Pagi itu matahari masih enggan naik sepenuhnya ke langit ketika Tavisha melangkah cepat di lorong lantai dua. Hening, selain suara langkahnya sendiri yang bergema di seluruh penjuru rumah. Rambutnya dicepol tinggi, pakaian yang ia kenakan sederhana—menggambarkan bahwa ia memang sosok mahasiswi. Balutan kaos oversize serta celana jeans selalu menjadi andalannya. Langkah itu semakin tegas berkelana, matanya menyala dengan tekad yang tak bisa diganggu gugat.
Setelah apa yang terjadi semalam. Betapa dinginnya sosok sang suami dan tidak berprikemanusiaannya. Tavisha perlu mempertegas bahwa ia tidak akan hidup dalam kendali pria itu. Hari ini ia akan menyelesaikan satu hal penting. Perjanjian pernikahan.
Ia tak sudi menjadi boneka dalam permainan politik keluarga. Jika mereka mengikatnya pada pria bernama Yudha demi misi yang ia sendiri tak tahu, maka ia juga berhak menentukan kapan akan melepaskan diri. Ia sudah menyusun draft perjanjian pernikahan itu semalam, dengan pasal-pasal rinci, termasuk satu diktum terakhir—pernyataan bahwa setelah misi pria itu selesai, maka pernikahan ini bisa berakhir secara damai tanpa saling menuntut.
Sungguhan. Tavisha tidak butuh romansa. Ia tak butuh ikatan yang hanya basa-basi saja. Ia hanya ingin kendali atas hidupnya sendiri. Tanpa bayang-bayang sang ayah ataupun suaminya.
Setelah menjejaki beberapa ruangan, Tavisha akhirnya berhenti di sebuah ruang berdinding kaca. Dimana, sosok yang ia cari-cari ternyata ada disana, yakni ruang gym. Entahlah, apa memang kebiasaan pria itu selalu menghabiskan waktu untuk latihan di pagi hari. Ah, sepertinya Tavisha lupa bahwa sang suami adalah sosok prajurit. Abdi negara yang selalu dipandang sebagai pribadi yang ‘disiplin’.
Suara dentuman besi yang beradu dan napas berat menyambutnya saat Tavisha memasuki area itu. Matanya langsung terkunci pada sosok yang ia cari. Yudha. Pria itu sedang melakukan pull-up, tubuhnya menggantung di tiang logam, otot-otot punggungnya menegang setiap kali ia menarik tubuh ke atas. Kulitnya basah oleh keringat, rambut hitamnya sedikit menempel di dahi. Ia hanya mengenakan celana jogger gelap, tanpa atasan. Napasnya berat namun teratur. Tak satupun dari gerakannya tergesa.
Tavisha berdiri di ambang pintu, menanti dalam diam. Ia sengaja tidak memanggil, membiarkan kehadirannya tertangkap oleh insting Yudha. Tepatnya, ia terpesona oleh sisi lain dari pria itu.
Benar saja, setelah beberapa tarikan, pria itu menurunkan tubuhnya. Menjejakkan kaki ke lantai, lalu memutar tubuh. Pandangannya bertemu milik Tavisha—tenang, tanpa kejutan.
“Kamu bisa bangun pagi juga,” ucapnya sembari menyeka wajah dengan handuk kecil yang diambil dari bangku kayu di dekatnya. Namun, kata-kata itu bagai sindiran yang memancing emosi Tavisha untuk keluar.
“Memang lo doang yang bisa disiplin!”
Yudha hanya mengangkat bahu sambil meneguk air mineral.
“Ada apa?” tanyanya, kemudian.
“Gue kesini bukan buat basa-basi,” jawab Tavisha. Ia melangkah masuk, tanpa mengalihkan pandangannya dari pria itu.
“Kita perlu bicara.”
Yudha sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran perempuan itu. Ia dengan santai mempersilakan Tavisha.
“Silakan.”
Tavisha menarik satu kursi di hadapannya. Kemudian meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja kayu antara mereka.
“Ini perjanjian pernikahan kita,” ujar Tavisha sambil menyodorkan kertas-kertas tersebut, menunjukkan halaman-halaman yang sudah dicetak rapi.
“Ada beberapa poin yang perlu lo baca dan tanda tangani.”
Yudha mengambil lembaran kertas itu dengan tenang. Ia tidak langsung membacanya, melainkan menatap Tavisha beberapa detik—lama, tenang, dan seolah sedang menilai sesuatu di balik ekspresi sang perempuan.
“Apa maksudnya?”
“Gue nggak tahu misi apa yang Papa kasih ke lo sampai harus nikahin anak kecil kayak gue.”
“...”
“Tapi gue nggak mau selamanya hidup dalam kendali kalian.”
“Lalu?”
Tavisha begitu terkejut melihat Yudha yang begitu tenang. Bahkan tidak terganggu oleh kebisingan yang ia ciptakan di pagi hari.
“Gue nggak keberatan memainkan peran sebagai istri cuma buat menjaga wajah dan stabilitas politik kalian. Tapi, jangan harap gue mau hidup selamanya sama lo!”
Yudha akhirnya menunduk, mulai membaca. Suara kertas yang dibalik pelan menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Tavisha terdiam ketika tak ada sahutan dari sang suami. Ia hanya mengamati cara pria itu mengernyit tipis saat membaca pasal-pasal—tentang batas kewajiban, hak privasi, hak keputusan pribadi, hingga... pasal terakhir.
Pasal IX: Bersepakat untuk cerai setelah misi-misi selesai.
Yudha mengangkat wajahnya.
“Jadi kamu berniat cerai?”
“Gue bukan alat transaksi politik kalian,” jawab Tavisha, tegas. “Gue juga hidup bukan buat jadi boneka politik Papa—atau apapun itu. Gue mau menjalani hidup sesuai dengan apa yang gue yakini.”
Yudha tersenyum tipis, terkesan mengejek.
“Kenapa ketawa? Ada yang lucu?”
Yudha menautkan jemarinya, menyandarkan punggung ke kursi.
“Anak kecil kayak kamu tahu apa tentang hidup?” balas Yudha dengan tatapan yang tak terbaca.
Mendengar pernyataan itu, membuat bulu kuduk Tavisha seketika meremang. Suaminya benar-benar bukan sosok yang bisa diancam ternyata. Pria itu terlihat sangat mendominasi—hingga ia pun tak bisa berkata-kata lagi.
“Bagi saya pernikahan bukan sesuatu yang bisa dipermainkan, Tavisha.”
Tavisha tertohok. Ucapannya begitu tenang. Namun, tatapannya tetap menunjukkan ketajaman. Tak ayal jantung Tavisha pun ikut berdetak tak karuan.
“Kalau pernikahan bukan main-main. Kenapa lo terima perjodohan ini sementara harusnya lo tahu kalau ini tuh—”
“Karena saya mau,” potong Yudha. Tubuhnya beranjak dari kursi, seolah tak ingin mendengar alasan apapun. Alhasil, Tavisha dibuat kebingungan.
“Eh mau kemana!”
Tavisha menahan lengan pria itu yang langsung mendapat tatapan dingin.
“Saya harus ke markas.”
Yudha berlalu meninggalkan perjanjian pernikahan itu tanpa satupun tanda yang tercetak diatas kertas. Tavisha hanya bisa mendengus kesal, tubuhnya menegang. Melihat ketenangan Yudha membuat emosinya semakin tak terkendali.
“Dasar angkuh! Nyebelin!”
Langkah kaki Yudha berhenti di ambang pintu. Seketika itu pula, suhu ruangan terasa berat bagi perempuan disana. Apa Yudha tersinggung dengan ucapannya barusan?
Cukup lama sampai suara pria itu membuyarkan lamunan.
“Saya sudah siapkan sarapan. Itu pun kalau kamu mau.”
Kalimat itu kontan membuat Tavisha terperanjat. Apa ia tidak salah dengar? Pria seangkuh Baratayudha Dirgantara? Tavisha hampir saja tertawa. Namun ia tahan demi menjaga reputasinya
di hadapan pria itu.***
Tavisha duduk di meja makan itu sendiri. Tak lama kemudian Yudha melangkah keluar dari kamar dengan seragam PDL berwarna hijau lumut. Apa tidak ada jeda bagi seorang tentara yang baru saja menikah? Tavisha menggerutu dalam hatinya.
Ia menunduk, menyantap salad buatan Yudha tanpa menghiraukan keberadaan pria disana.
“Saya berangkat. Kamu bisa bawa mobil sendiri, ‘kan?”
Sebelum Yudha meninggalkan ruangan itu, ia memandang sang istri yang masih asyik mengunyah.
“Hmmmm.”
“Kamu bisa pakai mobil yang ada di garasi. Kuncinya di meja itu.”
Yudha menunjuk meja, di sisi ruang tamu.
“Oke.”
Tanpa basa-basi, Yudha pun meninggalkan istrinya sendiri dalam keheningan. Tak ada ucapan salam atau kecupan lembut di kepalanya.
Dan inilah yang tidak perempuan itu sukai. Tidak berbeda dengan kehidupan yang selama ia jalani. Bedanya, di kediaman Tandjung, ada pelayan yang selalu melayani dan menghibur dirinya.
Usai kepergian Yudha, Tavisha memindai seluruh penjuru ruangan. Meski tanpa asisten rumah tangga, ternyata rumah itu sangat rapi dan bersih. Seolah menunjukkan bahwa Yudha memang sosok yang menyukai kerapihan dan kebersihan.
Waktu terus berlanjut—Tavisha akhirnya beranjak setelah menghabiskan seluruh salad dalam mangkuknya. Ia melangkah kembali ke kamar untuk mengambil laptop serta tasnya sebelum berangkat ke kampus. Namun, tiba-tiba saja hidungnya berair dan tenggorokannya mengering.
“Hmmmm,” dehem perempuan itu tanpa menaruh curiga apapun. Tavisha tetap fokus bersiap-siap. Sampai sebuah ruam mulai bermunculan di telapak tangan.
“Shit! Dia buatin sarapan karena mau bunuh gue, ya?” tuduh Tavisha.
Kini tubuh Tavisha bergetar. Alergi adalah sesuatu yang sangat ia hindari. Sebab, jika alerginya sudah kambuh—maka pernapasannya akan terganggu. Tavisha buru-buru meraih ponsel, mencoba menghubungi sang sahabat sebelum terlambat. Namun, suara diseberang sana tak kunjung terdengar.
"Shit ... shit!"
Tavisha bergegas lari ke lantai bawah, mencari kotak obat atau apapun itu, berharap setidaknya ada obat untuk meredakan alergi. Namun, setelah kesana kemari, ia tetap tidak menemukannya. Bayangkan saja, baru semalam ia menginjakkan kaki di rumah itu. Jadi, jangan salahkan dirinya yang sama sekali tak tahu peletakan barang-barang disana.
“Ah, damn!”
Napas Tavisha semakin memburu. Tubuh pun mulai gemetar. Apalagi dengan ruam yang membuat sekujur tubuhnya gatal. Sekali lagi, Tavisha meraih ponsel untuk menghubungi sang sahabat namun tetap tak ada jawaban. Sementara, ia pun tak tahu berapa nomor ponsel sang suami. Dasar bodoh!
“Akh!”
Tavisha menekan dadanya yang mulai terasa sesak. Jemarinya berpegangan pada meja, berharap bantuan segera datang.
‘Ma, tolong Tavisha.’
***
Halo, jangan lupa kasih rating, comment, ya. Makasih
Usai menyelesaikan misi di luar kota, Yudha langsung kembali. Ada satu misi lain yang harus diselesaikan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, yaitu meluruskan apa yang terjadi. Bahwa sesungguhnya ia tidak tahu tentang riwayat alergi sang istri. Setelah beberapa hari menghilang tanpa jejak, ia yakin—Tavisha yang mudah sekali berapi-api akan tersulut emosi. Untuk itu, langkah kakinya berat dan cepat, seolah dibersamai oleh badai yang tak terlihat. Yudha bahkan belum sempat mengganti seragam yang mungkin tampak lusuh. Tapi ia tidak peduli. Bahkan, matanya terlihat memerah bukan karena kantuk, tapi karena ia tidak tidur dalam memimpin misi penyelamatan sandera yang menegangkan. Namun, yang menguasai pikirannya sejak kembali ke ibu kota bukanlah misi tersebut, melainkan satu nama—Tavisha.Ia tak sempat ke rumah atau bahkan menghubungi komandannya. Begitu mendarat, ia hanya meminta izin darurat ke markas untuk langsung menuju rumah sakit. Dada Yudha sesak karena rasa bersalah. Ia mendeng
Ruang perawatan intensif itu hening. Hanya suara monitor detak jantung dan desisan lembut dari tabung oksigen yang memecah sunyi. Lampu ruangan redup, menghindarkan pasien dari silau yang bisa menambah tekanan. Tirai gorden sedikit terbuka, membiarkan semburat cahaya jingga menyelinap masuk melalui jendela kaca yang sedikit berembun. Udara di dalam ruangan tetap dingin, namun tak cukup untuk mengusir bayangan tadi pagi.Tavisha membuka matanya perlahan. Kelopak matanya berat, seperti digantungi oleh batu. Penglihatannya buram dalam beberapa detik, tapi perlahan mulai fokus. Warna putih mendominasi pandangan. Bau antiseptik menyeruak tajam di indera penciuman. Hal itu, menyadarkan bahwa dirinya sedang ada di rumah sakit. Ia tidak langsung bergerak. Dadanya terasa sesak, meski tidak seberat beberapa jam sebelumnya. Ada rasa mengganjal di tenggorokan. Nafasnya masih pendek, tapi tidak lagi menyakitkan.Ketika kesadarannya kembali utuh, otaknya langsung memutar ulang potongan-potongan in
Yudha berdiri tegak di barisan paling depan ketika matahari mulai naik, sehingga menciptakan siluet tajam di balik deretan prajurit berseragam lengkap. Ia tampak fokus mendengarkan laporan komandan upacara, tetapi dibalik ketegasan, pikirannya belum sepenuhnya pulih dari bayang-bayang perjanjian pernikahan yang Tavisha ajukan tadi pagi. “Gue nggak keberatan memainkan peran sebagai istri cuma buat menjaga wajah dan stabilitas politik kalian. Tapi, jangan harap gue mau hidup selamanya sama lo!”Sungguhan perempuan itu berhasil membuat hidupnya jauh dari kata tenang. Selama ini, ia menganggap pernikahan hanya akan menghambat karirnya. Dan benar saja, selama apel pagi, ia dibuat tidak tenang. Meskipun ia berusaha setenang lautan, tapi gemuruh ombak tetap menggoyahkan pertahanan. Yudha tak tahu apa yang akan terjadi di dalam hubungan pernikahan mereka nantinya. Bahkan, maksud dibalik perjodohan itu terlalu samar. Apa benar yang Tavisha katakan? Bahwa pernikahan mereka hanya demi misi yang
Pagi itu matahari masih enggan naik sepenuhnya ke langit ketika Tavisha melangkah cepat di lorong lantai dua. Hening, selain suara langkahnya sendiri yang bergema di seluruh penjuru rumah. Rambutnya dicepol tinggi, pakaian yang ia kenakan sederhana—menggambarkan bahwa ia memang sosok mahasiswi. Balutan kaos oversize serta celana jeans selalu menjadi andalannya. Langkah itu semakin tegas berkelana, matanya menyala dengan tekad yang tak bisa diganggu gugat. Setelah apa yang terjadi semalam. Betapa dinginnya sosok sang suami dan tidak berprikemanusiaannya. Tavisha perlu mempertegas bahwa ia tidak akan hidup dalam kendali pria itu. Hari ini ia akan menyelesaikan satu hal penting. Perjanjian pernikahan.Ia tak sudi menjadi boneka dalam permainan politik keluarga. Jika mereka mengikatnya pada pria bernama Yudha demi misi yang ia sendiri tak tahu, maka ia juga berhak menentukan kapan akan melepaskan diri. Ia sudah menyusun draft perjanjian pernikahan itu semalam, dengan pasal-pasal rinci, te
Pernikahan Tavisha dan Barathayudha berlangsung seperti prosesi kenegaraan. Mewah, terorganisir, namun hampa. Prosesi upacara pedang pora berlangsung khidmat. Kini, dua pengantin berdiri di pelaminan dengan tubuh yang kaku. Tavisha berbalut kebaya putih gading hanya mampu menatap para undangan dengan tatapan tajam nan kosong. Ia berdiri tepat di sisi Yudha, pria berseragam TNI dengan sorot mata datar serta rahang mengeras. Tak ada bisikan lembut atau kata-kata yang menenangkan kemelut di hatinya. Hanya ada jeda yang menggantung panjang di antara mereka. Tavisha bahkan tak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini. Sungguhan, pernikahan ini terlalu tiba-tiba. Bahkan, ia tak sempat mengenal siapa sosok suaminya. ‘Ma, Tavisha akhirnya menikah,’Dalam keheningan Tavisa bermonolog. Bagaimanapun, peran ibu yang harusnya masih membersamai—tak lagi didapatkan sejak remaja. Itu mengapa, ada kekosongan dalam jiwa perempuan disana. “Selamat, ya, Nak.”Begitu para tamu menghampiri, menyapa la
"Nona Tavisha ...."Dua orang pria berbadan besar lengkap dengan pakaian serba hitam berdiri di hadapan seorang wanita dengan rambut dicepol asal, pakaian kasual—celana jeans, kaos oversize polos serta sepatu kets putih. Tak lupa, shoulder bag berwarna senada dengan sepatunya."Sudah saya bilang, jangan menunjukkan eksistensi kalian di lingkungan kampus. Kenapa—""Maaf, Nona. Bapak ingin bertemu Anda."Salah seorang pria berwajah bulat memotong ucapan perempuan tersebut hingga tampak begitu kesal. Perempuan itu memutar bola matanya malas."Saya masih ada tugas, minggir!""Maaf, Nona. Bapak bilang kalau Nona tidak mau datang baik-baik, kami terpaksa—"Belum genap ucapan itu terlontar, Tavisha langsung berdecak sinis. Melihat lingkungan sekitar, dimana beberapa orang menatap ke arahnya dengan pandangan tak suka. Membuat Tavisha menjatuhkan pilihan untuk melangkah secara sukarela."Oke ... oke!"Perempuan itu menghentakkan kaki, melangkah lebih dulu menuju mobil MV3 dengan plat nomor mer