Share

Kekacauan

Author: Ajeng padmi
last update Huling Na-update: 2024-02-04 23:56:05

Media cetak dan elektronik semuanya dihiasi oleh wajah Rafael dan Ana saat tertangkap basah kemarin malam, banyak para ahli dadakan yang menganalisa apa foto itu asli atau hanya sekedar rekayasa saja.

Bukannya hanya itu akun media sosial Ana dan juga manajemen yang menaunginya banjir oleh komentar, terpaksa mereka harus menonaktifkan kolom komentar.

Dalam semalam hancur sudah karier yang dia bangun dengan tetesan keringat dan air mata, Ana sangat berharap kalau ini hanya sebuah mimpi buruk yang akan segera berakhir saat ini melemparkan selimutnya dan terbangun.

“Nyesel aku dulu mengidolakan dia ternyata dia pelakor, tapi nggak heran orang jaman sekarang melakukan segala cara untuk kaya lebih cepat, kabarnya laki-laki itu Direktur XAM, pasti duitnya banyak.”

“Dasar murahan boikot saja filmnya.”

“Mukanya polos tapi ternyata jalang juga.”

“Kukira berbakat, ternyata....”

“Tutup Laptopnya tidak perlu melihat komentar yang akan membuatmu semakin terjatuh.”

Sang manajer berkata dengan tegas, laki-laki itu bahkan menyita laptop dan juga ponsel Ana.

“Kenapa semuanya jadi begini, Mas, padahal baru kemarin kita tertawa mengira ini jalan keluar terbaik, nyatanya...”

“Ini cobaan yang harus kamu hadapi saat karirmu ada di puncak,” kata Adam lembut.

“Aku... benar-benar dijebak, Mas, aku sedang mencari toilet dan seorang pelayan menunjukkan kamar itu tapi tiba-tiba Rafael yang entah mabuk atau apa memaksaku melayaninya,” kata Ana dengan air mata yang sudah menganak sungai di pipinya.

Adam terdiam mendengar penjelasan Ana, bukannya dia tidak percaya pada Ana, dia tahu Ana adalah orang yang punya integritas, dan tidak akan melakukan hal selicik itu hanya untuk memuluskan kariernya.

“Tenanglah aku akan berusaha menyelidiki semuanya.”

Ponsel Adam tiba-tiba berbunyi, dengan sigap laki-laki itu mengangkat panggilannya dan mukanya terlihat pias setelah menutup panggilan.

“Ada apa, Mas?” tanya Ana.

Melihat raut wajah adam dia tahu kalau berita dari si penelepon bukan hal yang baik.

“Sutradara dan sponsor untuk filmmu memutuskan kontrak,” kata Adam dengan lemah.

Ana menutup mulutnya seolah tak percaya dengan berita itu, tapi Adam tak mungkin berbohong padanya.

“Kenapa kesialan seolah berlomba untuk mendatangi kita, Mas.”

“Jangan berpikiran konyol di saat seperti ini.”

“Bicaralah dengan nenekmu, aku akan berusaha mengatasi semua masalah ini, kamu harus tenang, ok.”

Satu jam kemudian Ana sudah berdiri di depan rumah sederhana yang asri, tempat dia di besarkan. Tempat untuk dia… pulang.

Dia tersenyum saat melihat seorang wanita tua, yang tak lain adalah neneknya sibuk dengan sapu lidi di tangannya. seketika perasaan hangat memeluknya.

“Apa kabarmu, Nak, apa kamu baik-baik saja?” Senyum lebar menghiasi wajah yang sudah keriput itu.

Sejenak Ana terdiam, neneknya memang bukan orang yang hobi menonton acara gosip juga berbicara ngalor ngidul dengan tetangga, hal yang sangat disyukuri oleh Ana.

“Ana baik-baik saja, Nek. Kemarin malam aku menerima penghargaan artis terbaik, aku senang sekali... akhirnya cita-citaku tercapai sudah,” kata Ana berusaha keras menahan tangis.

Kata-kata itu lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Sejak kecil hidupnya tak pernah mudah, kedua orang tuanya meninggal karena sebuah kecelakaan yang membuat Ana harus menjadi yatim piatu, tanpa harta peninggalan sedikit pun sebagai bekal Ana melanjutkan hidup.

Ana ingat neneknya selalu membagi jatah makan siang dari pemilik kebun dengannya dan malamnya mereka harus rela makan singkong rebus.

Sedangkan gaji neneknya dari membantu di kebun tetangga digunakan untuk membiayai sekolah Ana.

Ana tak pernah mengeluh sama sekali dengan kondisi hidupnya, dia selalu tersenyum seolah hidupnya bagai di surga.

Mungkin itu juga yang dilihat orang-orang agensi saat yakin melihat bakat dalam dirinya.

Ana terlalu baik berpura-pura bahkan dalam kehidupan nyatanya.

Sekarang hidupnya jauh lebih baik setelah menjadi artis, begitu juga sang nenek, dan Ana sama sekali tak ingin kembali ke masa itu.

“Syukurlah, Nak nenek benar-benar khawatir padamu, kamu berhak bahagia, Nak,” kata sang nenek dengan lembut.

Ana hanya bisa mengangguk dan tersenyum, dia sudah pernah melalui hidup yang sangat sulit sekali pun bersama sang nenek, jadi dia haru.

Di tempat Lain Rafael langsung membanting koran yang ada di tangannya itu. Dengan langkah lebar dia mengambil telepon ruangan lalu menekan beberapa nomer yang dia hafal di luar kepala.

Bagaimana anak buahnya selalai ini membiarkan semua kekacauan ini menyebar pada semua orang.

Ah! Sial dia akan membunuh siapa saja yang berani menyebarkan ini semua, tidak ada ampun, bagi siapa pun itu.

“Segera ke ruanganku sekarang!” serunya lalu membanting gagang telepon itu dengan kasar.

Laki-laki itu langsung mengacak rambutnya dengan kasar, ini semua karena gadis sialan itu.

“Segera kerahkan anak buahmu dan hapus semua postingan di koran dan dimanapun yang kalian temukan, buat seolah berita ini tak pernah ada!”

Bahkan orang yang dipanggil belum sempat mengucapkan kalimat sapaan, perintah itu langsung dia muntahkan.

“Jangan lupa temukan tikus yang merongrong wilayahku dan beri mereka hukuman dengan keras, aku tidak akan segan-segan membuat hidup kalian kesulitan kalau sampai mereka ada yang lolos.”

Mobil sport mewah itu melaju dengan kecepatan penuh.

“Betapa indahnya dunia ini, sekarang tidak ada lagi yang menjadi saingannya, Bella memang selalu di depan... yuhu...”

Bella mulai bernyanyi dengan riangnya mengikuti musik mengalun dengan merdu.

“Kamu harus tahu, kamu bukan apa-apa dan tidak pantas untuk bersaing denganku,” katanya jumawa.

Bella memandang undangan berwarna gold yang menempati kursi penumpang mobilnya, harusnya Ana lah yang harus menghadiri acara ini sebagai pemenang artis terbaik, tapi skandal yang dia ciptakan membuat para sutradara tak percaya lagi padanya dan tentu saja Bella yang memang runner up, sangat tidak keberatan walau dia bukan pilihan pertama.

Ternyata tidak sia-sia dia membayar orang-orang itu dengan mahal, nyatanya pekerjaan mereka memang memuaskan.

Bella teringat beberapa akun fake yang dia buat, dengan akun itu dia berhasil semakin memperbanyak hater untuk Ana dan tentu saja itu sangat menguntungkannya.

“Ternyata semudah ini menghancurkanmu, dengan satu video panas dan boom... semuanya hancur berantakan haha...”

Bukan tanpa alasan Bella melakukan semua ini, dia memang sudah sangat membenci Ana sedang dulu, gadis miskin yang tidak memiliki apapun tapi berlagak menjadi yang terhebat, Bella bahkan muak saat menatap wajahnya, benar-benar tidak sepadan dengan wajahnya yang biaya perawatannya saja mencapai ratusan juta.

“Mama ingin segera menimang cucu.”

Kalimat itu menjadi malapetaka untuknya. Bella masih ingin menjadi artis, wara-wiri menghiasi layar kaca dan juga bioskop di tanah air, seorang anak hanya akan menghambat karirnya saja.

Hal itu menuntut Bella untuk bertindak sesuatu, Bella tak pernah bisa terima sebuah penolakan, di selalu mendapatkan apapun yang dia inginkan dan jawabnya adalah Ana.

Artis yang saat ini sedang naik daun, bahkan mengalahkan dirinya, tapi Bella lahir untuk menjadi orang yang kalah, dia harus menang.

“Aku sangat kagum dengan Ana, dia cantik dan multitalenta, dia pasti juga bisa menjadi ibu pengganti yang baik, nanti kita bisa membayarnya seperti yang dia mau,” kata Bella, berusaha mempengaruhi suaminya.

Dengan kekuasaan suaminya, dia yakin Ana akan menuruti semua keinginannya, satu cara itu bisa menyelesaikan semua permasalahannya, dia tidak lagi diteror untuk melahirkan anak, dan juga saingannya di dunia entertain itu akan hilang.

Namun tak disangka, aktris pendatang baru itu tidak berhasil dibujuk oleh suaminya yang sangat berkuasa. Bella tak memikirkan jalan lain, selain menggunakan cara terakhir: menggunakan obat perangsang.

Dia akan merelakan suaminya tidur bersama wanita lain, bukankah dia sangat dermawan sekali.

Bukan hal sulit bagi Bella untuk melakukannya, dia punya uang dan kekuasaan.

Bahkan jika nantinya dia akan sedih atau pun sakit hati melihat cara ini berhasil, dia tak peduli, yang penting dia bisa sukses dan suaminya pasti akan tetap mencintainya.

**

Ponsel Adam berdering nyaring, dipandangnya ponsel itu sejenak, seolah meyakinkan dirinya sendiri, perlahan mengangkat panggilan itu dan menempelkan benda itu di telinganya, beberapa saat dia mendengarkan lalu tersenyum pada Ana.

“Aku sudah menemukan solusi untuk masalah ini.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Indah pada Waktunya

    “Jangan cepat-cepat jalannya, asistenku sudah mengurus semuanya.” Sofi tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, jika ada orang yang mengatakan hal ini satu tahun yang lalu Sofi pasti langsung mengatakan orang itu sedang mabuk. Operasi tangannya emang berhasil dengan baik, dia bisa bermain biola lagi dengan baik, beberapa event baik di dalam dan di luar negeri telah dia ikuti, seperti impiannya. Dan bagi Sofi itu sudah cukup, bahkan tidak ada penyesalan di hatinya saat tiga bulan yang lalu dia memutuskan pansiun dini dan hanya akan menerima permintaan bermain biola saat event itu tak jauh dari kediaman mereka. Dia memang memutuskan memberi kesempatan pada dirinya dan Romeo untuk bisa bersama. Laki-laki itu memang telah membuktikan ucapannya, perhatian yang Sofi inginkaan dari sang suami sekarang bukan hanya impian, bahkan Romeo sangat protektif padanya, apalagi sejak sebulan yang lalu Sofi dinyatakan hamil. Laki-laki itu bahkan mekad menyetir dari Bandung setelah syuti

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Kesempatan

    “Kamu apa kabar?” Deg. Rasanya seperti mimpi mereka jalan berdua melintasi pematang sawah dan Romeo berbicara lembut padanya. Ingat ya lembut bukan kasar seperti biasanya dan tanpa senyum sinis yang menghiasi bibirnya. Ah mungkin karena Ara sudah menjelaskan semuanya dan hubungan mereka toh akan berakhir setelah dia menandatangani surat cerai itu. “Ehm ba.. baik.” Sofi merutuki dirinya sendiri kenapa harus gagap sih. Mereka kembali diam menyusuri pematang sawah sambil sesekali Sofi membantu Romeo yang hampir jatuh karena tak biasa berjalan di sawah, sebelum sampai ke rumah orang tua Sofi Romeo mencekap tangan sang istri lalu berkata. “Kita harus bicara.” Inilah saatnya. Sofi mengangguk. “Iya, tapi ibu sudah memanggil, makanlah dulu meski menunya mungkin tak sesuai seleramu.” Sejujurnya Sofi belum siap mendengar kata cerai dari mulut Romeo, dia sudah berusaha menguatkan hati sejak kembali ke rumah orang tuanya tapi saat berhadapan dengan Romeo langsung nyalinya menjadi ciut.

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Kunjungan

    Sudah satu bulan Sofi tinggal di rumah orang tuanya. Kota kecil yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Dan Sofi merasa hidupnya lebih tentram dan damai meski rasa rindu pada sosok sang suami yang tak pernah mengharapkannya kian meninggi. Romeo sudah sadar dan sudah kembali beraktifitas. Dari mana Sofi tahu tentu saja mama mertunya yang setiap hari menghubunginya, dan mengatakan kabar Romeo pada Sofi, beliau bukannya tidak meminta Sofi untuk kembali tapi dengan halus Sofi menolak apalagi saat infoteiment mengabarkan kalau Ara sudah ditemukan dan beberapa kali Ara juga terlihat bersama Romeo. Sofi ikut bahagia jika mereka bersama, bukankah itu yang seharusnya terjadi, sejak awal dia hanya orang luar yang sama sekali tidak diharapkan kehadirannya, meski tak bisa dipungkiri hatinya begitu sakit. Dia hanya harus lebih menguatkan hati jika sewaktu-waktu menerima kiriman surat cerai dari Romeo. “Bagaimana persiapan penampilan anak-anak bu Sofi... b

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Pergi

    Hal pertama yang dilihat Sofi saat membuka mata adalah semua putih dan bau tajam obat-obatan menusuk hidungnya. “Kamu sudah sadar, Nak?” Sofi menoleh dan mendapati mama Ara ada di sana, Sofi berusaha bangun tapi saat tak sengaja dia bertumpu pada tangannya dia mengernyit kesakitan. “Hati-hati tanganmu terluka parah.” Sofi ingat tusukan itu dan darah yang merembes keluar, begitu deras bercampur dengan ... darah Romeo. “Romeo bagaimana dia tante?” tanya Sofi begitu ingat kejadian malam itu, Romeo yang tak bergerak meski dia berteriak memanggil namanya. “Dia baik-baik saja kan?” “Tenanglah, dia sudah ditangani dokter, sekarang operasinya masih berlangsung,” kata wanita itu dengan senyum menenangkan. “Dimana?” Mama Ara langsung menggeleng dan menatap luka di tangan Sofi. Sofi mengikuti pandangan itu dan tangannya berdenyut begitu sakit sampai dia menyadari sesuatu... tapi sebelum dia bertanya pintu ruangan terbuka dan beberapa orang berpakaian dokter melangkah masuk. “Apa yang terj

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Awas

    Ternyata ke pesta bersama Romeo tak sehoror yang Sofi bayangkan. Paling tidak laki-laki itu memperlakukannya dengan baik meski Sofi tahu kalau itu hanya pencitraan saja. Yup tentu saja Romeo sang bintang yang tengah bersinar tidak akan sudi kalau nama baiknya akan tercemar lagi, apalagi perusahaan papanya juga pasti terkena dampaknya. “Jangan salah paham aku hanya tidak ingin nama baikku dan keluargaku hancur.” Tuhkan benar dugaan Sofi. Saat ini mereka memang sudah kembali berkendara meninggalkan pesta, dengan Romeo sendiri yang menyetir mobilnya, tanpa didampingi asisten atau bodyguard seperti b iasanya. Hal yang tadi sempat menjadi perdebatan dengan orang tua laki-laki itu di telepon. Sofi baru menyadari kalau menjadi orang kaya itu tidak selalu menyenangkan, bayangkan saja kalau hanya ingin pergi sebentar harus dikawal beberapa orang. Hah! “Aku tahu,” jawab Sofi sambil menunduk menatap kuku jarinya yang entah kenapa jadi lebih menarik. Tak dipungkiri ada sedikit rasa bahag

  • Istri Tak Dianggap   Sesi 2: Puas

    “Siapkan dirimu untuk menghadiri undangan ini besok.” Sofi menatap kertas undangan mewah yang dilemparkan Romeo padanya, dia baru saja mandi dan akan naik ke tempat tidur saat tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok Romeo masuk tanpa perlu repot-repot mengetuk pintu atau mengucap salam. Untung saja aku tidak sedang ganti baju, batin Sofi. Status mereka memang suami istri tapi Sofi seperti masih berada di kamar kosnya yang dulu, serba tak peduli. “Apa aku harus ikut?” tanya Sofi nekad saar Romeo sudah membalikkan badannya, bukan apa-apa sih dia sangat mau memang untuk mendampingi laki-laki itu ke sebuah pesta, tapi masalahnya Romeo terlihat sangat membencinya, dan terlihat tak sudi bercakap-cakap dengannya bisa mati gaya dia datang terus dicuekin semua orang. “Mama yang minta,” kata Romeo seolah menjelaskan segalanya. “Apa beliau juga datang?” Mata Romeo langsung menyipit curiga membuat Sofi kesal. Segitunya dia hanya memastikan nanti ada orang yang dia kenal. “Aku tidak tah

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status