"Maaf, Tuan. Saya terlambat. Mbak Narsih sepertinya pergi dari Jakarta. Dari info yang saya dapat, Mbak Narsih terakhir kali terlihat naik angkutan umum ke terminal Bogor sambil membawa bayinya," lapor Pak Samsul pada Tuan Wijaya.
"Apa jenis kelamin bayinya?""Perempuan, Tuan.""Cari lagi sampai ketemu!" "Saya tidak mau bertemu denganmu, jika kamu belum mendapatkan Aminarsih dan bayinya.""B-baik, Tuan." Pak Samsul meninggalkan rumah besar Tuan Wijaya. Dengan mengendarai motornya menuju rumah. Ia akan berpamitan pada anaknya karena harus bertugas mencari seseorang.Sementara itu, bus yang ditumpangi Aminarsih, kini sudah sampai di rest area. Semua penumpang turun, termasuk Aminarsih. Ada yang menuju kamar mandi, ada yang langsung berjalan ke arah foodcourt untuk menyantap sarapan. Sambil menggendong bayinya, Aminarsih memilih masuk ke dalam kamar mandi, setelahnya ia mencuci muka, agar wajahny"Tolong! Bayi saya diculik. Toloooong!" teriak Narsih sejadi-jadinya. Semua ibu-ibu yang bertubuh tambun di dekatnya, ia tegur, bahkan ia tarik paksa. Tetapi tidak ada bayi di sana, lalu di mana bayinya? Di mana Amira?"Seperti apa, Mbak. Ciri-cirinya?" tanya seorang lelaki muda yang melihat dirinya penuh iba."Masih bayi, Mas. Pakai kain merah muda motif bebek. Tolong, Maas," lirihnya dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Lelaki itu itu pun mengangguk paham. Ia bergegas mencari sesorang yang kiranya sedang menggendong seorang bayi. Dari dalam hingga menuju pintu keluar terminal. Narsih mencari ke arah yang berbeda."Ya Allah, kembalikan bayiku. Kembalikan!" isaknya pilu. Satu dua orang yang tahu kejadiannya pun ikut bersimpati. Mereka ada yang mengulurkan minuman pada Narsih, ada juga yang mengusap punggungnya, mengatakan kalimat ia harus bersabar.Tak lama, petugas kepolisian terminal dan seorang pemuda, menarik paksa se
Narsih bersama lelaki bernama Kamal, pergi menaiki angkutan umum menuju rumah kontrakan Kamal. Tak ada rasa kecurigaan di hatinya pada lelaki yang telah menolongnya menemukan bayi Amira. Ada sorot ketulusan dari netra milik Kamal, sehingga Narsih percaya dan mau ikut bersama lelaki yang tengah asik dengan ponselnya ini."Mbak udah makan?" tanya Kamal tiba-tiba. Narsih menggeleng."Ya sudah, nanti kita beli makan di sana." tunjuk Kamal pada plang warung makan padang yang sangat besar, terlihat dari jalan raya."Kiri, Bang!" angkutan umum pun berhenti. Narsih turun lebih dulu sambil menggendong Amira, dilanjutkan Kamal yang menyusul, lalu membayar ongkos sebesar delapan ribu rupiah.Aminarsih mengangkat kepalanya demi melihat restoran apa yang saat ini mereka datangi. Seketika perutnya berbunyi dan matanya juga berkaca-kaca. Sudah lama sekali ia tidak makan nasi padang. Terakhir makan, saat dibawakan oleh Pak Samsul saat ia berada di rumah t
"Hah? Y-yang benar, Pak?""Iya, Tuan. Mudah-mudahan keduanya dalam keadaan sehat. Saya ditugaskan Tuan Wijaya untuk mencari Mbak Narsih dan juga bayinya"Mata Devano berkaca-kaca. "J-jadi, anak saya perempuan, namanya Amira?" tanya Devano lagi hampir tak percaya. Pak Samsul tersenyum tips, lalu mengangguk pasti."Tolong temukan mereka, Pak! Agar saya bisa meminta maaf pada keduanya," ujar Devano dengan suara bergetar."Iya, Tuan. Saya akan berusaha menemukan keduanya. Info terakhir, Mbak Narsih ada di terminal Bogor, setelah itu tak terlihat lagi.""Apa Narsih pergi ke luar kota?""Kemungkinan besar seperti itu, Tuan.""Maaf, apa Tuan mau melihat foto bayi Tuan?" tawar Pak Samsul ragu."Mana, Pak? Saya mau. Hiks ... Saya seorang ayah, hiks ...." akhirnya tangisan itu keluar juga dari Devano. Dengan tangan gemetar, ia menerima ponsel Pak Samsul dan melihat foto yang ada di sana. Bayi cantik
Dua Tahun Berlalu"Ayo, Mbak Ami. Udah ditunggu Bu Fero," ujar Kamal tetangganya."Beneran bawa Amira gak papa?""Gak papa. Udah ayo cepat!"Lelaki muda itu berjalan lebih dulu meninggalkan Ami yang sedang merapikan tas yang berisi susu, baju ganti, dan juga cemilan untuk Amira, anaknya yang baru berusia dua tahun lebih dua bulan.Pagi ini, ia dapat pekerjaan sampingan menjadi pelayan catering, untuk sebuah pesta pernikahan. Pekerjaan yang selalu diberikan Bu Fero padanya. Lumayan untuk tambahan bayar kontrakan, selain membuat peyek, lalu menjualnya dari warung ke warung."Ibu, ayo!" puteri kecilnya menarik-narik ujung bajunya agar seger keluar rumah.Tiiin!Tiin!Suara klakson mobil Bu Fero melengking di depan kontrakannya. Bergegas Ami mengunci pintu. Lalu sambil berlari menggendong Amira, masuk ke dalam mobil
Saya terima nikah kawinnya Farah Pramesti binti Faisal Armando dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seratus gram di bayar tunai."Sah. Alhamdulillah."Dari kejauahan tepatnya di stand siomay, Aminarsih tersenyum senang. Hari ini, ia bertemu kembali dengan lelaki yang pernah menjadi Malaikat Penolongnya, dalam keadaan bahagia. Lelaki itu, di depan sana baru saja mengucapkan ikrar pada Rabbnya, untuk mengarungi bahtera rumah tangga, menyempurnakan agama dengan menikahi gadis yang sangat cantik. Ia tentu saja ikut senang. Karena orang baik, harus mendapatkan yang baik pula.Lalu, apakah ia tidak baik? Sehingga Allah mempertemukan ia dengan Devano, lelaki kejam yang pernah menjadi suaminya hanya dalam beberapa bulan saja. Bukannya ia tidak baik, tetapi Allah menegurnya, agar tidak bermain-main dengan pernikahan. Menerima ajakan untuk menjadi pengantin pengganti hanya karena ingin cepat
"Siapa, Mas? Kayaknya kenal dekat," tanya Farah sangat ingin tahu."Wanita itu yang pernah aku ceritakan, Sayang. Yang melahirkan di villa angker," terang Emir pada Farah, saat mereka tengah menikmati baso berdua."Serius? Wah, kebetulan sekali. Trus, anak kecil yang narik celana Mas tadi waktu mau masuk ke gedung, berarti anak Mbak itu?""Iya. Cantik ya, bola matanya abu-abu. Aku ingin kita punya banyak anak, jangan cuma dua, apalagi satu. Harus lima.""Ha ha ha ... Ogaaah! Capelah ngurusnya," tolak Farah sambil tertawa."Kan ada aku yang bantuin, Sayang. Adababy sitterjuga nanti yang bantuin, semoga kamu langsung isi," rengek Emir sambil menatap instens wajah cantik istrinya."Gak, ah. Punya anaknya nanti-nanti saja." Farah mengangkat telunjuknya di depan Emir, lalu ia gerakkan ke kanan dan ke kiri, tanda ia tidak setuju atas ucapan Emir.
Sepasang pengantin, baru saja mengarungi kenikmatan dunia. Dengan tubuh polos berpeluh, Emir memeluk sayang Farah yang kini resmi menjadi istrinya. Ya, walapun Farah memang sudah tidak gadis lagi, itu tidak masalah untuknya. Karena memang pekerjaan Farah menuntutnya, mau tak mau harus mengorbankan sesuatu yang sangat ia jaga.Farah memejamkan mata karena terlalu kelelahan. Acara pernikahan yang padat, macet saat perjalanan pulang, ditambah lagi harus memenuhi kewajibannya sebagai istri bagi Emir, lelaki yang ia cintai, membuat tubuhnya bagai tak bertulang."Mau aku buatkan makanan, Sayang?" bisik Emir di telinga Farah."Tidak, ah. Aku mengantuk." Farah berbalik, memunggungi suaminya. Matanya masih terpejam rapat. Emir tersenyum tipis, lalu mengecup kepala Farah. Ia pun turun dari ranjang pengantinnya, kemudian masuk ke kamar mandi untuk melaksanakan mandi hadas besar.Emir keluar dari kamar man
Ami bergegas membuka pintu untuk tamunya dengan sejuta tanya di kepala."Tuan, ada apa?""Maaf, Mbak Ami. Benar mas ini saudaranya Mbak Ami?" tanya Pak Jum yang ikut bersama Emir saat ini."Iya, Pak. Saya sepupunya, ya kan Mi?" sela Emir."I-iya, Pak. Sepupu jauh saya, namanya Emir," ujar Ami terbata."Gak boleh ngobrol lama ya, sudah malam. Pagar depan lima belas menit lagi saya kunci. Jadi hanya lima belas menit saja bicaranya," ujar Pak Jum kemudian berlalu dari depan kontrakan Ami."Aduh, Tuan. Ada apa malam-malam begini?" tanya Ami merasa tak enak."Saya tidak dipersilakan duduk?""Eh, iya. M-maaf, Tuan, karena kaget saya jadi lupa. Mari masuk, Tuan." Ami mempersilakan Emir masuk ke dalam kontrakannya. Lelaki yang memakai hoodie hitam itu melangkahkan kaki masuk ke dalam, kemudian langsung menyaksikan Amira yang tengah terlelap dengan peluh bercucuran."Maaf, begini tempatny