Share

Bab 2

Mendengar itu, Moza sontak berbalik. "Papi?" paniknya.

"Apa yang kamu lakukan di sini, Moza?" tanya Dimas.

"A--aku," ucap Moza sembari memikirkan kebohongan pada ayahnya ini.

Tak mungkin, ia bilang bahwa dirinya baru saja menyakiti perempuan yang dinikahi sang papi, kan?

Bisa-bisa, Dimas akan berpikir dirinya begitu kejam.

"Aku hanya ingin menyapa 'ibu' baruku," lanjutnya pada akhirnya, "tapi, dia tak sengaja terpleset."

Ada keheningan di sana.

Namun, Dimas akhirnya mengangguk, menerima alasan sang putri.

Melihat itu, kekhawatiran Moza sirna.

Dia pun menyembunyikan senyumnya. "Kalau gitu, Moza pergi dulu, ya, Pi," ucapnya berlalu.

Namun sebelum benar-benar pergi, ia mendekati sahabat yang sudah jadi istrinya ayah itu sebentar. "Adinda, kupastikan mulai hari ini kehidupanmu akan seperti di neraka karena tetap memilih jadi istri ayahku!" desisnya pelan--meninggalkan Adinda yang menahan gemetar di tubuhnya.

‘Apakah ini benar-benar Moza yang dulu menjadi sahabat baiknya?’ batin Adinda pedih.

Perasaan dan juga tubuhnya benar-benar sakit.

Hanya saja, Adinda tak bisa melakukan apapun, selain memikirkan persahabatannya yang hancur saat ini.

“Demi uang, kamu rela membuat dirimu serendah ini?" Suara berat sang suami tiba-tiba menyadarkan Adinda dari lamunannya.

"Tu-tuan Dimas?” ucapnya sembari memperhatikan pria itu.

Seketika, Adinda sadar bahwa Dimas begitu tinggi dengan tubuh tegap dan bahu yang lebar.

Tatapan matanya juga tajam, seolah siap mencabik-cabik mangsanya.

"Puas melihatku?" ucap Dimas mendadak.

Jarak keduanya mendadak begitu dekat, hingga Adinda menahan napas.

"Saya tahu bagi wanita miskin sepertimu, harga diri tidak begitu penting." 

"Hanya saja, mengapa kamu rela menikahi pria yang jauh lebih tua darimu?" cecar pria tampan itu lagi, "bahkan ayah temanmu sendiri."

Jantung Adinda mencelos.

Meski sakit hati, ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan pria yang angkuh ini, senyuman yang diberikannya pun ia buat dengan terpaksa.

"Saya, memang orang miskin, Tuan Dimas yang terhormat. Tapi, tidak ada hak anda untuk menghina saya!" tegas Adinda.

Sejak kecil, perempuan itu dibesarkan begitu keras oleh sang Ayah angkat.

Ia tidak melawan Kinara karena utang budi dan rasa hormat pada wanita itu.

Bahkan, dengan kebaikan serta pertolongan yang selalu diberikan Moza kepada Adinda, tidak membuatnya kehilangan rasa terima kasih.

Namun, untuk Dimas? Tidak ada alasan sama sekali untuk dirinya takut!

Bukankah kedudukan suami istri setara di dalam pernikahan?

Di sisi lain, senyum miring tersungging di wajah Dimas. "Ternyata, kau punya nyali juga, ya" ejek pria tampan itu.

"Anda dan saya, sama-sama manusia, kecuali Anda hewan buas yang memiliki empat kaki. Mungkin, saya takut," papar Adinda tenang.

"Kau!" Dimas naik pitam. "Berani sekali, kau menyamakanku dengan hewan!"

Adinda menggeleng cepat. "Tidak. Aku tidak berkata demikian. Justru, Anda yang mengatakannya barusan," jawabnya menahan senyum.

"Kau benar-benar wanita tidak tahu bagaimana caranya sopan santun! Bagaimana bisa Ibuku memintaku untuk menikahi wanita sepertimu!"

"Biasanya, seorang Ibu melakukan sesuatu yang terbaik untuk anaknya. Mungkin, Ibu menganggapku adalah wanita yang baik," jawab Adinda lagi.

"Lancang sekali, Kau!”

Dikuasai emosi, Dimas tanpa sadar mengangkat tangannya.

Dia sendiri terkejut dan tak menyangka akan melawan perempuan.

Dengan cepat, tangan pria itu ditangkapnya sebelum mendarat di pipi Adinda.

Untungnya, Adinda belajar bela diri sejak kecil.

Kini keduanya pun saling menatap dengan tajam.

"Jangan pernah kasar padaku karena aku juga bisa lebih kasar padamu!" tegas Adinda.

Dimas sontak mengendalikan diri. Dihempaskan tangan Adinda, lalu berkata, "Kau berani mengancamku?"

"Apa perlu aku menjawabnya lagi?" tantang Adinda balik, "pernikahan kita memang dadakan, tapi yang terpaksa bukan hanya Anda. Saya juga!”

“Jadi, jaga sikap Anda, Tuan Dimas terhormat!"

Mendengar itu, pria 37 tahun itu menahan keterkejutannya lagi.

Dimas tak menyangka jika Adinda tidak selemah yang dipikirkannya.

Wanita ini mampu mengimbangi dirinya.

Dimas sontak tersenyum miring. "Luar biasa! Baru kau wanita yang berani berbicara lancang padaku!" ejeknya.

Namun, Adinda tetap tenang. "Terima kasih, Tuan sudah mengakui kehebatanku,” ucapnya seolah ucapan Dimas adalah pujian.

"Ck! Kau benar-benar menguji kesabaranku!" Dimas pun menarik lengan Adinda dan melemparkannya pada ranjang.

Sayangnya, Adinda malah tertawa sinis.

Dia merasa lucu karena seorang pria seperti Dimas ternyata bisa melakukan kekerasan pada wanita.

Seingatnya, Moza selalu membicarakan sang ayah sebagai pria gentleman. Apakah sahabatnya itu salah mengira?

Sementara itu, Dimas tampak heran dengan reaksi yang ditujukan oleh Adinda.

"Apa wanita ini sudah gila?" gumamnya tanpa sadar.

Mendengar itu, Adinda langsung menjawab, "Aku masih waras. Hanya saja, aku merasa lucu."

"Ternyata, pria yang dipuja-puja di luar sana seperti Tuan Dimas, bisa melakukan kekerasan terhadap wanita!” tambahnya, “mereka pasti akan menyesal mengidolakan orang macam Anda.”

Adinda lalu bangkit dari atas ranjang dan kini berdiri saling berhadapan dengan Dimas.

Cukup lama keduanya bertukar pandang, sampai Dimas akhirnya memilih pergi.

Rasanya, pria itu tak tahan menghadapi istri kecilnya yang lancang luar biasa!

Terlebih, Dimas dapat mendengar Adinda kembali tertawa tak lama setelahnya.

“Dasar perempuan aneh!” ucapnya dalam hati dan menuju ruang kerjanya secepat mungkin.

Di sisi lain, Adinda terdiam.

Dia menahan degup jantungnya.

Luar biasa! Dia baru saja melawan suaminya sendiri ... dan ayah temannya.

Sudah kehilangan sahabat, Tuan Dimas pun tak menganggapnya.

Mendadak, Adinda teringat pada sang kekasih.

Bagaimana cara menjelaskan pernikahan dadakannya ini pada sang kekasih?

Jika bukan demi keluarga, dia jelas tak akan pertahankan pernikahan ini!

"Saya tahu ini berat bagimu."

Mendengar suara perempuan yang cukup familier dari belakang, Adinda sontak tersadar dari lamunan.

"Nyonya Laras ...," sapa Adinda sembari perlahan bangkit, menyadari yang bicara dengannya adalah ibu dari Dimas ... sekaligus ibu mertuanya sendiri.

Laras menggeleng kala mendengar panggilan Adinda padanya. "Jangan panggil saya Nyonya. Sekarang, saya juga ibumu."

Adinda memaksakan senyuman tipis, tapi dia tidak membalas atau membenarkan panggilannya. Dia masih merasa canggung.

Melihat hal itu, Laras meraih tangan Adinda dan menepuk punggung tangannya pelan. "Apa pun yang dikatakan Dimas dan juga cucuku, aku harap kamu membuat

Dimas jatuh hati padamu dan tidak membiarkan perempuan lain merebutnya." Wajahnya serius. "Termasuk ibu Moza sekalipun."

Adinda mengerutkan kening, bingung kala melihat tatapan tak suka Laras saat menyebut ibu Moza.

Sayangnya, belum sempat bertanya lebih lanjut, Laras sudah menepuk bahunya lembut dan meninggalkan kamar itu.

Adinda pun bergumam lirih, "Sebenarnya, ada apa ini ...?"

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Tety Vivo
Agak gak masuk akal dengan usia sang pria...masak usia nya 37 tahun sudah punya putri usia 20 tahun, berarti nikah diusia 17 tahun si pak dimas...Hehhee
goodnovel comment avatar
Riska Niawati Lature
senang dgn alur ceritanya...
goodnovel comment avatar
Ipak Munthe
hai Kakak, ketemu lagi, hehehe
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status