Selamat Membaca.
***"Mas, bibirnya kenapa? Melamun kok maju-maju bibirnya?" tanya Ami keheranan dengan tingkah sang suami."Eh, mimpikah?" Emir tersadar. Ia menoleh pada istrinya, tak terjadi apa-apakah? tapi kok, rasanya bagai nyata. Emir terus saja bermonolog. Sedangkan Ami hanya bisa menggelengkan kepala tidak paham."Ayo, mau pulang gak?" tanya Ami kemudian."Papa udah dimaafkan?" tanya Emir lagi, memastikan bahwa ucapan Ami memaafkannya bukan hayalan semata."Iya, Pa. Ibu sudah maafkan. Yuk, kita pulang!" ajak Ami sambil mengusap lengan suaminya sesaat, kemudian matanya kembali fokus pada pemandangan Kamal yang sedang merayu wanita hamil yang bersamanya.Ami ingin berkomentar, tetapi khawatir suaminya cemburu dan salah sangka. Jadi ia lebih memilih berdoa dalam hati, semoga Kamal juga seperti dirinya, mendapat jodoh yang baik.Perjalanan setengah jam terasa panjang, karenaAminarsih membuka matanya perlahan, kepalanya benar-benar serasa berputar dan tenggorokannya begitu kering. Ada sinar matahari siang mempertegas pandangannya yang kabur. Ada mertua, suami, anak, dan juga Opa Wijaya di sana."Pa, ini kita di mana?" Ami berusaha duduk. Ia kini berada di saung tepatnya di area perkuburan. Dengan tergopoh, Pak Samsul menghampiri saung sambil memberikan sebungkus teh manis hangat untuk Ami."Non, ini tehnya. Ayo, diminum dulu," ujar Pak Samsul."Teriamakasih, Pak." Pelan Ami meneguk teh manis yang diberikan Pak Samsul. Sepersekian detik kemudian, Ami mulai sadar akan yang terjadi sebelumnya.Kepalanya mencari ke sana-kemari sambil menginjakkan kaki di tanah."Mana Umi dan Abi, mana?" Ami kembali menangis sambil berlarian ke sana-kemari mencari pemakaman kedua orangtuanya."Sayang, tunggu!" Emir ikut berlari mengejar Ami, dan berhasil menahan lengan istrinya."Sayang,
Maksud hati hendak melanjutkan tadi yang sempat tertunda, tetapi apalah daya,moodAminarsih langsung turun drastis setelah mendengar permintaan Opa Wijaya. Emir sudah berkali-kali merayu, agar tak perlu khawatir, karena ada dirinya yang akan selalu bersama Ami. Namun, kenangan lalu yang begitu kelam membuat Ami merasakan sesak di dadanya saat ini. Jika ia akan berangkat besok malam ke Lombok, itu tandanya besok pagi ia harus segera bertemu dengan Devano.Mau menolak tidaklah mungkin, karena Opa Wijaya sudah berbuat banyak untuk dirinya dan juga Amira. Saat ia menyetujuinya, hati dan dadanya terasa sesak."Sayang, ini sudah sangat malam. Sudah jam dua belas. Ayo, tidur," bujuk Emir sambil mengusap rambut Ami dengan penuh sayang."Besok bagaiamana, Pa? Ibu takut," cicitnya sambil menggigit bibir bawahnya."Kalau Ibu takut, biar Papa yang temui lebih dlu, bagaimana?""Mmm ... ya udah, Papa yang duluan kete
"Bangunlah!" akhirnya Ami mengeluarkan suaranya setelah Devano masih saja bersujud di kakinya tanda ingin beranjak. Ada rasa iba sekalian was-was di dalamnya."Maafkanlah saya, Narsih. Saya berdosa padamu dan juga Amira. Ya Allah, maafkan saya," ujar Devano dengan isakan begitu dalam."Om, tenapa nanis? Ayo banun!" gadis kecil yang bernama Amira menyentuh lengan Devano yang tak sempurna. Devano menoleh sesaat, lalu fak kuasa menahan haru, ia kembali memeluk Amira."Maafkan ayah, Amira. Maafkan." Ami pun menangis haru. Emir yang tepat berada di sampingnya langsung memeluk sang istri untuk menenangkan. Mengusap rambutnya dengan penuh kelembutan."Sudah, Sayang. Jangan menangis!" Emir mendaratkan kecupan di kepala Ami yang masih tersedu di dadanya.Devano menyaksikan itu semua. Wanita yang secara tak sadar sudah menempati hatinya, kini menemukan lelaki yang bisa membahagiakan. Bukan sepertinya yang hanya bisa memberikan sakit d
Keduanya sudah berganti pakaian. Ami memakai baju tidur berbahan sateen warna merah, karena di dalam kopernya yang disiapkan oleh Bik Astri, tidak ada pakaian dengan potongan yang benar. Semuanya pakaian kekurangan bahan dan sangat seksi. Pasti Bik Astri diminta oleh Tuan Wijaya untuk menyiapkannya. Ami tak punya pilihan lain, ia tetap memakai pakaian itu walau dengan wajah sangat malu.Emir pun sama, bajunya hanya tiga potong, itu pun baju kaus untuk bepergian, bukan untuk tidur. Satu hal lagi yang mencengangkan keduanya, bahwa di dalam koper mereka hanya ada masing-masing dua pakaian dalam.Keduanya saling pandang, tak lama kemudian tertawa."Jadi, mungkin maksud Opa, kita berdua selama sepekan di sini, bagai bayi baru lahir. Gak perlu pake apa-apa, ha ha ha ....""Iya, ih. Masa pakaian kita cuma sedikit ya, Pa. Pantesan kode kopernya dikasih tahu barusan. Orang dalamnya baju kurang bahan semua," omel Ami sembari menggaruk rambutny
Keduanya masih bergelung di balik selimut, saat sayup-sayup adzan shubuh berkumandang dari kejauhan. Aminarsih membuka mata dengan perlahan, saat merasakan berat di pahanya. Saat ia menoleh, benar saja, ia sudah dijadikan guling oleh suaminya, pantaslah rasanya begitu berat."Pa, uhh ... berat!" Ami bermaksud menggeser kaki suaminya, tetapi tangannya ditahan oleh Emir yang ternyata sudah bangun."Di sini saja!" bisik Emir dengan suara serak. Lelaki itu menggeser kakinya, lalu kembali membawa samg istri ke dalam pelukannya."Sudah adzan, Pa," ujar Ami berbisik di dada suaminya."Ya udah, kita mandi yuk. Eh, salah ... mandiin Papa yuk!" goda Emir sambil mengecup singkat bibir istrinya.Emir menggendong sang istri masuk ke dalam kamar mandi, lalu melakukan ritual malam panjang mereka satu kali lagi di kamar mandi. Setelah itu, keduanya bergegas mandi, lalu melaksanakan sholat shubuh berjamaah.Emir memimpin sholat dengan
Pagi hari, Aminarsih sudah berpakaian rapi.Dressberwarna hijau laut dengan panjang sampai mata kaki adalah pilihannya. Rambutnya masih basah karena baru saja keramas. Lagi-lagi suaminya selalu menggodanya di pagi hari. Wajah segar sehabis mandi, menambah rona merah di pipinya yang bahkan belum ia bedaki. Kepalanya menoleh ke samping, tepatnya ke arah jendela kamar mereka. Emir sedang asik termenung menatap keluar, sambil memegang ponselnya.Ami memilih berjalan keluar kamar dengan pelan, agar suaminya tak terganggu. Ia menuju dapur, lalu membuatkan kopi untuk suaminya. Matanya mengintip sedikit dari jendela dapur, Amira sedang bermain sepeda bersama Bik Astri dan ditemani Bu Farida-mertuanya.Ami mendekati Emir, sambil membawa dua cangkir teh dan juga sepiring kentang goreng yang sudah tersedia di atas meja makan. Kebetulan sekali, masih hangat dan pasti cocok dinikmati sambil minum teh pagi hari.Emir menoleh, saat Ami menyentuh punda
Emir sudah berdiri di pelaminan bersama sang mama yang tampil cantik dengan kebaya mewah lengkap dengan kerudung mengkilapnya. Ballroom hotel sudah dipenuhi aneka bunga warna-warni yang aroma bisa sebagai refleksi ketengan jiwa. Begitu sedap dihirup dalam-dalam oleh siapa pun yang kini tengah hadir di sana. Aneka lampu kristal menggantung di langit-langit yang tinggi, menambah kesan glamour acara pesta pernikahan Ami dan Emir.Siang ini, acara memang hanya diisi oleh sambutan, pemakaian cincin pernikahan, serta mengenalkan Ami dan Amira pada keluarga besar Emir, serta relasi Guan Wijaya yang ada di Surabaya. Tak lupa semua teman dan relasi Bu Farida juga menjadi tamu undangan mereka."Ma, cincinya sama Mamakan?""Iya, ada di tas Mama. Ami ke mana? Kok belum selesai juga dandannya?" Bu Farida terus saja menatap pintu tertutup di pojok kanan ballrom, tempat di mana nanti Ami akan melewatinya."Istri Emir itu akan disulap bak cinderella
"Mama ...!" tanpa memedulikan tubuh polosnya, Emir turun dari ranjang dan berlari keluar kamar."Papa! Pake baju!" pekik Ami histeris, saat hampir saja suaminya keluar kamar seperti bayi, tanpa pakaian apapun. Emir tersadar, lalu mengambil asal sarung sholat yang ada di dekat pintu kamarnya."Pa." Maksud hati hendak menahan suaminya, apalah daya sang suami sudah melesat keluar kamar, dengan bertelanjang dada dan hanya memakai sarung asal saja."Mamaa, Ami hamil!" teriak Emir begitu kencangnya. Membuat semua orang yang sedang berbaring di depan ruang TV, seketika duduk menoleh ke arah Emir."Emir, ada apa?" Bu Farida belum meyakini pendengarannya."Aminarsih hamil," sahut Emir sembari berlari untuk duduk di samping sang mama."Ini, Ma." Emir memberikan sepucuk kertas pada mamanya. Bu Farida menggosok kedua matanya."Wah, Bude ... bener ini Mbak Ami hamil," ujar Restu keponakan dari Bu Farida.