Share

Rencana Kotor

Author: Ajeng padmi
last update Last Updated: 2024-02-04 23:52:40

Dua hari yang lalu di apartemen Ana.

Mata Ana mengerjap mendengar suara gedoran di pintu dengan brutal, digelengkannya kepala mengusir kantuk dan rasa pening yang masih setia menemaninya.

Dilihatnya jam berbentuk hello kitty di atas nakas.

Astaga dia baru tidur satu jam, siapa yang menggedor pintunya?

Terseok-seok Ana melangkah ke arah pintu, bahkan dia hanya menggunakan sebelah sandal hello kitty kesayangannya itu.

"Aku akan mencekik siapapun orang yang seenaknya menggangguku kalau tidak penting."

"Anaaa!"

Pelukan erat itu hampir saja membuat Ana terjengkang kalau saja tangannya tidak sigap memegang daun pintu yang masih terbuka.

"Mas Adam, apa-apaan, sih," sentaknya antara kaget juga kesal.

Bukannya merasa bersalah laki-laki di depannya itu malah tertawa dengan riangnya.

"Mas Adam mabuk ya," tuduh Ana.

"Enak saja, ada berita gembira untukmu," katanya tak terpengaruh oleh sikap Ana tadi.

Mendengar itu, Ana langsung duduk di samping Adam dan mengamati wajah managernya yang hari ini seolah bersinar dengan kebahagiaan.

"Melihat wajah Mas Adam aku yakin ini pasti berita gembira, jadi ada apa?"

"Kamu diundang untuk menemui direktur XAM," katanya dengan antusias.

"XAM? Xander Artist Management?" tanya Ana memastikan.

"Yup, siapa lagi, sekertarisnya langsung yang menghubungiku. Astaga Ana jantungku mau copot rasanya, itu perusahan manajemen paling top negri ini, bisa kamu bayangkan karirmu akan makin bersinar, bahkan bisa menutup kemungkinan kamu bisa go internasional seperti mimpimu," kata Adam dengan antusias.

"Tapi kenapa?" tanya Ana seolah tak yakin dengan keberuntungan yang dikatakan sang manager.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa tiba-tiba beliau mengundangku?"

"Kamu cantik, berbakat dan seantero negeri mengenalmu, jadi direktur XAM pasti tertarik untuk bekerja sama denganmu,” kata Adam meyakinkan.

"Jadi kapan beliau ingin bertemu? apa yang harus aku kenakan? Dan juga aku harus berkata apa saat bertemu dengannya?"

Adam tertawa dengan pertanyaan Ana yang sangat antusias, dia sendiri juga merasakannya, rasa lelah mereka selama ini seolah terbayar sudah.

Esok harinya dengan diantar oleh Adam secara langsung, Ana menyambangi kantor XAM yang terletak di jalan setia budi, sebuah gedung perkantoran yang mewah berdiri angkuh di depan mereka.

"Aku antar sampai lobi saja, direktur XAM ingin bertemu denganmu secara pribadi, tenang saja dia tidak akan macam-macam," kata Adam yang dapat membaca kekhawatiran di wajah Ana.

Benar saja saat sampai di lantai sepuluh yang dimaksud mbak-mbak resepsionis tadi, Ana disambut oleh seorang sekretaris yang cantik jelita, dengan pakaian yang sopan dan tentu saja meneriakkan kata mahal, dari situ Ana bisa menyimpulkan bagaimana pimpinan perusahaan ini.

"Selamat Pagi, Mbak Ana, Pak Rafael sudah menunggu anda di dalam, mari," katanya dengan sopan.

Seorang laki-laki luar biasa tampan duduk di sana, matanya yang tajam bersinar ramah menyambut Ana, tapi bukan itu yang membuat Ana bagai terkena mantra sihir.

Dia laki-laki itu, laki-laki yang sudah lama menghiasi mimpi-mimpinya, dan membuat hari-harinya berwarna dengan indah.

Ah... itu sudah tiga tahun berlalu, waktu itu Ana masih seorang artis pendatang baru yang masih hijau, undangan pesta malam yang dia harapkan bisa memuluskan kariernya, nyatanya hanya isapan jempol belaka.

Laki-laki yang dengan gagah berani menyelamatkannya dari seorang sutradara sialan yang ingin melecehkan dirinya. Satu-satunya laki-laki yang membelanya, meski dia bukan siapa-siapa waktu itu.

"Silahkan duduk."

Ana tersenyum malu karena ketahuan memandang wajah laki-laki di depannya sedikit lebih lama.

"Terima kasih."

"Saya sudah sering melihat anda wara-wiri di televisi, tapi ini pertemuan pertama kita secara langsung, kenalkan saya Rafael Alexander, direktur utama XAM."

Dia ternyata tidak ingat aku, batin Ana dengan kecewa, tapi dia bisa sedikit mengerti dia bukan siapa-siapa waktu itu dan laki-laki di depannya ini pasti menyelamatkannya karena kasihan saja.

Buru-buru Ana menyambut uluran tangan Rafael. "Saya Anastasya senang bisa bertemu dengan anda lagi, menurut saya ini pertemuan kedua kita secara langsung."

"Begitu maafkan, tapi saya benar-benar tidak mengingat pertemuan kita sebelumnya."

"Hanya sebuah insiden kecil, tapi cukup membekas untuk saya, anda telah menyelamatkan saya dari pelecehan," Ana lalu menceritakan dengan ringkas peristiwa yang tak mungkin dia lupakan itu.

"Ah, ya saya ingat syukurlah waktu itu anda baik-baik saja."

"Ini semua berkat anda dan saya belum mengucapkan terima kasih dengan layak."

"Ah sudahlah itu hanya kebetulan."

Kebetulan yang membuat aku menemukan cinta pertamaku, batin Ana, dia langsung merasakan panas di wajahnya mengingat hal itu dan duduknya pun jadi serba salah.

"Saya senang bertemu anda kembali, apalagi pertemuan ini juga atas undangan anda secara langsung," kata Ana dengan malu-malu.

"Ah ya, pertemuan ini. Begini, saya memiliki sebuah penawaran untuk anda, saya harap anda mau mempertimbangkannya."

"Tawaran apa?"

"Saya dan istri belum memiliki anak, tapi keluarga saya sangat ingin kami segera memberi mereka cucu, tapi istri saya, Isabella, mungkin anda juga kenal dengannya, mempunyai karier yang sangat bagus, dan tidak memungkinkan untuk hamil dalam waktu dekat ini."

Sedikit kecewa saat mendengar laki-laki di depannya ini sudah beristri, tapi Ana tahu laki-laki setampan dan semapan Rafael, tidak mungkin masih sendiri.

"Lalu?"

"Kami memutuskan untuk memakai ibu pengganti, memang bukan hal wajar di negara ini, tapi itu sama sekali tidak melanggar hukum, karena istri saya sangat mengagumi anda, dia ingin andalah yang mengandung anak kami."

Ana menatap laki-laki di depannya lebih lama beberapa detik, khawatir telinga memang sedang bermasalah.

"Anda jangan khawatir, kami tentu saya tidak meminta secara cuma-cuma, anda tentu saja akan mendapatkan bayaran yang tidak sedikit, juga bantuan untuk memuluskan karier anda nantinya setelah anda melahirkan."

Ana hanya bisa melongo, bibirnya bahkan tak sanggup mengatakan apapun, ini benar-benar gila.

Ditariknya napas dengan dalam, dia tak akan merusak reputasinya dengan memukul kepala laki-laki di depannya, agar sedikit saja bisa berpikir normal.

Ana tahu sejak awal dunia artis memang sedikit gila, tapi dia tak menyangka akan segila ini.

"Saya minta maaf sebelumnya, bagi saya menjadi seorang ibu adalah anugerah yang diberikan Tuhan pada seorang wanita yang nantinya diikuti tanggung jawab untuk membesarkan dan mendidiknya, jadi tidak sepantasnya rahim wanita untuk diperjualbelikan, sebanyak apapun uang yang nantinya anda berikan saya akan tetap menolaknya.”

Rafael menghela napas panjang “Saya mengerti maksud anda, tapi tidak bisakah anda menolong kami, saya janji akan melakukan apapun yang anda minta,” bujuknya lagi.

Ana menggeleng tegas.

“Maafkan saya, jawaban saya tetap sama, saya akan berusaha keras membangun karir saya sendiri, tanpa bantuan siapapun.”

Rafael tersenyum, sorot mata kegum terpancar jelas dari matanya, wanita yang sangat berprinsip. “Baiklah saya akan berusaha mengerti keputusan anda.”

Suara tangisan Bella membuat Ana tersadar dari lamunannya, dia tak mengerti bagaimana dia bisa terjebak di sini.

Tangan Ana bergetar, saat sadar betapa seriusnya masalah ini, dia telah melukai hati wanita lain dengan tidur bersama suaminya, tapi sungguh dia tak bermaksud seperti itu.

Tapi kamu menikmatinya setelah tahu orang itu, sisi batin Ana memaki, itu makin membuatnya merasa bersalah air mata langsung berderai di pipinya.

"Maafkan saya, seseorang menyeret saya kemari dan mengunci kami dari luar, dan tiba-tiba Rafael datang dan memaksa saya melayani-"

"Cukup! Bagaimana mungkin kamu memfitnah saya sekeji itu, aku pikir kamu wanita baik-baik, tapi ternyata kamu lebih licik dari yang aku kira."

"Tapi Raf, aku-"

"Jangan mengarang cerita, oh... sekarang aku tahu alasanmu menolak menjadi ibu pengganti, ternyata kamu ingin aku menghamilimu secara langsung dan menjadi Nyonya Rafael Alexander, jangan mimpi kamu, aku hanya mencintai istriku, kamu sama sekali tak sebanding dengannya."

Cepat-cepat Rafael mengenakan bajunya dan menghampiri sang istri yang masih menangis sesegukan, mengajaknya untuk meninggalkan tempat ini.

Ana tertunduk dengan malu, dia sadar kebenaran kata-kata Rafael. Dia menatap kepergian pasangan itu dengan rasa bersalah yang menggunung, entah bagaimana caranya dia meminta maaf untuk kesalahan ini.

Pandangan Ana jatuh pada Bella yang diam-diam menoleh padanya dan tersenyum penuh kemenangan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Indah pada Waktunya

    “Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Kesempatan

    “Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Kunjungan

    Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Pergi

    Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Awas

    Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Puas

    “Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status