Happy reading
💕💕💕 *** Sebuah cincin putih polos kini telah melingkar di jari manisnya sebelah kiri. Kini, ia tak mungkin sebebas dulu, meskipun hatinya menolak. Namun, Haidat tetap berusaha memenuhi janjinya pada sang Bunda, menjaga nama baik keluarga. Cuaca panas di luar tak sepanas hatinya kini. Di ruang kerja, dia mulai melamunkan sosok Hazimah. penampilannya secara fisik jelas sangat berbeda dengan Aliyah Fadwah. Ghazala Hazimah adalah sosok perempuan yang sangat mengagumkan bagi Haidar. Dia adalah perempuan cerdas berwawasan luas dan jangan lupakan jika gadis itu adalah perempuan paling mandiri yang selama ini dikenal Haidar. Instingnya kuat saat mengambil keputusan. Itu sebabnya saat kuliah dulu, banyak organisasi intra dan ekstra di kampus yang ingin menjadikannya anggota. Haidar tahu begitu banyak lelaki yang terpikat dengan pesona seorang Hazimah. Hingga untuk menarik perhatiannya dia selalu bersikap sinis dan jutek pada gadis itu. Seolah dengan sikapnya, dia bisa mendapat perhatian Hazimah. Ketika melihat sosok wanita pilihan bundanya semalam, terus terang hatinya menentang. Bagi Haidar wanita secantik apa pun jika dia tak berhijab, maka kecantikan itu akan menghilang seketika. Sebenarnya, Aliyah tak kalah cantik di banding Hazimah, tetapi ketaatan akan perintah Tuhan-Nya lah yang membuat Hazimah lebih unggul. Ah, jika seperti ini aku semakin merindukan sosokmu. Di mana sebenarnya kamu berada? Mengapa setiap kali reuni alumni di kampus kamu tak pernah hadir. Aku rindu ... rindu sekali. Jika seperti ini terus-menerus aku bisa gila karenamu. Benar kata seorang dokter bahwa rindu itu adalah suatu penyakit obsesi yang serupa melankolia. Bahkan seorang filsuf sekelas Phytagoras mengatakan, rindu adalah harapan dan cinta yang sangat untuk mencapai sesuatu. Di mana ia muncul dalam hati, bergerak dan berkembang biak yang dapat mengumpulkan semua rasa yang sangat. Setiap kali rindu itu menguat, maka orang yang ditimpanya akan semakin bergejolak serta tergerak untuk mencari dan mencapai apa yang diinginkannya hingga gejolak tersebut membuat pemiliknya merasa bersedih dan khawatir. Jika tidak bisa mencapai apa yang diinginkan tersebut darahnya bisa mendidih dan menjadi hitam dan saat keadaannya sudah seperti itu, maka bisa rusak cara berpikirnya dan menjadi gila. Selama ini, Haidar sudah berupaya semampunya untuk mencari keberadaan Hazimah. Namun sayang, gadis itu sama sekali tak terdeteksi keberadaannya. Rindu yang dimilikinya pun semakin bertambah tanpa Haidar tahu cara menguranginya. Zafran sebagai seorang sahabat sudah sering mengingatka. Rindu yang dia miliki harus dipasangkan kendali kuat agar tak menjebak dalam semua kegiatan hidupnya. Nyatanya perkataan Zafran, hanya angin lalu bagi Haidar. "Ehem ...." Dehaman dari sang kepala desa membuyarkan semua lamunannya tentang Hazimah. Tanpa Haidar sadari, atasannya itu sudah sejak tadi berdiri di hadapannya bahkan ketukan pintu tak membuat kesadarannya kembali. "I-ya, Pak," jawab Haidar gugup. Segera dia berdiri untuk menghormati atasannya itu. Takut-takut jika dia mendapat teguran atas tindakannya yang kedapatan melamun di jam kerja. "Kerja dulu, Mas! Nanti, pulang kantor puas-puasin melamunnya." Senyum tersungging di bibir sang atasan. Kalimatnya sarat dengan sindiran kepada Haidar. Bukannya Haidar tak menyadari kesalahan itu. Namun, dipergoki secara langsung seperti ini membuatnya sangat malu. "Siap, Pak." Wajahnya seketika memerah. "Wonten nopo, Pak (Ada apa, Pak)?" tanya Haidar. "Beda, ya? Orang yang habis bertunangan sama yang belum." Masih menyindir Haidar. "Tolong kamu wakili saya di kecamatan! Ada pertemuan antar kepala desa di sana. Saya masih harus melanjutkan rapat dengan para ketua RW dan kepala dusun. Bisa, 'kan, Mas Haidar?" Kali ini nada perkataannya terlihat lebih serius. Beruntung Haidar tak mendapat teguran dan pertanyaan yang aneh dari kepala desa. "Inggeh, Pak. Jam berapa?" "Setelah makan siang, Mas. Sekitar jam satu. Masih ada waktu satu setengah jam lagi, tapi kalo dipakai melamun lagi, ya, telat rapatnya nanti." Berjalan meninggalkan Haidar sambil tertawa terbahak-bahak. Haidar mengumpat dalam hatinya, merutuki semua kebodohan yang dia lakukan. Jelas sekali jika orang di sekelilingnya menyangka dia memikirkan wanita tunangannya itu, padahal kenyataanya dirinya melamunkan wanita lain. Mengapa mereka selalu menyimpulkan apa yang tampak di luar tanpa tahu hal sebenarnya.Happy Reading*****"Selamat datang di kantor baru, Mas. Semoga bisa betah," ucap Dwi. Eza menatap ruangan baru miliknya. Hampir tiga bulan dalam masa rehabilitasi kesehatan membuatnya sadar. Siapa orang yang paling tulus menyayangi dan siapa orang yang tidak mempedulikan keadaannya. "Pucuk pimpinan usaha Papa sekarang ada di tangan Mas. Selama ini, aku cuma membantu saja." Dwi menambahkan."Aku nggak mau nerima. Biarlah tetap kamu yang megang kendali. Kita bangun sama-sama usaha Papa." Eza menepuk bahu adiknya. Jarak beberapa senti tak jauh dari keduanya, orang tua mereka tersenyum bahagia. Demikian juga dengan si bungsu dan juga suaminya. Sikap keras kepala Eza nyaris lenyap, dia kembali menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Rasa sakit yang dirasakan lelaki itu telah mengajarkan banyak hal. Si istri yang masih tetap kukuh tidak bersedia pulang ke rumah, dia biarkan. Sisa tabungan dan pesangon dari perusahaan tempatnya bekerja, Eza gunakan untuk menafkahi Mufidah dan Haikal selam
Happy Reading*****Empat hari berlalu, masa kritis Eza memang sudah lewat. Namun, kondisi lelaki itu tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Apalagi ketika sang istri menjenguk. Bukannya mendukung sembuh, Mufidah malah memperkeruh suasana dengan mempersoalkan biaya perawatan selama di rumah sakit."Aku nggak mau ngeluarin biaya buat perawatan Mas Eza, Ma. Uang belanja dari dia aja kurang, gimana bisa bayar biaya rumah sakit." Mufidah memutar bola mata. "Lagian anak minta warisan aja nggak dikabulin.""Mbak, jaga ucapanmu! Ini rumah sakit. Bukannya Papa nggak mau ngabulin, tapi keadaan memang nggak seperti ketika usaha sedang bagus-bagusnya. Tahu sendiri di mana-mana banyak pengusaha gulung tikar. Jika usaha beliau masih berdiri sampai saat ini adalah suatu rejeki dan berkah bagi keluarga." Dwi memulai kalimat panjang. Merasa jengah dengan semua keluhan iparnya."Halah! Sok banget kamu, Dik. Kamu sama suamiku itu nggak jauh beda. Lihat aja istrimu juga pergi. Kalian emang nggak becus jad
Happy Reading*****Pulang dari klinik bersalin menjenguk adiknya, Eza melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata. Pikirannya kacau, harta yang diinginkan tak kunjung didapat. Sementara anak serta istrinya sudah meninggalkannya. Tanpa sadar dia menerobos lampu lalu lintas yang berwarna merah. Dari arah samping kanan tepat di hadapannya, seseorang dengan kecepatan sama tingginya tengah melaju. Kecelakaan pun tak terhindarkan lagi. Tubuh Eza terpelanting ke sisi kiri. Darah segar keluar mengaliri wajah. Sebagian orang berteriak meminta tolong. Saudara tertua Nafeeza tak lagi bisa berbuat apa pun. Matanya mulai meredup seiring bayangan-bayangan kesalahan yang dilakukannya pada orang tua. Sebelum inderanya menutup sempurna, lelaki itu sempat berucap istigfar atas semua kelakuan buruknya. Setelah itu dia tidak mengingat apa pun lagi. *****Dering ponsel Khoirul terdengar, nama Eza terlihat. "Mau apa lagi, Mas. Belum puas dengan kalimat kasarmu tadi?""Maaf, Pak. Saya Nadim, ingi
Happy Reading*****Kecemasan dua keluarga itu sedikit berkurang setelah mendapat penjelasan dari dokter. Ilyas, hanya diminta untuk mengazani putrinya sebelum mereka membawa ke ruang observasi. Ada sedikit pemeriksaan khusus dari dokter karena kelahiran yang terlalu cepat."Putrimu pasti sehat, Bang." Haidar menepuk pundak putra sulungnya yang terlihat khawatir."Amin, Yah. Semoga enggak ada apa-apa sama dia seperti yang dikatakan dokter tadi.""Sebaiknya Abang temani Mbak Feeza. Dia lebih membutuhkanmu sekarang. Biarlah kami yang akan dampingi putrimu," kata Aliyah."Terima kasih, Bu."Ditemani mertuanya, Ilyas kembali masuk ke ruangan ICU. Di sana terlihat Nafeeza yang memejamkan mata masih bersama para suster yang sedang memasang selang infus. Sepertinya, tenaga istrinya terkuras habis saat melahirkan. Si Abang tahu betul proses bagaimana lahirnya sang putri.Sekali lagi, air mata Ilyas menetes. Lelaki itu mendekati istrinya dan mencium kening serta kedua pipi. Mengucapkan terima
Happy Reading*****Pulang dari rumah Dwi, Ilyas langsung menghubungi Khoirul walau belum sampai di rumah. Sedang asyik berbicara dengan sang mertua, si Abang mendengar rintihan istrinya. Lelaki itu menjeda percakapan dan melirik Nafeeza. "Sayang kenapa?" Menengok ke arah Nafeeza."Ndak tahu, Bang. Tiba-tiba aja perutku mules banget."Ilyas kembali berbincang dengan Khoirul, hanya mengucap satu kalimat untuk memberitahukan keadaan istrinya dan diakhiri dengan salam. "Kita ke dokter sekarang. Abang enggak mau ambil resiko." Dia memutar haluan, kembali pada jalan yang mereka lalui. Tak jauh dari tempat mereka sekarang ada sebuah klinik. Wajah Nafeeza terlihat memucat, meskipun bukan rintihan keras. Namun, si suami tetap khawatir. "Apa waktunya si dedek keluar?" Sebelum menjawab pertanyaan suaminya, Nafeeza mendesis kesakitan. "Kata dokter masih dua minggu lagi, Bang," jelasnya, "Ya Allah! Kenapa rasanya ada yang mau keluar." Tangan perempuan itu memegang perut bagian bawah. "Sabar,
Happy Reading*****Hari berlalu begitu cepat bagi Ilyas dan Nafeeza. Kini, mereka sudah kembali ke rumah sendiri sambil menunggu proses kelahiran. Sesekali, Ilyas masih membantu mertuanya mengurus usaha yang mulai bangkit kembali.Masalah dengan kedua iparnya masih terus berlanjut, tetapi ada sedikit harapan Ilyas kepada salah satu saudara Nafeeza. Beberapa kali, Dwi sempat menghubunginya untuk menanyakan kiat-kiat menjadi seorang pengusaha sukses. Tak jarang, si sulung menyarankan untuk terjun langsung saja. Membantu usaha papanya bahkan menggantikan posisinya."Abang mau pergi?" Nafeeza menatap suaminya yang sibuk menyisir rambut dan sudah berpakaian rapi."Sayang enggak inget? Kita ada janji ke rumah Mas Dwi malam ini." Menatap si istri, lalu tersenyum saat perempuan itu masih mengenakan mukenanya dan menepuk kening."Astagfirullah. Kenapa aku sampai lupa," kata Nafeeza sambil melepas mukena. "Sebenarnya, kenapa Mas Dwi ngundang kita ke rumahnya? Padahal dia begitu benci njenenga