Share

Istri Tebusan Paman Mantanku
Istri Tebusan Paman Mantanku
Author: Santi_Sunz

1. Tabrakan

“Erwin, apa yang kamu lakukan?!”

Di hadapan Laureta, seorang pria tengah bergumul mesra dengan seorang wanita tanpa busana.

Pemandangan di depannya benar-benar membuat hatinya remuk redam!

“Tata!” bentak Erwin kasar. “Berani-beraninya kamu masuk kamar orang sembarangan!”

Seketika kegiatan pun terhenti. Erwin melepaskan diri dari sang wanita binal. Ia tampak kikuk saat menyadari Laureta ada di sana. Ia sibuk mencari celana dan segera mengenakannya. Berbeda dengan sang wanita yang tampak santai mengenakan kimono yang ia pungut di kasur.

Lutut Laureta terasa lemas. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Erwin tega mengkhianatinya. Mendadak, ia tidak tahu harus berkata apa. Mulutnya seolah terkunci rapat. Matanya membelalak menatap Erwin.

Pria itu mendekati Laureta dengan langkah cepat, lalu mendorongnya dengan kasar. “Keluar kamu!”

Laureta tetap bertahan. Ia hanya mundur sedikit sambil menunduk menatap lantai kamar hotel yang dilapisi karpet coklat muda. Sekujur tubuhnya gemetar.

“Kamu dengar aku, tidak? Pergi sana!”

“Kamu mengusirku …,” ucap Laureta lirih. “Aku ini tunangan kamu ….”

Ada sesuatu yang perih di dalam dadanya, bagaikan disayat-sayat ribuan pisau.

Erwin mendecak kesal. Lalu pria itu menekan bahu Laureta. “Kamu tidak seharusnya di sini.”

Laureta menepis tangan Erwin. “Jangan sentuh aku!”

Erwin mengangkat tangannya tanda menyerah. “Baiklah kalau begitu, kamu sebaiknya pergi. Hubungan kita sudah putus. Jangan menemuiku lagi, oke?”

Laureta menatap wanita yang sedang duduk di atas kasur sambil melipat kakinya. Ia tampak bosan dan tidak terganggu dengan kehadiran Laureta sama sekali.

“Ayo, Ta! Pergilah! Kenapa kamu diam saja?” desak Erwin.

Laureta terlalu syok melihat semua kejahatan di matanya hingga ia tidak sadar untuk segera pergi dari sini.

“Ah, dasar payah!” seru si wanita.

Tiba-tiba, si wanita binal mendecak kesal sambil memukul kasur. Ia mendekati Laureta dengan tatapan sinis, lalu mendorong Laureta hingga ia jatuh terjengkang.

“Erwin sudah menyuruhmu pergi!” seru wanita itu. “Seharusnya kamu langsung pergi! Mau apa kamu di sini terus? Mau melihat kami bermesraan? Dasar tidak tahu malu!”

“Sudahlah, Valentina Sayang. Kamu tunggu saja di sana ya,” ucap Erwin dengan lembut.

“Ya sudah. Cepat kamu usir wanita jelek itu dari sini ya. Urusan kita kan belum selesai.”

“Iya, Sayang.” Erwin tersenyum sambil mengangguk pada wanita itu.

Wanita jalang itu berlalu dengan gayanya yang centil sambil menyentuh lengan Erwin. Perlahan air mata Laureta meleleh. Tak pernah dalam sejarah ia berpacaran dengan Erwin dan pria itu memanggilnya dengan sebutan sayang.

Perih sungguh perih hati Laureta dengan semua sikap Erwin dan Valentina yang telah merendahkannya. Mereka yang sudah berdosa, tapi Laureta yang diusir dari sana. Laureta pun tak akan diam lebih lama lagi di sini.

Erwin kembali menatapnya, seolah merasa iba. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu Laureta berdiri, tapi Laureta mengabaikannya. Laureta tidak butuh belas kasihan pria itu.

“Ta ….”

Laureta pun berhasil bangkit berdiri sambil mengelap air matanya. Dengan harga diri yang masih tersisa, Laureta melepaskan kalung tanda pertunangannya dengan Erwin dan melemparnya ke lantai.

“Selamat tinggal, Erwin!”

Ia segera pergi dari sana menuju ke parkiran motor dengan napas yang terengah-engah. Jantungnya berdegup dengan kencang hingga sekujur tubuhnya gemetar.

Sebelumnya, Laureta dihubungi sahabatnya yang melihat Erwin tengah masuk ke hotel The Prince. Tanpa mengganti baju selepas menjadi instruktur senam, ia pun langsung datang dan memergoki mereka.

“Dasar laki-laki berengsek!” ucap Lauretta yang terisak sambil menarik gas motornya dalam-dalam.

Brak!

Tanpa sadar, tiba-tiba sebuah mobil muncul dari arah kiri dan langsung menyenggol motor Lauretta sampai ia terpental.

Tubuh sebelah kanannya menggesek jalanan aspal hingga lecet. Untungnya, ia lekas melompat untuk menghindari luka yang lebih banyak lagi.

Diliputi amarah, ia berjalan dengan langkah mantap dan kemudian menghampiri mobil yang telah menabraknya itu. Lalu Laureta menghantam kaca jendela mobil itu dengan helm sekuat tenaga.

“Keluar kamu!” teriak Laureta dihiasi suara yang bergetar karena emosi.

Laureta pun melayangkan tendangan yang cukup keras ke pintu mobil. Semoga saja menimbulkan bekas yang cukup dalam. Namun, nyatanya kaki Laureta kesakitan. Ia harus berpegangan pada atap mobil supaya ia tidak jatuh sambil memutar-mutar pergelangan kakinya.

“Keluar, hei! Kamu sudah menabrakku! Ayo tanggung jawab!” teriak Laureta lagi yang sudah bisa berdiri dengan benar.

Pintu terbuka, lalu seorang pria jangkung keluar dari sana. Tubuhnya benar-benar tinggi hingga Laureta harus mendongak untuk melihat wajahnya.

“Ada apa?” tanya pria itu dengan suara bariton yang menggelegar.

Laureta menatap pria itu tanpa berkedip. Garis-garis wajah pria itu begitu tegas dan matanya sangat tajam hingga Laureta pikir, ia telah mati karena hujaman tatapannya.

“Sa-saya …,” cicit Laureta dengan suara yang sangat pelan hingga lumba-lumba pun tidak bisa mendengarnya. Ia seolah tak berdaya untuk mengucapkan kalimat apa pun lagi.

Pria itu menatap Laureta dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.

“Kamu harus tanggung jawab,” ucap Laureta, pada akhirnya setelah suaranya berhasil kembali ke tenggorokannya.

Pria jangkung itu mengangkat sebelah alisnya dengan wajahnya yang dingin. Ia menghela napas, lalu mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya. Pria itu mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu yang tampak masih baru dan berseri.

“Ini!” Pria itu melempar uang itu dengan asal ke depan wajah Laureta hingga tersebar di jalan raya.

Laureta tertegun selama beberapa detik sambil menatap uang-uang merah itu ternodai oleh debu jalanan.

“Tunggu dulu!” seru Laureta. Ia buru-buru memungut uang itu sebisanya. Kemudian ia berlari dan menghadang pintu masuk dengan tangan kirinya yang tidak terluka.

“Mau apa lagi?” Pria itu memasang wajah bosan.

Laureta balas melempar uang itu ke wajah si pria jangkung hingga pria itu memejamkan matanya sejenak.

“Kamu tidak boleh seenaknya melempar uang! Meski aku miskin, aku tidak butuh uang kotormu itu!” Laureta berteriak sambil menunjuk-nunjuk.

“Uang kotor?” Pria itu menautkan alisnya.

Tiba-tiba, pria itu berjalan mendekati Laureta dengan langkah perlahan. Otomatis Laureta mundur selangkah dengan lutut yang gemetar. Napasnya jadi semakin cepat dan pendek-pendek. Tatapan mata pria itu benar-benar mengerikan, seperti pembunuh berdarah dingin yang siap menghabisi korbannya. Dan di sini, Laureta sebagai korban.

Pria itu semakin mendekat sambil menundukkan wajahnya. Sebelah tangannya meraih dagu Laureta, menariknya ke atas dengan tegas. Pria itu memiringkan wajahnya sambil menatap Laureta, menatap lehernya entah pipinya—Laureta tidak mengerti.

Seketika tubuh Laureta melemas. Helm terlepas dari tangannya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Laureta takut-takut.

Pria itu mendekati kuping Laureta dan kemudian berbisik, “Kamu tidak perlu sok suci menolak uang dariku. Lebih baik kamu pungut uang itu dan pergi dari sini. Sebelum kamu melawan, sebaiknya kamu lihat dulu, siapa yang sedang kamu hadapi. Paham?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Adi Kustanto
sangat sedih APA yang terjadi dengan loreta
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status