“Anda mengatakan sesuatu, Tuan?” Pria paruh baya berwajah dingin yang sejak tadi berdiri di samping Gerald Evans itu, bertanya pelan.
Kakek Gerald mengangguk. “Aku bilang, persilahkan mereka duduk.” Pelayan paruh baya tersebut mengangguk. “Baik, Tuan.” Dia lalu beralih pada Gama dan Abby. “Tuan Muda dan Nyonya bisa mengambil tempat.” Gama tersenyum pada sang kakek. “Terima kasih, Kek.” Pria itu terlihat senang, pasalnya sesuatu hal yang terbilang langka melihat Gerald Evans melunak seperti itu. Biasanya, dia akan berkeras, berpura-pura tidak melihat dan membiarkan mereka yang baru tiba berdiri untuk waktu yang lama. Hal itu juga berlaku pada Gama sang cucu kesayangan. Gerald Evans mengangguk. Pria tua itu mengalihkan pandangan pada Abby. “Seorang Collins? Aku tidak tahu Collins memiliki harta Karun.” Abigail yang baru saja duduk–dengan dibantu oleh Gama tersenyum. “Bukan darah murni. Ibuku seorang Abram, Kakek.” Gerald Evans mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aa, tidak heran. Putri Abram memang terkenal dengan kecantikan mereka. Para Collins juga tidak jelek. Cucuku sangat beruntung.” Dengan masih mempertahankan senyumnya, Abby menunduk. “Kakek terlalu menyanjung. Kami berdua sama-sama beruntung.” Dia tidak berani merasa bahagia atau tersanjung atas apa yang dikatakan Gerald Evans. Pria tua ini bukan seperti kakek tua kebanyakan, Gerald Evans merupakan seseorang yang banyak tahu tetapi mengemas semuanya dengan senyum kepura-puraan. Abby bahkan tidak bisa membaca, apa yang baru saja keluar dari mulut kakek Evans murni sebuah pujian, atau bagian dari ujian. Gama mengangguk cepat mengiyakan ucapan sang istri. “Benar sekali! Aku juga tidak jelek. Kami berdua sama-sama beruntung.” Gerald Evans mendengus. “Ck, selalu tidak mau kalah.” Pria tua itu lalu mengalihkan pandangannya pada sang pelayan. “Semuanya sudah berkumpul, persiapkan ruang makan.” “Baik, Tuan.” Kakek Gerald kembali memandang Abby. “Kau pasti lapar. Tunggu sedikit lagi, ya ... Mereka masih menyiapkan semuanya.”Abigail tersenyum tulus. “Terima kasih, Kakek. Kami berdua belum begitu lapar.” Gerald Evans tersenyum tipis. “Bukan tentang lapar dan tidaknya. Kami ingin menjamu kalian berdua yang merupakan tamu kehormatan di sini.” Ucapan Kakek dari suaminya itu, membuat Abby, mau tidak mau harus kembali menanggapi dengan senyum sopan. “jika begitu, terima kasih banyak, Kakek.” Kakek Gerald mengangguk, lalu kembali mengajak Abigail mengobrol. Dan ya, interaksi mereka ini tidak luput dari perhatian orang-orang yang ada di sana.Rasa iri tentu saja hinggap di hati orang-orang itu, tapi tidak ada satu pun yang berani mengungkapkannya secara langsung. Temperamen Gerald Evans tidak begitu baik, jika tidak berhati-hati mereka yang akan dipermalukan nantinya. Dari Semuanya, mungkin Alicia adalah yang paling susah menyembunyikan kekesalannya. Kusutnya gaun bagian samping yang dia kenakan, sudah jelas menggambarkan betapa kerasnya wanita itu meremas benda tak bernyawa itu. Tidak membutuhkan waktu lama, pelayan yang diminta menyiapkan santapan telah kembali. Mereka semua yang ada di sana, bergegas beranjak saat Gerald Evans sang kepala meja beranjak bangun. Abigail dan Gama berada di barisan belakang, setelah para orang tua. Dan sejak beranjak bangun, hingga saat hampir tiba di ruang makan, Abby tidak bisa untuk tidak menyeringai saat menyadari tatapan tajam Alicia. Jika tatapan Alicia sebilah pisau, punggung Abby pastilah telah terluka sejak tadi. “Kenapa tersenyum?” Gamaliel yang kembali menangkap keanehan pada istrinya bertanya pelan. Sambil mengeratkan pegangannya pada lengan Gama, Abby menggeleng. “Tidak ada. Kakekmu seorang yang sangat menyenangkan.” Gamaliel terdiam sesaat. Tersenyum hanya karena kakek? Sedikit tidak masuk akal, tapi ....Tidak ingin memperpanjang, Gama lebih memilih untuk mengangguk kecil. “Ya, dia memang sangat menyenangkan.” Menyadari mereka tengah menjadi pusat perhatian, Gama bergegas mengusap punggung tangan Abby yang sejak tadi menempel di lengannya. Hal yang tentu saja kembali membuat tatapan Alicia semakin menajam.Setelah kejadian sore tadi—yang berujung Abby harus memuaskan suaminya dengan cara lain hingga membuat rahangnya sedikit keram, akhirnya mereka tiba di lokasi diadakannya pesta ulang tahun Paman Gama. “Apakah masih sakit?” Tanya Gama saat melihat beberapa kali Abby menyentuh pipinya. Abigail menatap suaminya sengit. “Menurutmu? Bukan sakit secara harafiah, tetapi aku hanya merasa seperti baru saja meniup beberapa balon. Benar-benar tidak nyaman.” Gama menghela nafas. “Maafkan aku. Jika kamu tidak menolak, mulutmu pasti tidak akan sakit.” Sudut bibir Abby bergerak-gerak. Ingin sekali dia menyemburkan racun mematikan, tetapi sekuat tenaga ia tahan. ‘Jika tidak menolak?’ Jika dia tidak menolak maka saat ini pastilah mereka masih bergelut di atas ranjang! Ck, benar-benar menyebalkan!Dengan diawali oleh helaan nafas, Abby memejamkan matanya. “Sudahlah jangan dibahas lagi. Anggap saja ini memang salahku.” Ballroom hotel yang telah disulap menjadi area pesta mewah dengan dominasi
Abby mengiyakan ucapan Rea dengan anggukkan. "Tentu saja! Aku sudah cukup menahan diri sejak tadi. Dia benar-benar harus diberi pelajaran."Wanita cantik itu mengambil langkah pasti menemui Alicia.b yyttgDan ya, seperti halnya Abby, Alicia juga juga telah menunggu Abby sejak tadi sehingga begitu melihat wanita itu, Alicia bergegas menghampiri Abby. "Akhirnya kamu datang juga."Abby melipat kedua tangannya. "Apakah aku harus tersanjung sekarang? Tidak kusangka akan dirindukan oleh seorang wanita." Dia memicingkan mata. "Kamu tidak mungkin berubah pikiran dengan begitu cepat bukan, nona Alicia? Suamiku akan sedih jika tahu penggemarnya telah menemukan idola yang baru dan itu adalah istrinya sendiri."Alicia mendengus. "Menjadikanmu idola? Mataku masih begitu bagus, Non—""Nyonya!" Potong Abby cepat. "Aku telah menikah. Aku adalah nyonya muda Evans yang agung. Kamu harus mulai membiasakan diri memanggilku Nyonya! Mengerti, Nona Alic?"Alicia menggertakkan giginya. kembali seperti tadi,
Alicia terlihat akan meledak sebentar lagi. Hal itu terlihat dari sudut gaunnya yang kusut karena diremas dengan kuat. Buku-buku jarinya bahkan memutih yang menunjukkan betapa kerasnya ia mengepalkan tangan. Dan tentu saja hal itu sangat menghibur bagi Abby. Namun, dia tidak ingin menunjukkan kepuasannya karena saat ini dia tidak tahu siapa di antara; Nolan, Regan dan Ace yang telah terjebak pesona wanita cantik nan lemah yang dipancarkan Aliccia. Dan ya, pilihan Abby untuk tetap mempertahankan sikap nyatanya membuahkan hasil, karena tak berselang lama Regan tiba-tiba menggeser duduknya hingga mendekati Alicia. "Kamu benar, Abby. Alicia bukan seorang wanita perebut suami orang, dia dan Gama murni berteman," ucap Regan sembari membuka bekal makan siang yang dibawa Alicia. "Ini sangat lezat, kalian harus mencobanya." "Aku tidak berselera." Nolan, pria dengan tatapan dingin itu, tanpa ampun mengemukakakan pendapatnya. Ace ikut mengangguk. "Ya, benar. Sudah sangat sering aku memakan
Abigail menoleh pada suaminya, lalu mengangguk. “Em, aku hanya sedikit terkejut tadi.”Masuknya Abby dan Gama membuat beberapa orang yang tengah serius membahas beberapa hal, serempak menoleh. Sama halnya seperti Abby, Alicia juga terkejut mendapati kehadiran istri Gama tersebut. Bayangan tentang apa yang terjadi pagi tadi, membuat emosi Alicia yang sempat mereda kembali bangkit. Dengan senyum cerah yang dibuat-buat, wanita cantik itu beranjak bangun dari duduknya. “Kamu datang?” Alicia menatap paper bag di tangan Gama, lalu kembali menatap Abby. “Kamu membawa makan siang? Em, sebenarnya kami, ah maksudku, aku sudah membawa makan siang. Kamu bisa makan bersama kami, aku rasa makanan yang kubawa cukup banyak ....” Tanpa menunggu tanggapan Abby, Alicia lalu mengalihkan pandangannya pada mereka yang tengah duduk di sofa. “Aku rasa kalian tidak keberatan, bukan? Em, sebelumnya perkenalkan dia istri Gama Abigail Colli—“Evans.” Abby dengan cepat memotong ucapan Alice. “Untuk Sekarang
Setelah selesai bersiap, Abby bergegas pergi ke kantor Gama dengan diantar oleh Rea. Senyum cerah terus menghias wajah wanita cantik itu. Entah karena apa tapi Abby benar-benar antusias saat ini. "Anda terlihat begitu bahagia, Nyonya." Rea dengan senyum tipis menatap Abby.Membalas senyum Rea, Abby mengangguk kecil. "Ya, ini pertama kalinya aku berkunjung ke sana. Aku merasa sedikit gugup tapi juga senang."Masih dengan senyum yang sama Rea mengangguk. "Sebentar lagi kita akan tiba."Benar saja tidak sampai dua puluh menit dari ucapan Rea, mobil yang dikendarai Rea perlahan memasuki pelataran parkir sebuah gedung pencakar langit.Abby tidak punya waktu untuk bertanya terlalu banyak karena segera setelah mereka turun, Rea langsung membawanya memasuki sebuah lift yang langsung mereka temukan begitu keluar dari area parkir bawah tanah.Denting lift terdengar begitu mereka tiba di tempat tujuan. Masih dengan senyum yang sama, Abby bergegas keluar dari lift begitu Rea mempersilahkan.Hal
Setelah mobil Gama menghilang, Abby menatap Rea. "Apa yang sebenarnya terjadi? Dia terlihat begitu khawatir."Rea menatap sang Nyoya. "Saya juga tidak tahu jelas apa yang terjadi. Tapi sepertinya memang serius. Hal itu saya simpulkan setelah melihat wajah Carlos yang terlihat tidak tenang.""Tidak bisakah kita mencari tahu? Siapa yang bisa kita tanyai untuk masalah ini?" Lagi Abby kembali bertanya.Rea menggelengkan kepalanya. "Satu-satunya harapan kita hanya Jase, Nyonya. Namun, seperti yang Anda lihat, situasinya sangat tidak memungkinkan untuk bertanya. Karenanya, Saya dan Anda hanya perlu menunggu informasi dari Jase."Abigail menghela nafas. Beberapa saat kemudian dia lalu mengangguk. "Sepertinya memang hanya bisa menunggu Jase."Rea tersenyum menanggapi ucapan Abby.....Hingga hari menjelang siang, Abigail semakin dibuat khawatir saat tidak juga mendapatkan kabar dari Jase. Wanita cantik itu terus melihat ke arah jam dinding dengan harap-harap cemas."Apakah tidak sebaiknya and