Aku bahkan tidak sanggup menampakkan wajah di hadapan Pak Zaidan setelah dengan angkuh menantangnya. Untung aku tidak dipecat dan dicerai.“Aiiiis ....” Menggeleng kepala keras kucoba membuang semua ingatan sore tadi.Opsi terakhir yang mungkin akan dilakukan Pak Zaidan suatu saat nanti membuatku menghela napas. Bahu merosot ke bawah. Sepertinya aku memang melampaui batas. Namun, jujur api yang berkobar di dada belum juga padam meski sadar aku juga salah.“Seharusnya aku meminta maaf setulus-tulusnya, kenapa malah emosi? Emang enggak tahu diri kamu itu, Reen!” decakku sambil menghentakkan kaki sekali.Sebelum akhirnya aku d
Apa yang aku lakukan di sini?Pertanyaan yang mungkin sudah ribuan kali aku rengekan dalam kepala. Kalau tahu akan berakhir di sini, lebih baik tadi aku benar-benar lompat dari mobil. Zein benar-benar ... harus kuapakan anak satu itu?!“Kenapa sih, Mbak daritadi melotot mulu sama aku?” Pemuda bertampang tak berdosa itu malah berlagak korban.“Kenapa kita ke sini? Kamu bilang mo ke party, ini bukan party namanya! Kamu ngerjain mbak, ya! Nyebelin kamu, Zein!” Kuhajar lengannya menggunakan tas secara brutal biar saja dia memekik kesakitan atau kami jadi pusat perhatian.Tunggu, pusat perhatian? Gegas kualihkan pandangan, menyapu ke seluruh lobby. Haha, luar biasa sekali kamu, Zareen. Selamat, jadi tontonan gratis pengunjung hotel!Kepalaku langsung menunduk, tapi masih sempat juga pukul bahu Zein menggunakan tas. Biar saja dia meringis begitu, siapa suruh menjebakku.Aku pikir tadi dia mengajak ke acara kampus atau reunian sekolahnya atau apalah itu. Tidak sampai kepikiran anak rese sa
“Ya, anggap aja, Mbak Cinderella-nya.”Cinderella apaan, Zein? Lagian mana ada Cinderella yang dinikah siri, mana punya madu lagi.Tidak mau semakin malu, kuinjak kaki anak itu sambil melotot memberi isyarat agar dia diam. Dia cuman meringis merintih padaku yang sama sekali tidak kupedulikan. Walau nyatanya hati sakit penuh lebam, mata ini tetap beralih ke podium. Rasanya macam memakan buah simalakama. Meladeni Zein bikin sakit kepala, memilih menyimak acara malah menambah sakit hati.Napasku terhela pelan akhirnya. Mencoba tegar di tengah rapuhnya atma.Di depan sana, Mas Zaid tampak mengenggam satu tangan Andine. Wajah pria itu memang datar-datar saja, tapi segaris senyum tipis dan tatapan matanya yang tak berpaling sedikit pun dari wajah sang istri sudah cukup menggambarkan bahwa betapa laki-laki itu menganggumi istri sahnya itu.When you hold me in the streetAlunan musik mengiringi suara merdu yang nyaris membuatku menjatuhkan bening kristal. Gegas aku mendongak, mengepalkan ta
Sudah bolak-balik aku mengecek handphone, tapi tidak ada pesan atau telepon seperti yang kuharapkan. Paling tidak ada sebait kata maaf dari laki-laki yang membuat malam ini kelam. “Kenapa coba pake segala ngarepin dia telepon? Udah, deh, Reen sadar diri! Ini, kan, malam pengantin mereka.” Mengucapkan kalimat terakhir serasa aku ingin mengoyak lidahku sendiri. Tak sadar menyentak kaki, aku berbalik hendak meninggalkan jendela kamar berharap kali ini bisa tidur setelah hampir empat jam mencoba malah selalu berakhir gelisah. “Mas?!” Baru juga berhenti mengharapkannya, ini orang sudah berdiri di antara remangnya lampu. Dengan sok gagah bersedekap di depanku. “Nga–Ngapain di kamar saya, ya, Pak? Ini udah tengah malem, entar istri bapak nyariin.” Meski getir enggan menyebut status wanita lain yang kini sah untuk suami sendiri, tapi apa dayaku memang? Dalam diam dia mendekat perlahan. Duh, ini orang bikin bulu kudukku merinding, kan. “Ma–Mau apa sih, Pak?” Tanganku terulur malah t
“Ciee ... keramas masih pagi.” Sebelum nasi yang masuk ke perut seperti biasanya, pagi ini aku lebih dulu sarapan dengan berbagai macam godaan dan siul-siulan Bu Mareta. Para geng ART—alias ke tiga pembantu muda—tidak ketinggalan menghangatkan ruang makan pagi ini. Saking hangatnya aku merasa ada bau gosong dari dadaku. “Otw punya cucu, nih, mama!” sahut Bu Mareta lagi. Senang bener kayaknya beliau ini. Iya, Bu sebentar lagi, Ibu akan dapat cucu. Namun, sayangnya dari rahim saya sendiri. Andai aku cukup berani bilang begitu, kira-kira apa yang akan terjadi? Ditendang dari rumah ini atau seret ke liling komplek dan diteriaki wanita tidak benar. Kira-kira opsi mana yang lebih berpotensi? Selesai menata makanan dan menyendokkan lauk pauk ke piring Zein dan Bu Mareta, aku berlalu dari sana. Rasanya mual walau hanya sekadar melirik wajah lelaki yang katanya pagi ini habis keramas. “Yang sabar ya, Dek. Nanti ada waktunya kita hajar ayah kamu bareng-bareng,” monologku sambil mengusap