Share

2. Curhat

Author: pramudining
last update Huling Na-update: 2025-03-19 20:27:03

Tatapan mata Haidar kembali pada rinai hujan di luar sana.

Bimbang hati untuk melangkah ke jenjang selanjutnya. Disilangkan kaki kanannya di atas paha sebelah kiri khas duduk seorang lelaki. Kedua tangan diletakkannya di atas meja dengan siku sebagai penopangnya. Jari-jarinya mulai bergerak lincah diatas layar gawai, mencari nama seseorang yang bisa menghibur hatinya yang mulai tak tentu arah.

Pangilan pertama tak juga diangkat oleh sang pemilik kontak. Beberapa kali Haidar mencoba melakukan panggilan dengan nama kontak yang sama. Namun, sang pemilik belum berkenan menerima panggilan dari Haidar. Lelah melakukan panggilan akhirnya dia mengirimkan pesan melalui aplikasi chatting.

"Sob, posisi?" tulis Haidar.

Sembari menunggu balasan, Haidar memesan coffelatte kembali. Dia berharap, sang sahabat mau menemani menikmati secangkir kopi bersamanya. Namun, sampai lima belas menit kemudian sahabatnya itu tak kunjung mengirim balasan chat darinya.

Sesibuk itukah sahabatnya hingga untuk membalas pesan saja ia tak bisa. Beberapa menit kemudian, hujan mulai reda seiring langkah Haidar yang bersiap untuk kembali ke rumahnya. Hari sudah semakin sore, dia tak ingin membuat khawatir bundanya karena telat pulang kerja.

Cukup sudah, getis hatinya pada sang gadis. Perginya dia telah membawa serta kasih yang dirintis. Biarkanlah hanya Haidar yang tahu rasanya patah sebelum tumbuh.

***

Rujak soto di dalam mangkuknya telah habis tak bersisa. Cita rasa yang dihadirkan sajian yang dia makan memang paling juara di sekitaran perkantoran ini. Jika jam makan siang sudah dapat dipastikan seluruh meja kursi dipenuhi pengunjung.

Dua orang sahabat itu masih asik menikmati santapan mereka masing-masing tanpa ada yang mau memulai pembicaraan. Haidar sengaja meminta sahabat satu-satunya yang dia miliki untuk menemani makan siangnya kali ini. Sampai saat ini, hati lelaki berseragam khas PNS itu masih diliputi gemuruh tak berkesudahan. Setiap hari, selesai bekerja Haidar tak pernah langsung pulang, dia berusaha menghindari pertemuan dengan bundanya. Haidar masih belum bisa menerima keputusan sepihak yang dilakukan sang Bunda.

"Tu, muka, kenapa? Nggak enak banget dilihat. Patah hati?" tanya sahabat Haidar. Senyum mengejek tampak ia perlihatkan.

"Enggak," jawab Haidar singkat. Tangannya sibuk mengaduk-ngaduk es jeruk. Sesekali terdengar helaan napas panjang.

"Lha, terus? Ngapain telepon aku dari kemarin? Kamu nggak tahu aku lagi sibuk banget. Kalo cuma buat lihat muka kusutmu, mending aku balik ke warung saja. Ngawasin renovasi biar cepet selesai." Sepertinya dia sudah jenuh melihat Haidar dengan segala ekrpresi kegalauannya.

"Aku disuruh nikahin cewek," putus Haidar kemudian. Membuat lelaki berkaos oblong warna biru itu menyemburkan minuman yang ada di mulutnya.

Terdengar tawa yang keras dari lelaki di hadapannya. Paras Haidar semakin kusut tak karuan, dia sudah bisa memprediksi reaksi lawan bicaranya. Namun, dia masih bergeming, membiarkan sahabat karibnya itu tertawa sampai puas. Selesai dengan tawanya, lelaki pemilik alis tebal itu berkata, "Mau dikawinin, tapi mukanya malah kusut gitu. Gimana sih? Cantik gak ceweknya? Kenalin ke aku!" Menaik-turunkan alisnya.

"Kenalan aja sendiri. Kamu sahabatku bukan? Ejek aja terus sampai puas!" Haidar menumpahkan kekesalan pada sahabatnya itu.

"Wow, ada yang marah," godanya, "ceritakan lebih banyak! Biar aku tahu apa masalahmu. Nikah itu kan ibadah, Sob. Lagian selama ini, kamu juga gak pernah aku lihat deket sama cewek mana pun."

"Bukan aku gak mau dekat sama cewek, tapi ada hati yang masih ingin aku perjuangkan." Kembali Haidar mengembuskan napas panjang, tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja berusaha menyalurkan kegelisahan hatinya.

"Siapa? Cewek yang sudah mengalahkanmu di semua bidang yang kamu kuasai? Memang kamu sudah ketemu sama dia?"

"Berisik. Suatu saat, Allah pasti mempertemukan kami kembali." Tatapan matanya kosong seolah dia sendiri tak yakin atas perkataannya. Mungkinkah hal itu akan terjadi? Kenyataan yang ada, tak sekali pun dia pernah bertemu dengan gadis yang telah merajai hatinya itu.

Gelak tawa terdengar kembali. "Gila kamu! Emang kamu sudah tahu keberadaannya? Jika kalian bertemu, tetapi dia sudah punya suami, gimana?" Mendengar ucapan sahabatnya itu Haidar melempar tisu. "Aku bicara fakta, Sob. Masak iya kamu mau menunggu yang tak pasti."

"Aku menolak pun, Bunda masih tetep kukuh meneruskan perjodohan ini. Pusing, Sob," akunya pada sang sahabat.

"Kenapa mesti pusing? Kamu, hanya perlu meminta bimbingan Rabbmu. Salatlah! Semoga kamu menemukan jawaban dari kebimbanganmu."

Bagi Haidar, Zafran Abrisam bukanlah sekedar sahabat, tetapi dia sudah seperti saudara laki-laki yang tak pernah bisa Haidar miliki. Solusi yang diberikan pada tiap masalah selalu mendekatkan pada Rabbnya karena itulah Haidar betah bersahabat dengan Zafran.

Pertemanan mereka terjadi sejak keduanya duduk di bangku sekolah menengah atas. Setelah lulus mereka sempat berpisah, Zafran mengikuti orang tuanya yang pindah tugas. Padahal mereka  telah sepakat akan kuliah di perguruan tinggi yang sama dengan fakultas yang sama pula. Jaraklah yang telah memisah persahabatan, meskipun komunikasi tetap terjalin. Namun, tetap jauhnya masa tempuh menjadi penghalang.

Dua bulan lalu, Zafran membeli sebuah tanah dan bangunan dengan bantuan Haidar. Rencananya bangunan itu akan dia renovasi untuk dijadikan rumah makan. Maka, sejak merenovasi itulah dua sahabat itu bisa kembali bertemu.

"Rindu itu hanya soal rasa yang bisa hilang seiring waktu, begitu juga cinta. Jadi, masalahmu itu hanya maslaah waktu saja, Sob. Kalau sudah dapat surganya dunia, pasti bakalan lupa cewek itu," ucap temanku itu tiba-tiba. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri Warisan Sahabat   189. Tempat Ternyaman

    Happy Reading*****"Selamat datang di kantor baru, Mas. Semoga bisa betah," ucap Dwi. Eza menatap ruangan baru miliknya. Hampir tiga bulan dalam masa rehabilitasi kesehatan membuatnya sadar. Siapa orang yang paling tulus menyayangi dan siapa orang yang tidak mempedulikan keadaannya. "Pucuk pimpinan usaha Papa sekarang ada di tangan Mas. Selama ini, aku cuma membantu saja." Dwi menambahkan."Aku nggak mau nerima. Biarlah tetap kamu yang megang kendali. Kita bangun sama-sama usaha Papa." Eza menepuk bahu adiknya. Jarak beberapa senti tak jauh dari keduanya, orang tua mereka tersenyum bahagia. Demikian juga dengan si bungsu dan juga suaminya. Sikap keras kepala Eza nyaris lenyap, dia kembali menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Rasa sakit yang dirasakan lelaki itu telah mengajarkan banyak hal. Si istri yang masih tetap kukuh tidak bersedia pulang ke rumah, dia biarkan. Sisa tabungan dan pesangon dari perusahaan tempatnya bekerja, Eza gunakan untuk menafkahi Mufidah dan Haikal selam

  • Istri Warisan Sahabat   188. Tanpa Dendam

    Happy Reading*****Empat hari berlalu, masa kritis Eza memang sudah lewat. Namun, kondisi lelaki itu tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Apalagi ketika sang istri menjenguk. Bukannya mendukung sembuh, Mufidah malah memperkeruh suasana dengan mempersoalkan biaya perawatan selama di rumah sakit."Aku nggak mau ngeluarin biaya buat perawatan Mas Eza, Ma. Uang belanja dari dia aja kurang, gimana bisa bayar biaya rumah sakit." Mufidah memutar bola mata. "Lagian anak minta warisan aja nggak dikabulin.""Mbak, jaga ucapanmu! Ini rumah sakit. Bukannya Papa nggak mau ngabulin, tapi keadaan memang nggak seperti ketika usaha sedang bagus-bagusnya. Tahu sendiri di mana-mana banyak pengusaha gulung tikar. Jika usaha beliau masih berdiri sampai saat ini adalah suatu rejeki dan berkah bagi keluarga." Dwi memulai kalimat panjang. Merasa jengah dengan semua keluhan iparnya."Halah! Sok banget kamu, Dik. Kamu sama suamiku itu nggak jauh beda. Lihat aja istrimu juga pergi. Kalian emang nggak becus jad

  • Istri Warisan Sahabat   187. Di atas Kesadaran

    Happy Reading*****Pulang dari klinik bersalin menjenguk adiknya, Eza melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Pikirannya kacau, harta yang diinginkan tak kunjung didapat. Sementara anak serta istrinya sudah meninggalkannya. Tanpa sadar dia menerobos lampu lalu lintas yang berwarna merah. Dari arah samping kanan tepat di hadapannya, seseorang dengan kecepatan sama tingginya tengah melaju. Kecelakaan pun tak terhindarkan lagi. Tubuh Eza terpelanting ke sisi kiri. Darah segar keluar mengaliri wajah. Sebagian orang berteriak meminta tolong. Saudara tertua Nafeeza tak lagi bisa berbuat apa pun. Matanya mulai meredup seiring bayangan-bayangan kesalahan yang dilakukannya pada orang tua. Sebelum inderanya menutup sempurna, lelaki itu sempat berucap istigfar atas semua kelakuan buruknya. Setelah itu dia tidak mengingat apa pun lagi. *****Dering ponsel Khoirul terdengar, nama Eza terlihat. "Mau apa lagi, Mas. Belum puas dengan kalimat kasarmu tadi?""Maaf, Pak. Saya Nadim, ingi

  • Istri Warisan Sahabat   186. Si Sulung Eza

    Happy Reading*****Kecemasan dua keluarga itu sedikit berkurang setelah mendapat penjelasan dari dokter. Ilyas, hanya diminta untuk mengazani putrinya sebelum mereka membawa ke ruang observasi. Ada sedikit pemeriksaan khusus dari dokter karena kelahiran yang terlalu cepat."Putrimu pasti sehat, Bang." Haidar menepuk pundak putra sulungnya yang terlihat khawatir."Amin, Yah. Semoga enggak ada apa-apa sama dia seperti yang dikatakan dokter tadi.""Sebaiknya Abang temani Mbak Feeza. Dia lebih membutuhkanmu sekarang. Biarlah kami yang akan dampingi putrimu," kata Aliyah."Terima kasih, Bu."Ditemani mertuanya, Ilyas kembali masuk ke ruangan ICU. Di sana terlihat Nafeeza yang memejamkan mata masih bersama para suster yang sedang memasang selang infus. Sepertinya, tenaga istrinya terkuras habis saat melahirkan. Si Abang tahu betul proses bagaimana lahirnya sang putri.Sekali lagi, air mata Ilyas menetes. Lelaki itu mendekati istrinya dan mencium kening serta kedua pipi. Mengucapkan terima

  • Istri Warisan Sahabat   185. Kebahagiaan Baru

    Happy Reading*****Pulang dari rumah Dwi, Ilyas langsung menghubungi Khoirul walau belum sampai di rumah. Sedang asyik berbicara dengan sang mertua, si Abang mendengar rintihan istrinya. Lelaki itu menjeda percakapan dan melirik Nafeeza. "Sayang kenapa?" Menengok ke arah Nafeeza."Ndak tahu, Bang. Tiba-tiba aja perutku mules banget."Ilyas kembali berbincang dengan Khoirul, hanya mengucap satu kalimat untuk memberitahukan keadaan istrinya dan diakhiri dengan salam. "Kita ke dokter sekarang. Abang enggak mau ambil resiko." Dia memutar haluan, kembali pada jalan yang mereka lalui. Tak jauh dari tempat mereka sekarang ada sebuah klinik. Wajah Nafeeza terlihat memucat, meskipun bukan rintihan keras. Namun, si suami tetap khawatir. "Apa waktunya si dedek keluar?" Sebelum menjawab pertanyaan suaminya, Nafeeza mendesis kesakitan. "Kata dokter masih dua minggu lagi, Bang," jelasnya, "Ya Allah! Kenapa rasanya ada yang mau keluar." Tangan perempuan itu memegang perut bagian bawah. "Sabar,

  • Istri Warisan Sahabat   184. Tanda-tanda

    Happy Reading*****Hari berlalu begitu cepat bagi Ilyas dan Nafeeza. Kini, mereka sudah kembali ke rumah sendiri sambil menunggu proses kelahiran. Sesekali, Ilyas masih membantu mertuanya mengurus usaha yang mulai bangkit kembali.Masalah dengan kedua iparnya masih terus berlanjut, tetapi ada sedikit harapan Ilyas kepada salah satu saudara Nafeeza. Beberapa kali, Dwi sempat menghubunginya untuk menanyakan kiat-kiat menjadi seorang pengusaha sukses. Tak jarang, si sulung menyarankan untuk terjun langsung saja. Membantu usaha papanya bahkan menggantikan posisinya."Abang mau pergi?" Nafeeza menatap suaminya yang sibuk menyisir rambut dan sudah berpakaian rapi."Sayang enggak inget? Kita ada janji ke rumah Mas Dwi malam ini." Menatap si istri, lalu tersenyum saat perempuan itu masih mengenakan mukenanya dan menepuk kening."Astagfirullah. Kenapa aku sampai lupa," kata Nafeeza sambil melepas mukena. "Sebenarnya, kenapa Mas Dwi ngundang kita ke rumahnya? Padahal dia begitu benci njenenga

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status