"Kak Adinda masih punya waktu untuk kabur dari pernikahan ini."
Ucapan sang adik angkat membuat Adinda yang kini sudah dalam balutan kebaya putih--terkejut.
Berbeda dari ibu angkatnya yang terang-terangan memaksa pernikahan ini, ayah dan adik angkatnya memang menentang keras.
Sayangnya, wanita paruh baya itu lebih berkuasa dibandingkan mereka.
Sang ibu angkat bahkan kerap kali mengancam ayah mereka yang sedang dalam keadaan lumpuh.
Jadi, di sinilah Adinda memilih pasrah akan takdirnya: menjadi istri dari ayah sahabatnya sendiri--seperti novel-novel yang dibaca oleh Zira.
"Kamu bicara apa, dek?" balas Adinda sembari tersenyum tenang.
"Kakak pergi saja. Biar aku yang gantiin Kakak jadi pengantin Tuan Dimas."
Adinda menggeleng cepat. Dia tak mungkin membiarkan Zira mengorbankan dirinya.
Gadis itu jauh lebih muda darinya dan masih memiliki kesempatan meraih cita-cita.
Terlebih, ibu angkatnya pasti akan mengamuk. Adinda bahkan masih teringat bentakannya pada hari itu, "Ingat, Adinda! Kau adalah anak yang diambil dari tempat sampah dan dipungut oleh suamiku. Dia bahkan sampai harus menggunakan kursi roda karena mencari uang kuliahmu.”
"Kakak, cuman mau kamu terus menyayangi Kakak seperti ini. Itu sudah cukup," ucap Adinda pada akhirnya.
Ditangkupnya wajah sang adik yang kini tampak menahan tangis.
Brak!
Sayangnya ... adegan hangat antara sepasang kakak beradik itu terhenti kala pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Kinara, sang ibu angkat, tampak di sana dengan wajah mengerut kesal. "Zira? Kenapa kamu di sini?” ucapnya langsung.“Ibu, aku–”“Tolong kau pergi, Nak!" potong Kinara cepat. Ia khawatir putrinya itu menghasut Adinda untuk melarikan diri.Zira hendak melawan sang ibu. Namun, Adinda langsung memberikan kode padanya agar tak melawan.Sembari mengepalkan tangan, Zira pun terpaksa pergi.Tak lama, pintu pun kembali tertutup.Adinda sontak menunduk, tak berani menatap wajah sang ibu angkat.“Dinda, kau tahu konsekuensi jika pernikahan ini batal, ‘kan?” ucap Kinara cepat, “jadi, jangan macam-macam. Sekarang, pasang senyumanmu karena pernikahan akan segera dilangsungkan.”Tanpa menunggu jawaban, wanita itu pun menarik lengan Adinda dengan kasar.Kemudian, Kinara membawanya pada calon pengantin pria yang sudah menunggu di tempat yang sudah disediakan.Sembari menunduk, Adinda menahan air mata agar tak jatuh dari matanya.Dia tak berani menatap Tuan Dimas yang mulai mengucapkan sumpah pernikahan.Tepuk tangan hadirin lah yang menyadarkan Adinda bahwa dirinya telah resmi menjadi istri dari seorang Dimas Hermawan—pria berusia 37 tahun dan ayah dari sahabatnya sendiri!****"Kau gila, Dinda! Aku tak menyangka kau malah setuju menikah dengan pria yang usianya jauh di atasmu! Kau tahu ‘kan kalau dia itu Papiku! Aku juga selalu mengatakan bahwa aku ingin papi dan mamiku rujuk?"Deg!Adinda yang baru sampai di kediaman keluarga ‘suaminya’ itu langsung disambut perlakuan kasar dari Moza Hermawan, sang sahabat.Tidak ada lagi perlakuan manis darinya. Yang ada hanyalah tatapan sinis.
Tampak jelas perasaan benci itu kini sudah membara dalam diri perempuan berusia 20 tahun itu.“Moza, aku–”"Ck! Aku tak menyangka kau perempuan gampangan, Dinda. Aku benar-benar menyesal pernah mengenalmu!" sergah Moza cepat.Adinda sontak menahan tangis.Bagaimana dia bisa menjelaskan pada Moza bahwa dirinya tak memiliki kuasa untuk menolak jika sahabatnya itu tak mau mendengarnya?"Kau pikir, setelah menikah dengan Papiku, kau bisa hidup enak? Begitu? Jangan mimpi!" makinya lagi.Bugh!Moza langsung mendorong tubuh Adinda, hingga terbentur sudut meja.
"Arrgh," erang Adinda menahan sakit. Dahi perempuan itu bahkan membiru.
Bukannya kasihan, Moza malah tertawa terbahak-bahak melihat penderitaan Adinda. "Rasakan itu! Dasar kamu--"
"Ada apa ini?"
Suara dalam yang mendadak terdengar itu membuat Moza membeku, sedangkan Adinda menoleh dan terkejut.
"Tu-Tuan Dimas?"
Mendengar itu, Moza sontak berbalik. "Papi?" paniknya."Apa yang kamu lakukan di sini, Moza?" tanya Dimas."A--aku," ucap Moza sembari memikirkan kebohongan pada ayahnya ini.Tak mungkin, ia bilang bahwa dirinya baru saja menyakiti perempuan yang dinikahi sang papi, kan?Bisa-bisa, Dimas akan berpikir dirinya begitu kejam."Aku hanya ingin menyapa 'ibu' baruku," lanjutnya pada akhirnya, "tapi, dia tak sengaja terpleset."Ada keheningan di sana.Namun, Dimas akhirnya mengangguk, menerima alasan sang putri.Melihat itu, kekhawatiran Moza sirna.Dia pun menyembunyikan senyumnya. "Kalau gitu, Moza pergi dulu, ya, Pi," ucapnya berlalu.Namun sebelum benar-benar pergi, ia mendekati sahabat yang sudah jadi istrinya ayah itu sebentar. "Adinda, kupastikan mulai hari ini kehidupanmu akan seperti di neraka karena tetap memilih jadi istri ayahku!" desisnya pelan--meninggalkan Adinda yang menahan gemetar di tubuhnya.‘Apakah ini benar-benar Moza yang dulu menjadi sahabat baiknya?’ batin Adinda ped
Di sisi lain, Dimas masih terus saja memikirkan tindakan Adinda padanya tadi.“Sial!” lirihnya.Pria itu benar-benar bingung mengapa sang ibu memilih perempuan macam Adinda.Meski sudah nyaris berkepala empat, tetapi banyak perempuan yang mengejar Dimas dan rela melemparkan tubuh mereka di ranjangnya.Sayangnya, Dimas tak pernah tertarik.Dia masih mencintai mantan istrinya dan ingin kembali dengan ibu dari Moza itu.Dulu, pernikahan mereka terjadi saat Dimas dan Megan masih sangat belia, yakni saat usia 17 tahun. Hal itu karena Megan terlanjur mengandung Moza. Dimas pun mencoba bertanggung jawab. Sayangnya, Megan justru meninggalkannya setelah melahirkan–demi mengejar karir di luar negeri.Tahun lalu, mantan istrinya itu kembali dan meminta maaf.Keduanya nyaris bersatu. Hanya saja, sang ibu selalu mencegahnya.Namun, begitu ditanyai alasannya, Laras selalu menolak memberi tahu. Bahkan, bawahannya tak berhasil menyelidiki alasan sang ibu.Puncak frustasi Dimas adalah ia harus menik
Adinda terkejut dengan pernyataan yang terlontar dari Dimas. Dirinya semakin melangkah mundur, karena saking tergesa-gesanya, Dinda melupakan bahwa dirinya masih menggunakan gaun pengantin, sehingga kakinya terpeleset dan Dinda memegang lengan Dimas, sehingga keduanya terjatuh bersamaan di ranjang.Bugh!“Sepertinya, kau terlalu terburu-buru, Nona,” ucap Dimas yang posisinya sudah berada di atas Adinda.“Menyingkirlah! Atau akan kupukul!” jerit Adinda marah.Namun, bukannya menyingkir, Dimas justru menaikkan tubuh Dinda ke tengah kasur. Dirinya masih mengukung tubuh kecil Adinda. Dimas tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, perlahan-lahan tangannya beralih ke bahu Dinda yang terlihat gemetar ketakutan ketika Dimas mulai menurunkan tali tipis gaunnya yang berada di bahu Dinda.Dinda hanya mampu menggeliat resah, saat gaun yang dikenakannya meluncur turun dari balik bahu, tubuhnya lemah tidak bertenaga hingga tak mampu berbuat apapun. Bahkan saat lengan kekar itu mengurung tubuhn
Adinda menutup mata. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa takut.‘Apakah kali ini aku tak bisa menghindar lagi?’ batinnya panik.Hanya saja, tidak ada pergerakan apapun setelahnya.Adinda lantas membuka kembali matanya.Dilihatnya Dimas yang masih tersenyum miring.“Anda–”“Kau begitu ingin kusentuh?” ucap pria itu, “sayangnya, aku tidak selera dengan penampilanmu saat ini. Sepertinya, butuh waktu untuk mengubahnya.”Adinda jelas kesal. Namun, belum sempat dia melawan, Dimas sudah menarik lengannya. “Ikut aku!" perintah pria itu.Tanpa basa-basi, tubuh Adinda yang kurus itu pun harus mengikuti langkah kaki Dimas yang cepat. Bahkan, dia nyaris beberapa kali hampir jatuh.Untungnya, tak butuh waktu lama, Adinda pun sudah berada di dalam mobil. Tanpa keduanya sadari, Laras menyaksikan apa yang terjadi pada Adinda dari kamarnya di lantai dua."Megan, kau kalah. Adinda adalah wanita yang seimbang dengan Dimas. Anakku itu pasti akan tunduk padanya cepat atau lambat,” ucap wanita tua itu la
Di sisi lain, Adinda yang kini sudah berada di kamarnya pun duduk di lantai.Sepatu hak tingginya diletakkan asal di sampingnya.Matanya menatap kakinya yang sedikit lecet dan itu wajar, mengingat dia berjalan kaki dengan sangat jauh.Saat dia sedang larut dalam pikirannya tiba-tiba pintu pun terbuka menampakkan seorang pria di sana.Dimas baru saja sampai di rumah.Pria itu tersenyum sinis saat melihat wajah Adinda yang hanya melihat dirinya yang melangkah masuk."Dasar lelaki tidak punya hati," gumam Adinda.Tapi Dimas pun memilih untuk tidak perduli pada Adinda, meskipun tahu wanita itu sedang kelelahan setelah berjalan kaki dengan jarak yang sangat jauh.Sesaat kemudian Dimas pun kembali pergi dengan tangannya memegang berkas untuk dia bawa.Adinda menyimpulkan bahwa pria itu pulang ke rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal.Untuk memikirkan sesuatu tentang Dimas sepertinya tak akan ada habisnya. Sehingga, dia pun memilih untuk menepikan sejenak pikirannya dan mencari kebera
"Siapa yang membuat kopi ini?" tanya Gilang sambil menunjuk gelas di hadapannya.Setelah membuat kopi, Kiara dan Adinda memang kembali menghadap pria itu."Saya, Pak." Adinda pun menjawab sambil memegang secangkir kopi yang baru saja dia buat lagi seperti yang diperintahkan oleh Dimas sebelumnya."Kalau begitu, hanya kau saja yang masuk," kata Gilang pada Adinda.Perempuan itu terdiam. Sejenak, Adinda melihat Kiara yang berdiri di sampingnya."Aku tunggu di sini aja." Kiara pun memohon pada Adinda. Sungguh, dia sangat tak ingin masuk ke ruangan Dimas lagi.Adinda menghela napas. Dia pun mengangguk setuju saat Gilang mempersilahkan masuk dia pun melangkahkan kakinya.Sedangkan tatapan mata Dimas yang mengarah padanya begitu tajam.Pria itu duduk di kursi kebesarannya sambil tersenyum miring pada Adinda yang kini perlahan meletakkan secangkir kopi buatannya di atas meja.Dimas pun menatap kopi tersebut kemudian kembali menatap Adinda."Siapa yang menyuruhmu meletakkan kopi itu pada mej
"Minum!" titah Adinda dengan tatapan matanya yang berapi-api.Apa yang dilakukan oleh Dimas sangat tidak manusiawi dan Adinda bukan wanita lemah yang bisa dijadikan budak dengan sesukanya.Ingat pagi tadi juga Dimas sudah membuatnya berjalan kaki sejauh tiga kilometer.Membuat kakinya lecet dan terasa nyeri.Lantas sekarang pria itu lagi-lagi berulah dan itu sudah sampai pada batas kesabaran Adinda yang hanya manusia biasa."Semua ada batasnya. Dan, anda sudah terlalu jauh melewati batas itu!" papar Adinda.Dimas pun tak tinggal diam dia mencengkram tangan Adinda yang berani memegang rahangnya.Akan tetapi saat itu kaki Adinda langsung bergerak cepat dengan mendorong kursi yang masih di duduki oleh Dimas.Kursi tersebut pun berputar dan membuat cengkraman Dimas pun terlepas.Meskipun kaki Adinda terasa sakit tapi dia tidak perduli lagi.Baginya pelajaran berharga untuk membuat Dimas mengerti jauh lebih penting.Dan Adinda pun akhirnya dengan cepat memutar kedua tangan Dimas ke belakan
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen