Pasti pada salfok sama judul bab, wakaka. Selamat berkelana pikirannya. Yuk, support terus. Pokoknya maish mau manis-manisan dulu sebelum digempur habis-habisan. Eh.
“Mau kemana dulu?” tanya Yudha begitu mobil mereka meninggalkan kompleks cluster. Tavisha yang sedang fokus bermain ponsel, langsung mengalihkan pandangannya ke arah sang suami. Matanya berbinar cerah, menatap Yudha yang fokus menyetir. Setelahnya, ia teringat bahwa di bioskop sedang tayang film tentang abdi negara. Rasa penasarannya begitu membuncah. Maka, dengan antusias ia berkata, “Mas, di bioskop lagi tayang film tentang abdi negara. Kita nonton itu aja, yuk?” Yudha tak menjawab. Kisah film itu menceritakan bukan hanya tentang operasi militer di medan perang, tetapi juga menyoroti konflik keluarga dan pergolakan batin seorang perwira dalam memilih jalan hidupnya. Hal ini membuat Yudha khawatir tentang Tavisha. Ia takut sang istri ke-trigger dengan apa yang dialami oleh tokoh tersebut. “Mas? Kok diem aja?” Tavisha yang semula begitu antusias menjadi murung karena tak ada respon dari suaminya. Ya, begitulah Yudha. Minim ekspresi dan tidak mudah dipahami. “Kamu yakin?” tanya
“Kamu yakin siap tidur satu kamar?” suara Yudha sangat pelan, nyaris bercampur dengan deru napas mereka. Pria itu tak lantas mengalihkan tatapannya. Ia mencoba menelaah setiap tarikan napas perempuannya. Hela nafas antara mereka terasa berat. Bukan karena canggung, tapi karena sesuatu yang terikat—entah apa. Tavisha menelan ludah. Ia tak tahu harus menjawab apa. Jujur saja, ia tidak mengerti perasaannya. Tapi, setelah apa yang terjadi malam itu. Rasanya, jauh dari sang suami adalah hal yang paling ia takuti saat ini. Tak lama, terdengar suara hela napas Yudha. “Kalau kamu siap, malam ini saya tidur disini.”Hanya satu kalimat. Tapi, mampu membuat jantung Tavisha berdetak kencang. Ia memang tidak langsung menunjukkan ekspresi kegirangan. Meskipun sejujurnya, dalam dadanya seperti ada kembang api yang sudah meletup tak terkira. Ia menunduk, berpura-pura sibuk merapikan selimut. Padahal, ia sangat gugup. Tak ada jawaban yang berarti sampai tiba-tiba Yudha beranjak dari tempatnya, berj
“Hmmmm … kalau kita nge-date aja gimana?”Yudha menatap wajah sang istri selama beberapa detik, seolah menimang ajakan tersebut.“Nge-date?” tanya Yudha, mencoba memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar. “Iya.”Tavisha mengangguk. Bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. Ia berusaha tenang meski jantungnya kini berdegub kencang. Tavisha benar-benar seperti remaja yang terlihat sedang jatuh cinta. Seakan, kehadiran Yudha adalah udara yang mampu membuatnya bernafas. “Lagipula, kita belum pernah jalan bareng, ‘kan? Aku rasa nggak masalah menghabiskan waktu sebelum kamu sibuk lagi.”“...”Yudha hanya bergeming. Ada binar cerah yang tampak dari manik hazel perempuan itu. Kalau dipikir-pikir, Tavisha ini sungguh lucu. Dulu ia yang berusaha menjauh dengan mengajukan pasal-pasal. Sekarang, justru dirinya yang mencoba mendekat. “Aku mau ngerasain kayak pasangan normal.”Kalimat itu langsung membuat Yudha mendongak. Apa dirinya tidak salah dengar? Lantas Yudha menurunkan tatapannya ke
Hari berlalu begitu cepat. Selama lima hari, Tavisha benar-benar tidak pernah keluar dari rumah. Ia mengerjakan semua tugas kuliah dan diskusi bersama Samuel melalui daring. Bukan karena ia tidak mau. Ia hanya ingin menjaga diri dan mendengarkan nasehat Yudha. Ia ingin menjadi istri yang benar-benar menjaga citra suaminya. Bahkan, untuk makan—Tavisha hanya mengandalkan aplikasi daring. Meskipun membosankan, setidaknya ia ingin membuktikan pada Yudha, bahwa dirinya bisa menjadi seorang perempuan yang menjaga citra suaminya. Sempat sekali Samuel mengejek Tavisha yang mulai berubah seratus delapan puluh derajat. Sebagai sahabat yang lama mengenal seluk beluk Tavisha—Samuel merasa perempuan itu banyak berubah. Ia merasa, Tavisha benar-benar sudah jatuh ke dalam pelukan sang abdi negara. Suaranya yang lantang sekarang mulai merendah. Wajah juteknya kini melembut. Auranya benar-benar berbeda. Tavisha definsi perempuan yang tengah jatuh cinta. Malam itu, Tavisha duduk di meja makan—membuk
“Kamu dan Lettu Bening … punya hubungan apa?”Yudha terdiam. Deru napas di seberang sana terdengar lebih lambat, seolah pria itu sedang menimang setiap kata yang akan keluar dari bibirnya. Sementara itu, Tavisha menunduk, menggigit bibir bawahnya. Sungguh, jantungnya kini berdetak terlalu cepat, seperti merespon ketegangan yang tidak terlihat, tapi bisa ia rasakan.“Bening itu … bukan siapa-siapa,” ucap Yudha, pelan. Kalimat itu tampak sederhana, tapi bagi Tavisha justru terdengar terlalu diplomatis. Ia tidak merasakan kebohongan juga tidak merasakan kejujuran sepenuhnya. Hatinya masih belum puas. Tentu saja, karena Tavisha seorang perempuan yang tidak mudah percaya begitu saja. “Tapi kalian pernah dekat?” tanyanya pelan. Ia berusaha agar nada suaranya tidak terdengar seperti sedang mengintrogasi. Meski sebenarnya itu yang tengah ia rasakan, seperti sedang berada di ruang tertutup dan berusaha mengorek perlahan-lahan.Yudha kembali bergeming. Kali ini cukup lama, sebelum akhirnya t
Tavisha Putri Tandjung: Kamu baik-baik aja kan, Mas? Seenggaknya kasih kabar aku kalau udah sampe. Yudha menatap layar ponselnya lama sekali. Jemarinya ragu untuk mengetik. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ia tahu, sang istri pasti bertanya-tanya. Ia juga tahu, sang istri mungkin khawatir dengan keberadaannya. Sampai akhirnya, ia mulai mengetik. Me: Saya sudah sampai tujuan. Maaf tidak langsung mengabari. Lokasinya minim sinyal. Saya baru bisa mengaktifkan ponsel.Namun, kalimat yang baru saja diketik, ia hapus kembali. Menurutnya, itu terlalu dingin. Ia pun mengetik ulang. Me: Maafkan saya, Tavisha. Saya sudah sampai ditujuan. Cuma disini minim sinyal. Jadi, saya baru sempat mengabari kamu. Apa kamu baik-baik saja?Kali ini, Yudha memberanikan diri untuk mengirimkan pesan tersebut. Ia tidak pernah berbasa-basi menanyakan kabar seorang perempuan. Tapi, kali ini—ia mencoba lebih hangat, sehangat malam yang pernah mereka lewatkan. Hubungan mereka, bukan lagi sekadar perjodohan. A