Home / Romansa / Istri Tawanan Abdi Negara / Berawal Dari Kesalahan …

Share

Berawal Dari Kesalahan …

Author: ekaphrp
last update Last Updated: 2025-06-28 20:25:26

Yudha berdiri tegak di barisan paling depan ketika matahari mulai naik, sehingga menciptakan siluet tajam di balik deretan prajurit berseragam lengkap. Ia tampak fokus mendengarkan laporan komandan upacara, tetapi dibalik ketegasan, pikirannya belum sepenuhnya pulih dari bayang-bayang perjanjian pernikahan yang Tavisha ajukan tadi pagi. 

“Gue nggak keberatan memainkan peran sebagai istri cuma buat menjaga wajah dan stabilitas politik kalian. Tapi, jangan harap gue mau hidup selamanya sama lo!”

Sungguhan perempuan itu berhasil membuat hidupnya jauh dari kata tenang. Selama ini, ia menganggap pernikahan hanya akan menghambat karirnya. Dan benar saja, selama apel pagi, ia dibuat tidak tenang. Meskipun ia berusaha setenang lautan, tapi gemuruh ombak tetap menggoyahkan pertahanan. Yudha tak tahu apa yang akan terjadi di dalam hubungan pernikahan mereka nantinya. Bahkan, maksud dibalik perjodohan itu terlalu samar. Apa benar yang Tavisha katakan? Bahwa pernikahan mereka hanya demi misi yang entah tujuannya apa?

Waktu berlalu dengan argumentasi yang terus menggerus pikirannya. 

Melihat perubahan sikap sang kapten, usai bubaran apel—Pandu, Dipta, Parama, dan Yoga segera menghampiri sang atasan. Dipta, Parama, dan Yoga merupakan Danton (Komandan Pleton) regu A, B, dan C berpangkat Letnan Dua. Sementara Pandu merupakan asisten Yudha berpangkat Letnan Satu. Selain hubungan atasan dan bawahan. Mereka memiliki keakraban yang lebih dari itu. Bahkan, tidak jarang mereka menjadikan sikap kaku Yudha sebagai bahan olok-olok dan berujung hukuman lari atau push-up seratus kali. 

“Ada apa, Ndan?” tanya Dipta yang memiliki rasa ingin tahu paling tinggi. 

“Iya, muka ditekuk begitu. Malam pertama gagal, ya?” celetuk Yoga yang suka tidak berpikir kalau bicara. 

Seketika itu pula langkah kaki Yudha berhenti. Parama yang hanya ikut menertawai, justru menegang kala dirinya tak sengaja menabrak tubuh sang atasan. 

“Siap, salah, Ndan!”

Parama menghentakkan kaki, lalu bersikap tegap ketika titik pandang Yudha meniliknya tajam. 

“Hmmmm,” dehem Pandu berusaha mencairkan ketegangan disana. 

Namun, belum sempat ia mengeluarkan sepatah kata. Sebuah dering ponsel menjeda. Yudha yang lupa mengaktifkan mode hening, seketika merutuk. Ia memejamkan mata sebelum menghela nafas. Kemudian, merogoh saku dan melihat nama yang tertera di layar. Manggala Trianto Tandjung. 

Di detik yang sama, darahnya berdesir panas. 

Seorang menteri pertahanan, menghubunginya. Tokoh paling berpengaruh dalam sistem pertahanan negeri ini, sekaligus ... ayah mertuanya.

Dengan sigap, ia menjauh dari rekan kerjanya dibersamai detak jantung yang semakin bergemuruh kencang. 

“Selamat pagi, Pak.”

“Pagi, Yudha. Maaf mengganggu waktu kamu. Saya tidak akan lama,” ujar Manggala dengan nada tenang namun penuh wibawa. 

“Siap perintah, Pak!” jawabnya dengan kaku.

“Tidak perlu protokoler. Saya cuma mau memastikan. Apa Putri baik-baik saja?”

Yudha tertegun. Tak ada basa-basi atau obrolan soal protokol militer. Percakapan ini ... sifatnya pribadi. Dan lebih dari itu, terdengar hangat di telinga.

“Iya, Pak. Kami masih mencoba menyesuaikan diri. Tapi saya berusaha sebaik mungkin,” jawab Yudha mantap.

“Jangan panggil saya Bapak. Panggil, Papa.”

“Oh, ba-baik, Pa ….”

Yudha menelan ludah. Rasanya canggung sekali.

“Kalau begitu saya tidak perlu khawatir. Tapi, Yudha …,” lanjut Manggala dengan nada bicara yang menggantung. 

“Ya, Pa?”

“Putri itu anak yang sangat keras kepala. Tapi hatinya mudah luluh kalau sudah percaya. Satu hal yang harus kamu ingat ... dia punya alergi kacang almond. Bahkan jejak kecil pun bisa membuatnya kesulitan bernapas. Jadi, tolong … jaga dia baik-baik, ya.”

Deg!

Wajah Yudha mendadak pucat. Ia merasa seolah bumi ambruk di bawah kakinya. Salad tadi pagi. Sausnya. Ia lupa mengecek bahan-bahan dari saus itu. Tapi, ia ingat, bukankah dirinya membeli gourmet dressing dengan label ‘almond oil infused’? Seketika itu pula, napasnya tercekat.

“Baik, Pa. Saya akan ingat itu.”

Yudha berusaha tenang dan segera mengakhiri panggilan tersebut.

“Pa, sepertinya saya harus segera pergi. Mungkin, lain kali—saya akan menghubungi Papa lebih dulu.”

“Oh, baiklah. Tolong jaga Putri, ya.”

Tapi Yudha tak lagi mendengar. Ia segera memutuskan panggilan dan berbalik. Namun, langkah kakinya terhenti. Teringat bahwa dirinya tidak bisa sembarangan meninggalkan markas, meski isi dadanya kini hampir meledak.

Ketika langkah kakinya hendak menuju ruangan komandan untuk meminta izin, Pandu memanggilnya dari kejauhan. 

“Kapten!” seru Pandu, menghentikan langkah kakinya. 

“Ada apa?”

“Panglima TNI, Pak Dirga, meminta Abang menghadap di markas besar.”

Sekali lagi, dada Yudha bergemuruh hebat. Ia memejamkan mata seraya menghirup oksigen dalam-dalam. Disaat genting seperti ini, mengapa ayahnya selalu saja merecoki. 

“Kenapa muka Abang pucat begitu?”

“Saya ada masalah mendesak sebenarnya. Apa kamu bisa perintah salah satu wara (wanita tentara) korps kesehatan untuk ke rumah saya?”

“Buat?”

“Tavisha mungkin sedang tidak baik-baik saja. Tolong pastikan kondisinya aman disana.”

“Kalau begitu saya minta Bening saja untuk kesana.”

“Oke. Tolong kabari saya, Pandu.”

“Siap, laksanakan!”

Di tengah kepanikan, Yudha berusaha bertanggung jawab atas pekerjaannya. Ia pun menjauh dari Pandu yang masih menatap punggungnya dengan penuh tanda tanya. 

“Dingin tapi perhatian juga ternyata,” goda Pandu, tersenyum penuh makna. 

***

Di dalam rumah yang kini terasa seperti ruang kedap udara, Tavisha hampir kehilangan kesadaran. Tubuhnya bersandar lemah di dinding ruang makan, napasnya nyaris tak terdengar. Tangannya menggenggam ponsel dengan sisa tenaga, tapi pandangannya buram.

Tiba-tiba, suara mesin mobil terdengar dari luar. Tidak lama kemudian, pintu utama terbuka. Seorang wanita berseragam hijau lumut, dengan nametag Lettu Bening A. Suryadarma menangkap tubuh Tavisha yang terkulai lemah di dinding. 

“Bu Tavisha?!”

Bening segera berlutut, memeriksa denyut nadi dan membuka mulut Tavisha untuk memastikan jalan napasnya. Ia menemukan tanda-tanda alergi akut—wajah yang bengkak, bibir yang membiru, dan napas tersengal.

Tanpa membuang waktu, ia meraih EpiPen—pena suntik darurat yang selalu dibawa sebagai bagian dari perlengkapan medis. Dengan tangan mantap, ia menyuntikkan adrenalin ke paha Tavisha. Lalu, menelpon ambulans militer dengan kode prioritas.

“Bu Tavisha, tahan sedikit lagi. Tolong, jangan tidur …,” gumam Bening lirih, kali ini bukan sebagai perwira, tapi sebagai sesama perempuan yang merasa hatinya terhimpit melihat penderitaan yang begitu mendadak.

Bening tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Mendengar penuturan Pandu bahwa wajah Yudha memucat kala memberi perintah, ia sadar jika pria itu tidak ingin istrinya berada dalam bahaya.

Sementara itu, di markas besar, Yudha baru saja keluar dari ruangan sang ayah dengan perasaan tak tenang. Antara perintah dan hati nuraninya saling berseberangan. Di satu sisi, ia ingin melihat kondisi Tavisha. Namun, di sisi lain, ia harus segera berangkat keluar kota demi tugas yang diembannya. 

Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Nama Bening muncul di layar. 

“Lapor, Kapten. Saya sudah di lokasi. Keadaan istri Anda kritis tapi sudah saya suntik dengan EpiPen. Ambulans dalam perjalanan. Kami akan bawa ke rumah sakit militer.”

Yudha tak mampu berkata-kata. Hanya suara deru napas berat yang terdengar.

“Terima kasih, Lettu Bening. Karena sudah menyelamatkannya.”

“Bukan saya, Kapten. Saya hanya menjalankan perintah. Tapi sebaiknya ... Anda segera ke rumah sakit.”

Dan sebelum berangkat ke luar kota, Yudha pun melangkahkan kaki menuju rumah sakit. Setidaknya, ia harus memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa sang istri baik-baik saja. 

Beberapa jam kemudian, di ruang perawatan intensif rumah sakit militer, Tavisha terbaring dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Napasnya sudah lebih stabil. Di sisi ranjang, Yudha berdiri—memandang sang istri dengan perasaan bersalah. 

“Maafkan saya, Tavisha,” bisiknya lirih. Suara beratnya dipenuhi penyesalan. “Saya harus pergi,” sambungnya, sebelum akhirnya benar-benar pergi. Dan tanpa menunggu waktu, Yudha pun beranjak dari kamar itu untuk menyelesaikan misi militernya. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (5)
goodnovel comment avatar
Mbak Nana
kondisi masih belum pulih bener dan Yudha harus menjalankan tugas keluar kota tanpa tavisa tahu tugas negara lebih penting
goodnovel comment avatar
Mbak Nana
ooo ternyata alergi almond unung saja papa nya segera kasih tahu dan Yudha segera tanggap dan terselamatkan lah tavisa
goodnovel comment avatar
Kania Putri
kalo si papa gak tlpn kasih tau tavisha alergi kacang almond gak tau deh mungkin tavisha udah gak bernyawa ini. jadi yudha juga gak mudah menjalankan pernikahan ini karena terbentur sama atasannya dilema banget jadi dia
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Kehadiran Yang Tak Diharapkan

    Usai menyelesaikan misi di luar kota, Yudha langsung kembali. Ada satu misi lain yang harus diselesaikan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, yaitu meluruskan apa yang terjadi. Bahwa sesungguhnya ia tidak tahu tentang riwayat alergi sang istri. Setelah beberapa hari menghilang tanpa jejak, ia yakin—Tavisha yang mudah sekali berapi-api akan tersulut emosi. Untuk itu, langkah kakinya berat dan cepat, seolah dibersamai oleh badai yang tak terlihat. Yudha bahkan belum sempat mengganti seragam yang mungkin tampak lusuh. Tapi ia tidak peduli. Bahkan, matanya terlihat memerah bukan karena kantuk, tapi karena ia tidak tidur dalam memimpin misi penyelamatan sandera yang menegangkan. Namun, yang menguasai pikirannya sejak kembali ke ibu kota bukanlah misi tersebut, melainkan satu nama—Tavisha.Ia tak sempat ke rumah atau bahkan menghubungi komandannya. Begitu mendarat, ia hanya meminta izin darurat ke markas untuk langsung menuju rumah sakit. Dada Yudha sesak karena rasa bersalah. Ia mendeng

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Menghilang Tanpa Jejak

    Ruang perawatan intensif itu hening. Hanya suara monitor detak jantung dan desisan lembut dari tabung oksigen yang memecah sunyi. Lampu ruangan redup, menghindarkan pasien dari silau yang bisa menambah tekanan. Tirai gorden sedikit terbuka, membiarkan semburat cahaya jingga menyelinap masuk melalui jendela kaca yang sedikit berembun. Udara di dalam ruangan tetap dingin, namun tak cukup untuk mengusir bayangan tadi pagi.Tavisha membuka matanya perlahan. Kelopak matanya berat, seperti digantungi oleh batu. Penglihatannya buram dalam beberapa detik, tapi perlahan mulai fokus. Warna putih mendominasi pandangan. Bau antiseptik menyeruak tajam di indera penciuman. Hal itu, menyadarkan bahwa dirinya sedang ada di rumah sakit. Ia tidak langsung bergerak. Dadanya terasa sesak, meski tidak seberat beberapa jam sebelumnya. Ada rasa mengganjal di tenggorokan. Nafasnya masih pendek, tapi tidak lagi menyakitkan.Ketika kesadarannya kembali utuh, otaknya langsung memutar ulang potongan-potongan in

  • Istri Tawanan Abdi Negara    Berawal Dari Kesalahan …

    Yudha berdiri tegak di barisan paling depan ketika matahari mulai naik, sehingga menciptakan siluet tajam di balik deretan prajurit berseragam lengkap. Ia tampak fokus mendengarkan laporan komandan upacara, tetapi dibalik ketegasan, pikirannya belum sepenuhnya pulih dari bayang-bayang perjanjian pernikahan yang Tavisha ajukan tadi pagi. “Gue nggak keberatan memainkan peran sebagai istri cuma buat menjaga wajah dan stabilitas politik kalian. Tapi, jangan harap gue mau hidup selamanya sama lo!”Sungguhan perempuan itu berhasil membuat hidupnya jauh dari kata tenang. Selama ini, ia menganggap pernikahan hanya akan menghambat karirnya. Dan benar saja, selama apel pagi, ia dibuat tidak tenang. Meskipun ia berusaha setenang lautan, tapi gemuruh ombak tetap menggoyahkan pertahanan. Yudha tak tahu apa yang akan terjadi di dalam hubungan pernikahan mereka nantinya. Bahkan, maksud dibalik perjodohan itu terlalu samar. Apa benar yang Tavisha katakan? Bahwa pernikahan mereka hanya demi misi yang

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Perjanjian Pernikahan

    Pagi itu matahari masih enggan naik sepenuhnya ke langit ketika Tavisha melangkah cepat di lorong lantai dua. Hening, selain suara langkahnya sendiri yang bergema di seluruh penjuru rumah. Rambutnya dicepol tinggi, pakaian yang ia kenakan sederhana—menggambarkan bahwa ia memang sosok mahasiswi. Balutan kaos oversize serta celana jeans selalu menjadi andalannya. Langkah itu semakin tegas berkelana, matanya menyala dengan tekad yang tak bisa diganggu gugat. Setelah apa yang terjadi semalam. Betapa dinginnya sosok sang suami dan tidak berprikemanusiaannya. Tavisha perlu mempertegas bahwa ia tidak akan hidup dalam kendali pria itu. Hari ini ia akan menyelesaikan satu hal penting. Perjanjian pernikahan.Ia tak sudi menjadi boneka dalam permainan politik keluarga. Jika mereka mengikatnya pada pria bernama Yudha demi misi yang ia sendiri tak tahu, maka ia juga berhak menentukan kapan akan melepaskan diri. Ia sudah menyusun draft perjanjian pernikahan itu semalam, dengan pasal-pasal rinci, te

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Pernikahan Yang Tak Diinginkan

    Pernikahan Tavisha dan Barathayudha berlangsung seperti prosesi kenegaraan. Mewah, terorganisir, namun hampa. Prosesi upacara pedang pora berlangsung khidmat. Kini, dua pengantin berdiri di pelaminan dengan tubuh yang kaku. Tavisha berbalut kebaya putih gading hanya mampu menatap para undangan dengan tatapan tajam nan kosong. Ia berdiri tepat di sisi Yudha, pria berseragam TNI dengan sorot mata datar serta rahang mengeras. Tak ada bisikan lembut atau kata-kata yang menenangkan kemelut di hatinya. Hanya ada jeda yang menggantung panjang di antara mereka. Tavisha bahkan tak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini. Sungguhan, pernikahan ini terlalu tiba-tiba. Bahkan, ia tak sempat mengenal siapa sosok suaminya. ‘Ma, Tavisha akhirnya menikah,’Dalam keheningan Tavisa bermonolog. Bagaimanapun, peran ibu yang harusnya masih membersamai—tak lagi didapatkan sejak remaja. Itu mengapa, ada kekosongan dalam jiwa perempuan disana. “Selamat, ya, Nak.”Begitu para tamu menghampiri, menyapa la

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Tavisha Putri Tandjung

    "Nona Tavisha ...." Dua orang pria berbadan besar lengkap dengan pakaian serba hitam berdiri di hadapan seorang wanita dengan rambut dicepol asal, pakaian kasual—celana jeans, kaos oversize polos serta sepatu kets putih. Tak lupa, shoulder bag berwarna senada dengan sepatunya. "Sudah saya bilang, jangan menunjukkan eksistensi kalian di lingkungan kampus. Kenapa—" "Maaf, Nona. Bapak ingin bertemu Anda." Salah seorang pria berwajah bulat memotong ucapan perempuan tersebut hingga tampak begitu kesal. Perempuan itu memutar bola matanya malas. "Saya masih ada tugas, minggir!" "Maaf, Nona. Bapak bilang kalau Nona tidak mau datang baik-baik, kami terpaksa—" Belum genap ucapan itu terlontar, Tavisha langsung berdecak sinis. Melihat lingkungan sekitar, dimana beberapa orang menatap ke arahnya dengan pandangan tak suka. Membuat Tavisha menjatuhkan pilihan untuk melangkah secara sukarela. "Oke ... oke!" Perempuan itu menghentakkan kaki, melangkah lebih dulu menuju mobil MV3 dengan plat n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status