Mendengar itu, Moza sontak berbalik. "Papi?" paniknya.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Moza?" tanya Dimas.
"A--aku," ucap Moza sembari memikirkan kebohongan pada ayahnya ini.
Tak mungkin, ia bilang bahwa dirinya baru saja menyakiti perempuan yang dinikahi sang papi, kan?
Bisa-bisa, Dimas akan berpikir dirinya begitu kejam.
"Aku hanya ingin menyapa 'ibu' baruku," lanjutnya pada akhirnya, "tapi, dia tak sengaja terpleset."
Ada keheningan di sana.
Namun, Dimas akhirnya mengangguk, menerima alasan sang putri.
Melihat itu, kekhawatiran Moza sirna.
Dia pun menyembunyikan senyumnya. "Kalau gitu, Moza pergi dulu, ya, Pi," ucapnya berlalu.
Namun sebelum benar-benar pergi, ia mendekati sahabat yang sudah jadi istrinya ayah itu sebentar. "Adinda, kupastikan mulai hari ini kehidupanmu akan seperti di neraka karena tetap memilih jadi istri ayahku!" desisnya pelan--meninggalkan Adinda yang menahan gemetar di tubuhnya.
‘Apakah ini benar-benar Moza yang dulu menjadi sahabat baiknya?’ batin Adinda pedih.
Perasaan dan juga tubuhnya benar-benar sakit.Hanya saja, Adinda tak bisa melakukan apapun, selain memikirkan persahabatannya yang hancur saat ini.“Demi uang, kamu rela membuat dirimu serendah ini?" Suara berat sang suami tiba-tiba menyadarkan Adinda dari lamunannya.
"Tu-tuan Dimas?” ucapnya sembari memperhatikan pria itu.
Seketika, Adinda sadar bahwa Dimas begitu tinggi dengan tubuh tegap dan bahu yang lebar.Tatapan matanya juga tajam, seolah siap mencabik-cabik mangsanya."Puas melihatku?" ucap Dimas mendadak.Jarak keduanya mendadak begitu dekat, hingga Adinda menahan napas.
"Saya tahu bagi wanita miskin sepertimu, harga diri tidak begitu penting.""Hanya saja, mengapa kamu rela menikahi pria yang jauh lebih tua darimu?" cecar pria tampan itu lagi, "bahkan ayah temanmu sendiri."
Jantung Adinda mencelos.Meski sakit hati, ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan pria yang angkuh ini, senyuman yang diberikannya pun ia buat dengan terpaksa."Saya, memang orang miskin, Tuan Dimas yang terhormat. Tapi, tidak ada hak anda untuk menghina saya!" tegas Adinda.Sejak kecil, perempuan itu dibesarkan begitu keras oleh sang Ayah angkat.Ia tidak melawan Kinara karena utang budi dan rasa hormat pada wanita itu.Bahkan, dengan kebaikan serta pertolongan yang selalu diberikan Moza kepada Adinda, tidak membuatnya kehilangan rasa terima kasih.Namun, untuk Dimas? Tidak ada alasan sama sekali untuk dirinya takut!Bukankah kedudukan suami istri setara di dalam pernikahan?Di sisi lain, senyum miring tersungging di wajah Dimas. "Ternyata, kau punya nyali juga, ya" ejek pria tampan itu."Anda dan saya, sama-sama manusia, kecuali Anda hewan buas yang memiliki empat kaki. Mungkin, saya takut," papar Adinda tenang."Kau!" Dimas naik pitam. "Berani sekali, kau menyamakanku dengan hewan!"Adinda menggeleng cepat. "Tidak. Aku tidak berkata demikian. Justru, Anda yang mengatakannya barusan," jawabnya menahan senyum."Kau benar-benar wanita tidak tahu bagaimana caranya sopan santun! Bagaimana bisa Ibuku memintaku untuk menikahi wanita sepertimu!""Biasanya, seorang Ibu melakukan sesuatu yang terbaik untuk anaknya. Mungkin, Ibu menganggapku adalah wanita yang baik," jawab Adinda lagi."Lancang sekali, Kau!”Dikuasai emosi, Dimas tanpa sadar mengangkat tangannya.Dia sendiri terkejut dan tak menyangka akan melawan perempuan.Dengan cepat, tangan pria itu ditangkapnya sebelum mendarat di pipi Adinda.Untungnya, Adinda belajar bela diri sejak kecil.Kini keduanya pun saling menatap dengan tajam."Jangan pernah kasar padaku karena aku juga bisa lebih kasar padamu!" tegas Adinda.Dimas sontak mengendalikan diri. Dihempaskan tangan Adinda, lalu berkata, "Kau berani mengancamku?""Apa perlu aku menjawabnya lagi?" tantang Adinda balik, "pernikahan kita memang dadakan, tapi yang terpaksa bukan hanya Anda. Saya juga!”“Jadi, jaga sikap Anda, Tuan Dimas terhormat!"Mendengar itu, pria 37 tahun itu menahan keterkejutannya lagi.Dimas tak menyangka jika Adinda tidak selemah yang dipikirkannya.Wanita ini mampu mengimbangi dirinya.Dimas sontak tersenyum miring. "Luar biasa! Baru kau wanita yang berani berbicara lancang padaku!" ejeknya.Namun, Adinda tetap tenang. "Terima kasih, Tuan sudah mengakui kehebatanku,” ucapnya seolah ucapan Dimas adalah pujian."Ck! Kau benar-benar menguji kesabaranku!" Dimas pun menarik lengan Adinda dan melemparkannya pada ranjang.Sayangnya, Adinda malah tertawa sinis.Dia merasa lucu karena seorang pria seperti Dimas ternyata bisa melakukan kekerasan pada wanita.Seingatnya, Moza selalu membicarakan sang ayah sebagai pria gentleman. Apakah sahabatnya itu salah mengira?Sementara itu, Dimas tampak heran dengan reaksi yang ditujukan oleh Adinda."Apa wanita ini sudah gila?" gumamnya tanpa sadar.Mendengar itu, Adinda langsung menjawab, "Aku masih waras. Hanya saja, aku merasa lucu.""Ternyata, pria yang dipuja-puja di luar sana seperti Tuan Dimas, bisa melakukan kekerasan terhadap wanita!” tambahnya, “mereka pasti akan menyesal mengidolakan orang macam Anda.”Adinda lalu bangkit dari atas ranjang dan kini berdiri saling berhadapan dengan Dimas.Cukup lama keduanya bertukar pandang, sampai Dimas akhirnya memilih pergi.Rasanya, pria itu tak tahan menghadapi istri kecilnya yang lancang luar biasa!Terlebih, Dimas dapat mendengar Adinda kembali tertawa tak lama setelahnya.“Dasar perempuan aneh!” ucapnya dalam hati dan menuju ruang kerjanya secepat mungkin.Di sisi lain, Adinda terdiam.
Dia menahan degup jantungnya.
Luar biasa! Dia baru saja melawan suaminya sendiri ... dan ayah temannya.
Sudah kehilangan sahabat, Tuan Dimas pun tak menganggapnya.
Mendadak, Adinda teringat pada sang kekasih.
Bagaimana cara menjelaskan pernikahan dadakannya ini pada sang kekasih?
Jika bukan demi keluarga, dia jelas tak akan pertahankan pernikahan ini!
"Saya tahu ini berat bagimu."
Mendengar suara perempuan yang cukup familier dari belakang, Adinda sontak tersadar dari lamunan.
"Nyonya Laras ...," sapa Adinda sembari perlahan bangkit, menyadari yang bicara dengannya adalah ibu dari Dimas ... sekaligus ibu mertuanya sendiri.
Laras menggeleng kala mendengar panggilan Adinda padanya. "Jangan panggil saya Nyonya. Sekarang, saya juga ibumu."
Adinda memaksakan senyuman tipis, tapi dia tidak membalas atau membenarkan panggilannya. Dia masih merasa canggung.
Melihat hal itu, Laras meraih tangan Adinda dan menepuk punggung tangannya pelan. "Apa pun yang dikatakan Dimas dan juga cucuku, aku harap kamu membuat
Dimas jatuh hati padamu dan tidak membiarkan perempuan lain merebutnya." Wajahnya serius. "Termasuk ibu Moza sekalipun."
Adinda mengerutkan kening, bingung kala melihat tatapan tak suka Laras saat menyebut ibu Moza.
Sayangnya, belum sempat bertanya lebih lanjut, Laras sudah menepuk bahunya lembut dan meninggalkan kamar itu.
Adinda pun bergumam lirih, "Sebenarnya, ada apa ini ...?"
Di sisi lain, Dimas masih terus saja memikirkan tindakan Adinda padanya tadi.“Sial!” lirihnya.Pria itu benar-benar bingung mengapa sang ibu memilih perempuan macam Adinda.Meski sudah nyaris berkepala empat, tetapi banyak perempuan yang mengejar Dimas dan rela melemparkan tubuh mereka di ranjangnya.Sayangnya, Dimas tak pernah tertarik.Dia masih mencintai mantan istrinya dan ingin kembali dengan ibu dari Moza itu.Dulu, pernikahan mereka terjadi saat Dimas dan Megan masih sangat belia, yakni saat usia 17 tahun. Hal itu karena Megan terlanjur mengandung Moza. Dimas pun mencoba bertanggung jawab. Sayangnya, Megan justru meninggalkannya setelah melahirkan–demi mengejar karir di luar negeri.Tahun lalu, mantan istrinya itu kembali dan meminta maaf.Keduanya nyaris bersatu. Hanya saja, sang ibu selalu mencegahnya.Namun, begitu ditanyai alasannya, Laras selalu menolak memberi tahu. Bahkan, bawahannya tak berhasil menyelidiki alasan sang ibu.Puncak frustasi Dimas adalah ia harus menik
Adinda terkejut dengan pernyataan yang terlontar dari Dimas. Dirinya semakin melangkah mundur, karena saking tergesa-gesanya, Dinda melupakan bahwa dirinya masih menggunakan gaun pengantin, sehingga kakinya terpeleset dan Dinda memegang lengan Dimas, sehingga keduanya terjatuh bersamaan di ranjang.Bugh!“Sepertinya, kau terlalu terburu-buru, Nona,” ucap Dimas yang posisinya sudah berada di atas Adinda.“Menyingkirlah! Atau akan kupukul!” jerit Adinda marah.Namun, bukannya menyingkir, Dimas justru menaikkan tubuh Dinda ke tengah kasur. Dirinya masih mengukung tubuh kecil Adinda. Dimas tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, perlahan-lahan tangannya beralih ke bahu Dinda yang terlihat gemetar ketakutan ketika Dimas mulai menurunkan tali tipis gaunnya yang berada di bahu Dinda.Dinda hanya mampu menggeliat resah, saat gaun yang dikenakannya meluncur turun dari balik bahu, tubuhnya lemah tidak bertenaga hingga tak mampu berbuat apapun. Bahkan saat lengan kekar itu mengurung tubuhn
Adinda menutup mata. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa takut.‘Apakah kali ini aku tak bisa menghindar lagi?’ batinnya panik.Hanya saja, tidak ada pergerakan apapun setelahnya.Adinda lantas membuka kembali matanya.Dilihatnya Dimas yang masih tersenyum miring.“Anda–”“Kau begitu ingin kusentuh?” ucap pria itu, “sayangnya, aku tidak selera dengan penampilanmu saat ini. Sepertinya, butuh waktu untuk mengubahnya.”Adinda jelas kesal. Namun, belum sempat dia melawan, Dimas sudah menarik lengannya. “Ikut aku!" perintah pria itu.Tanpa basa-basi, tubuh Adinda yang kurus itu pun harus mengikuti langkah kaki Dimas yang cepat. Bahkan, dia nyaris beberapa kali hampir jatuh.Untungnya, tak butuh waktu lama, Adinda pun sudah berada di dalam mobil. Tanpa keduanya sadari, Laras menyaksikan apa yang terjadi pada Adinda dari kamarnya di lantai dua."Megan, kau kalah. Adinda adalah wanita yang seimbang dengan Dimas. Anakku itu pasti akan tunduk padanya cepat atau lambat,” ucap wanita tua itu la
Di sisi lain, Adinda yang kini sudah berada di kamarnya pun duduk di lantai.Sepatu hak tingginya diletakkan asal di sampingnya.Matanya menatap kakinya yang sedikit lecet dan itu wajar, mengingat dia berjalan kaki dengan sangat jauh.Saat dia sedang larut dalam pikirannya tiba-tiba pintu pun terbuka menampakkan seorang pria di sana.Dimas baru saja sampai di rumah.Pria itu tersenyum sinis saat melihat wajah Adinda yang hanya melihat dirinya yang melangkah masuk."Dasar lelaki tidak punya hati," gumam Adinda.Tapi Dimas pun memilih untuk tidak perduli pada Adinda, meskipun tahu wanita itu sedang kelelahan setelah berjalan kaki dengan jarak yang sangat jauh.Sesaat kemudian Dimas pun kembali pergi dengan tangannya memegang berkas untuk dia bawa.Adinda menyimpulkan bahwa pria itu pulang ke rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal.Untuk memikirkan sesuatu tentang Dimas sepertinya tak akan ada habisnya. Sehingga, dia pun memilih untuk menepikan sejenak pikirannya dan mencari kebera
"Siapa yang membuat kopi ini?" tanya Gilang sambil menunjuk gelas di hadapannya.Setelah membuat kopi, Kiara dan Adinda memang kembali menghadap pria itu."Saya, Pak." Adinda pun menjawab sambil memegang secangkir kopi yang baru saja dia buat lagi seperti yang diperintahkan oleh Dimas sebelumnya."Kalau begitu, hanya kau saja yang masuk," kata Gilang pada Adinda.Perempuan itu terdiam. Sejenak, Adinda melihat Kiara yang berdiri di sampingnya."Aku tunggu di sini aja." Kiara pun memohon pada Adinda. Sungguh, dia sangat tak ingin masuk ke ruangan Dimas lagi.Adinda menghela napas. Dia pun mengangguk setuju saat Gilang mempersilahkan masuk dia pun melangkahkan kakinya.Sedangkan tatapan mata Dimas yang mengarah padanya begitu tajam.Pria itu duduk di kursi kebesarannya sambil tersenyum miring pada Adinda yang kini perlahan meletakkan secangkir kopi buatannya di atas meja.Dimas pun menatap kopi tersebut kemudian kembali menatap Adinda."Siapa yang menyuruhmu meletakkan kopi itu pada mej
"Minum!" titah Adinda dengan tatapan matanya yang berapi-api.Apa yang dilakukan oleh Dimas sangat tidak manusiawi dan Adinda bukan wanita lemah yang bisa dijadikan budak dengan sesukanya.Ingat pagi tadi juga Dimas sudah membuatnya berjalan kaki sejauh tiga kilometer.Membuat kakinya lecet dan terasa nyeri.Lantas sekarang pria itu lagi-lagi berulah dan itu sudah sampai pada batas kesabaran Adinda yang hanya manusia biasa."Semua ada batasnya. Dan, anda sudah terlalu jauh melewati batas itu!" papar Adinda.Dimas pun tak tinggal diam dia mencengkram tangan Adinda yang berani memegang rahangnya.Akan tetapi saat itu kaki Adinda langsung bergerak cepat dengan mendorong kursi yang masih di duduki oleh Dimas.Kursi tersebut pun berputar dan membuat cengkraman Dimas pun terlepas.Meskipun kaki Adinda terasa sakit tapi dia tidak perduli lagi.Baginya pelajaran berharga untuk membuat Dimas mengerti jauh lebih penting.Dan Adinda pun akhirnya dengan cepat memutar kedua tangan Dimas ke belakan
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Napas hangat Dimas begitu terasa di tengkuk leher Adinda.Dinikmatinya momen-momen saat Adinda memohon padanya untuk dilepaskan.Tapi, pria itu jelas tak mungkin melepaskannya.Karena, memang inilah yang diinginkan oleh Dimas: melihat wajah Adinda yang penuh dengan ketakutan, serta tidak berdaya dalam menghadapi dirinya.Jika sebelumnya Dimas hanya mengancam, tapi tidak dengan kali ini.Tidak akan ada lagi ampun untuk wanita kurang ajar itu."Tuan Dimas, jangan lakukan ini pada ku," mohon Adinda, tidak ada hentinya.Dimas justru tersenyum. Srak!Dengan cepat, tangan kekarnya merobek pakaian Adinda dan melemparkan dengan asal.Adinda pun semakin panik saat tubuhnya tanpa sehelai benang itu pun terpampang nyata di hadapan Dimas.Dia mencoba untuk menarik selimut agar menutupi tubuhnya.Namun, sia-sia karena malam ini Dimas sepertinya dikuasai oleh kemarahan.Kedua tangan Adinda pun ditekan erat. Gelengan kepala wanita itu justru membuat senyum miring tampak muncul di bibir Dimas.Dibe