Share

Istri Warisan Sahabat
Istri Warisan Sahabat
Author: pramudining

1. Dilema

Author: pramudining
last update Last Updated: 2025-03-19 20:20:55

"Selamat, ya. Semoga kamu menjadi pemimpin yang amanah. Bisa membawa komisariat ini lebih maju dari sebelumnya. YAKUSA (yakin usaha sampai) sampai akhir kepengurusan nanti." Menangkupkan kedua tangannya. Gadis yang aneh menurut Haidar karena dia sudah bersikap acuh padanya. Namun, dia tetap bersikap sebaliknya.

Haidar baru saja ditetapkan sebagai ketua umum komisariat organisasi ekstra di fakultasnya. Dia mengalahkan gadis yang memberinya selamat tadi. Sebenarnya, rasa kagum terhadap gadis itu telah menghampiri hatinya. Namun, sisi egois seorang laki-laki telah mengalahkan semua perasaan pada sang gadis.

Sikap lelaki yang tak bisa dikalahkan oleh seorang perempuan telah mengakar kuat dalam hatinya. Bagaimana tidak, jika setiap mata kuliah yang diambil oleh Haidar nilainya selalu dibawah sang gadis. Bahkan pemilihan ketua senat kemarin, dia juga dikalahkan olehnya.

"Ya, terima kasih. Selamat juga buat kamu." Memandang sinis pada sang gadis, lalu pergi begitu saja. Melewatinya tanpa ucapan salam perpisahan. Selalu saja, hati dan perilakunya tak selaras terhadap sang gadis.

Gadis itu bukan tak mengerti arti tatapan sinis Haidar, tetapi dia sengaja mengabaikan semua. Sudah terlalu sering dia mendapat pandangan sinis dari Haidar. Namun, dia tak pernah menggubris semua itu, baginya menjalin sebanyak mungkin pertemanan jauh lebih baik daripada pusing memikirkan sikap sinis Haidar. Nyatanya, sikap humble yang dia tawarkan tak mampu meluluhkan hati Haidar.

"Hei! Lagi ngelamunin apa sih? Segitunya ngeliat ketum baru. Jangan katakan kamu naksir dia?" celetuk salah satu sahabat gadis itu.

"Ish, amit-amit kalau aku sampai naksir cowok kayak dia." Ia mengepalkan tangan kanan kemudian memukulkan pada keningnya sendiri beberapa kali.

Seolah-olah apa yang diperbuatnya bisa menghindari perkataan sahabatnya tadi.

Suara tawa sontak terdengar dari keduanya.

"Emang aneh dia. Kalau sama kamu juteknya minta ampun, tapi sama yang lain kok dia ramah banget, ya. Curiga nih, jadinya? Jangan ... jangan ...," ucapnya menggoda. Cubitan keras akhirnya melayang di lengan sahabatnya itu. "Aduh, ampun! Sakit, Ima, sayang."

"Makanya, kalau ngomong yang bener! Awas, sekali lagi aku dengar kayak tadi! Gak bakal mau aku jadi sahabatmu," ancam Hazimah. Mereka masih terus tertawa mengingat percakapannya.

Perbincangan dua sahabat itu sebenarnya tertangkap oleh indra pendengaran Haidar, tetapi dia acuh saja.

Dalam hatinya, ada rasa bahagia seandainya hal yang diungkap sahabat Hazimah itu benar adanya.

Namun entah mengapa setiap percakapan yang melibatkan mereka berdua, Haidar senantiasa menampakkan rasa sinis dan benci terhadap Hazimah.

Haidar tahu  perbuatannya itu akan menyakiti gadis itu, tetapi dia tidak bisa bersikap manis padanya seperti pada teman-temannya yang lain.

Dan Haidar menelan pil pahit itu sekarag.

Duduk termenung di sebuah kafe, Haidar mencoba menikmati rinai hujan yang turun ditemani secangkir coffelatte.

Salahkah jika pria itu masih berharap suatu keajaiban akan mempertemukannya dengan perempuan yang selama ini tak pernah diumbar namanya. Namun, selalu ia sematkan dalam bait-bait doa di sepertiga malamnya.

Berharap Rabbnya menuliskan dan menakdirkan Hazimah menjadi pendamping hidupnya.

Haidar mulai menyesali apa yang telah dilakukannya pada gadis itu.

Menyimpan cinta sendiri ternyata tak semudah bayangannya.

Lima tahun sudah berlalu, tetapi perasaannya masih sama.

Namun perbincangan dengan sang ibu membuatnya bimbang. 

"Le, kowe ngenteni opo meneh, tho. (Nak, kamu nunggu apalagi). Umurmu wis cukup gawe omah-omah (Usiamu sudah cukup untuk berumah tangga). Opo ra mesakne Bunda (apa gak kasihan Bunda)? Ayahmu wis sedo, mengko lak Bunda keburu sedo pisan, piye (sekarang Ayah sudah meninggal, nanti jika Bunda meninggal juga, bagaimana)?" ucap Bunda Haidar. Satu titik bening siap terjatuh dari kelopak mata bundanya. Tangan kanannya diletakkan di atas tangan kiri Haidar. Tangan kirinya mengusap lengan putranya, seolah berkata mengertilah posisi Bunda saat ini.

"Pun ngoten, Bun (jangan begitu, Bun)." Semua kata sanggahan untuk menolak bundanya serasa tercekat di tenggorokan Haidar. Bagaimana dia harus mengucap keberatan hatinya? Jika melihat kesedihan pada paras bundanya saja dia sudah kesakitan.

"Awakmu kie wis ngerti yen Bunda sakit-sakitan. Bunda mung pingin sak durunge sedo ndeleng awakmu omah-omah (kamu sudah tahu keadaan Bunda yang sakit-sakitan. Bunda cuma ingin melihat kamu berumah tangga sebelum Bunda meninggal)." Bulir-bulir bening itu telah jatuh mengaliri pipi bundanya, kala dia mengatakan hal itu.

Haidar, hanya mampu terdiam seribu bahasa melihat bundanya. Wajahnya dia palingkan agar tak melihat tangisan orang sangat dicintainya itu karena jauh di sana, hatinya, lebih sakit melihat keadaan ini. Tak disangka, diamnya itu dianggap sebagai jawaban iya oleh sang Bunda.

Tanpa mengikutsertakannya dalam penyampaian niat tersebut, wanita yang dihormatinya itu telah berkunjung ke rumah sang gadis bersama kakak iparnya.

Sekarang apa yang harus dia lakukan?


Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Warisan Sahabat   73. Rasa Khawatir Aliyah

    Happy reading*****Melangkahkan kaki dengan perasaan jengkel, Haidar benar-benar tidak mengerti dengan pemikiran Hazimah. Bukankah pembicaraan mereka semula sudah jelas bahwa mereka telah saling memaafkan dan berusaha berdamai dengan masa lalu. Namun, mengapa kalimat terakhir yang terlontar tadi seakan mengoyak harga diri Haidar sebagai seorang lelaki. "Huh, harus seperti apa lagi aku bertindak agar kebencianmu itu mereda," gumam Haidar sepanjang perjalanan menuju rumah sakit tempat Aliyah dirawat.Sekitar lima belas menit kemudian, lelaki itu sudah berhasil memarkirkan kendaraannya di halaman rumah sakit. Penuh kerinduan, Haidar keluar dan berjalan cepat menuju ruang perawatan sang istri. Setelah sampai di depan kamar inap Aliyah, Haidar sengaja mengintip dari kaca pintu. Melihat keadaan sang istri di dalam."Maaf, ya, Sayang. Terlalu lama, Mas, ninggalin kamu. Sampai tertidur pulas begitu," gumam Haidar sambil mencoba membuka pintu sepelan mungkin. Namun, pintu tersebut tetap meni

  • Istri Warisan Sahabat   72. Masih Tentang Rahasia Hati

    Happy Reading*****"Andai tak pernah ada fotomu yang aku coret dengan tinta merah, Mas Zafran nggak akan pernah curiga dan bertanya macam-macam," sahut Hazimah, "mengapa ... mengapa takdir kita bertiga harus seperti ini?"Deg ... Jantung Haidar rasanya akan terlempar keluar saat itu juga ketika mendengar pengakuan jujur Hazimah."Ya Allah. Segitu bencinya kamu padaku."Hazimah membuang muka, mengusap kembali lelehan air matanya. Ya, perempuan itu memang sangat membenci Haidar walau dulu sempat mengagumi lelaki tersebut. Namun ternyata, perangai dan tingkah laku Haidar membuat rasa kagum itu hilang."Enggak heran jika kamu membenciku sampai berbuat segitunya. Aku juga ikut andil menumbuhkan perasaan itu," tambah Haidar setelah beberapa menit, perempuan berjilbab di depannya terdiam."Nggak seperti itu, Ain. Aku saja yang terlalu kekanakan. Mungkin, saat itu usia kita masih terlalu muda dan egois. Jadi, aku menumpahkan semua kekesalan itu pada fotomu." Tangis Hazimah kembali pecah.

  • Istri Warisan Sahabat   71. Rahasia Hati

    Happy Reading*****Haidar tersenyum setelah mematikan sambungan telepon dengan Aliyah. "Al ... Al, kamu itu benar-benar sudah mengubah hidupku. Dari yang semula tidak berwarna sama sekali, menjadi begitu berwarna," gumamnya. "Mas," panggil Yana ketika Haidar terlihat tidak sibuk dengan ponselnya."Ya, Tan?""Kenapa lama sekali Azza keluar dari ruangan itu?" tanya perempuan paruh baya tersebut. "Sabar, Tan. Mungkin tindakannya memerlukan cukup banyak waktu," jawab Haidar.Yana pun mengangguk dan kembali duduk, menunggu dokter atau salah satu tim medis keluar dari ruangan tersebut. Beberapa puluh menit menunggu, Hazimah keluar dari ruangan tersebut memakai kursi roda. Yana dan Haidar pun mengucap syukur karena melihat wajah perempuan itu yang sedikit cerah dari sebelumnya. Hari mulai terlihat gelap, awan putih yang menghiasi langit kini telah berganti warna menjadi kekuningan. Haidar membuka pintu rumah Yana dengan cepat agar Hazimah segera beristirahat. Dari belakang Haidar, pere

  • Istri Warisan Sahabat   70. Keromantisan Haidar

    Happy Reading*****"Mas, ih," ucap Aliyah sambil mengerucutkan bibirnya. Lalu, meminta sang mertua membantunya mengubah posisi menjadi setengah duduk. "Tunggu, ya."Tangan kiri Haidar kini berada di bawah dagu, menunggu Sania yang membantu Aliyah duduk di pembaringannya. Sekali lagi, dia melihat ketidakberdayaan Aliyah karena penyakitnya. Ah, suami mana yang tidak sedih jika sudah melihat seorang istri kesakitan seperti itu. Haidar berusaha menahan genangan air yang mulai terkumpul di pelupuknya."Mas, kamu nggak apa-apa?" Terdengar suara Aliyah menyapa. Haidar mencoba menganggukkan kepala demi menjaga suasana hati sang istri. "Bagaimana keadaan Mbak Azza? Dia kenapa, Mas?" Sekalipun keadaan Aliyah sakit, ternyata masih ada kekhawatiran terhadap keadaan Hazimah. Haidar begitu salut dengan sikap perempuan yang dinikahinya itu. Sungguh, Haidar begitu menyesal telah mengabaikan Aliyah di awal pernikahan mereka."Dia masih dalam ruang penanganan." Tak ada kalimat yang bisa Haidar sampai

  • Istri Warisan Sahabat   69. Rindu

    Happy Reading*****Haidar keluar dari ruangan dokter yang menangani Hazimah. Keseluruhan jasadnya menjadi lemah setelah mendengar penjelasan tentang kondisi janin, bakal calon anak Zafran. Masih dengan pikiran yang berkelana ke segala arah, Haidar duduk di sebelah Yana. "Apa yang dokter katakan, Mas?" tanya Yana. Tatapan penuh pengharapan dari seorang ibu yang telah kehilangan putranya jelas sekali terlihat oleh Haidar. Hampir ... hampir saja Haidar meneteskan air matanya. Namun, ketika melihat raut kesedihan di mata perempuan yang telah melahirkan Zafran itu, Haidar berhasil menghalau semuanya. Lelaki itu mendongakkan kepala agar air matanya tidak terjatuh dan Yana tidak melihat kelemahannya saat ini."Tante, maafkan saya jika telah lancang mendahului dan menyetujui saran dokter untuk mengambil tindakan pada Hazimah." Haidar menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Yana. Tangan kanannya berusaha menggenggam jemari perempuan yang sudah dianggapnya Ibu sendiri untuk menenan

  • Istri Warisan Sahabat   68. Keputusan Haidar untuk Hazimah

    Happy Reading*****"Mbak, tolong sekali ini saja," pinta Yana bahkan perempuan paruh baya itu sampai harus menangkupkan kedua tangannya agar sang menantu tidak memikirkan hal lain, selain keselamatannya dan janin yang dikandung. Sebuah isyarat persetujuan dari Hazimah, membulatkan tekad Haidar menyentuh istri sahabatnya itu. "Ayo, Tan," ajak Haidar ketika dia berhasil membopong Hazimah. "Hati, ya, Mas, Bu. Saya pamit juga," kata sang Bidan.Gegas mereka masuk ke mobil dan melaju ke klinik sang dokter obstetri, hanya sekitar 15 menit ketiganya sudah sampai. Tak perlu banyak perkataan, ketika Yana turun dan memanggil perawat untuk segera menangani sang menantu. Haidar dengan sigap kembali membopong Hazimah. Kali ini, perempuan itu tidak protes sama sekali, keadaan yang begitu lemah itulah penyebabnya.Dalam gendongan Haidar, Hazimah merapalkankan istigfar lirih dengan mata terpejam. Dari jarak beberapa langkah di depannya, Haidar melihat perawat yang mendorong ranjang. Di sampingnya

  • Istri Warisan Sahabat   67. Hazimah Sakit

    Happy Reading*****"Iya, beliau mengatakan jika Hazimah mengeluhkan kondisi perutnnya," Haidar mennatap sang istri, seolah meminta persetujuan untuk menjenguk istri almarhum sahabatnya itu."Mas, njenengan harus segera datang menolong mereka. Aku takut Mbak Aza kenapa-napa. Njenengan kan tahu kalau di rumah itu nggak ada lelaaki," kata Aliyah yang juga mulai panik mendengar penjelasan Haidar."Al, Mas minta maaf. Mungkin, enggak bisa menemanimu seharian ini." Haidar mencium pucuk kepala Aliyah. "Bunda segera datang, beliau sudah ada di parkiran saat ini. Maaf, ya, Sayang." Panggilan terakhir yang diucapkan lelaki itu membuat Aliyah berbunga-bunga, meskipun dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Sekali lagi, Haidar mencium istrinya, tetapi tidak di bagian kepala melainkan di kedua pipi dan juga keningnya."Mas, tenang saja. Al, nggak masalah kalau ditinggal njenengan. Keselamatan Mbak Azza jauh lebih penting saat ini. Dia sudah menjadi bagian dari tanggung jawabmu setelah kepergian

  • Istri Warisan Sahabat   66. Telepon dari Yana

    Happy Reading*****Haidar menatap Aliyah dengan tatapan seperti waktu pertama kali perempuan itu bertanya dan mengajak suaminya melakukan hal-hal romantis. Tatapan yang senantiasa membuat jantung si perempuan berdetak lebih cepat bahkan mungkin segera copot. Begitu menegangkan sekaligus misterius."Al, jangan pernah mendahului kehendak Allah. Semua mungkin jika Allah sudah menghendaki. Kita sebagai hamba-Nya, hanya perlu berdoa dan pasrah. Kamu enggak boleh mengatakan hal seeburuk itu lagi. Apa kamu enggak mau menua bersama Mas dan anak-anak kita nantinya?" Sendok yang berisi makanan di tangan Haidar kini berpindah ke mulut Aliyah. Lelaki itu dengan telaten menyuapi istrinya. "Jadi, kamu harus semangat untuk sembuh supaya semua impian kita segera terwujud," katanya sambil menaikkan garis bibirnya."Mas," panggil Aliyah ketika makanan yang masuk ke mulutnya sudah berhasil Aliyah telan. "Kenapa, Al?""Seandainya, kita nggak pernah diberikan amanah keturunan, apa yang akan njenengan la

  • Istri Warisan Sahabat   65. Berusaha

    Happy Reading*****Haidar menatap Sania dengan wajah sedih. Bingung harus menjelaskan mulai dari mana karena lelaki itu sendiri masih syok mendengar penjelasan sang dokter tadi. Demikian juga Abdul, lelaki paruh baya itu cuma menatap besannya, sedih."Kalian berdua ini kenapa sebenarnya?" tanya Sania masih dengan wajah penuh pertanyaan dan kebingungan. "Ain, katakan. Menantu Bunda sakit apa sebenarnya?""Bun." Haidar berhambur ke pelukan perempuan yang telah melahirkannya itu. Melupakan bahwa dia seorang lelaki dewasa dan imam seorang perempuan yang tengah membutuhkan kekuatan darinya untuk penyemangat. Namun, Haidar hanyalah manusia biasa yang akan sangat sedih mendengar penyakit istrinya yang terbilang ganas itu. Sania mendadak ketakutan ketika melihat tingkah si bungsu yang tidak sepeti biasanya. Haidar adalah sosok lelaki yang kuat, sejak kepergian ayah kandungnya, dia sudah mandiri dalam segala. Namun, semua kekuatan itu mendadak sirna ketika istrinya sakit. "Mas, sebenarnya a

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status