Pagi-pagi sekali Fathul sudah datang. Ummi kembali tertidur setelah minum obat. Pria itu memakai kemeja rapi tanpa dasi dengan dua kancing atas yang terbuka dan lengan yang digulung hingga siku. Rambutnya tertata rapi seperti biasanya. Ini bahkan belum jam enam. Pasti sangat berat untuk Fathul mengizinkan Ummi tinggal di apartemen. “Terima kasih sudah mengizinkan ana membawa Ummi.”“Saya juga pernah tinggal di rumahnya. Sekalian balas budi.” Meski terlihat segar setelah mandi, tapi Raihanah bisa melihat lingkaran hitam yang menyelimuti kelopak mata pria itu. Sepertinya Fathul tidak tidur semalaman. Pria itu tampak lelah meski berdiri dengan postur tegak.“Hati antum sangat hangat.” Raihanah menghadiahkan seulas senyum yang tulus. Lagi-lagi Fathul lupa mengendalikan perasaannya. Wanita ini tahu cara memasuki perasaannya dengan benar. “Ummi bukan orang yang jahat.” Raihanah menengok sekilas ke ranjang Ummi. “Fathul pun begitu. Kalian sama-sama orang baik.” Senyum itu membius Fathu
Raihanah mendorong kursi roda Ummi ke parkiran lalu mengetuk kaca jendela mobil Fathul. Pria itu keluar dengan pandangan menunduk dan abai kemudian hendak membantu Ummi. Namun, Ummi dengan cepat berusaha berdiri dan bersusah payah naik ke mobil. Raihanah buru-buru memegangi lengannya sambil melirik reaksi Fathul sekilas.Fathul tampak biasa saja, tak ada sedikit pun kekecewaan di mata pria itu. Ia mengembalikan kursi roda ke lobi rumah sakit lalu kembali dua menit kemudian.Mobil meluncur tanpa sepatah kata pun dari mereka bertiga. Suasana hening seolah ketiganya tengah mengobrol dengan pikiran masing-masing. Mobil sampai dengan cepat.“Kita sudah sampai, Ummi.” Raihanah menyentuh lembut punggung tangan Ummi yang mulai berkeriput. Wanita ini tak lagi sesehat saat Lukman masih hidup dulu.Mata Ummi mendongak jauh hingga ke ujung gedung apartemen, menghela napas panjang dan tak menyembunyikan rasa keberatannya sedikit pun. Raihanah khawatir Fathul akan tersinggung.Fathul membawa koper
“Cumi goreng buat Ummi.” Raihanah menaruh banyak cumi goreng krispi ke piring Ramlah. Ramlah diam mengamati ketika giliran Fathul. Pria itu menyendok nasinya sendiri lalu mengambil cumi tumis berwarna hitam.“Antum mau tumis kangkung?” tanya Raihanah pada pria yang mulai makan itu. Suasana meja makan yang sangat berbeda. Mereka makan bertiga, tapi ada satu orang yang tergantikan. Dulu suasana di meja makan selalu terasa hangat, sekarang sepi. Sebab Lukman telah tergantikan oleh Fathul.“Boleh.” Fathul mengangkat piringnya.Ramlah tak melihat sorot hangat di mata pria itu untuk Raihanah. Tidak seperti Lukman yang selalu tersenyum dan memandang Raihanah dengan cara yang sangat berharga.Ada banyak perbedaan. Fathul mengambil semuanya sendirian, tak pernah menunggu dilayani oleh Raihanah. Kening Ramlah berkerut ketika anak itu mengangkat semua piring kotor dan mencucinya lalu membersihkan dapur sendirian sementara Raihanah menyiapkan obat untuk Ramlah. Entah itu adalah perbedaan yang
Kulit yang kecokelatan. Badan yang berlekuk dan berotot. Perutnya membentuk beberapa kotak, basah, dan ditetesi air dari rambutnya. Raihanah berdiri kaku. Lima detik kemudian, ia mengalihkan pandangan ke arah lain. “Maaf, ana masuk begitu saja.”Melihat wajah yang merona itu, napas Fathul menjadi cepat. Raihanah buru-buru memutar badan sedangkan Fathul cepat-cepat memakai baju. Raihanah tidak berani menoleh meski sudah lima menit berlalu. Ia tak mendengar suara gesekan kain lagi di belakangnya. “Sudah?” tanyanya.“Sudah.” Raihanah terperanjat ketika suara yang dalam itu terdengar begitu dekat di telinganya. Ia menoleh cepat dan tiba-tiba tersandung kaki sendiri. Raihanah pikir dirinya akan terjatuh ketika punggungnya ditopang. Satu tangan Fathul tertahan di udara, sementara tangannya yang lain melekat di punggung Raihanah. Mata Raihanah membulat dengan jantung melompat-lompat. Wajah mereka cukup dekat sampai ia bisa merasakan helaan napas Fathul yang beraroma pasta gigi. Suasana
Ummi demam. Malam ini badannya sangat panas. Raihanah sampai bolak-balik ke dapur untuk mengambil air hangat. Ummi menolak dibawa ke rumah sakit karena sudah tengah malam. Raihanah memandang pintu kamar Fathul yang tertutup rapat. Menerka-nerka apa pria itu sudah tidur atau belum. Pinggang Ummi belum sembuh. Mungkin demam karena terlalu banyak bergerak kemarin malam saat Meisya datang.Saat membuka kamar, Ummi sudah tertidur. Badannya tidak begitu panas lagi. Raihanah menghela napas lega. Sudah pukul dua pagi. Satu jam lagi waktunya sholat Tahajud. Raihanah keluar sebentar, tak ingin membangunkan Ummi. Ia merebahkan badan di sofa. Hendak istirahat sebentar selagi menunggu waktu Tahajud. Matanya terasa berat dan ia hanya mencoba memejamkan mata sejenak. Sejak pulang dari kantor, Fathul hanya berada di dalam kamar. Sibuk merampungkan materi presentasi untuk besok pagi. Ia keluar kamar untuk mengambil air minum. Namun, langkahnya berhenti saat menemukan kepala Raihanah yang menyembul
Raihanah mengetuk pelan pintu kamar pria itu. Ini adalah malam yang ia janjikan. Jantungnya seolah hendak melompat dari tempatnya. Rasanya seperti terjun ke sarang harimau sendirian. Pintu di hadapannya perlahan terbuka. Fathul berdiri dengan posturnya yang tinggi, menatap Raihanah intens tepat di bola mata. Raihanah seperti terjebak. Kakinya seolah terpaku di lantai dan tak bisa melarikan diri. “Ummi sudah tidur?” tanya pria itu. Suaranya terlampau dalam.“Sudah.” Dan Raihanah merasa suaranya sendiri seperti cicitan tikus yang kejepit. “Silakan masuk.” Fathul membuka pintu lebar-lebar. Raihanah mesti berjinjit untuk melewati pundak lebar Fathul yang seolah sengaja tidak bergeser untuk memberikan celah bagi wanita itu. Setelah berhasil masuk, ia merasa sedang diikuti. Langkah Fathul pelan, tapi terasa sangat dekat di balik punggungnya. Membuat dadanya berdentum-dentum, luar biasa gugup.“Kita ….”Saat Raihanah berbalik, ia mendapati tubuh Fathul yang teramat dekat. Rasa panik meny
Pukul 5.30 ketika Raihanah keluar dari kamar, ia berpapasan dengan Fathul yang kebetulan juga sedang membuka pintu kamarnya. Dengan jaket dan kaos serta celana olahraga pendek dan sepatu, pria itu pasti ingin berolahraga.Namun, anehnya Raihanah malah merasa canggung untuk sekadar menyapa. Ada apa dengan dirinya? Ia tiba-tiba mengingat soal semalam. Dalam sekejap pipinya memerah.“Pagi.” Fathul malah menyapa lebih dulu dengan senyuman.“Ya, pagi,” cicit Raihanah, terlihat seperti tikus yang hendak kabur dari kejaran kucing.“Mau jalan-jalan pagi?”Raihanah menoleh kaget. “Hm?”“Jalan-jalan pagi berdua dengan saya.”Ditatap dengan mata penuh harapan itu membuat Raihanah mengalihkan muka dengan salah tingkah. “Ana mesti masak untuk sarapan.”“Kita bisa beli di luar.”“Ummi sendirian di kamar–” Raihanah terdiam, menemukan ide yang sangat brilian. “Bagaimana kalau jalan-jalan bertiga? Ummi cukup lama tidak keluar.”Fathul tampak berpikir. Sinar harapan di matanya agak pudar. “Boleh.”“Kal
Setelah mengantar Ummi kembali ke kamar, Raihanah menarik kaki ke kamar Fathul saat mendengar suara berisik dari dalam. Kamar pria itu sangat berantakan. Pakaian, kertas-kertas, dan buku bertebaran. Didapatinya Fathul sedang berdiri dengan kemeja yang kerahnya terangkat dan tidak terkancing sepenuhnya serta rambut yang belum tertata. Pria itu menyorotnya dengan bingung. “Butuh bantuan?”Fathul melirik lantai di sekitarnya dan merasa sedikit malu. Kamarnya sudah seperti kapal pecah. “Saya cari dasi.” “Dasi warna apa?” Raihanah maju, menunduk di antara laci-laci lemari pria itu. “Abu-abu gelap. Mungkin ketinggalan di tempat laundry.”Fathul mendapatkan helaan napas Raihanah lima detik kemudian. “Makanya biar ana yang cuci. Apa sudah antum susun di tempatnya? Dasi harus disatukan dengan dasi juga. Jangan bercampur dengan yang lain.” Wanita itu mulai mencari-cari di tumpukan pakaian yang tidak terbentuk susunannya itu. Fathul terdiam kaku mendengar omelan itu. Raihanah sampai mendeca