Kita kasih mereka deket dulu, ya. Haha. Semangatttt bacanya. Akan banyak kejutan hubungan mereka di depannya. Jangan lupa kasih gem, komen, dan ulasan. Love you!
“Pernah dengar Operasi Langit Merah?” tanya Tavisha, lirih tapi mantap. Tak ada sahutan dari sosok pria di hadapannya. Yudha—nyaris seperti bongkahan es yang membeku. Bibirnya sedikit berkedut. Namun, tatapannya tetap tak terbaca. Tavisha yang melihat itu hanya bisa menerka—apa ada yang salah dari pertanyaannya? “Gue baca-baca literature sebelumnya, kejadian itu tepat sepuluh tahun yang lalu. Mungkin, lo ikut saat operasi itu berlangsung?” Pertanyaan itu semakin membuat Yudha membeku. Seolah ada luka lama yang kembali menganga. Kesakitan yang tak pernah dirasa, kini begitu menyiksa. Kepalan tangan diatas meja, rahang yang semakin mengeras—membuat atmosfer ruangan seketika memanas. “Hei? Lo dengar gue, ‘kan?” Tavisha melambaikan tangan di depan wajah pria yang kini membisu. Entah apa yang ada dipikiran Yudha saat itu. Tavisha hanya ingin bertanya untuk menggugurkan rasa penasarannya saja. Tapi yang ia dapati, Yudha justru melamun. “Ya, kalau lo nggak mau jawab … juga nggak apa-a
Tavisha membeku kala mendengar ucapan yang baru saja terlontar dari bibir suaminya. Apa katanya? Saling mengenal? Diam-diam Tavisha tersenyum tipis. Lebih tepatnya mengejek. Mana ada seorang pria yang mengajak lebih dekat dengan tatapan dingin dan ucapan datar seperti itu? Ah! Sepertinya Tavisha harus belajar bahasa kalbu agar bisa mengetahui apa maksud Yudha mengajaknya untuk lebih saling mengenal. “Gue nggak salah dengar?” Dari sekian banyak kalimat yang bisa ia lontarkan, hanya kata-kata itu yang terekam di otaknya. Tavisha ini … tipikal perempuan yang sulit dimengerti. Ya, walau sebagian banyak perempuan juga berlaku sama. Tapi, Tavisha ini memang sungguh extraordinary orangnya. “Memang ada yang salah dari ucapan saya?” “Ya … nggak ada sih.” Tavisha berdehem, memalingkan wajah sejenak karena tatapan Yudha saat itu sungguh sulit ditebak. Sorot mata yang tajam bersamaan dengan rahang mengeras, membuat Tavisha berpikir—ucapan itu hanya basa-basi semata. Entahlah, mengapa s
Saking tidak pernah berkomunikasi, Tavisha bingung ketika ada pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ia pun membaca sekali lagi pesan tersebut. Barulah ia ingat kalau Yudha, suaminya—akan menjemput jam delapan malam. Sungguhan selama hampir dua minggu tinggal satu atap, Tavisha baru ingat kalau dirinya belum menyimpan kontak pria itu. Tavisha buru-buru menekan tombol save kontak dengan nama yang begitu kaku, Barathayudha Dirgantara. Jauh dari realita bahwa mereka sepasang suami istri. Dengan tergesa Tavisha bangkit dari duduknya. Ia meraih tas lalu berpamitan pada Samuel. “Eh, Sam. Gue kayaknya duluan deh. Sorry gue tinggal. Bye!”“Lho, memang sudah selesai?” “Lanjut besok. Gue udah di jemput. Tavisha pun langsung berjalan keluar gedung tersebut. Samuel yang melihat kepanikan dalam diri sahabatnya hanya bisa menggelengkan kepala. Langkah kaki Tavisha menyusuri koridor yang sudah mulai lengang. Tak ada ketakutan sedikitpun dari raut wajahnya, meskipun ia seorang perempuan. Pasalnya, i
Atmosfer di meja makan itu seketika membeku kala tatapan dingin Yudha tertuju pada perempuan di sisi kanannya. Koran sudah diletakkan di meja. Dan pandangan Yudha sudah sepenuhnya terarah pada Tavisha—perempuan yang tampak gugup. Bahkan, wajahnya bak kepiting rebus, karena menahan batuk akibat tersedak sereal. “Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Yudha, memastikan kembali. Tavisha meraih gelas di hadapannya, meneguk perlahan lalu memandang sepenuhnya ke arah pria tersebut. “Gue ….” Bibir itu menjadi kelu. Entah mengapa, rasanya sangat sulit untuk berbicara sedikit lebih lembut dengan pria di hadapannya. Tavisha, tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Apalagi setelah ia menangis semalaman. Teringat bagaimana sikap dingin pria itu yang menyudutkan. Bahwa dirinya tidak bisa menjadi istri yang menjaga martabat sang suami. Sungguhan, jika bukan karena menghargai Dahlia sebagai ibu mertuanya—mungkin Tavisha akan bersikap semena-mena pada pria di hadapannya itu. “Iya, kamu kenapa?” tan
Malam semakin larut bersama keheningan yang menusuk. Setelah kepergian Yudha ke kamarnya, Tavisha hanya membeku. Lampu ruang tamu tetap menyala, meski tak ada suara televisi yang sejak tadi hanya menjadi latar bisu. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh kalimat terakhir yang terdengar begitu jelas. Tajam seperti pecahan beling yang menghujam tanpa ampun. “Cemburu bukan bagian dari kontrak kita.”Kalimat itu terngiang kembali dan langsung menusuk tepat di hatinya. Memang benar. Pernikahan mereka hanya sebatas kontrak. Kontrak—satu kata yang membangunkan Tavisha dari kenyataan pahit. Bahwa mereka tidak akan pernah terikat. Memang itu yang ia inginkan sejak awal. Tapi, tidak bisakah Yudha bersikap sedikit lebih lembut? Ia tahu, pria itu terlahir dari darah seorang abdi negara. Didikannya mungkin keras. Tapi, Tavisha tidak bisa jika harus diperlakukan kasar. Hatinya rapuh. Hanya saja, selama ini ia tutupi dengan segala sikap tantrumnya. Karena dengan begitu—orang lain tidak akan memandang
“Nak … Yudha memperlakukan kamu dengan baik, ‘kan?”Sebuah pertanyaan terlontar dan Tavisha sendiri tidak tahu jawabannya. Pria itu memang tidak kasar—setidaknya untuk saat ini. Tapi, melihat sikapnya yang dingin dan tidak terbaca, entah mengapa membuat hatinya terluka. Sejak remaja, ia sudah sering menghadapi sikap dingin ayahnya. Seolah, ia hanya anak yang perlu dijaga tanpa perlu diberikan perhatian. Padahal, Tavisha ingin lebih dari itu. Terlebih setelah ibunya meninggal dunia. Tavisha merasa benar-benar membutuhkan seseorang yang bukan hanya bisa sekadar menjaga, melindungi, dan memperhatikan keselamatannya. Jauh dari itu semua, ia butuh kasih sayang. Namun, Yudha tidak bisa berikan. Itu mengapa, jika ditanya—apakah pria itu memperlakukannya dengan baik? Tentu saja jawabannya, tidak. Bukan itu yang Tavisha inginkan. Tavisha yang tampak larut dalam lamunan membuat Dahlia akhirnya menyentuh pundak sang menantu. “Nak?” Tavisha menoleh dengan gelagat yang membingungkan. Tatapanny