"Rindu itu hanya soal rasa yang bisa hilang seiring waktu, begitu juga cinta. Jadi, masalahmu itu hanya maslaah waktu saja, Sob. Kalau sudah dapat surganya dunia, pasti bakalan lupa cewek itu." Menarik garis bibirnya ke atas.
"Pikiranmu! Dasar mesum!" ejek Haidar. "Aku ngomong apa adanya. Nanti kamu ...." Belum selesai perkataan Zafran, lagu bidadari surga terdengar dari ponsel. Secepatnya dia menggulirkan ikon hijau logo telepon. Haidar tahu jika panggilan itu dari istri lelaki berambut ikal. Dia membiarkan Zafran berbincang dengan sang istri. Sementara dia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Beberapa menit kemudian, Zafran sudah menyelesaikan panggilan teleponnya. "Sorry, Sob. Aku harus balik ke rumah hari ini. Sampai seminggu ke depan, kita gak bisa ketemu. Kalau ada apa-apa kabari secepatnya! Jangan kayak cewek! Galau terus kerjaanmu. Aku tinggal dulu! Asalamualaikum," salamnya. Zafran pun bersalaman dan memeluk sahabatnya itu. Ditepuknya punggung Haidar sambil berkata, "Tenangkan dirimu! Pilihan Bunda pasti terbaik buatmu." Lekat Haidar memandang kepergian Zafran. Haidar tahu, hari-hari berikutnya akan sangat sulit ia lewati tanpa sahabatnya itu. Setidaknya jika ada Zafran di sini, dia bisa sedikit terhibur sekalipun nanti sampai di rumah hatinya kembali galau. *** Hem batik kujang warna putih, berlengan pendek telah ia kenakan. Untuk bawahannya dia mengenakan celana bahan warna hitam senada dengan corak kemeja batiknya. Malam ini, meskipun hatinya menolak menghadiri acara, tetapi Haidar harus tetap melakukannya demi seseorang yang telah melahirkannya. Seluruh keluarga inti telah berkumpul di rumahnya. Seserahan untuk calonnya pun telah tertata rapi. Semua barang-barang itu disiapkan oleh bundanya. Haidar tak ikut campur sedikit pun di dalamnya. Meskipun ini acara pertunangan, tetapi keluarga Haidar menyiapkannya seolah ini adalah acara pernikahannya. Senyum kebahagiaan terpancar di setiap anggota keluarga Haidar, terutama sang Bunda. Sedari siang, dia orang yang paling sibuk menyiapkan semuanya. Haidar, hanya bisa pasrah atas apa yang terjadi selanjutnya. Dalam pikirannya apa yang ia lakukan semata-mata hanya untuk kebahagian bundanya. Dia ingat perkataan sahabatnya, Zafran, bahwa rasa cinta akan datang seiring berjalannya waktu dan kebersamaan kita dengan orang itu. Bukankah pepatah jawa juga mengatakan, tresno kuwi jalaran soko kulino (cinta datang karena terbiasa). "Le, nggek ndang tho! Ojo ketenggengen ngono (Nak, ayo cepat. Jangan melamun gitu)!" Panggilan dari bundanya membuyarkan semua lamunan. Bacaan basmalah Haidar rapalkan kemudian dia melangkahkan kakinya bersiap ke rumah sang gadis. Beberapa menit kemudian, rombongan keluarga Haidar telah sampai di rumah Aliyah, gadis yang hendak bertunangan dengan Haidar. Kedua mobil yang dikendarai keluarga mereka telah memasuki pelataran rumah Aliyah. Ada rasa gugup di hati Haidar ketika memasuki rumah itu. Mungkinkah gadis pilihan bundanya itu benar-benar baik seperti yang diceritakan olehnya selama ini. "Asalamualaikum," salam Bunda Haidar kepada pemilik rumah. "Waalaikumsalam," jawab seorang laki-laki sambil membukakan pintu. Seluruh keluarga Haidar dipersilahkan masuk. Sebenarnya, tak banyak yang datang pada acara pertunangan kali ini, hanya beberapa orang saja yaitu Bunda, kakak dan kakak ipar Haidar. Paman dan bibinya dari pihak ayah Haidar serta kedua putra mereka. Pakde dan Budenya dari pihak Bunda serta puteri mereka, tetapi seserahan yang dibawa keluarga Haidar melebihi banyaknya orang yang hadir saat acara ini, banyak sekali. Acara dimulai dengan perkenalan antar keluarga. Dilanjutkan dengan penyampain niat kedatangan keluarga Haidar yang diwakili oleh Pakdenya. Di tengah perbincangan dua keluarga itu, muncullah seorang gadis tanpa menggunakan hijab. Bagi Haidar hal itu sangat mengganggu penglihatan dan pikirannya. Dalam hati, dia berdoa semoga bukan gadis itu yang akan menjadi istrinya kelak. "Kenalkan, ini putri saya, Aliyah Fadwah." Seketika kerongkongan Haidar terasa kering, ia kesulitan menelan ludahnya sendiri. Bagaimana bundanya bisa memilih gadis yang seperti itu, padahal bundanya tahu kriteria gadis idaman Haidar. Aliyah duduk di samping ayahnya, meskipun baju yang ia kenakan cukup sopan, tetapi Haidar tetap memiliki poin negatif kepada Aliyah. Hal itu karena dia tak menggunakan hijab sebagai penutup auratnya.Perbincangan keluarga pun dilanjutkan kembali. Haidar sudah tak peduli lagi dengan pembahasan keluarga mereka, dia sibuk membayangkan wajah Hazimah yang sangat menyejukkan pandangan dengan hijab. Senyumnya mengembang kala mengingat semua tentang gadis itu. Lamunannya terhenti saat pamannya menepuk pundaknya. Sang paman berbisik di telinga Haidar. Namun, dengan suara yang mampu didengar semua orang dalam ruangan ini. "Wis ra sabar tho, Nang (sudah tak sabar, ya, Nak)? Ojo mbayangne sing ora-ora, durung halal kui ra oleh, Nang (jangan membayangkan yang tidak-tidak, belum halal itu gak boleh, Nak)!" Betapa malunya Haidar atas ucapan pamannya. Kini, semua mata memandang kearahnya dengan senyuman yang hanya mampu mereka artikan maknanya sendiri.Happy Reading*****"Selamat datang di kantor baru, Mas. Semoga bisa betah," ucap Dwi. Eza menatap ruangan baru miliknya. Hampir tiga bulan dalam masa rehabilitasi kesehatan membuatnya sadar. Siapa orang yang paling tulus menyayangi dan siapa orang yang tidak mempedulikan keadaannya. "Pucuk pimpinan usaha Papa sekarang ada di tangan Mas. Selama ini, aku cuma membantu saja." Dwi menambahkan."Aku nggak mau nerima. Biarlah tetap kamu yang megang kendali. Kita bangun sama-sama usaha Papa." Eza menepuk bahu adiknya. Jarak beberapa senti tak jauh dari keduanya, orang tua mereka tersenyum bahagia. Demikian juga dengan si bungsu dan juga suaminya. Sikap keras kepala Eza nyaris lenyap, dia kembali menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Rasa sakit yang dirasakan lelaki itu telah mengajarkan banyak hal. Si istri yang masih tetap kukuh tidak bersedia pulang ke rumah, dia biarkan. Sisa tabungan dan pesangon dari perusahaan tempatnya bekerja, Eza gunakan untuk menafkahi Mufidah dan Haikal selam
Happy Reading*****Empat hari berlalu, masa kritis Eza memang sudah lewat. Namun, kondisi lelaki itu tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Apalagi ketika sang istri menjenguk. Bukannya mendukung sembuh, Mufidah malah memperkeruh suasana dengan mempersoalkan biaya perawatan selama di rumah sakit."Aku nggak mau ngeluarin biaya buat perawatan Mas Eza, Ma. Uang belanja dari dia aja kurang, gimana bisa bayar biaya rumah sakit." Mufidah memutar bola mata. "Lagian anak minta warisan aja nggak dikabulin.""Mbak, jaga ucapanmu! Ini rumah sakit. Bukannya Papa nggak mau ngabulin, tapi keadaan memang nggak seperti ketika usaha sedang bagus-bagusnya. Tahu sendiri di mana-mana banyak pengusaha gulung tikar. Jika usaha beliau masih berdiri sampai saat ini adalah suatu rejeki dan berkah bagi keluarga." Dwi memulai kalimat panjang. Merasa jengah dengan semua keluhan iparnya."Halah! Sok banget kamu, Dik. Kamu sama suamiku itu nggak jauh beda. Lihat aja istrimu juga pergi. Kalian emang nggak becus jad
Happy Reading*****Pulang dari klinik bersalin menjenguk adiknya, Eza melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Pikirannya kacau, harta yang diinginkan tak kunjung didapat. Sementara anak serta istrinya sudah meninggalkannya. Tanpa sadar dia menerobos lampu lalu lintas yang berwarna merah. Dari arah samping kanan tepat di hadapannya, seseorang dengan kecepatan sama tingginya tengah melaju. Kecelakaan pun tak terhindarkan lagi. Tubuh Eza terpelanting ke sisi kiri. Darah segar keluar mengaliri wajah. Sebagian orang berteriak meminta tolong. Saudara tertua Nafeeza tak lagi bisa berbuat apa pun. Matanya mulai meredup seiring bayangan-bayangan kesalahan yang dilakukannya pada orang tua. Sebelum inderanya menutup sempurna, lelaki itu sempat berucap istigfar atas semua kelakuan buruknya. Setelah itu dia tidak mengingat apa pun lagi. *****Dering ponsel Khoirul terdengar, nama Eza terlihat. "Mau apa lagi, Mas. Belum puas dengan kalimat kasarmu tadi?""Maaf, Pak. Saya Nadim, ingi
Happy Reading*****Kecemasan dua keluarga itu sedikit berkurang setelah mendapat penjelasan dari dokter. Ilyas, hanya diminta untuk mengazani putrinya sebelum mereka membawa ke ruang observasi. Ada sedikit pemeriksaan khusus dari dokter karena kelahiran yang terlalu cepat."Putrimu pasti sehat, Bang." Haidar menepuk pundak putra sulungnya yang terlihat khawatir."Amin, Yah. Semoga enggak ada apa-apa sama dia seperti yang dikatakan dokter tadi.""Sebaiknya Abang temani Mbak Feeza. Dia lebih membutuhkanmu sekarang. Biarlah kami yang akan dampingi putrimu," kata Aliyah."Terima kasih, Bu."Ditemani mertuanya, Ilyas kembali masuk ke ruangan ICU. Di sana terlihat Nafeeza yang memejamkan mata masih bersama para suster yang sedang memasang selang infus. Sepertinya, tenaga istrinya terkuras habis saat melahirkan. Si Abang tahu betul proses bagaimana lahirnya sang putri.Sekali lagi, air mata Ilyas menetes. Lelaki itu mendekati istrinya dan mencium kening serta kedua pipi. Mengucapkan terima
Happy Reading*****Pulang dari rumah Dwi, Ilyas langsung menghubungi Khoirul walau belum sampai di rumah. Sedang asyik berbicara dengan sang mertua, si Abang mendengar rintihan istrinya. Lelaki itu menjeda percakapan dan melirik Nafeeza. "Sayang kenapa?" Menengok ke arah Nafeeza."Ndak tahu, Bang. Tiba-tiba aja perutku mules banget."Ilyas kembali berbincang dengan Khoirul, hanya mengucap satu kalimat untuk memberitahukan keadaan istrinya dan diakhiri dengan salam. "Kita ke dokter sekarang. Abang enggak mau ambil resiko." Dia memutar haluan, kembali pada jalan yang mereka lalui. Tak jauh dari tempat mereka sekarang ada sebuah klinik. Wajah Nafeeza terlihat memucat, meskipun bukan rintihan keras. Namun, si suami tetap khawatir. "Apa waktunya si dedek keluar?" Sebelum menjawab pertanyaan suaminya, Nafeeza mendesis kesakitan. "Kata dokter masih dua minggu lagi, Bang," jelasnya, "Ya Allah! Kenapa rasanya ada yang mau keluar." Tangan perempuan itu memegang perut bagian bawah. "Sabar,
Happy Reading*****Hari berlalu begitu cepat bagi Ilyas dan Nafeeza. Kini, mereka sudah kembali ke rumah sendiri sambil menunggu proses kelahiran. Sesekali, Ilyas masih membantu mertuanya mengurus usaha yang mulai bangkit kembali.Masalah dengan kedua iparnya masih terus berlanjut, tetapi ada sedikit harapan Ilyas kepada salah satu saudara Nafeeza. Beberapa kali, Dwi sempat menghubunginya untuk menanyakan kiat-kiat menjadi seorang pengusaha sukses. Tak jarang, si sulung menyarankan untuk terjun langsung saja. Membantu usaha papanya bahkan menggantikan posisinya."Abang mau pergi?" Nafeeza menatap suaminya yang sibuk menyisir rambut dan sudah berpakaian rapi."Sayang enggak inget? Kita ada janji ke rumah Mas Dwi malam ini." Menatap si istri, lalu tersenyum saat perempuan itu masih mengenakan mukenanya dan menepuk kening."Astagfirullah. Kenapa aku sampai lupa," kata Nafeeza sambil melepas mukena. "Sebenarnya, kenapa Mas Dwi ngundang kita ke rumahnya? Padahal dia begitu benci njenenga