Bab 3 Sakitnya diabaikan
Malam itu, di kamar kostnya yang sempit. Bening mencoba tidur. Seharian Evan rewel dan sedikit menyusu. Sembari menggendong Evan, ia sandarkan punggungnya ke tembok. Matanya terkantuk – kantuk, sedangkan mulutnya menyanyikan lagu penghantar tidur. Nadanya semakin lama semakin lirih dan terdengar seperti orang yang sedang mengigau.
Nina bobo, oh nina bobo.
Kalau tidak bobo. Digigit nyamuk.
Baru saja ia tertidur, dia bermimpi ada api yang menjilat badannya dengan beringas. Sontak wanita itu terjaga, ketika lengannya bersentuhan dengan kulit Evan. Badan Evan panas seperti bara api!
Bayinya panas tinggi! Muka bayinya merah, seperti udang rebus dan tampak sangat lemas “Ya Allah, Evan, kamu kenapa, Nak?” Buru – buru dia menyusuinya, bayi itu menolak.
Bening berdiri dan dengan kepanikan tinggi dia mencari obat penurun panas! Wanita itu kesal, obat Evan pasti tertinggal di rumah mamanya.
Buru – buru ia menuangkan air hangat dari termos di atas sapu tangan katun dan menempelkannya di kening Evan. Dengan hati pedih, Bening menunggu beberapa saat di samping putranya.
Tiap lima menit, tangan wanita itu menyentuh kening Evan. Panasnya belum turun! Bening semakin panik. Dia tak mau menunggu lebih lama dan bergegas mengambil tas dan kunci mobil. Kemudian melarikan bayinya ke rumah sakit seperti orang gila.
Sesampainya di Rumah Sakit Bunda. Bening seperti orang linglung, dia bergegas ke UGD dan menyerahkan bayinya ke seorang perawat yang berjaga.
Dokter wanita, berparas manis menyapanya.
“Anaknya keluhannya apa, Bu?” tanya Dokter yang bernama Tisya. Dia memiliki lesung pipi yang manis.
Bening tidak mendengar apapun! Wanita itu menunduk sedih. Betapa cerobohnya dia meninggalkan alat bantu dengarnya di kos. Ia lalu mengetik cepat di layar ponsel dan memberikannya pada Dokter itu.
Maaf saya tuli. Tolong bantu saya, bayi saya panas. Saya tidak tahu kenapa…
Dokter Tisya tertegun beberapa saat. Setelah itu dia memeriksa Evan, wajah manisnya berubah tegang. Kemudian terjadi kehebohan ketika Dokter Tisya melakukan PCR pada Evan. Semua perawat berlari membawa peralatan dan meminta Bening mundur. Salah satu perawat lalu menutup tirai berwarna hijau tersebut.
Ketakutan kehilangan anaknya menjalari tubuh Bening. Sendirian dan menyaksikan bayinya sekarat di rumah sakit membuat batinnya rapuh. Dia menekan dadanya kuat -kuat dan berusaha untuk tetap berdiri. “Jangan pergi, Nak. Jangan tinggalkan Mama sendirian.” ratapnya nelangsa. Seribu penyesalan menghantam dirinya. Kenapa ia dilahirkan tuli, sehingga dia tidak tahu apa yang terjadi dengan anaknya sekarang.
Dokter Tisya membuka tirai dan mengetik sesuatu. Setelah itu memberikannya pada Bening.
Apakah ada keluarga Ibu Bening yang bisa kami hubungi
Bening mengangguk. Dia lalu memberikan nomor mamanya. Wajah perempuan itu pucat pasi seperti mayat, tatapannya kosong menatap tirai hijau di depannya. “Evan… Evan…”
Seorang perawat perempuan mendekatinya. Dia memberikan minuman pada Bening dan memberinya tempat duduk.
Sejam kemudian. Bening dipeluk dari belakang.
Bening menoleh, dan melihat kedua orang tuanya datang bersama Elang adiknya.
“Bening anakku! Mana Evan? Kenapa bisa jadi begini?” Iswati menangis sesenggukan memeluk anaknya.
Tangis Bening tumpah ruah. “Ma….” Perempuan itu kemudian pingsan.
***
Dua hari kemudian. Setelah mengambil alat bantu dengarnya. Dengan hati mendidih, Bening mendatangi Ibra di kantornya. Tanpa mengucap salam pada staf resepsionis, wanita itu langsung naik ke lantai dua, di mana ruangan CEO berada.
“Maaf, Bu… Pak Ibra sedang ada meeting,” cegah Ela. Dia mencoba mengejar Bening ke tangga.
“Ini keadaan darurat. Saya mau menemui suami saya!” kata Bening ketus dan terus melangkahkan kakinya menuju ruangan Ibra.
“Saya mengerti, Bu, tolong tunggu sebentar, biar saya menghubungi Ibu Intan dulu.”
“Tidak perlu! Saya mau bertemu suami saya sekarang. Anak saya sakit keras di rumah sakit!” teriak Bening emosi.
Intan yang berada di dalam mendengar suara Bening. Wanita itu keluar dan tercengang saat melihat penampilan Bening.
Rambutnya berantakan, ntah berapa hari tidak tersentuh sisir, lingkaran hitam menghiasi wajahnya dan kemeja yang ia pakai bau anyir ASI.
“Apa kamu mau mempermalukan Pak Ibra di depan tamunya? Pak Ibra sedang meeting! Dan lihat penampilan itu, sangat menjijikkan!” kata Intan. Kedua tangannya bersilang di depan dada.
“Ela! Cepat panggilkan satpam dan usir wanita ini!”“Tapi, Bu. Ibu Bening istri Pak Ibra…” Ela menjadi serba salah. Intan adalah orang kepercayaan Ibra dan Bening adalah istri bosnya.
Mata Bening berkaca – kaca diusir oleh sahabat yang ia tolong dulu. “Evan sakit keras, ijinkan aku bertemu dengan Mas Ibra sebentar. Dia harus melihat anaknya.” Ia mengiba – iba.
Intan mengibaskan tangan Bening. “Ela, cepat lakukan apa yang saya perintahkan! Atau saya minta Pak Ibra memecat kamu!”
Bersamaan dengan itu, pintu kantor Ibra terbuka, seorang lelaki keluar dan Ibra berada di belakangnya.
Bening langsung bereaksi menghampiri Ibra tapi seorang satpam membekuknya.
“Maaf pak Ibra, ada orang gila masuk ke sini, saya mencoba mencegahnya, tapi dia terlalu gesit,” tukas Intan. Matanya mencibir pada Bening. “Tolong bawa keluar wanita itu, Pak!” perintahnya.
Bening berontak, kakinya menerjang ke mana – mana.
“Mas Ibra, Evan kritis di rumah sakit. Tolong jenguk dia, Mas. Siapa tahu dia sembuh!” teriak Bening lantang. Ia tak peduli meski Intan melotot kepadanya.
Ibra sama sekali tak memedulikan Bening, ia hanya melihat wanita itu sekilas.
“Siapa wanita itu Pak Ibra?” tanya Kama, tamunya Ibra.
“Saya tidak tahu, Pak. Mari, saya antarkan ke depan.”
Bening menelan rasa sakit hati diabaikan oleh suaminyaa. Dia, tetap berteriak hingga urat – uratnya menonjol keluar. ”Mas, tolong kasihani Evan, dia anakmu dan sekarang dia butuh uang banyak.” Akalnya berpikir bagaimana melepaskan tangannya dari cengkraman sang satpam.
Kemudian…
“Aww!” jerit sang satpam. Dia melepaskan tangannya setelah Bening melakukan atraksi dan menggigit tangannya.
Bening belari mencari Ibra. Pikirannya hanya satu, ia mau berbicara dengan Ibra empat mata. Di pelataran gedung, mata Bening jelalatan mencari Ibra. Kemana lelaki itu? keluhnya sedih.
Ibra tiba – tiba berada di samping Bening. Dengan kasar dia menarik lengan perempuan itu ke sebuah gang buntu tak jauh dari kantor Ibra.
Dengan bengis, lelaki itu menampar Bening berkali – kali hingga Bening terhuyun. “Rasakan! Ini akibat kamu telah mempermalukan aku di depan tamuku!”
“Ampun, Mas… ampun! Aku hanya mau memberitahumu Evan sakit!” mata Bening bersimbah air mata, ia berusaha menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Lantas, kedua tangan Ibra memegang kepala Bening dan mendekatkan wajahnya.
“Aku tidak peduli meski bayi setan dan kamu mati!” Ibra meludahi muka Bening. CUH!
Selanjutnya dia menarik alat bantu dengar yang terpasang di telinga wanita itu, kemudian menginjaknya hingga hancur.
Bab 121 Last episode - Immortality “Cukup, Kak, cukup. Stop mentololkan keluarga saya!” Sesabar – sabarnya Bening, hatinya panas mendengar Tita menyebut keluarganya bodoh. Kebencian kakak iparnya itu kian menjadi, setelah tahu Dinda berniat bunuh diri, kemudian memutuskan hengkang dari rumah Tita, dan memilih tinggal bersama kakeknya di Gunung Gajah. Sementara Arum lebih suka tinggal bersama Kama dan Bening. “Kenapa? Ini mulut saya dan saya bebas mengatakan apa yang saya mau. Keluarga kamu memang tolol, dan mau pansos pada keluarga kami. Puas!!” Sorot mata Tita penuh kebencian saat mereka mau ON AIR di salah satu stasiun televisi. Sekonyong – konyong, tangan Tita mengambil gunting dari balik bajunya, dan secepat kilat merobek gaun Bening. Saat Bening belum sepenuhnya sadar, perempuan itu lalu menarik rambut panjang Bening, kemudian dengan bengis memotongnya sangat pendek. “Ya ampun!” teriak beberapa kru yang melihat setengah rambut Bening terlempar lepas ke lantai. Mereka tidak
Bab 120 Morning call“Kak… aku mau menikahi Dinda.”Sontak donat yang ada dalam mulut Bening muncrat keluar. Dia menoleh dan menatap bola mata adiknya tak percaya. “Kejutan apa lagi ini, Lang?” tanyanya kaget.Wanita itu ingat, saat Andini meninggalkan Elang, lelaki itu terpuruk dan berpikir tidak mau menikah lagi. Eh, sekarang tiba – tiba dia bilang mau menikahi keponakan Kama. Hatinya dag – dig – dug. Ketakutan yang selama ia simpan, terjadi juga.Elang duduk dengan santai di kursinya.“Salah satu alasannya adalah Kanaya, dia butuh sosok Ibu. Walaupun aku tahu, Mama dan Kakak sangat sayang kepadanya. Tapi, Kanaya butuh real mom, dan aku pikir Dinda adalah wanita tepat untuk Kanaya. Dia sangat sayang pada Kanaya.”“Apa kamu sudah memberitahu Mama soal ini?” tanya Bening. Donat bedak kesukaannya tak lagi membuatnya bergairah.Elang tersenyun nakal. Sifat isengnya mulai tumbuh. “Justru karena itu, aku bilang sama Kakak, supaya Kakak mau membantuku bilang sama Mama. Please… hanya Kakak
Bab 119 Forgiving“When a deep injury is done to us, we never recover until we forgive.” – Alan Paton“Aku benci Ibra! Aku muak melihat laki – laki itu!” Bening meremas – remas tangannya. “Tolong jangan pinta aku untuk menemuinya!” Bening benar – benar marah saat Kama tiba – tiba mengajaknya ke rumah sakit untuk menjenguk mantan suaminya itu.Bening masuk ke dalam kamar, dan menenggelamkan mukanya di bantal. Air matanya tumpah teringat dengan semua yang dilakukan Ibra.Kama menarik napas panjang, kemudian duduk di tepi ranjang, sembari mengelus kepala Bening.“Sayang, aku paham dengan kemarahanmu. Tapi Ibra menunggumu, aku tidak tega melihat dia selalu memanggil namamu.”Bening bangun dan duduk di sebelah Ibra. Air matanya meluncur deras. “Hatiku sakit Kama! Ibra sangat jahat kepadaku dan Evan, biarkan saja dia menanggung karmanya!”Kama memeluk dan mengecup kening Bening. “Aku mengerti sayang. Hanya saja, tak ada salahnya memafkan orang yang telah menyakiti hati kita. Ibra sudah mend
Bab 118 The last wish “Tolong beritahu Kak Bening, Mas Ibra sekarat dan ingin sekali bertemu dengannya.” Intan memegang kedua lengan Atun dengan kuat. Setelah dia menceritakan semua yang terjadi. Atun menggeleng. “Maaf Jeng, aku tak bisa. Aku takut Ibu Bening marah kepadaku. Kamu tahu kan, apa yang telah kakakmu lakukan pada Ibu Bening?” Dia khawatir, permintaan itu akan memporak – porandakan kebahagiaan Bening. Ajeng tidak mau perjalanannya sia - sia. “Aku tahu Mba, kakakku memang brengsek, dia telah menghancurkan hidup Kak Bening, tapi tolong Mba Atun, beritahu Kak Bening, bahwasannya kakakku mau meninggal dengan tenang. Aku tahu, selama ini dia menunggu Kak Bening. Mungkin dia mau meminta maaf sama Kak Bening langsung.” Terburu – buru Ajeng mengambil ponsel yang disembunyikan di dalam kantung celananya bagian dalam. “Kalau tidak percaya, lihatlah, lihatlah video ini.” Ajeng memutar video tentang kakaknya. Atun tercekat melihat kondisi Ibra yang sangat mengenaskan. Timbul rasa
Bab 117 A sweet kiss“Sial!!” Suara gedoran pintu itu membuyarkan kenikmatan Kama yang hampir mencapai puncak nirvana. Dia menghentikan gerakannya.“Buka dulu sayang, siapa tahu penting,” kata Bening, mengusap peluh di kening Kama yang berada di atasnya.Muka Kama cemberut, kelihatan kesal sekali dengan gangguan yang ditimbulkan pagi itu. “Biarkan saja. Kita lanjutkan saja permainan kita. Tanggung!” Tangannya menarik selimut dan menutupi tubuhnya dan Bening.Laki – laki itu kemudian memagut bibir Bening, mengulumnya dengan lembut, kemudian melakukan gerakan lamban naik – turun tapi dengan intense, seirama dengan alunan instrument piano yang mengalun lembut. “Kama… kama apa kamu ada di dalam? Tolong buka pintunya sebentar. Kakak mau bicara.” Dengan tak sabar, Tita menggedor – gedor pintu kamar Kama.“Ibu Tita, maaf, tolong jangan ganggu Bapak dan Ibu dulu, mereka mungkin masih tidur,” kata Atun. “Ibu silahkan tunggu dan duduk dulu di situ.”“Hey… diam kamu!” bentak Tita kasar. “Saya i
Bab 116 A slice of life“Oh my God! Meskipun kamu sudah menjadi istri sah Kama, saya tidak sudi dekat – dekat dengan kamu!” ucap Tita songong, saat Bening menyambangi rumahnya siang itu dengan membawa makanan.Kebencian perempuan itu pada Bening telah membuatnya menjadi perempuan buruk, hingga melupakan etika sebagai tuan rumah, dan membiarkan Bening berdiri dari 10 menit lalu.Telinga Anggi yang mendengarnya turut panas, ekor matanya melirik Bening yang berdiri dengan tegar dan tatapan teduh.“Tidak apa – apa, Kak, saya mengerti. Tujuan saya ke sini, selain untuk menjenguk Kakak, saya mau mengajak Kakak untuk menemui Ibu Irina, pekan ini. Beliau ingin sekali bertemu dengan Kakak ipar saya, sekaligus ingin mengajak Kakak bergabung dalam paguyuban Empowering Woman.” Intonasi suara Bening sangat tenang, dan tampak sangat professional menguasai emosinya. “Email resminya, nanti akan dikirim oleh Meli Sudrajat – sekretaris beliau.”Dagu Tita mendongak, sedang tangannya melipat ke depan dad