Gema takbir terdengar sahdu dari layar televisi yang terpasang di ruang tunggu bandara. Membuat hati terasa haru biru. Teringat akan orang tua dan sanak saudara yang terpisah jarak dan waktu. Di tengah sibuknya suana bandara aku dan Nathan duduk sambil menatap kameriahan takbir akbar yang disiarkan langsung dari salah satu chanel televisi. Tak hanya aku ada sekitar enam rekan kerja termasuk Profesor Wiliams dan Vero tengah menunggu panggilan cek inn dari petugas bandara. Tujuan kami adalah kembali ke Jepang untuk menyerahkan laporan penyelesaian proyek penelitian kemarin. Berbeda dengan aku dan Nathan, dua anggota tim kami sudah pulang ke Indonesia sejak siang tadi. Ini adalah bentuk dari solidaritas dan toleransi untuk yang merayakan hari raya, di izinkan langsung pulang ke negaranya masing-masing. "Shila, selamat hari raya. Semoga perjalananmu lancar." Devi yang juga seorang muslim pamit karena akan cek inn lebih dulu. Pesawat menuju negaranya akan segera lepas landas. "Iya, sela
"Oh... Ma maksudku ya kamu dan Mbak Miranda. Kalian selalu kayak gitu, apa kalian pikir aku anak kecil?" Nathan pun menghela nafas lalu menatapku dengan tatapan yang entah, sulit kutebak. "Kamu juga keras kepala. Tidak bisa mengerti persaanku." "Aku bisa sendiri, Nathan. Tolonglah jangan buat aku merasa tak enak dengan orang tuamu," kataku setengah putus asa. Nathan diam, seolah sedang memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya terdengar lagi helaan nafas berat dari bibirnya. "Baiklah, jika itu yang kamu mau. Jangan lupa kirim pesan begitu sampai dan jangan mengabaikan pesan juga telponku!" Spontan aku mengembuskan nafas lega. Akhirnya......"Iya," jawabku lalu kembali memakan sandwich yang tinggal setengah.****Setelah mengantar Nathan ke pintu cek inn aku bergegas menuju pintu keberangkatanku sendiri yang jadwalnya hampir bersamaan. Hampir saja telat, tapi aku masih punya sedikit keberuntungan. Kurasa Vero ada benarnya juga, aku memang sangat beruntung. Dengan petunjuk dari pramugari
"Lihat ini!" Ku tunjukkan layar ponselku ke depan wajah Elgar. Selesai makan malam aku menyeret pria itu ke halaman samping mansion. Beruntung Mommy Rosa tidak banyak bertanya. Sepertinya ibu mertuaku itu mengira kami ingin berduaan setelah hampir dua minggu tidak bertemu. "Baca!" perintahku saat Elgar hanya menatap datar padaku. "CEO tampan dari perusahaan Romanov tertangkap kamera menganggandeng seorang wanita yang kabarnya adalah istri yang selama ini dirahasiakannya." Dengan suara bergumam Elgar membaca judul artikel yang tadi dikirim oleh Raisa. "Ternyata lebih cepat dari perkiraanku." Komentarnya setelah mengembalikan ponselku. Tak ada ekspresi kaget atau marah sama sekali. Sungguh bukan reaksi yang kubayangkan. Pria itu nampak tenang sekali, berbeda denganku yang sudah panik setengah mat*."Hanya itu?" Aku menatapnya dengan pikiran yang dipenuhi tanda tanya. "Memangnya apa lagi?" katanya sambil mengangkat pundaknya. Eh..... ini orang kok santai sekali. "Mereka memberit
"Apa kamu mengonsumsi Narko*a?" "Sembarangan!" Kupukul lengannya dengan keras sampai pria itu pun mengaduh kesakitan."Stttss..... Tanganmu kecil tapi panas sekali kalau mukul," gerutunya."Makanya itu mulut dijaga! Jangan bicara yang tidak-tidak ya kamu!!" Pria itu membuang muka. Kuperhatikan beberapa kali dia menghembuskan nafas berat. Sepertinya sedang kesal mungkin juga marah. Entahlah.... sulit untuk menyimpulkan aritu sikap pria areogan itu. Bukan hanya Elgar, aku sendiri juga sendiri bingung. Artikel berita itu benar-benar menganggu ketenangan kami. Lelah berdebat aku pun memilih pergi. Kutinggalkan Elgar tanpa permisi. Aku berjalan menuju kamar yang tadi sudah ditunjukkan oleh Mommy Rosa. Kamar yang mewah yang ada di lantai dua mansion ini. Untuk saat ini lebih baik aku istirahat dulu sembari memikirkan alasan apa yang akan aku berikan pada Riasa dan Natalia. Untuk sementara ini hanya dua orang itu yang bertanya. Diantara semua teman-temanku memang hanya dua orang itu ya
Paginya aku terbangun dengan jantung yang dibuat berdebar-debar karena kaget. Aku tidak tahu kapan Elgar masuk namun saat membuka mata pria itu sudah terbaring di sampingku dengan mata ditutup oleh lengannya sendiri. Tentu saja dengan sebuah guling sebagai pembatas diantara kami. Ya, itulah Elgar, sangat sopan dan tahu batasan. Diluar dari pengakuannya yang telah menciumku, sebelumnya pria itu tidak pernah bersikap tidak sopan apalagi mesum. Beberapa kali kami tidur dalam satu kamar dan pria itu tidak pernah sekalipun memanfaatkan keadaan. Ya, mungkin karena dia tidak tertarik padaku. Atau mungkin karena aku bukan wanita tipenya sehingga tak ada sedikitpun niatnya untuk berbuat macam-macam padaku. "Itu salahmu," jawabnya saat aku memprotes tindakannya yang tanpa izin tidur di kamar yang kutempati.Bukannya mengaku salah, pria itu malah ganti menyalahkan aku. Katanya, aku yang salah karena tidak mau tidur di kamarnya. Alhasil Mommy Rosa memaksa Elgar untuk tidur di kamar yang aku te
"Olivia?" gumam Mommy Rosa. Sepertinya nama itu tidaklah asing di telingaku."Hai," Wanita itu beralih menatapku. "Kamu istrinya Elgar?" Wanita dengan dress selutut itu mengulurkan tangannya kearahku. "Olivia, mantan tunangannya Elgar." Sambungnya dengan senyum lebar. Belum sempat berjabat tangan, Mommy Rosa dengan cepat menepis tangan wanita itu. "Pergilah!!" sentaknya dengan raut wajah tak senang. "Apa kamu sudah lupa dengan peringatan yang Elgar berikan?" Entah benar atau tidak, tapi aku merasa Mommy Rosa seperti tidak nyaman dengan keberadaan wanita itu. Siapakah wanita itu? "Kenapa sekarang Aunty jadi tidak ramah padaku? Bukankah dulu Mommy sangat menyayangiku?" Seolah merasa kecewa, wanita itu memasang wajah sedih yang menurutku dibuat-buat. "Apa karena wanita ini?" Lagi, wanita bernama Olivia itu bertanya sambil mengarahkan tatapannya padaku sebentar lalu kembali menoleh pada Mommy Rosa. "Sekarang Aunty jadi tidak lagi menyuaiku? Apa Aunty sudah lupa apa yang telah putra
"Karena aku mencintaimu. Aku tidak mau wanita itu sampai melukaimu." Degh....... Tubuhku seketika membeku. "Aku mencintainu Shila, sangat. Sangat mencintaimu sampai rasanya aku bisa mat* jika kehilanganmu." Mata yang mengembun itu akhirnya mengalirkan lelehan bening yang menggetarkan hati dan jantungku. "Aku tak peduli dengan wanita itu. Aku bahkan tak peduli dengan Mommy. Biarlah dia sedih asalkan kamu tetap aman." Ungkapnya. Dan lagi-lagi aku tak bisa merespon semua ucapannya. Lidahku terasa kelu dan tubuhku seolah membeku. Aku bingung, kaget dan...... entahlah apa yang sebenarnya kurasakan saat ini. Mataku terasa panas dan tanpa bisa kucegah lelelan bening pun ikut menetes bertubi-tubi dari sana. "Tidak, jangan menangis. Aku tak sanggup melihatnya." Elgar mengusap pipiku yang basah oleh air mata. Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam saat tangan besar itu tiba-tiba menyentuh rahangku. Seketika aku membelalakkan mataku saat bibir tipis sang pria menyentuh bibirku. Degh...... Ti
"Iya. Wanita itu alasan adikku mengakhiri hidupnya," jawabnya. Tatapan yang tadinya tajam berubah sendu. Pria itu pun beranjak bangun. "Dia selingkuh dengan Edward, pacar adikku. Lebih tepatnya mereka bermain di belakang kami." Ada sorot kebencian dimata Elgar. Sepertinya luka yang diberikan wanita itu sangat dalam. "Kalau mengingatnya membuatmu terluka tak perlu menceritakannya." Aku tak ingin membuatnya harus membuka luka lama yang bisa kupastikan belum sembuh. Pria itu menggeleng, "Tak apa, aku tidak ingin suatu hari masalah ini jadi boomerang untuk hubungan kita." Hubungan? Memangnya aku bilang sudah menerima cintanya. Kepedean. "Wanita itu dan Edward berasal dari panti asuhan yang sama. Meski begitu keluarga dengan tangan terbuka menerima mereka tanpa melihat asal usulnya. Tapi nyatanya anjing saja lebih bisa membalas budi. Sednah dua orang itu malah menggigit orang yang memberi mereka rumah." Ungkap Elgar dengan sorot mata penuh kebencian. Mendadak hatiku terasa nyeri. Ta