Lelaki yang bernama Joko sedang melamun di kursi taman halaman depan. Malam ini, ia disuruh membakar rumah yang katanya berhantu di Puncak-Bogor oleh bosnya, Devano. Tetapi hatinya ragu, apalagi ia tahu di dalam sana ada seorang wanita yang berstatus istri majikannya. Kenapa harus dibunuh? Kenapa tidak dilepaskan saja? Kalimat itu yang terus-menerus menari di kepalanya. Bagaimana nanti jika ia ketahuan dan polisi menangkapnya? Akan sangat kasihan istri dan anaknya di kampung.
"Kenapa melamun?" tegur Samsul."Tahu ga, Sul? Gue disuruh bakar villa malam ini.""Ya Allah, siapa yang suruh?""Itu, majikan galak!" "Jangan, Jok. Ada Mbak Narsih di dalam sana. Kalau lu ketahuan dan ditangkap polisi bagaimana? Lagian itu villa angker tahu!""Itu dia, gue takut, Sul. Alesan apa ya? Biar gue ga disuruh.""Pura-pura sakit aja, Lu. Usus buntu kek, tyhpes kek. Biar ga disuruh bakar rumah itu. Dapat duit pula buat kSiapkan tisu ya.****Perutnya semakin besar, untuk berjalan saja ia kepayahan. Bosan dan rasanya ingin berteriak dengan kencang karena ia begitu sesak. Ia ingin menghirup udara segar. Ingin mandi air hangat, tidur di ranjang yang nyaman walaupun tipis. Ia rindu memasak, terutama membuat peyek. Ah, betapa ia kini begitu menginkan peyek kacang dan juga peyek udang rebon."Sabar ya, Sayang. Mintalah pada Allah, agar kita segera bisa keluar dari sini," ujarnya pelan sambil mengusap perutnya yang semakin besar.Di luar hujan sangat deras, hawa dingin masuk melalui celah lubang dinding rumah yang rapuh. Untung saja, pakaian yang dibawakan oleh Pak Samsul berbahan kaus sedikit tebal. Sehingga tetap hangat ia pakai, walaupun dalam udara dingin seperti ini.Narsih memutuskan untuk berjalan pelan menuruni tangga. Setiap dua kali dalam sehari, ia selalu berteriak minta tolong di balik celah jendela yang sedikit mengan
Devano bermalam di sebuah rumah sakit. Tepatnya di kamar VVIP yang kenyamanannya mirip hotel. Untung saja jarinya tidak perlu ditusuk jarum infus, sehingga ia masih leluasa untuk bolak-balik di dalam ruangan itu. Apalagi ada banyak makanan yang telah dibelikan oleh Pak Samsul, sebelum sopirnya itu kembali ke rumahnya."Apa yang harus aku lakukan padamu cacing kremi?! Kau begitu membuatku kesal. Seluruh kesialan keluargaku itu karena kamu pelakunya. Wanita jin!" umpat Devano dengan menggeram. Bayangan wajah Narsih yang menangis tak membuatnya iba. Rintihan dan permohonan minta ampun dari Narsih yang selalu hadir dalam dirinya, tak juga membuatnya sadar. Di hatinya cuma ada satu kesalahannya, telah bersedia menikah dengan Narsih. Tidak ada yang lain."Aku benar-benar harus menghabisimu!" gumam Devano sambil menggeram kembali.****Sementara itu, di dalam rumah besar lagi menyeramkan. Narsih merasakan mulas di perutnya sedari malam. Ia tidak
Narsih baru saja menyusui bayi cantiknya, hingga bayi itu terlelap. Kemudian, menaruhnya kembali ke dalam box bayi yang terletak persis di brangkar tempat ia berbaring. Matanya memandang isi piring makan yang habis tak bersisa. Ia menyantap semuanya dengan begitu nikmat. Sudah lama sekali rasanya ia tidak makan sayur sop daging dengan perkedel kentang."Apa kabar kalian di sana? Tusi, Tuso? Semoga kalian baik-baik saja di sana, ya," gumamnya pelan dengan air mata yang hendak meluncur bebas. Ia teringat tiga jenis hewan yang selalu ada bersamanya, membantu memijat kepala dan kakinya, membawakan potongan roti enak yang entah dari mana mereka dapatkan. Mereka juga yang selalu tak sabar mengantre untuk mendapatkan potongan buah apel ajaib darinya."Ibu menyusui, jangan bersedih. Nanti bayinya ikut sedih dan rewel," tegur seorang perawat yang masuk menghampiri Narsih, tanpa diketahui olehnya."Eh, iya Suster. Hanya teringat teman-teman saya sa
"Sus, kalau saya keluar sekarang dari rumah sakit boleh, ga?" tanya Narsih pada perawat yang berkunjung pagi ini."Tunggu dede bayinya puput pusarnya ya, Mbak. Mungkin dua dan tiga harian lagi," jawab perawat."Tapi puput pusar di rumah bisa kan?""Bisa sih, Mbak. Hanya sayang saja uang deposit yang sudah dibayar untuk satu pekan. Mbak, baru empat hari perawatan. Masih tiga hari lagi, sabar ya.""Tidak apa-apa, Sus. Saya ga masalah dengan depositnya, saya hanya sudah tidak betah, ingin buru-buru pulang.""Baiklah, nanti saya bicarakan ke depan ya.""Terimakasih, Sus."Sepeninggal perawat dari ruangannya, Narsih kembali cemas. Bahkan sejak kejadian villa terbakar, ia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Ia gelisah dan selalu menatap pintu kamar perawatan. Ia takut Devano tiba-tiba muncul lalu membawa anaknya. Jika terjadi seperti itu, maka dia akan benar-benar membunuh lelaki yang bernama Devano itu.
Hanya dengan memakai sandal rumah sakit, Narsih menyusuri trotoar semakin jauh dari rumah sakit. Di depan rumah sakit, tepatnya di seberang jalan, ada sebuah supermerket. Tujuannya pertama adalah masuk ke dalam sana, untuk membeli pampers dan kain gendongan. Masih sambil memeluk erat bayinya, Narsih berjalan cepat bagai orang sedang dikejar, sampai ia masuk ke dalam supermarket itu."Cari apa, Mbak?" tanya pelayan toko."Kain untuk menggendong bayi dan pampers. Sama kalau ada selimut bayi," jawab Narsih dengan pandangan menyapu sekitar toko."Ada, Mbak. Sebelah sini!" meskipun karyawan toko memandangnya dengan tatapan aneh, tetapi mereka tetap melayani kebutuhan yang ia minta. Tak lupa, ia juga membeli selembar baju daster berkancing untuk dirinya, tiga bungkus roti dan satu botol minuman mineral untuknya."Berapa semua?""Seratus tujuh puluh lima ribu. Tapi maaf, kami tidak ada kantung plastik. Kalau mau, Mbak bisa
"Maaf, Tuan. Saya terlambat. Mbak Narsih sepertinya pergi dari Jakarta. Dari info yang saya dapat, Mbak Narsih terakhir kali terlihat naik angkutan umum ke terminal Bogor sambil membawa bayinya," lapor Pak Samsul pada Tuan Wijaya."Apa jenis kelamin bayinya?""Perempuan, Tuan.""Cari lagi sampai ketemu!""Saya tidak mau bertemu denganmu, jika kamu belum mendapatkan Aminarsih dan bayinya.""B-baik, Tuan." Pak Samsul meninggalkan rumah besar Tuan Wijaya. Dengan mengendarai motornya menuju rumah. Ia akan berpamitan pada anaknya karena harus bertugas mencari seseorang.Sementara itu, bus yang ditumpangi Aminarsih, kini sudah sampai di rest area. Semua penumpang turun, termasuk Aminarsih. Ada yang menuju kamar mandi, ada yang langsung berjalan ke arahfoodcourtuntuk menyantap sarapan. Sambil menggendong bayinya, Aminarsih memilih masuk ke dalam kamar mandi, setelahnya ia mencuci muka, agar wajahny
"Tolong! Bayi saya diculik. Toloooong!" teriak Narsih sejadi-jadinya. Semua ibu-ibu yang bertubuh tambun di dekatnya, ia tegur, bahkan ia tarik paksa. Tetapi tidak ada bayi di sana, lalu di mana bayinya? Di mana Amira?"Seperti apa, Mbak. Ciri-cirinya?" tanya seorang lelaki muda yang melihat dirinya penuh iba."Masih bayi, Mas. Pakai kain merah muda motif bebek. Tolong, Maas," lirihnya dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Lelaki itu itu pun mengangguk paham. Ia bergegas mencari sesorang yang kiranya sedang menggendong seorang bayi. Dari dalam hingga menuju pintu keluar terminal. Narsih mencari ke arah yang berbeda."Ya Allah, kembalikan bayiku. Kembalikan!" isaknya pilu. Satu dua orang yang tahu kejadiannya pun ikut bersimpati. Mereka ada yang mengulurkan minuman pada Narsih, ada juga yang mengusap punggungnya, mengatakan kalimat ia harus bersabar.Tak lama, petugas kepolisian terminal dan seorang pemuda, menarik paksa se
Narsih bersama lelaki bernama Kamal, pergi menaiki angkutan umum menuju rumah kontrakan Kamal. Tak ada rasa kecurigaan di hatinya pada lelaki yang telah menolongnya menemukan bayi Amira. Ada sorot ketulusan dari netra milik Kamal, sehingga Narsih percaya dan mau ikut bersama lelaki yang tengah asik dengan ponselnya ini."Mbak udah makan?" tanya Kamal tiba-tiba. Narsih menggeleng."Ya sudah, nanti kita beli makan di sana." tunjuk Kamal pada plang warung makan padang yang sangat besar, terlihat dari jalan raya."Kiri, Bang!" angkutan umum pun berhenti. Narsih turun lebih dulu sambil menggendong Amira, dilanjutkan Kamal yang menyusul, lalu membayar ongkos sebesar delapan ribu rupiah.Aminarsih mengangkat kepalanya demi melihat restoran apa yang saat ini mereka datangi. Seketika perutnya berbunyi dan matanya juga berkaca-kaca. Sudah lama sekali ia tidak makan nasi padang. Terakhir makan, saat dibawakan oleh Pak Samsul saat ia berada di rumah t