Sebelum konflik ena-ena dulu ga sih? Hihi. Pokoknya ikuti terus. Apalagi kalau penasaran sebenarnya ada apa di masa lalu mereka dan kedua orang tuanya. Cusss, komen, rate, kasih ulasan, dan gem. Maaciw banyak-banyak.
“Saya bersiap-siap dulu. Kamu tunggu di ruang makan. Ada yang mau saya bicarakan.”Tavisha masih berbaring, memandang pintu kamar yang baru saja ditutup sang suami dengan nanar. Suara langkah itu terdengar menjauh, meninggalkan dirinya dalam kebingungan. Ada sesuatu yang terasa berat, entah karena apa. Tapi, kalimat yang baru saja terlontar membuat benaknya dipenuhi tanda tanya besar. Ada apa?Tavisha menghela napas panjang, lalu bangkit dengan malas. Rambutnya yang berantakan jatuh menutupi wajah. Ia berjalan ke kamar mandi, membasuh wajah dengan air dingin agar pikirannya lebih jernih. Bayangan Yudha yang begitu serius tadi kembali terngiang. Apa suaminya benar-benar marah? Atau ada hal lain yang lebih besar, tentang apa yang belum pernah ia ketahui?Selesai mandi, Tavisha menuruni anak tangga menuju ruang makan. Aroma roti yang menguar, telah memenuhi indra penciumannya saat ia menapaki lantai dasar. Tavisha mendapati sang suami sudah di dapur dengan seragam PDH berwarna biru muda.
Setibanya di rumah, tepat pukul sepuluh malam—Tavisha langsung melangkah menuju kamar di lantai atas. Namun, tiba-tiba saja langkah kakinya terhenti ketika sebuah tangan mencengkalnya. Tavisha menatap wajah sang suami yang tengah mengerutkan kening. Napas Yudha terasa berat, meski suaranya berusaha terdengar santai.“Tadi Ibu cerita apa saja?” tanya Yudha, nada bicaranya terdengar lembut. Sementara Tavisha memiringkan kepala, menatap sang suami yang berdiri tepat di hadapannya.“Cerita masa kecil kamu,” jawab Tavisha begitu santai. “Seperti?”Tavisha mengulum senyum. Sepertinya, Yudha sangat takut kalau Dahlia menceritakan hal yang memalukan. Terlebih, Yudha orang yang sangat menjaga wibawanya di depan sang istri. “Mas, kamu setegang itu, takut Ibu cerita hal memalukan?”Bibir Yudha berkedut. “Bukan takut. Cuma … penasaran aja.”“Aku ‘kan udah bilang, Mas. Ibu cerita soal masa kecil kamu,” jawab Tavisha, sambil melangkah pelan menuju tangga. Namun Yudha masih enggan melepaskan ceng
“Uhuk!” Dahlia beralih ke arah suaminya, menyodorkan air mineral seraya mengusap punggung pria disana. Suasana ruang makan yang semula tegang pelan-pelan mereda setelah insiden tersedak pria yang usianya lebih dari setengah abad tersebut. “Pelan-pelan, Pak. Diminum dulu.”Sementara Tavisha dengan ragu-ragu menyodorkan serbet kain. Dirgantara hanya mengangguk singkat sebagai ucapan terima kasih, meski sorot matanya masih menyimpan sesuatu yang entah heran, terkejut, atau waspada—Tavisha tidak bisa menebak itu. Tavisha menatap bingung sang ayah mertua. Kemudian, mengalihkan tatapannya ke arah sang suami yang ada di dekatnya. Makan malam itu terus berlanjut, tanpa ada komentar dari Dirgantara tentang tema skripsi yang ingin dikulik menantunya. Masing-masing menghabiskan santapan itu dengan khidmat dan tenang. Tidak ada perbincangan lebih lanjut. Yang ada hanya keheningan yang membuat jantung Tavisha semakin berdegub kencang. Tak lama kemudian, setelah piring-piring makan malam diber
Sepanjang perjalanan menuju kediaman Dirgantara, Tavisha tak henti membenahi rambut dan pakaian. Selain itu, bibirnya pun tak henti-hentinya menggerutu. Bukan karena kesal, tapi karena ia tidak mempersiapkan apapun. Bagaimana tidak, ia hanya mengenakan pakaian yang terlampau santai. Sama sekali tidak mencerminkan bahwa ia istri seorang perwira. Jika bertemu ayah mertuanya, apa yang harus ia katakan? Ah! Memikirkannya saja Tavisha enggan. Diam-diam Yudha melirik sang perempuan yang tampak panik dan kelimpungan. Baginya, kepanikan Tavisha sangat menghibur. Perempuannya itu sangat lucu, apalagi sudah mengerucutkan bibir. Sungguh menggemaskan!Yudha melirik dari ekor matanya. Disaat berikutnya, bibir itu mengulum senyum. Tipis sekali, seperti benang. “Mas, aku beneran nggak siap lho! Ini pertama kali aku ke rumah Ibu sama Bapak! Aku harus bagaimana? Nanti ngomong apa?”Pandangan Tavisha yang sudah sepenuhnya menatap ke arah sang suami, kini menarik lengan kemeja itu, hingga membuat kemu
“Kamu ajak aku kesini?” tanya Tavisha, mengedarkan pandangan. Tempat itu bukan sesuatu yang istimewa. Dan juga saat ini mood Tavisha sedang tidak ingin memikirkan hal yang berat. “Ya,” jawab Yudha datar, tapi bibirnya melengkung tipis. “Kamu ‘kan lagi siapin skripsi. Saya pikir, tidak ada salahnya cari referensi disini.”Nyatanya, Yudha membawa Tavisha kali ini ke sebuah toko buku. Ia tahu maksud suaminya itu baik. Tapi, tolonglah … kali ini Tavisha sedang merasa galau akibat film. Memikirkan untuk menyelesaikan skripsi saja, tidak ada agendanya saat ini. “Tapi, Mas. Aku lagi ….”“Selagi saya masih disini dan belum sibuk dengan urusan negara.”Nada terakhir itu Yudha ucapkan dengan sengaja, sedikit merendah, seolah ingin melunakkan sisa ketegangan di antara mereka. Dan kata-kata itu pula, membuat Tavisha hanya memandang tanpa ekspresi berarti. “Saya mau bantu kamu untuk selesaikan studi, Tavisha.”“...”Tavisha terdiam, menatap wajah Yudha cukup lama. Ada perasaan hangat yang tiba-t
“Mau kemana dulu?” tanya Yudha begitu mobil mereka meninggalkan kompleks cluster. Tavisha yang sedang fokus bermain ponsel, langsung mengalihkan pandangannya ke arah sang suami. Matanya berbinar cerah, menatap Yudha yang fokus menyetir. Setelahnya, ia teringat bahwa di bioskop sedang tayang film tentang abdi negara. Rasa penasarannya begitu membuncah. Maka, dengan antusias ia berkata, “Mas, di bioskop lagi tayang film tentang abdi negara. Kita nonton itu aja, yuk?” Yudha tak menjawab. Kisah film itu menceritakan bukan hanya tentang operasi militer di medan perang, tetapi juga menyoroti konflik keluarga dan pergolakan batin seorang perwira dalam memilih jalan hidupnya. Hal ini membuat Yudha khawatir tentang Tavisha. Ia takut sang istri ke-trigger dengan apa yang dialami oleh tokoh tersebut. “Mas? Kok diem aja?” Tavisha yang semula begitu antusias menjadi murung karena tak ada respon dari suaminya. Ya, begitulah Yudha. Minim ekspresi dan tidak mudah dipahami. “Kamu yakin?” tanya