"Kenapa masih diam di sini? Kau ingin mati?"
Kata-kata itu terus terngiang di telinga Lea, air matanya bahkan tak bisa ia bendung hingga mengalir deras dengan sendirinya.
Bagaimana bisa Adelius mengatakan hal sekejam itu padanya dan lebih memilih berdiri di samping perempuan lain dari pada istrinya sendiri?
Kekesalan suaminya dan sikap penolakan orang tuanya membuat Lea merasa seorang diri hidup di dunia ini. Tidak ada lagi tempat untuknya berlindung.
Namun, Lea harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maka itu ia akan menunggu di taman rumah sakit hingga semua orang pergi dari kamar rawat Lisa dan menuntut penjelasan dari Lisa.
Ia tak peduli jika masih ada ibunya di sana.
Hingga siang hari Lea akhrinya menemukan waktu yang tepat untuk bertanya pada Lisa. Ketika Lea baru mencapai pintu rawat Lisa, Lea mendengar ibunya berbicara dengan Lisa.
Lea terkejut mendengar percakapan antara ibunya dengan Lisa.
Ternyata semua yang terjadi pada Lea adalah rencana Lisa dan ibunya, termasuk menjebak Lea untuk menikahi Adelius.
Mendengar kenyataan itu membuat dada Lea terasa begitu sesak, bahkan air matanya lagi-lagi deras mengalir membasahi pipinya.
Tidak menyangka mereka semua tega berbuat kejam pada dirinya.
Lea sudah tidak tahan dengan ini semua. Ia membuka pintu kamar dengan kencang.
"Jadi semua ini rencana kalian berdua? Hilangnya Kak Lisa juga bagian dari rencana kalian?"
"Lea, jangan salah paham dulu," Lisa berucap, masih berusaha bersikap baik.
"Kakak mana yang tega menjebak adiknya? Kakak mana yang tega menghancurkan rumah tangga adiknya sendiri?" teriaknya meluapkan segala amarahnya.
"Biarkan saja dia tahu, lebih bagus juga kalau dia tahu dan sadar diri," ucap Lasmi begitu angkuh.
Lasmi kemudian berjalan mendekati Lea, hingga posisi keduanya saling berhadapan.
"Posisi nyonya Adelius sampai kapanpun juga hanya pantas untuk putriku Lisa, bukan gadis bodoh seperti dirimu ini," mendorong kasar bahu Lea.
"Aku juga putrimu, kenapa harus dibedakan?"
"Hahaha, kau itu bukan putriku. Kau hanya hasil buruk dari rencanaku dengan suami tercintaku itu."
Lea terdiam, ia sama sekali tak mengerti dengan apa yang baru saja ibunya sampaikan.
"Apa maksudmu?"
"Kau itu hanya pembawa sial, pembawa masalah dalam keluarga kami. Harusnya kau ikut mati bersama ibumu yang jalang itu."
Lea terus menggelengkan kepalanya, ia menolak semua kenyataan yang baru saja Lasmi ungkapkan padanya.
"Kau tahu sekarang siapa dirimu, bukan? Tidak lebih dari sampah!"
Mendengar ucapan Lasmi barusan benar-benar melukai hati Lea, hingga tanpa sengaja Lea mendorong Lasmi hingga terjatuh dan menimpa Lisa yang ada di belakangnya. Lea berlari keluar meninggalkan dua iblis yang tengah kesakitan akibat ulahnya.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang sedari tadi mengawasi.
Sekembalinya dari rumah sakit, Lea hanya berdiam diri di dalam kamarnya. Ia mengurung diri memikirkan semua yang hari ini terjadi.
Pantas saja selama ini Lea tidak pernah dianggap oleh ibunya, ternyata ia bukan anak kandung ibunya.
"Lalu siapa ibuku?" meremas kuat rambutnya.
Tiba-tiba saja Lius masuk ke dalam kamar dengan emosi yang meledak-ledak. Berteriak memaki Lea hingga menarik lengan istrinya itu dengan begitu kasar.
"Katakan, untuk apa lagi kau kembali ke rumah sakit?" menekan setiap ucapannya.
"Hanya untuk menemui kakakku."
"Pembohong!" mendorong tubuh itu hingga terjerembak di atas ranjang.
Lius naik keatas ranjang, mencengkeram rahang Lea dengan begitu kuatnya. Matanya menatap tajam Lea yang hanya bisa pasrah di bawahnya." geram nya.
Belum sempat Lius bertindak, tiba-tiba Lea merasakan nyeri yang teramat pada perutnya. Ia merintih, Lea mencengkeram pakaian suaminya dan keringat dingin mulai membasahinya.
Lius tertegun dengan raut wajah Lea, nampak begitu kesakitan.
"Sakit."
______________________
Di rumah sakit, Lea terbaring begitu lemah. Tangan nya harus di infus karena kekurangan cairan. Belum lagi keterangan dari dokter yang mengatakan jika kandungan Lea lemah saat ini.
Adelius seakan tak percaya dengan semua yang didengarnya itu. Lea hamil? Bagaimana bisa?
Lisa yang berada satu rumah sakit dengan Lea terkejut saat mendengar kabar kehamilan adiknya, ia panik juga ketakutan memikirkan jika saja Adelius meninggalkan dirinya demi anak yang ada dalam kandungan Lea itu.
"Bagaimana ini, Ma? Aku tidak ingin Lius tetap memilih gadis bodoh itu."
"Tenang saja, mama punya ide. Kita sebarkan berita kalau bayi yang di kandungan Lea adalah hasil dari laki-laki lain."
Di antara mereka, ada laki-laki bertubuh tegap dengan pancaran aura dingin terus menatap Lisa juga Lasmi. Matanya yang setajam elang itu terus menatap kedua wanita yang kini tengah tersenyum bahagia itu.
Rahangnya mengeras mendengar semua rencana jahat kedua wanita itu, dengan langkah tegap ia mendekati keduanya.
"Dan sebelum itu terjadi, kalian berdua yang akan aku habisi."
Keduanya terkejut, menatap sosok gagah juga tampan yang ada di depan matanya. Hampir mirip dengan Adelius, namun jauh lebih berkarisma.
"Si-siapa kamu?" gugup Lasmi menyadari aura laki-laki di hadapannya kini.
Tak mendengarkan, laki-laki itu justru berjalan menghampiri Lisa dengan sorot mata elangnya.
Dengan bodohnya Lisa terpesona, hingga ia tersenyum kala sosok itu berdiri di hadapannya.
"Jangan berani menyentuhnya, atau kau akan menerima akibatnya," mencengkeram kuat lengan Lisa.
"Sakit," keluh Lisa.
Lius yang melihat Lea terlelap perlahan meninggalkan ruang rawatnya, ia berjalan keluar menuju ruang rawat Lisa, kekasihnya.
Namun, saat baru tiba di depan pintu, ia terkejut dengan sosok laki-laki yang sangat di kenalinya itu. Sosok yang saat ini tengah menyakiti kekasihnya.
"Apa yang kau lakukan, Lio!" dengan kasar mendorong tubuh saudaranya hingga cengkeraman itu terlepas dari kekasih hatinya.
"Cih! Kau membuang permata hanya untuk seonggok sampah tak berguna ini?" cibirnya.
"Jaga bicaramu, Lio. Dan lagipula untuk apa kau kembali ke negara ini?" geram Lius.
"Kau akan menyesali semuanya nanti, dan saat hal itu terjadi aku pastikan kau tak akan pernah bisa kembali," seru Adelio penuh penekanan.
Setelah mengatakan hal itu, Adelio meninggalkan ketiganya dengan pemikiran masing-masing, tanpa berniat menyahuti pertanyaan adik kembarnya itu.
Adelio yang baru saja keluar dari ruang rawat Lisa disambut oleh anak buahnya, mereka memberikan informasi ruangan tempat Azalea di rawat.
"Jangan sampai ada yang masuk," titahnya.
Adelio, perlahan mendekati Lea yang tengah tak sadarkan diri di atas ranjang pesakitan. Tangannya terulur, mengusap kepala Lea hingga turun membelai pipinya.
"Harusnya tak kubiarkan Lius menikahimu dulu, harusnya aku bisa bertindak dan semua tak akan seperti ini," seru Adelio jelas tergambar gurat penyesalan di wajahnya.
"Maafkan aku."
Samar-samar Lea mendengar suara orang berbicara, ia juga merasakan ada yang membelai dirinya dengan begitu lembutnya.
Dengan susah payah Lea mencoba membuka matanya, melihat siapa yang tengah bersama dengannya.
"Lius? Tapi, Lius tak mungkin seperhatian ini," batin Lea diambang kesadarannya.
Sony geram dengan wajah berani Jo terhadapnya, ia pun marah dan terjadilah pertarungan disana.Dengan menahan sakit, Jo terus melawan. Juli tak terima melihat putranya hampir kalah, ia pun segera mendekati Divya dan mengancam Jo disana.โBerani kau memukul putraku, maka gadis ini akan aku pukul balik.โDivya hanya bisa menangis, menjerit bahkan memohon saat melihat Jo habis babak belur di tangan Sony. Belum lagi luka di perutnya kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah.Jo sudah tak sanggup, ia jatuh dan hilang kesadaran.Divya yang panik mendorong Juli dan berlari kepada JO.โKalian biadab, binatang kalian semua.โ Makinya.Divya memeluk tubuh Jo kedalam pelukannya, gadis itu menangis tersedu-sedu memohon pada Jo untuk kembali membuka mata.Sony sangat puas, ia pun meninggalkan ruangan dengan tawa senang diikuti Juli di belakang.Tak ada ranjang yang layak, semua tempat nampak kumuh tak terawat. Hanya ada ranjang usang yang kemarin digunakannya.Dengan susah payah Divya menarik tu
Namun tekat bulat Jo membuat laki-laki itu segera kabur dan mengabaikan teriakan Brian.Brian panik, kondisi Jo masih belum pulih. Belum lagi lukanya baru saja kembali dijahit, Brian benar-benar dibuat sangat panik.“Kamu coba kejar dia, papa akan kembali ke atas dan memberitahu semuanya.”Mengangguk, Brian segera menyusul dengan menggunakan mobilnya.Di dalam taxi, Jo mencoba melacak keberadaan Divya dari ponsel pintarnya. Namun sayang sejak tadi tak kunjung dia menemukan titik lokasi keberadaan Divya.“Permisi, Tuan. Tujuan kita kemana ya?” tanya supir taxi.“Jalan XX depan bangunan kosong.”Taxi melaju dengan kencang membelah kemacetan, namun fokus Jo masih dengan ponsel di tangannya.Setibanya disana, Jo berjalan menyusuri jalan sepi tanpa penghuni.“Kenapa titik lokasinya ada disini? daerah ini bukankah sudah tidak berpenghuni?” gumam Jo.Sepanjang jalan kakinya
Semua tengah bersantai, berkumpul bersama walau di rumah sakit tempatnya.Lio sengaja meluangkan waktu demi memberi perhatian lebih pada Jo yang sedang terluka. Bagi Lio, Jo sudah seperti anak juga baginya.Lio memesan banyak makanan juga cemilan, ia tak ingin keluarganya kelaparan atau kekurangan makanan.“Adek, jangan diisengin dong Jo nya.” Dengan lembut menegur sang putri.Divya hanya cengengesan saat mendengar sang ayah menegur tingkahnya. Ia pun kembali menyuapi Jo dengan buah anggur di tangannya.Brian fokus dengan laptopnya, sedang Daniel sibuk bermesraan dengan Luna tanpa melihat tempat mereka berada.“Bucin terus, nggak lihat-lihat tempat.”“Dih, sirik aja. Makanya punya pacar,” ejek Daniel.Tiba-tiba saja Divya bangkit dari tempat, berjalan keluar meninggalkan ruang rawat.“Adek, mau kemana?”“Sebentar, Pah. Nggak lama,” serunya sebelum benar-b
Pagi yang begitu cerah, semua orang tengah bersiap untuk menjengur Jo di rumah sakit.Tak lupa Lea juga membawa banyak masakan untuk anak-anak yang sejak semalam menginap disana.“Pakaian untuk mereka sudah siap?”“Sudah, Mom.”Sekar sudah tak sabar mengunjungi Jo disana, ia juga merindukan cucu-cucunya yang sejak semalam tak pulang.Mengendarai dua mobil, mereka melesat menuju rumah sakit.Tiba disana, semua orang dibuat tercengang dengan keadaan di dalam.“Astaga, ini kenapa begini?” seru Rania melihat putra juga keponakannya tengah berlutut dengan memegang kedua telinganya.“Bangun, “ titah Lio pada keduanya.Luna hanya diam, gadis itu tersenyum sembari meletakkan buah yang sedari tadi dipangkunya.“Ada apa? Kenapa panas sekali suasananya?” tanya Sekar pada Luna.“Mereka berdua bikin lukanya Jo kembali terbuka dan harus kembali di jahit, O
Lea berhasil menenangkan suaminya, di dalam pelukan wanita itu Lio terlelap dengan begitu damai.Lea terus membelai rambut Lio, dengan penuh kasih dan sayang ia mengecup kening laki-lakinya.“Maaf jika diamku membuatmu hancur dan seakan dibohongi. Aku sama sekali tidak bermaksud begitu, ayah yang mengingikan semua ini dan bukan aku.” Gumamnya dengan berlinang air mata.Kembali mengingat kejadian lampau itu membuat luka yang masih belum kering kembali basah.Menatap jam dinding, Lea tersadar jika ini hampir tengah malam.Sejak tadi ia tak mendengar suara anak-anak, ia pun juga belum turun untuk melihat mereka semua.“Kemana lagi anak-anak?”Deg, ia pun ingat tentang keadaan Jo saat ini. Dengan cepat ia berusaha menghubungi Brian sang putra.Tak menunggu lama, Brian segera menerima panggilan ibunya.Dengan nada yang sangat cemas, Lea menanyakan tentang keadaan Jo saat ini. Wanita itu benar-benar men
Divya sama sekali tak meninggalkan kekasihnya barang sedikitpun, semenjak tahu kejadian sebenarnya ia menolak meninggalkan sang kekasih lama-lama.Bagi Divya, ia harus memastikan sendiri keselamatan laki-lakinya.Memang belum secara resmi mereka bersama, namun keadaan saat ini sudah membuat kebahagiaan tersendiri bagi dua anak manusia itu.“Sayang, kamu istirahat ya. Dari tadi kamu udah ngurusin aku,” ucap Jo.“Aku akan istirahat, tapi tidak sekarang. Masih ada yang harus aku kerjakan.”“Apa?”Namun Divya tak menjawab, ia terlihat sibuk dengan gawai pipih yang tengah di genggamnya.Jo sebenarnya tahu apa yang saat ini tengah di lakukan kekasih kecilnya, ia tahu apa yang menjadi tujuan dari perbuatan Divya saat ini.Ia tak ingin melarangnya, ia tak ingin kemarahan Divya tak tersalurkan. Namun dibalik itu semua, ia tetap memantau dan mengendalikan perbuatan dari kekasihnya.“Aku ti
Divya berusaha melangkahkan kakinya, namun rasanya begitu berat. Belum lagi air matanya yang tak berhenti mengalir deras di pipi, membuat dirinya bingung sendiri.“Nggak mungkin, semuanya hanya salah paham.” Gumamnya sembari melangkah perlahan.Brian tak sanggup melihat adiknya terluka, namun ia juga tak sanggup jika harus masuk dan melihat semuanya.Begitu juga dengan Daniel, laki-laki itu hanya diam menyesali semua yang sudah terjadi.“Seharusnya dari awal kita memberitahunya, kalau begini kita sama saja menusuknya.”Brian hanya diam, menundukkan kepala tanpa tahu apa yang dikatakan.Divya semakin dekat dengan pintu, jantungnya semakin berdetak dengan begitu tak menentu. Begitu sakit, seakan ada sesuatu yang menghantam dadanya.Suasana begitu berbeda, kini di depannya banyak berbaring jasad yang sudah tak bernyawa.Tubuh Divya luruh ke bawah, air matanya semakin deras mengalir membasahi pipinya. Isakan
Rahasia yang selama ini coba di lupakan pada akhirnya terbongkar dengan cara yang tak terduga. Sekar yang sudah lama memendam rasa bersalah membongkar semua kejahatan putra keduanya di depan semua orang.Lio tak tahu apapun tentang itu semua, ia sama terkejutnya dengan Brian yang masih bersitegang dengan Lius.“Maksud oma?” tanya Brian.“Ayah kandungmu lah penyebab kakek Wilson meninggal.” Seru Sekar tanpa ingin menutup-nutupinya lagi.“Mom,” teriak Lius.Lio terduduk lemas, ia tak percaya dengan apa yang sudah di dengarnya ini. Selama ini ia tak tahu apapuun tentang kesakitan dan fakta yang dirasakan oleh istrinya.“Bagaimana bisa, bukankah ayah Wilson meninggal karena jatuh dari tangga?”“Ayah mertuamu tidak jatuh dari tangga, tapi jatuh dari lantai dua rumah lama kita.” Sahut Antonio.Lebih lanjut Antonio juga menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan kemaraha
Nindya kembali ke rumah, ia segera mengemas semua pakaian dan berniat meninggalkan semuanya.Ia merasa puas terakhir kali melihat keadaan Jo yang mengenaskan, ada rasa bahagia dan terluka dalam satu waktu bersamaan.Nindya menangis, ia menatap kedua tangan yang sudah dengan tega melukai Jo hingga seperti tadi. Menyesal?Tidak, sama sekali Nindya tak merasa menyesal dengan apa yang sudah diperbuatnya. Hanya saja hatinya ikut terluka saat melihat air mata yang mengalir keluar dari mata indah pujaan hatinya.“Andai bapak menerima cinta saya, andai bapak tidak terpengaruh dengan wanita licik itu maka semuanya tidak akan jadi seperti ini.”Cepat-cepat Nindya mengemas barang bawaannya, juga beberap obat yang diperlukannya saat ini.Membuka pintu lemari, Nindya mengambil semua uang yang ada disana.“Dengan uang ini aku bisa mengembalikan wajahku seperti semula, maafkan Nindya nek karena menjual rumah itu.”Deng