Home / Rumah Tangga / Istri Tawanan Abdi Negara / Bab 4 - Berawal Dari Kesalahan …

Share

Bab 4 - Berawal Dari Kesalahan …

Author: ekaphrp
last update Last Updated: 2025-06-28 20:25:26

Yudha berdiri tegak di barisan paling depan ketika matahari mulai naik, sehingga menciptakan siluet tajam di balik deretan prajurit berseragam lengkap. Ia tampak fokus mendengarkan laporan komandan upacara, tetapi dibalik ketegasan, pikirannya belum sepenuhnya pulih dari bayang-bayang perjanjian pernikahan yang Tavisha ajukan tadi pagi. 

“Gue nggak keberatan memainkan peran sebagai istri cuma buat menjaga wajah dan stabilitas politik kalian. Tapi, jangan harap gue mau hidup selamanya sama lo!”

Sungguhan perempuan itu berhasil membuat hidupnya jauh dari kata tenang. Selama ini, ia menganggap pernikahan hanya akan menghambat karirnya. Dan benar saja, selama apel pagi, ia dibuat tidak tenang. Meskipun ia berusaha setenang lautan, tapi gemuruh ombak tetap menggoyahkan pertahanan. Yudha tak tahu apa yang akan terjadi di dalam hubungan pernikahan mereka nantinya. Bahkan, maksud dibalik perjodohan itu terlalu samar. Apa benar yang Tavisha katakan? Bahwa pernikahan mereka hanya demi misi yang entah tujuannya apa?

Waktu berlalu dengan argumentasi yang terus menggerus pikirannya. 

Melihat perubahan sikap sang kapten, usai bubaran apel—Pandu, Dipta, Parama, dan Yoga segera menghampiri sang atasan. Dipta, Parama, dan Yoga merupakan Danton (Komandan Pleton) regu A, B, dan C berpangkat Letnan Dua. Sementara Pandu merupakan asisten Yudha berpangkat Letnan Satu. Selain hubungan atasan dan bawahan. Mereka memiliki keakraban yang lebih dari itu. Bahkan, tidak jarang mereka menjadikan sikap kaku Yudha sebagai bahan olok-olok dan berujung hukuman lari atau push-up seratus kali. 

“Ada apa, Ndan?” tanya Dipta yang memiliki rasa ingin tahu paling tinggi. 

“Iya, muka ditekuk begitu. Malam pertama gagal, ya?” celetuk Yoga yang suka tidak berpikir kalau bicara. 

Seketika itu pula langkah kaki Yudha berhenti. Parama yang hanya ikut menertawai, justru menegang kala dirinya tak sengaja menabrak tubuh sang atasan. 

“Siap, salah, Ndan!”

Parama menghentakkan kaki, lalu bersikap tegap ketika titik pandang Yudha meniliknya tajam. 

“Hmmmm,” dehem Pandu berusaha mencairkan ketegangan disana. 

Namun, belum sempat ia mengeluarkan sepatah kata. Sebuah dering ponsel menjeda. Yudha yang lupa mengaktifkan mode hening, seketika merutuk. Ia memejamkan mata sebelum menghela nafas. Kemudian, merogoh saku dan melihat nama yang tertera di layar. Manggala Trianto Tandjung. 

Di detik yang sama, darahnya berdesir panas. 

Seorang menteri pertahanan, menghubunginya. Tokoh paling berpengaruh dalam sistem pertahanan negeri ini, sekaligus ... ayah mertuanya.

Dengan sigap, ia menjauh dari rekan kerjanya dibersamai detak jantung yang semakin bergemuruh kencang. 

“Selamat pagi, Pak.”

“Pagi, Yudha. Maaf mengganggu waktu kamu. Saya tidak akan lama,” ujar Manggala dengan nada tenang namun penuh wibawa. 

“Siap perintah, Pak!” jawabnya dengan kaku.

“Tidak perlu protokoler. Saya cuma mau memastikan. Apa Putri baik-baik saja?”

Yudha tertegun. Tak ada basa-basi atau obrolan soal protokol militer. Percakapan ini ... sifatnya pribadi. Dan lebih dari itu, terdengar hangat di telinga.

“Iya, Pak. Kami masih mencoba menyesuaikan diri. Tapi saya berusaha sebaik mungkin,” jawab Yudha mantap.

“Jangan panggil saya Bapak. Panggil, Papa.”

“Oh, ba-baik, Pa ….”

Yudha menelan ludah. Rasanya canggung sekali.

“Kalau begitu saya tidak perlu khawatir. Tapi, Yudha …,” lanjut Manggala dengan nada bicara yang menggantung. 

“Ya, Pa?”

“Putri itu anak yang sangat keras kepala. Tapi hatinya mudah luluh kalau sudah percaya. Satu hal yang harus kamu ingat ... dia punya alergi kacang almond. Bahkan jejak kecil pun bisa membuatnya kesulitan bernapas. Jadi, tolong … jaga dia baik-baik, ya.”

Deg!

Wajah Yudha mendadak pucat. Ia merasa seolah bumi ambruk di bawah kakinya. Salad tadi pagi. Sausnya. Ia lupa mengecek bahan-bahan dari saus itu. Tapi, ia ingat, bukankah dirinya membeli gourmet dressing dengan label ‘almond oil infused’? Seketika itu pula, napasnya tercekat.

“Baik, Pa. Saya akan ingat itu.”

Yudha berusaha tenang dan segera mengakhiri panggilan tersebut.

“Pa, sepertinya saya harus segera pergi. Mungkin, lain kali—saya akan menghubungi Papa lebih dulu.”

“Oh, baiklah. Tolong jaga Putri, ya.”

Tapi Yudha tak lagi mendengar. Ia segera memutuskan panggilan dan berbalik. Namun, langkah kakinya terhenti. Teringat bahwa dirinya tidak bisa sembarangan meninggalkan markas, meski isi dadanya kini hampir meledak.

Ketika langkah kakinya hendak menuju ruangan komandan untuk meminta izin, Pandu memanggilnya dari kejauhan. 

“Kapten!” seru Pandu, menghentikan langkah kakinya. 

“Ada apa?”

“Panglima TNI, Pak Dirga, meminta Abang menghadap di markas besar.”

Sekali lagi, dada Yudha bergemuruh hebat. Ia memejamkan mata seraya menghirup oksigen dalam-dalam. Disaat genting seperti ini, mengapa ayahnya selalu saja merecoki. 

“Kenapa muka Abang pucat begitu?”

“Saya ada masalah mendesak sebenarnya. Apa kamu bisa perintah salah satu wara (wanita tentara) korps kesehatan untuk ke rumah saya?”

“Buat?”

“Tavisha mungkin sedang tidak baik-baik saja. Tolong pastikan kondisinya aman disana.”

“Kalau begitu saya minta Bening saja untuk kesana.”

“Oke. Tolong kabari saya, Pandu.”

“Siap, laksanakan!”

Di tengah kepanikan, Yudha berusaha bertanggung jawab atas pekerjaannya. Ia pun menjauh dari Pandu yang masih menatap punggungnya dengan penuh tanda tanya. 

“Dingin tapi perhatian juga ternyata,” goda Pandu, tersenyum penuh makna. 

***

Di dalam rumah yang kini terasa seperti ruang kedap udara, Tavisha hampir kehilangan kesadaran. Tubuhnya bersandar lemah di dinding ruang makan, napasnya nyaris tak terdengar. Tangannya menggenggam ponsel dengan sisa tenaga, tapi pandangannya buram.

Tiba-tiba, suara mesin mobil terdengar dari luar. Tidak lama kemudian, pintu utama terbuka. Seorang wanita berseragam hijau lumut, dengan nametag Lettu Bening A. Suryadarma menangkap tubuh Tavisha yang terkulai lemah di dinding. 

“Bu Tavisha?!”

Bening segera berlutut, memeriksa denyut nadi dan membuka mulut Tavisha untuk memastikan jalan napasnya. Ia menemukan tanda-tanda alergi akut—wajah yang bengkak, bibir yang membiru, dan napas tersengal.

Tanpa membuang waktu, ia meraih EpiPen—pena suntik darurat yang selalu dibawa sebagai bagian dari perlengkapan medis. Dengan tangan mantap, ia menyuntikkan adrenalin ke paha Tavisha. Lalu, menelpon ambulans militer dengan kode prioritas.

“Bu Tavisha, tahan sedikit lagi. Tolong, jangan tidur …,” gumam Bening lirih, kali ini bukan sebagai perwira, tapi sebagai sesama perempuan yang merasa hatinya terhimpit melihat penderitaan yang begitu mendadak.

Bening tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Mendengar penuturan Pandu bahwa wajah Yudha memucat kala memberi perintah, ia sadar jika pria itu tidak ingin istrinya berada dalam bahaya.

Sementara itu, di markas besar, Yudha baru saja keluar dari ruangan sang ayah dengan perasaan tak tenang. Antara perintah dan hati nuraninya saling berseberangan. Di satu sisi, ia ingin melihat kondisi Tavisha. Namun, di sisi lain, ia harus segera berangkat keluar kota demi tugas yang diembannya. 

Tak lama kemudian, ponselnya berdering. Nama Bening muncul di layar. 

“Lapor, Kapten. Saya sudah di lokasi. Keadaan istri Anda kritis tapi sudah saya suntik dengan EpiPen. Ambulans dalam perjalanan. Kami akan bawa ke rumah sakit militer.”

Yudha tak mampu berkata-kata. Hanya suara deru napas berat yang terdengar.

“Terima kasih, Lettu Bening. Karena sudah menyelamatkannya.”

“Bukan saya, Kapten. Saya hanya menjalankan perintah. Tapi sebaiknya ... Anda segera ke rumah sakit.”

Dan sebelum berangkat ke luar kota, Yudha pun melangkahkan kaki menuju rumah sakit. Setidaknya, ia harus memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa sang istri baik-baik saja. 

Beberapa jam kemudian, di ruang perawatan intensif rumah sakit militer, Tavisha terbaring dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Napasnya sudah lebih stabil. Di sisi ranjang, Yudha berdiri—memandang sang istri dengan perasaan bersalah. 

“Maafkan saya, Tavisha,” bisiknya lirih. Suara beratnya dipenuhi penyesalan. “Saya harus pergi,” sambungnya, sebelum akhirnya benar-benar pergi. Dan tanpa menunggu waktu, Yudha pun beranjak dari kamar itu untuk menyelesaikan misi militernya. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (29)
goodnovel comment avatar
Dhiyah
Ya ampun…seandainya papa tavisha nggk telp n ngasih tau kalo tavisha alergi kacang almond, ntah apa yg kan terjadi sm tavisha. Ingat y Mas…tavisha alergi kcg almond. Utk tavisha, tlg jgn slh paham dl y syg. Mas yudha blm tau kalo kamu alergi kacang almond.
goodnovel comment avatar
Wulan Ruslan
Berani banget godain si komandan yah haha dasar iseng. Komandan lagi galau malah mancing-mancing minta di kasih hukumanan kek nya mereka ini yah Hahah
goodnovel comment avatar
Nining Mulyaningsi
kek nyya walau badan tavisha baik-baik saja .tidak dengan hatinya karena disaat dia membutuhkan suaminya dia malah tugas luar kota .tapi mau bagaimana lagi resiko kalau punya suami abdi negara .
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 78 - Berat Hati

    Yudha menatap wajah sang istri cukup lama sebelum beranjak dari tepi ranjang. Ia menyampirkan selimut hingga sebatas dada sang perempuan, memastikan agar tetap hangat. Dan ketika ia hendak berdiri, ponsel di saku celananya bergetar. Ia pun merogoh lalu memandang layar menampilkan kontak dari markas besar. Getarannya terasa seperti alarm yang membangunkan sisi lain dalam dirinya—sisi yang tak pernah bisa menolak panggilan tugas.Sekilas, ia memandang Tavisha sekali lagi. Perempuan itu masih terlelap, wajahnya teduh dengan rambut terurai menutupi sebagian pipinya. Yudha menahan napas sejenak, baru melangkah keluar kamar sepelan mungkin. Begitu tiba di ruang tamu, ia segera mengangkat panggilan itu.“Siap perintah!”Suara di seberang terdengar tegas. “Kapten, mohon segera ke markas. Ini mendesak. Panglima memerintahkan seluruh tim utama hadir pagi ini.”“Pagi ini?” Yudha melirik jam di dinding. Waktu menunjukkan pukul tujuh tiga puluh. “Iya, Kapten. Tidak bisa ditunda.”“Baik. Saya sege

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 77 - Sebuah Petuah

    Dahlia keluar dari kamar setelah berhasil menenangkan sang menantu dan memberinya makan. Hormon yang dialami Tavisha memang tidak biasa. Perempuan itu sangat rapuh. Seolah jika dipegang sedikit saja mampu menghancurkannya. Setelah pintu kembali tertutup, Yudha langsung menghampiri. Ada kecemasan di wajah yang tak bisa ia tutupi. “Bagaimana Tavisha, Bu?"“Dia tidur lagi setelah makan dan minum vitamin.”Terdengar hela nafas lega setelahnya. Dahlia lantas menyelipkan tangannya di sela lengan putranya sambil membawa pria itu untuk duduk di sofa. “Duduk sini, kita ngobrol sebentar.”Yudha hanya mengangguk pelan. “Jangan terlalu keras dengan Tavisha, Nak,” nasehat sang ibu setelah berhasil duduk di sofa ruang tamu bersama putranya. Namun, tidak ada sahutan yang berarti dari bibir Yudha. Pria itu hanya bergeming, seakan berpikir apa benar ia terlalu keras pada istrinya? Padahal, ia sudah berusaha untuk bisa menahan semua ego dan amarah yang terpendam di kepala hanya demi tidak menyakiti

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 76 - Rapuh dan Tak Berdaya

    Yudha membiarkan tangis itu pecah. Ia membiarkan perempuan rapuh dan tak berdaya itu meluapkan segala kesedihannya melalui tangisan. Ibunya bilang, perempuan hamil itu perasaannya sangat sensitif. Ia bisa menangis hal-hal bahkan sekecil apapun. Apalagi Tavisha yang tengah menghadapi badai besar dalam hidupnya. Setelah lama menunggu, tangis itu akhirnya berubah jadi sebuah keheningan. Yudha menilik sang perempuan yang tengah berada dalam pelukan. Tak ada suara selain deru napas teratur. Yudha bisa menebak bahwa perempuan itu sudah tertidur. Ia pun menyelipkan tangannya ke celah leher dan kaki sang perempuan. Kemudian berdiri membopongnya menuju ranjang.Dengan sangat hati-hati, Yudha meletakkan sang istri, seakan takut membuatnya terbangun. Setelahnya, ia menyingkap rambut dan mengusap sisa air mata yang ada di kelopaknya.“Maafkan saya Tavisha.”“…”“Saya menyayangi kamu lebih dari apapun.”“…”Ungkapan hati seorang Yudha yang tak pernah secara jelas terucap di hadapan istrinya. Ia s

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 75 - Yang Terpendam

    Ketika kembali ke kediamannya, Yudha mendapati sang istri lagi-lagi merenung di ujung jendela kamar. Tatapannya kosong sambil memeluk kedua kakinya. Ada perasaan sesak saat dirinya harus melihat keadaan Tavisha yang semakin hari semakin menyedihkan. Ia tidak ingin psikologis perempuan itu terganggu. Terlebih ada bayi dalam kandungannya yang harus mendapatkan perhatian lebih. “Tavisha?” Yudha mendekat, duduk di hadapan perempuan itu. Jemarinya menarik sofa sang istri agar lebih dekat. Kemudian menelaah setiap guratan yang tampak di wajah. “Ada apa?” tanya Yudha, suaranya rendah nyaris tanpa ekspresi. “...” Namun yang ditanya lagi-lagi tak memberinya jawaban. Yudha hampir frustasi. Ia tidak pernah melihat sisi Tavisha yang sebegini rapuh. Dan itu—membuat dirinya merasa bersalah. Bukan hanya karena ia tidak bisa menenangkan hati perempuannya. Tapi, ia sadar. Sebagai abdi negara, ia tidak bisa selalu menemani Tavisha. Bahkan, jika ada operasi yang mengharuskannya pergi, ia tidak bi

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 74 - Melawan Takdir

    Setelah melihat keadaan istrinya, Yudha memutuskan untuk secara terang-terangan mendatangi sang ayah di kediamannya. Sore itu, Yudha tiba di kediaman Dirgantara ketika langit mulai meredup. Hanya menyisakan cahaya jingga yang mengitari halaman. Lantas, ia turun dari mobil, menutup pintu tanpa suara berlebih.Kali ini, langkahnya terasa begitu berat. Terlebih, saat ia mulai melewati pintu utama. Yudha kembali berpikir, kapan terakhir dirinya berbicara serius empat mata dengan sang ayah? Ah, ia pun teringat saat makan malam terakhir di kediamannya. Ketika, Tavisha pertama kali menyebut operasi langit merah dalam acara makan malam tersebut. Bagi Yudha, sang ayah bak bayangan tegas dalam hidupnya. Pria penuh wibawa itu, nyaris tak tersentuh oleh apapun. Pintu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga. Begitu melihat Yudha, wanita paruh baya itu buru-buru menunduk. “Selamat sore, Tuan Muda.” “Bapak ada di dalam?” “Ada. Beliau di ruang kerja.”Yudha mengangguk, lalu melangkah masuk. Ruma

  • Istri Tawanan Abdi Negara   Bab 73 - Menjadi Asing

    Setelah semua riuh pertengkaran mereda malam itu, rumah besar keluarga Tandjung tenggelam dalam kesunyian. Dokter sudah pulang, meninggalkan pesan agar Tavisha banyak beristirahat. Seisi rumah pun berangsur hening. Namun, Yudha tidak lekas meninggalkan kediaman itu. Ia duduk di ruang tamu cukup lama, punggungnya bersandar pada sofa dengan pandangan kosong. Rasanya ia masih mendengar suara lirih Tavisha, kalimat-kalimat getir yang menuduh sekaligus menolak kehadirannya. Kepalanya berat, tapi setiap kali menutup mata, wajah pucat istrinya yang tak sadarkan diri kembali muncul. Akhirnya, Yudha memilih tidur di kamar tamu. Lampu sengaja tidak dimatikan. Tubuhnya berbaring, tetapi pikiran terus berkelana. Tentang rahasia yang belum ia buka, tentang kenyataan kehamilan yang baru diketahuinya, juga tentang kemungkinan kehilangan kepercayaan Tavisha sepenuhnya. Di kamar utama, Tavisha terjaga. Tubuhnya lemah, tapi ia tidak bisa memejamkan mata. Pandangannya sering beralih ke pintu, menunggu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status