/ Rumah Tangga / Istri Tawanan Abdi Negara / Bab 3 - Perjanjian Pernikahan

공유

Bab 3 - Perjanjian Pernikahan

작가: ekaphrp
last update 최신 업데이트: 2025-05-21 16:27:40

Pagi itu matahari masih enggan naik sepenuhnya ke langit ketika Tavisha melangkah cepat di lorong lantai dua. Hening, selain suara langkahnya sendiri yang bergema di seluruh penjuru rumah. Rambutnya dicepol tinggi, pakaian yang ia kenakan sederhana—menggambarkan bahwa ia memang sosok mahasiswi. Balutan kaos oversize serta celana jeans selalu menjadi andalannya. Langkah itu semakin tegas berkelana, matanya menyala dengan tekad yang tak bisa diganggu gugat. 

Setelah apa yang terjadi semalam. Betapa dinginnya sosok sang suami dan tidak berprikemanusiaannya. Tavisha perlu mempertegas bahwa ia tidak akan hidup dalam kendali pria itu. Hari ini ia akan menyelesaikan satu hal penting. Perjanjian pernikahan.

Ia tak sudi menjadi boneka dalam permainan politik keluarga. Jika mereka mengikatnya pada pria bernama Yudha demi misi yang ia sendiri tak tahu, maka ia juga berhak menentukan kapan akan melepaskan diri. Ia sudah menyusun draft perjanjian pernikahan itu semalam, dengan pasal-pasal rinci, termasuk satu diktum terakhir—pernyataan bahwa setelah misi pria itu selesai, maka pernikahan ini bisa berakhir secara damai tanpa saling menuntut.

Sungguhan. Tavisha tidak butuh romansa. Ia tak butuh ikatan yang hanya basa-basi saja. Ia hanya ingin kendali atas hidupnya sendiri. Tanpa bayang-bayang sang ayah ataupun suaminya. 

Setelah menjejaki beberapa ruangan, Tavisha akhirnya berhenti di sebuah ruang berdinding kaca. Dimana, sosok yang ia cari-cari ternyata ada disana, yakni ruang gym. Entahlah, apa memang kebiasaan pria itu selalu menghabiskan waktu untuk latihan di pagi hari. Ah, sepertinya Tavisha lupa bahwa sang suami adalah sosok prajurit. Abdi negara yang selalu dipandang sebagai pribadi yang ‘disiplin’.  

Suara dentuman besi yang beradu dan napas berat menyambutnya saat Tavisha memasuki area itu. Matanya langsung terkunci pada sosok yang ia cari. Yudha. Pria itu sedang melakukan pull-up, tubuhnya menggantung di tiang logam, otot-otot punggungnya menegang setiap kali ia menarik tubuh ke atas. Kulitnya basah oleh keringat, rambut hitamnya sedikit menempel di dahi. Ia hanya mengenakan celana jogger gelap, tanpa atasan. Napasnya berat namun teratur. Tak satupun dari gerakannya tergesa. 

Tavisha berdiri di ambang pintu, menanti dalam diam. Ia sengaja tidak memanggil, membiarkan kehadirannya tertangkap oleh insting Yudha. Tepatnya, ia terpesona oleh sisi lain dari pria itu. 

Benar saja, setelah beberapa tarikan, pria itu menurunkan tubuhnya. Menjejakkan kaki ke lantai, lalu memutar tubuh. Pandangannya bertemu milik Tavisha—tenang, tanpa kejutan.

“Kamu bisa bangun pagi juga,” ucapnya sembari menyeka wajah dengan handuk kecil yang diambil dari bangku kayu di dekatnya. Namun, kata-kata itu bagai sindiran yang memancing emosi Tavisha untuk keluar. 

“Memang lo doang yang bisa disiplin!” 

Yudha hanya mengangkat bahu sambil meneguk air mineral. 

“Ada apa?” tanyanya, kemudian.

“Gue kesini bukan buat basa-basi,” jawab Tavisha. Ia melangkah masuk, tanpa mengalihkan pandangannya dari pria itu. 

“Kita perlu bicara.” 

Yudha sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran perempuan itu. Ia dengan santai mempersilakan Tavisha. 

“Silakan.”

Tavisha menarik satu kursi di hadapannya. Kemudian meletakkan beberapa lembar kertas di atas meja kayu antara mereka. 

“Ini perjanjian pernikahan kita,” ujar Tavisha sambil menyodorkan kertas-kertas tersebut, menunjukkan halaman-halaman yang sudah dicetak rapi.

“Ada beberapa poin yang perlu lo baca dan tanda tangani.”

Yudha mengambil lembaran kertas itu dengan tenang. Ia tidak langsung membacanya, melainkan menatap Tavisha beberapa detik—lama, tenang, dan seolah sedang menilai sesuatu di balik ekspresi sang perempuan.

“Apa maksudnya?”

“Gue nggak tahu misi apa yang Papa kasih ke lo sampai harus nikahin anak kecil kayak gue.”

“...”

“Tapi gue nggak mau selamanya hidup dalam kendali kalian.”

“Lalu?”

Tavisha begitu terkejut melihat Yudha yang begitu tenang. Bahkan tidak terganggu oleh kebisingan yang ia ciptakan di pagi hari. 

“Gue nggak keberatan memainkan peran sebagai istri cuma buat menjaga wajah dan stabilitas politik kalian. Tapi, jangan harap gue mau hidup selamanya sama lo!”

Yudha akhirnya menunduk, mulai membaca. Suara kertas yang dibalik pelan menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Tavisha terdiam ketika tak ada sahutan dari sang suami. Ia hanya mengamati cara pria itu mengernyit tipis saat membaca pasal-pasal—tentang batas kewajiban, hak privasi, hak keputusan pribadi, hingga... pasal terakhir.

Pasal IX: Bersepakat untuk cerai setelah misi-misi selesai. 

Yudha mengangkat wajahnya. 

“Jadi kamu berniat cerai?”

“Gue bukan alat transaksi politik kalian,” jawab Tavisha, tegas. “Gue juga hidup bukan buat jadi boneka politik Papa—atau apapun itu. Gue mau menjalani hidup sesuai dengan apa yang gue yakini.”

Yudha tersenyum tipis, terkesan mengejek. 

“Kenapa ketawa? Ada yang lucu?”

Yudha menautkan jemarinya, menyandarkan punggung ke kursi. 

“Anak kecil kayak kamu tahu apa tentang hidup?” balas Yudha dengan tatapan yang tak terbaca. 

Mendengar pernyataan itu, membuat bulu kuduk Tavisha seketika meremang. Suaminya benar-benar bukan sosok yang bisa diancam ternyata. Pria itu terlihat sangat mendominasi—hingga ia pun tak bisa berkata-kata lagi. 

“Bagi saya pernikahan bukan sesuatu yang bisa dipermainkan, Tavisha.”

Tavisha tertohok. Ucapannya begitu tenang. Namun, tatapannya tetap menunjukkan ketajaman. Tak ayal jantung Tavisha pun ikut berdetak tak karuan. 

“Kalau pernikahan bukan main-main. Kenapa lo terima perjodohan ini sementara harusnya lo tahu kalau ini tuh—”

“Karena saya mau,” potong Yudha. Tubuhnya beranjak dari kursi, seolah tak ingin mendengar alasan apapun. Alhasil, Tavisha dibuat kebingungan. 

“Eh mau kemana!” 

Tavisha menahan lengan pria itu yang langsung mendapat tatapan dingin. 

“Saya harus ke markas.”

Yudha berlalu meninggalkan perjanjian pernikahan itu tanpa satupun tanda yang tercetak diatas kertas. Tavisha hanya bisa mendengus kesal, tubuhnya menegang. Melihat ketenangan Yudha membuat emosinya semakin tak terkendali. 

“Dasar angkuh! Nyebelin!”

Langkah kaki Yudha berhenti di ambang pintu. Seketika itu pula, suhu ruangan terasa berat bagi perempuan disana. Apa Yudha tersinggung dengan ucapannya barusan?

Cukup lama sampai suara pria itu membuyarkan lamunan. 

“Saya sudah siapkan sarapan. Itu pun kalau kamu mau.”

Kalimat itu kontan membuat Tavisha terperanjat. Apa ia tidak salah dengar? Pria seangkuh Baratayudha Dirgantara? Tavisha hampir saja tertawa. Namun ia tahan demi menjaga reputasinya

di hadapan pria itu.

***

Tavisha duduk di meja makan itu sendiri. Tak lama kemudian Yudha melangkah keluar dari kamar dengan seragam PDL berwarna hijau lumut. Apa tidak ada jeda bagi seorang tentara yang baru saja menikah? Tavisha menggerutu dalam hatinya. 

Ia menunduk, menyantap salad buatan Yudha tanpa menghiraukan keberadaan pria disana. 

“Saya berangkat. Kamu bisa bawa mobil sendiri, ‘kan?”

Sebelum Yudha meninggalkan ruangan itu, ia memandang sang istri yang masih asyik mengunyah. 

“Hmmmm.”

“Kamu bisa pakai mobil yang ada di garasi. Kuncinya di meja itu.”

Yudha menunjuk meja, di sisi ruang tamu. 

“Oke.”

Tanpa basa-basi, Yudha pun meninggalkan istrinya sendiri dalam keheningan. Tak ada ucapan salam atau kecupan lembut di kepalanya.

Dan inilah yang tidak perempuan itu sukai. Tidak berbeda dengan kehidupan yang selama ia jalani. Bedanya, di kediaman Tandjung, ada pelayan yang selalu melayani dan menghibur dirinya. 

Usai kepergian Yudha, Tavisha memindai seluruh penjuru ruangan. Meski tanpa asisten rumah tangga, ternyata rumah itu sangat rapi dan bersih. Seolah menunjukkan bahwa Yudha memang sosok yang menyukai kerapihan dan kebersihan. 

Waktu terus berlanjut—Tavisha akhirnya beranjak setelah menghabiskan seluruh salad dalam mangkuknya. Ia melangkah kembali ke kamar untuk mengambil laptop serta tasnya sebelum berangkat ke kampus. Namun, tiba-tiba saja hidungnya berair dan tenggorokannya mengering. 

“Hmmmm,” dehem perempuan itu tanpa menaruh curiga apapun. Tavisha tetap fokus bersiap-siap. Sampai sebuah ruam mulai bermunculan di telapak tangan. 

“Shit! Dia buatin sarapan karena mau bunuh gue, ya?” tuduh Tavisha. 

Kini tubuh Tavisha bergetar. Alergi adalah sesuatu yang sangat ia hindari. Sebab, jika alerginya sudah kambuh—maka pernapasannya akan terganggu. Tavisha buru-buru meraih ponsel, mencoba menghubungi sang sahabat sebelum terlambat. Namun, suara diseberang sana tak kunjung terdengar. 

"Shit ... shit!"

Tavisha bergegas lari ke lantai bawah, mencari kotak obat atau apapun itu, berharap setidaknya ada obat untuk meredakan alergi. Namun, setelah kesana kemari, ia tetap tidak menemukannya. Bayangkan saja, baru semalam ia menginjakkan kaki di rumah itu. Jadi, jangan salahkan dirinya yang sama sekali tak tahu peletakan barang-barang disana.

“Ah, damn!”

Napas Tavisha semakin memburu. Tubuh pun mulai gemetar. Apalagi dengan ruam yang membuat sekujur tubuhnya gatal. Sekali lagi, Tavisha meraih ponsel untuk menghubungi sang sahabat namun tetap tak ada jawaban. Sementara, ia pun tak tahu berapa nomor ponsel sang suami. Dasar bodoh!

“Akh!”

Tavisha menekan dadanya yang mulai terasa sesak. Jemarinya berpegangan pada meja, berharap bantuan segera datang. 

‘Ma, tolong Tavisha.’

***

ekaphrp

Halo, jangan lupa kasih rating, comment, ya. Makasih

| 9
이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (35)
goodnovel comment avatar
Nining Mulyaningsi
wahh ada apa dengan Yudha kenapa dia gak mau Yanda tangan d kontrak pernikahan apa dia udah niat gak ingin berpisah dari tavisha tapi knpa sikapnya cuek Mulu .
goodnovel comment avatar
Nining Mulyaningsi
astagaa Yudha kamu kasih sarapan c tavisha apaan sampai alerginya kambuhh aduhhh mana d rumah gak ada siapa-siapa lagi .semoga saja tavisha segera ada yang nolong.
goodnovel comment avatar
Yhara_18
cuek bngt sih Yudha..
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 77 - Sebuah Petuah

    Dahlia keluar dari kamar setelah berhasil menenangkan sang menantu dan memberinya makan. Hormon yang dialami Tavisha memang tidak biasa. Perempuan itu sangat rapuh. Seolah jika dipegang sedikit saja mampu menghancurkannya. Setelah pintu kembali tertutup, Yudha langsung menghampiri. Ada kecemasan di wajah yang tak bisa ia tutupi. “Bagaimana Tavisha, Bu?"“Dia tidur lagi setelah makan dan minum vitamin.”Terdengar hela nafas lega setelahnya. Dahlia lantas menyelipkan tangannya di sela lengan putranya sambil membawa pria itu untuk duduk di sofa. “Duduk sini, kita ngobrol sebentar.”Yudha hanya mengangguk pelan. “Jangan terlalu keras dengan Tavisha, Nak,” nasehat sang ibu setelah berhasil duduk di sofa ruang tamu bersama putranya. Namun, tidak ada sahutan yang berarti dari bibir Yudha. Pria itu hanya bergeming, seakan berpikir apa benar ia terlalu keras pada istrinya? Padahal, ia sudah berusaha untuk bisa menahan semua ego dan amarah yang terpendam di kepala hanya demi tidak menyakiti

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 76 - Rapuh dan Tak Berdaya

    Yudha membiarkan tangis itu pecah. Ia membiarkan perempuan rapuh dan tak berdaya itu meluapkan segala kesedihannya melalui tangisan. Ibunya bilang, perempuan hamil itu perasaannya sangat sensitif. Ia bisa menangis hal-hal bahkan sekecil apapun. Apalagi Tavisha yang tengah menghadapi badai besar dalam hidupnya. Setelah lama menunggu, tangis itu akhirnya berubah jadi sebuah keheningan. Yudha menilik sang perempuan yang tengah berada dalam pelukan. Tak ada suara selain deru napas teratur. Yudha bisa menebak bahwa perempuan itu sudah tertidur. Ia pun menyelipkan tangannya ke celah leher dan kaki sang perempuan. Kemudian berdiri membopongnya menuju ranjang.Dengan sangat hati-hati, Yudha meletakkan sang istri, seakan takut membuatnya terbangun. Setelahnya, ia menyingkap rambut dan mengusap sisa air mata yang ada di kelopaknya.“Maafkan saya Tavisha.”“…”“Saya menyayangi kamu lebih dari apapun.”“…”Ungkapan hati seorang Yudha yang tak pernah secara jelas terucap di hadapan istrinya. Ia s

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 75 - Yang Terpendam

    Ketika kembali ke kediamannya, Yudha mendapati sang istri lagi-lagi merenung di ujung jendela kamar. Tatapannya kosong sambil memeluk kedua kakinya. Ada perasaan sesak saat dirinya harus melihat keadaan Tavisha yang semakin hari semakin menyedihkan. Ia tidak ingin psikologis perempuan itu terganggu. Terlebih ada bayi dalam kandungannya yang harus mendapatkan perhatian lebih. “Tavisha?” Yudha mendekat, duduk di hadapan perempuan itu. Jemarinya menarik sofa sang istri agar lebih dekat. Kemudian menelaah setiap guratan yang tampak di wajah. “Ada apa?” tanya Yudha, suaranya rendah nyaris tanpa ekspresi. “...” Namun yang ditanya lagi-lagi tak memberinya jawaban. Yudha hampir frustasi. Ia tidak pernah melihat sisi Tavisha yang sebegini rapuh. Dan itu—membuat dirinya merasa bersalah. Bukan hanya karena ia tidak bisa menenangkan hati perempuannya. Tapi, ia sadar. Sebagai abdi negara, ia tidak bisa selalu menemani Tavisha. Bahkan, jika ada operasi yang mengharuskannya pergi, ia tidak bi

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 74 - Melawan Takdir

    Setelah melihat keadaan istrinya, Yudha memutuskan untuk secara terang-terangan mendatangi sang ayah di kediamannya. Sore itu, Yudha tiba di kediaman Dirgantara ketika langit mulai meredup. Hanya menyisakan cahaya jingga yang mengitari halaman. Lantas, ia turun dari mobil, menutup pintu tanpa suara berlebih.Kali ini, langkahnya terasa begitu berat. Terlebih, saat ia mulai melewati pintu utama. Yudha kembali berpikir, kapan terakhir dirinya berbicara serius empat mata dengan sang ayah? Ah, ia pun teringat saat makan malam terakhir di kediamannya. Ketika, Tavisha pertama kali menyebut operasi langit merah dalam acara makan malam tersebut. Bagi Yudha, sang ayah bak bayangan tegas dalam hidupnya. Pria penuh wibawa itu, nyaris tak tersentuh oleh apapun. Pintu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga. Begitu melihat Yudha, wanita paruh baya itu buru-buru menunduk. “Selamat sore, Tuan Muda.” “Bapak ada di dalam?” “Ada. Beliau di ruang kerja.”Yudha mengangguk, lalu melangkah masuk. Ruma

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 73 - Menjadi Asing

    Setelah semua riuh pertengkaran mereda malam itu, rumah besar keluarga Tandjung tenggelam dalam kesunyian. Dokter sudah pulang, meninggalkan pesan agar Tavisha banyak beristirahat. Seisi rumah pun berangsur hening. Namun, Yudha tidak lekas meninggalkan kediaman itu. Ia duduk di ruang tamu cukup lama, punggungnya bersandar pada sofa dengan pandangan kosong. Rasanya ia masih mendengar suara lirih Tavisha, kalimat-kalimat getir yang menuduh sekaligus menolak kehadirannya. Kepalanya berat, tapi setiap kali menutup mata, wajah pucat istrinya yang tak sadarkan diri kembali muncul. Akhirnya, Yudha memilih tidur di kamar tamu. Lampu sengaja tidak dimatikan. Tubuhnya berbaring, tetapi pikiran terus berkelana. Tentang rahasia yang belum ia buka, tentang kenyataan kehamilan yang baru diketahuinya, juga tentang kemungkinan kehilangan kepercayaan Tavisha sepenuhnya. Di kamar utama, Tavisha terjaga. Tubuhnya lemah, tapi ia tidak bisa memejamkan mata. Pandangannya sering beralih ke pintu, menunggu

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 72 - Saling Melindungi atau Menghancurkan?

    “Jawab aku, Mas! Bapak kamu yang ngebunuh Mama, ‘kan?!” tanya Tavisha dengan nada berapi-api. Tatapannya menusuk tajam. Suaranya menggelegar hebat dengan sisa tangisan yang belum sepenuhnya reda. Yudha menahan napas. Tubuhnya kaku seolah terhantam oleh kenyataan. Kata-kata itu terlalu berat untuk dijawab, tapi diam justru membuatnya terlihat lebih bersalah. “Itu tidak benar,” ucap Yudha, lirih. “Kalau nggak benar, mana buktinya?!” Tavisha menekan suaranya. “Kenapa kamu selama ini nutup-nutupin, Mas? Kenapa kamu melarang aku buat cari tahu? Apa karena takut aku bongkar aib keluarga kamu?” “Bukan begitu.” Yudha menggeleng cepat, mencoba mendekat. “Saya cuma—” “Cuma apa?” Tavisha mundur selangkah. “Cuma memilih jadi anak baik buat bapaknya, sementara aku kehilangan Mama tanpa tahu siapa yang membunuhnya?!” Nada getir itu menggema di ruangan kaca. Napas Tavisha memburu, dadanya naik turun tak teratur. Sedangkan Yudha berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah. “Saya tidak perna

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status