Amira berjalan santai ke area parkir sepedanya. Walau sedikit kaget, ia berusaha biasa saja. Sudah ada Reza di dekat sepedanya dengan setelan jaket berwarna coklat susu dipadupadankan celana jeans. Jujur, Reza tampan, tetapi tak mampu membuat Amira menyukainya. Justru gadis itu sangat jengah dengan adanya Reza di sekolahnya.
"Mau apa sih ke sini?" tanya Amira dengan tangan mendorong tubuh Reza yang sedikit menjauh. Lelaki muda itu masih saja tersenyum sambil memperhatikan gerakan Amira."Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" sahut Reza meledek gadis di depannya."Permisi, saya mau pulang," kata Amira lagi. Namun, tetap tak ada sahutan dari Reza. Gadis itu pun tak peduli. Ia naik ke atas sepeda, lalu mengayuhnya dengan santai. Amira menoleh sekilas ke belakang. Ia dapat bernapas lega, saat menemukan Adam yang juga tengah mengayuh sepedanya jauh di ujung sana. Sedangkan lelaki dewasa aneh tadi, sudah tak terlihat lagi."Dasar orang gak jelas,"Amira menatap ibunya, seakan meminta restu. Wanita setengah baya itu mengangguk pelan. Dengan tangan dan kaki gemetar, ditambah pelukan kuat dari Mahesa dan Mahendra di kakinya, Amira semakin yakin untuk mengeluarkan kekuatannya.Kedua tangan ia letakkan di dinding lift. Matanya terpejam dengan napas sedikit tersengal."Bismillah. Bantu Mira ya, Allah," gumamnya sambil menekan kuat dinding lift. Perlahan dan sangat pelan, lift kembali naik. Semua yang ada di sana terbelalak menatap tak percaya, bahwa lift kembali berfungsi. Mereka tak tau, jika Amira menggunakan kekuatan yang sebenarnya tak pernah ia tunjukkan pada siapapun.Ada raut kelegaan pada semua orang yang ada di sana, tapi tidak dengan Amira. Gadis itu tengah sekuat tenaga mengeluarkan kekuatannya untuk membantu banyak orang yang sudah ketakutan.ClingSuara pintu lift terbuka dan lampu kembali menyala. Semua orang berhamburan keluar dari lift. Amira lema
Amira dan Reza dilarikan ke rumah sakit terdekat. Luka lecet dan juga cedera di kepala membuat keduanya harus segera dijahit. Aminarsih menangis sesegukan. Ia sangat takut jikalau Yasmin;ibunya Reza marah padanya, karena sudah mengajak anak lelakinya pergi tanpa ijin."Bu, ya Allah," suara bariton suaminya, Emir. Membuatnya semakin sedih. Lelaki itu membentangkan tangan memeluk istrinya yang tengah ketakutan."Sudah-sudah, yang penting Amira dan Reza sudah ditangani dengan baik. Ibu jangan nangis terus." Emir menanangkan istrinya sambil mengusap rambutnya dengan penuh kelembutan."Mahesa, Mahendra, ayo ikut bibik pulang!" Emir memanggil dua anaknya. Ada Bik Astri yang ikut menemani Emir ke rumah sakit, untuk membawa pulang si bontot. Keduanya mengangguk, masih dengan wajah syok. Di tangan mereka masing-masing memegangtotte bagberisi buku yang baru saja mereka beli."Reza dirawat di mana?" tanya Emir.
Hasil pemeriksaan kepala Amira cukup baik. Hanya saja dokter berpesan bahwa kepala gadis itu jangan sampai terbentur lagi. Emir dan Aminarsih juga harus memperhatikan olah raga yang baiknya bisa diikuti Amira, agar bagian kepalanya tetap Aman.Hal itu ia beritahukan pada puterinya yang tengah menyalin tugas yang diberitahukan Andrea lewat Adam."Mira," sapa Aminarsih pada puterinya, saat membuka pintu kamar."Ya, Bu. Masuk aja," jawab Amira sambil melemparkan senyuman manis hingga lesung pipinya terlihat."Sedang apa?" Aminarsih masuk ke dalam kamar Amira, lalu memilih duduk di atas ranjang."Bikin PR," jawab Amira sambil membalik tubuhnya hingga menghadap sang ibu."Bang Reza pulang jam berapa dari sini?" tanya Aminarsih, dan seketika itu juga, air muka Amira berubah keruh."Sore, Bu, dan Amira pastikan Om Reza atau Revan, takkan pernah mengganggu Amira lagi," terang Amira tegas. Gadis itu bang
Semua penghuni SMP Kusuma Wijaya geger dengan penampilan Amira terbaru. Gadis yang dulunya memiliki tompel di pipi, rambut keriting berantakan, dekil. Hari ini berubah menjadi lebih cantik dan rapi. Rambutnya yang diikat tinggi, dengan aksesoris rambut lucu yang terselip di poni. Membuat Amira seakan wajah baru di sekolah.Di kantin, Amira menjadi pusat perhatian. Padahal ia baru saja tiba sambil menenteng dua buah apel di tangannya. Etalase baso rawit adalah pilihannya. Dengan sabar, ia menunggu antreannya pada baris ketiga. Di belakangnya ada Andrea, Aleta, dan juga Andini. Di etalase soto mie dan es campur, anak-anak ikut memperhatikan Amira. Mereka kasak-kusuk mengomentari penampilan gadis itu yang saat ini begitu berbeda."Mira, lu jadi pusat perhatian tau," bisik Andrea dengan ekor mata menjelajah sekeliling. Amira ikut menoleh ke belakang, lalu kembali berbisik pada Mira."Pusat itu, yang ini bukan?" Amira menunjuk tengah perutnya.
Kaki Amira masih terus saja bergetar hebat. Padahal ia sudah menekan cukup kuat, agar kakinya berhenti bergoyang cepat. Namun, hingga pelajaran keempat dimulai, Amira masih saja merasa gelisah. Andrea yang duduk di sebelah Amira, hanya bisa menggelengkan kepala.Puk!"Ish, diam ngapa!" Amira memukul pelan pahanya, sambil mengajak bicara."Ada apa Mira?" tanya Bu Dewi yang tengah mengajarkan mata pelajaran IPS. Didekatinya Amira yang kini menyeringai sambil memegang kakinya."Kaki kamu sakit? Udah pakai minyak kayu putih belum?" tanya wali kelasnya itu sambil sedikit membungkuk memeriksa kaki Amira."Bukan sakit, Bu. Ini teh gemetaran, tadi habis sok jago sama kakak kelas. Malah gak bisa berhenti. Apa dicabut baterainya ya, Bu? Tapi baterai dengkul saya ada di mana?""Ha ha ha ...." semua yang ada di kelas terbahak mendengar ucapan polos Amira. Gadis itu bukanlah seperti Amira sebelumnya yang selal
Sepulang sekolah, seperti biasa Amira mendekam di kamar. Tidak ada lagi latihan boxing, sejak kepalanya terus saja cedera. Ibunya meminta Amira untuk ikut les melukis atau biola, tetapi Amira tidak mau. Gadis itu malah meminta olah raga badminton pada ibunya. Formulir pendaftaran sudah ia isi untuk nanti diberikan pada ibunya. Sore ini, sehabis solat Ashar, Amira akan memulai latihan badminton."Kak, ada tamu," suara Kanaka di balik pintu."Siapa, Dek?" tanyanya, sambil bangun dari duduknya. Dibukanya pintu lebar, lalu menoleh pada tangga."Namanya Bang Reza dan Meisya," jawab Kanaka datar. Kakinya melangkah pergi meninggalkan Amira yang nampak ragu saat akan turun. Siapa Meisya? Pikirnya. Gadis itu masuk ke dalam kamar, lalu menyisir rambutnya. Baju kaus tanpa lengan dan celana pendek yang kini ia pakai, ia ganti dengan yang lebih sopan. Tak lupa, jepit rambut merah muda ia sematkan di poni.Dengan langkah riang, Amira turun ke lantai baw
"Kenapa Kakak petik langsung dari pohonnya? Gak boleh, Kak! Saya saja yang punya kebunnya tak pernah memetik langsung. Ya allah, bagaimana ini?" Amira tampak ketakutan. Meisya yang tengah memegang buah apel sangat dingin, tiba-tiba saja berubah pucat."Ayo, minta maaf sama pohon apelnya!" titah Amira dengan bulir keringat sebesar ketumbar sudah memenuhi keningnya."Gila nih bocah!" hardik Meisya sambil bergidik ngeri. Reza yang masih kebingungan dengan apa yang terjadi memilih diam saja sambil memperhatikan."Kita datang ke rumah orang sombong, Za. Ayo, kita pulang! Minta maaf itu sama manusia, bukan sama pohon!" ujar Meisya ketus. Lalu ia menarik Reza untuk segera keluar dari rumah Amira."Bukannya saya sombong. Kakak yang serakah. Saya sudah bilang, jangan petik langsung dari pohonnya!" teriak Amira yang didengar sepintas lalu oleh Meisya dan juga Reza."Langsung bawa pulang ke rumah, Om!" teriak Amira lagi.
Keesokan harinya, kondisi kesehatan Meisya belum benar-benar membaik. Tenggorokannya masih belum bisa menerima asupan air. Apalagi makanan. Sehingga Meisya hanya memperoleh tenaga dari cairan infua saja. Kedua orang tuanya menatap puteri kesayangan;si bontot calon dokter yang kini terbaring lemah tanpa bisa makan dan minum apapun.Tak jauh dari sana, Reza ikut tertunduk sedih ditemani oleh mama dan papanya. Ia tidak tahu bagaimana keadaan Meisya tiba-tiba seperti ini. Padahal, waktu pulang dari rumah Amira ....Tiba-tiba saja, mata Reza berbinar saat mengingat nama bocah SMP itu. Meisya memetik buah apel yang sudah dilarang oleh Amira. Mungkinkah gadis itu bisa membantunya menyembuhkan Meisya."Ada apa, Za?" tanya Yasmin pada puteranya, saat lelaki itu berjalan keluar ruang perawatan VIP dengan tergesa."Sebentar, Ma," jawab Reza yang sudah berada di luar. Lelaki itu berlari ke taman luar rumah sakit yang terletak di lantai tiga. Tug