Bab 1 Kiriman foto
“Mungkinkah Mas Ibra selingkuh dengan Intan?” tangan Bening gemetar melihat foto Ibra sedang mencium Intan dengan mesra di atas tempat tidur berlatar belakang lukisan sunset. Dia menduga mereka berdua sedang berada di kamar hotel. Ini terlihat dari warna sprei yang mereka duduki. Warna sprei khas hotel, putih!
Be, apakah perkawinan kamu baik – baik saja dengan Ibra? Aku mendapatkan foto ini dari story Intan.
Sekali lagi Bening membaca isi pesan yang ditulis Andini – teman kuliahnya dulu. Dia dan Intan berkawan akrab.
Bening tidak tahu, karena dia tidak punya akun media sosial pribadi. Dia hanya memiliki akun sosial untuk Joli Flower, toko bunganya, dan Intan tidak mengikutinya.
Semua saraf tubuh Bening menegang, matanya tiba – tiba panas, beberapa detik kemudian deras mengucurkan air mata. Berulang kali hati Bening menolak foto Ibra dan Intan dan masih menganggap semua itu hanyalah mimpi, tapi naluri kewanitaannya memberontak.
Walaupun dia tuli, ia bukanlah wanita bodoh. Apa yang dilakukan lelaki dan perempuan yang bukan muhrim di sebuah kamar hotel apalagi mereka terlibat bermesraan, kalau bukan selingkuh?
Pertanyaan itu membuat Bening nelangsa. Ia tersuruk sambil menekan dada. Wajar jika ia sakit hati. Intan adalah sahabatnya. Tapi, kini Intan menusuk Bening dari belakang.
Air mata Bening semakin deras membanjiri pipinya yang putih mulus. Pipi yang sering dipuji oleh Ibra, warnanya ranum kemerah - merahan seperti buah apel, tapi kini lelaki yang dia puja justru sedang bersenang – senang dengan wanita lain di belakangnya.
Bening lalu melempar hearing aid - nya sembarangan di atas meja, ia lalu mengunci pintu, mematikan lampu dan membaringkan tubuhnya di sebelah Evan. Bayi lelaki yang baru ia lahirkan seminggu lalu.
Rasa sakit sehabis melahirkan belum usai, kini ditambah sakit hati yang membuatnya limbung. Perlahan Bening mengusap kepala Evan yang tengah tertidur pulas. Wajah bayinya terlihat tenang. “Sedang apa papamu sekarang, sayang? Apa dia memikirkan kamu dan Mama saat ini?” tanyanya getir.
Wanita cantik itu mencoba untuk tenang, berulang kali dia menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan.
Namun, wajah dan senyum Intan menggoda matanya. Bening memejamkan mata, menghalau rasa perih yang kian menggigit. Dia tidak habis pikir, bagaimana Intan percaya diri memposting foto itu sedangkan mereka masing – masing terikat dengan perkawinan.
Suara ponsel Bening berbunyi beberapa kali, akan tetapi dia tidak mendengar suara apapun di sekitarnya. Dunianya sangat sunyi dan bisu.
***
Atun membawa segelas susu coklat untuk Bening yang sedang duduk termangu di teras. Matanya lurus menatap jalan yang mulai menggelap.
Bening mulai sore duduk di situ sambil menggendong Evan, bayinya yang masih merah. Setelah meletakkan susu coklat di atas meja. Atun duduk bersimpuh dan memberi isyarat pada Bening yang tunarungu.
Bening mencondongkan tubuhnya ke Atun, mata perempuan itu sembab. “Ada apa, Mba?” suaranya bergetar menahan tangis.
Atun menatap lurus Bening dan berbicara lambat supaya Bening mengerti apa yang ia ucapkan. “Ini sudah larut, Bu. Sebaiknya Ibu masuk, kasihan Evan, dia masih bayi dan belum kuat kena angin malam.”
Wanita itu melihat bayinya seperti orang linglung. Bayi itu tertidur dengan pulas dalam gendongannya setelah lama menyusu. “Saya mau di sini, menunggu Mas Ibra. Mba Atun tolong jaga Evan.” Ia menyerahkan bayi lelakinya ke tangan Atun dan meminta Atun mematikan semua lampu.
Atun membawa Evan masuk ke dalam rumah, dan Bening menunggu suaminya dengan hati penuh pertanyaan. Hingga tengah malam, Ibra belum pulang. Perempuan itu duduk terkantuk – kantuk di teras.
Mata Bening seketika terbuka saat melihat kilatan lampu menyorot ke garasi. Dia lalu melihat Ibra turun dari mobil dan membuka pintu gerbang lebar – lebar.
Bening buru – buru menunduk dan masuk ke dalam rumah dengan cara merangkak. Diabaikannya luka operasi sesar diperutnya yang masih basah. Pelan – pelan ia menutup pintu. Kemudian bersembunyi di belakang korden, mengawasi Ibra dari sana.
Tak berselang lama ia melihat Ibra dan Intan turun dari mobil.
“Tumben gelap gulita rumahnya.” kata Intan manja. “Apa ini trik Bening untuk menghemat uang?”
“Biarkan saja, ini lebih enak. Atun paling sudah ngorok, dan jangan khawatirkan Bening, di tuli, dia takkan bisa mendengar apapun yang terjadi di luar. Ayo masuk ke dalam,” ajak Ibra.
“Kita bisa main lagi dong.” Intan melirik tubuh jangkung Ibra yang berdiri di sampingnya.
“Siapa takut, malam ini, kamu bisa menginap di sini. Besok pagi bangun dan pura – pura tidak terjadi apa – apa dengan kita. Kalau Bening bertanya, bilang saja ada meeting sampai malam. Beres!” Wajah Ibra berseri – seri. Ia mengusap dagunya senang.
“Sip. Berbohong adalah keahlianku.”
Jantung perempuan Bening nyaris terhenti. Meski ia tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi ia bisa menangkap hubungan spesial terjadi di antara mereka. Apalagi saat matanya melihat Intan melingkarkan tangannya memeluk Ibra kemudian mencium bibir suaminya mesra. Rasa cemburu melesat, menghujam dadanya.
Napas wanita itu memburu, ia ingin melompat dan menerkam mereka berdua.
Sementara Ibra dan Intan, kedua orang tidak tahu, ada hati tersayat mengintip dibalik korden. Mereka tetap berciuman dengan nafsu menggelora sampai di depan pintu masuk rumah.
Sekonyong – konyong Bening menghidupkan lampu teras dan melemparkan asbak di depan Intan. Tubuh perempuan itu bergetar, “Intan! Tega sekali kamu berbuat hal menjijikkan di rumahku!”
Sontak Intan dan Ibra kaget melihat Bening berdiri di tengah - tengah mulut pintu.
Ibra melihat istrinya dengan mimic jijik. Tangannya yang kekar lalu menoyor kening Bening dengan kasar. “Ngapain kamu di sini malam – malam, heh!”
Bening mengerti apa yang dikatakan Ibra melalui mimic bibirnya. Dia yang tidak pernah diperlakukan kasar sebelumnya kaget. Seketika matanya berkaca - kaca menahan perih. “Aku menunggumu dari tadi Mas, dan kamu pulang – pulang berciuman dengan Intan di rumah kita sendiri!! Apa kalian berdua sudah sama – sama gila, hah!!” teriaknya histeris.
“Persetan!! Aku sudah muak dan jijik melihatmu di sini!! Pergi kamu! Pergi kamu!”
Bening emosi. Hatinya diselimuti kecemburuan hebat. “Oke!! Aku akan pergi!” Jawab Bening gusar. Dia masuk ke dalam kamar, kemudian membawa Evan keluar bersamanya.
“Bu, jangan pergi! Jangan pergi, Bu!!” cegah Atun mengejar Bening.
Perempuan itu tidak memedulikannya, dia masuk ke dalam mobil kemudian melesat pergi dengan membawa Evan.
Bening hanya berputar – putar mengelilingi kota, hingga ia lelah. Setelah amarahnya reda. Ia kemudian kembali ke rumah dan sengaja memarkir mobilnya agak jauh dari rumahnya.
Perasaannya kian gaduh, saat membuka pintu. Suasana sangat sunyi. “Kemana Atun?” gumam Bening pelan. Dari ruang tamu, Bening sempat melirik ke dapur yang dibatasi tembok dengan jendela krepyak kayu jati. Jendela itu tertutup.
Biasanya jam segini Atun sudah bangun dan mulai sibuk beberes di dapur. Bening lalu berbelok menuju kamarnya. Hatinya tercekat, saat terdengar suara desahan dan lenguhan laki – laki dan perempuan silih berganti.
Spontan Bening membuka pintu.
Badan wanita itu bergetar hebat, dadanya panas saat melihat Ibra sedang berada di atas tubuh Intan tanpa sehelai benang. “Apa yang kalian lakukan di sini!” teriak Bening histeris.
Ibra dan Intan kaget melihat Bening di depan mulut pintu dengan menggendong Evan.
“Ngapain kamu pulang!!” jawab Ibra. Dia buru – buru memakai celananya.
Bab 121 Last episode - Immortality “Cukup, Kak, cukup. Stop mentololkan keluarga saya!” Sesabar – sabarnya Bening, hatinya panas mendengar Tita menyebut keluarganya bodoh. Kebencian kakak iparnya itu kian menjadi, setelah tahu Dinda berniat bunuh diri, kemudian memutuskan hengkang dari rumah Tita, dan memilih tinggal bersama kakeknya di Gunung Gajah. Sementara Arum lebih suka tinggal bersama Kama dan Bening. “Kenapa? Ini mulut saya dan saya bebas mengatakan apa yang saya mau. Keluarga kamu memang tolol, dan mau pansos pada keluarga kami. Puas!!” Sorot mata Tita penuh kebencian saat mereka mau ON AIR di salah satu stasiun televisi. Sekonyong – konyong, tangan Tita mengambil gunting dari balik bajunya, dan secepat kilat merobek gaun Bening. Saat Bening belum sepenuhnya sadar, perempuan itu lalu menarik rambut panjang Bening, kemudian dengan bengis memotongnya sangat pendek. “Ya ampun!” teriak beberapa kru yang melihat setengah rambut Bening terlempar lepas ke lantai. Mereka tidak
Bab 120 Morning call“Kak… aku mau menikahi Dinda.”Sontak donat yang ada dalam mulut Bening muncrat keluar. Dia menoleh dan menatap bola mata adiknya tak percaya. “Kejutan apa lagi ini, Lang?” tanyanya kaget.Wanita itu ingat, saat Andini meninggalkan Elang, lelaki itu terpuruk dan berpikir tidak mau menikah lagi. Eh, sekarang tiba – tiba dia bilang mau menikahi keponakan Kama. Hatinya dag – dig – dug. Ketakutan yang selama ia simpan, terjadi juga.Elang duduk dengan santai di kursinya.“Salah satu alasannya adalah Kanaya, dia butuh sosok Ibu. Walaupun aku tahu, Mama dan Kakak sangat sayang kepadanya. Tapi, Kanaya butuh real mom, dan aku pikir Dinda adalah wanita tepat untuk Kanaya. Dia sangat sayang pada Kanaya.”“Apa kamu sudah memberitahu Mama soal ini?” tanya Bening. Donat bedak kesukaannya tak lagi membuatnya bergairah.Elang tersenyun nakal. Sifat isengnya mulai tumbuh. “Justru karena itu, aku bilang sama Kakak, supaya Kakak mau membantuku bilang sama Mama. Please… hanya Kakak
Bab 119 Forgiving“When a deep injury is done to us, we never recover until we forgive.” – Alan Paton“Aku benci Ibra! Aku muak melihat laki – laki itu!” Bening meremas – remas tangannya. “Tolong jangan pinta aku untuk menemuinya!” Bening benar – benar marah saat Kama tiba – tiba mengajaknya ke rumah sakit untuk menjenguk mantan suaminya itu.Bening masuk ke dalam kamar, dan menenggelamkan mukanya di bantal. Air matanya tumpah teringat dengan semua yang dilakukan Ibra.Kama menarik napas panjang, kemudian duduk di tepi ranjang, sembari mengelus kepala Bening.“Sayang, aku paham dengan kemarahanmu. Tapi Ibra menunggumu, aku tidak tega melihat dia selalu memanggil namamu.”Bening bangun dan duduk di sebelah Ibra. Air matanya meluncur deras. “Hatiku sakit Kama! Ibra sangat jahat kepadaku dan Evan, biarkan saja dia menanggung karmanya!”Kama memeluk dan mengecup kening Bening. “Aku mengerti sayang. Hanya saja, tak ada salahnya memafkan orang yang telah menyakiti hati kita. Ibra sudah mend
Bab 118 The last wish “Tolong beritahu Kak Bening, Mas Ibra sekarat dan ingin sekali bertemu dengannya.” Intan memegang kedua lengan Atun dengan kuat. Setelah dia menceritakan semua yang terjadi. Atun menggeleng. “Maaf Jeng, aku tak bisa. Aku takut Ibu Bening marah kepadaku. Kamu tahu kan, apa yang telah kakakmu lakukan pada Ibu Bening?” Dia khawatir, permintaan itu akan memporak – porandakan kebahagiaan Bening. Ajeng tidak mau perjalanannya sia - sia. “Aku tahu Mba, kakakku memang brengsek, dia telah menghancurkan hidup Kak Bening, tapi tolong Mba Atun, beritahu Kak Bening, bahwasannya kakakku mau meninggal dengan tenang. Aku tahu, selama ini dia menunggu Kak Bening. Mungkin dia mau meminta maaf sama Kak Bening langsung.” Terburu – buru Ajeng mengambil ponsel yang disembunyikan di dalam kantung celananya bagian dalam. “Kalau tidak percaya, lihatlah, lihatlah video ini.” Ajeng memutar video tentang kakaknya. Atun tercekat melihat kondisi Ibra yang sangat mengenaskan. Timbul rasa
Bab 117 A sweet kiss“Sial!!” Suara gedoran pintu itu membuyarkan kenikmatan Kama yang hampir mencapai puncak nirvana. Dia menghentikan gerakannya.“Buka dulu sayang, siapa tahu penting,” kata Bening, mengusap peluh di kening Kama yang berada di atasnya.Muka Kama cemberut, kelihatan kesal sekali dengan gangguan yang ditimbulkan pagi itu. “Biarkan saja. Kita lanjutkan saja permainan kita. Tanggung!” Tangannya menarik selimut dan menutupi tubuhnya dan Bening.Laki – laki itu kemudian memagut bibir Bening, mengulumnya dengan lembut, kemudian melakukan gerakan lamban naik – turun tapi dengan intense, seirama dengan alunan instrument piano yang mengalun lembut. “Kama… kama apa kamu ada di dalam? Tolong buka pintunya sebentar. Kakak mau bicara.” Dengan tak sabar, Tita menggedor – gedor pintu kamar Kama.“Ibu Tita, maaf, tolong jangan ganggu Bapak dan Ibu dulu, mereka mungkin masih tidur,” kata Atun. “Ibu silahkan tunggu dan duduk dulu di situ.”“Hey… diam kamu!” bentak Tita kasar. “Saya i
Bab 116 A slice of life“Oh my God! Meskipun kamu sudah menjadi istri sah Kama, saya tidak sudi dekat – dekat dengan kamu!” ucap Tita songong, saat Bening menyambangi rumahnya siang itu dengan membawa makanan.Kebencian perempuan itu pada Bening telah membuatnya menjadi perempuan buruk, hingga melupakan etika sebagai tuan rumah, dan membiarkan Bening berdiri dari 10 menit lalu.Telinga Anggi yang mendengarnya turut panas, ekor matanya melirik Bening yang berdiri dengan tegar dan tatapan teduh.“Tidak apa – apa, Kak, saya mengerti. Tujuan saya ke sini, selain untuk menjenguk Kakak, saya mau mengajak Kakak untuk menemui Ibu Irina, pekan ini. Beliau ingin sekali bertemu dengan Kakak ipar saya, sekaligus ingin mengajak Kakak bergabung dalam paguyuban Empowering Woman.” Intonasi suara Bening sangat tenang, dan tampak sangat professional menguasai emosinya. “Email resminya, nanti akan dikirim oleh Meli Sudrajat – sekretaris beliau.”Dagu Tita mendongak, sedang tangannya melipat ke depan dad