Share

Bukan Suara Kekasih

-Bukan Suara Kekasih-

Vanilla masih di dalam kamar. Suara itu jelas bukan suara Ega. Ia hanya memandang gelisah neneknya. Neneknya yang sedari tadi menemaninya di kamar mulai merasa ada yang janggal. Neneknya mengintip di celah pintu kamar dan memastikan bahwa itu bukan Ega.

"Itu siapa, Van? Yang mengucap ijab qobul tadi bukan Ega."

Lalu belum pertanyaan neneknya terjawab, juga pertanyaan dalam benak Vanilla, beberapa orang wanita sudah datang menjemputnya untuk keluar dan duduk bersanding di kursi berpita putih dengan 'suami sahnya'.

Vanilla seperti berjalan di tepian dengan beling-beling menancap di kakinya. Dia terus memandang belakang tubuh pengantin prianya. Dan itu memang bukan Ega. Semua tamu seperti tersihir, tak ada satu pun yang mempertanyakan kenapa wajah suaminya berganti dengan lelaki lain. Kenapa tidak ada yang merasa aneh?

Ketika sudah semakin dekat, Vanilla akhirnya bisa melihat dengan jelas siapa lelaki itu. Lelaki yang mengambil tempat Ega. Apa maksud semua ini?

Vanilla duduk dengan berat. Terus menatap nyalang wajah di sebelahnya. "Kian?" Hanya itu yang bisa ia ucapkan bersama dengan nada beribu pertanyaan yang tersorot dari matanya.

Kian menoleh sambil tersenyum. Terlihat jelas bahwa itu senyum palsu. Mata Kian tak tersenyum, walau sudut bibirnya terangkat.

Kian mengulurkan tangan kirinya. Vanilla hanya menatapnya lama. Otak Vanilla seperti leleh dan meluber keluar kepalanya. 

Mbak Denik yang mengawasi Vanilla berbisik, "Pasang cincin, Van."

Vanilla akhirnya mengulurkan tangan kirinya. Kian memasangkan cincin bermata berlian yang besar dan mengkilat ke jari manis Vanilla. Mengulurkan tangan kembali dan Vanilla berganti memasangkan cincin di jari Kian.  Vanilla menatap dan menimang cincin yang sekarang melongkar di jarinya. Itu bukan cincin pilihan Ega dan dirinya dulu. Ini cincin lain.

Mbak Denik terus memberikan perintah-perintah kecil kepada Vanilla sambil berbisik. Vanilla membawa tangan kanan Kian ke bibirnya. Tak benar-benar mengecupnya. Hanya membawanya beberapa senti di depan bibirnya.

"Tersenyumlah. Banyak yang melihat. Tidak mungkin kan kau akan langsung mengajukan cerai sekarang juga?" bisik Kian lamat-lamat.

Dari sudut mata Vanilla, Anin, sahabatnya sejak kecil bersungut merah. Vanilla diliputi oleh berbagai macam perasaan yang bercampur aduk berbaur di dalam dadanya. 

Tanpa diberikan cukup waktu untuk mencari jawaban, Vanilla sudah dituntun kembali menuju kamar untuk berganti gaun. Gaun yang ia dan Ega pilih adalah ball gown berwarna champagne rose dengan veil menjuntai yang menutup rambutnya. Lipstik nude dengan ombre maroon yang digunakan untuk akad dihapus. Diganti dengan lipstik golden peach yang serasi dengan gaunnya. 

Untuk resepsi, pengantin pria seharusnya ganti pakaian di kamar yang sama dengan Vanilla. Namun, karena pengantinnya bukan Ega, ia yang meminta neneknya menyiapkan kamar lain untuk Kian ganti. 

Ketika Vanilla siap, ia keluar kamar. Disambut oleh Kian yang mengenakan jas yang seharusnya dipakai oleh Ega. Vanilla memandangnya dengan benci.

"Untung saja ukuran jasmu sama dengan Ega," ucap Vanilla penuh sarkas.  Ia ingin mengingatkan bahwa jas itu bukan untuk Kian. Kemeja yang Kian pakai juga seharusnya dipakai oleh Ega. Begitu pun dirinya, seharusnya menjadi milik Ega. Bukan malah menjadi istri dari Kian. Lelaki yang sama sekali tak ingin ia dekati walaupun Kian adalah lelaki terakhir di dunia ini.

Ia turun tangga mendahului Kian. Ekor gaun yang berserakan dirapikan Mbak Denik dan asistennya sambil ikut menuruni tangga. Mereka masuk mobil.

Ketika sampai di hotel, Vanilla dan Kian tetap memamerkan senyum dan tetap tidak bercakap-cakap. Senyum itu palsu, tentunya. Di saat seperti ini, siapa yang bisa tersenyum bahagia. Vanilla telah kehilangan mempelai lelakinya. Mempelai yang ia inginkan menjadi suaminya. Lelaki yang ia bayangkan akan menemani malam-malam dan kesehariannya. 

Pintu ballroom telah didekorasi dengan pilar bunga mawar dan peony segar pink, putih, serta gold. Terus masuk ke dalam, membentuk jalan seperti taman bunga. Sulur-sulur bunga kertas di atas kepala menjuntai di sepanjang jalan sampai pelaminan. 

Vanilla dan Kian terus berjalan menuju pelaminan berwarna broken white. Gadis itu memandang takjub dekorasi yang ia dan Ega siapkan. Sepertinya ballroom ini hampir menghabiskan seluruh bunga di Kota Malang untuk dekorasi pernikahannya. Buket bunga mawar dan peony yang ia pegang seperti mempunyai ribuan duri yang menusuk-nusuk jarinya.

Vanilla berdoa dalam hati, semoga tak ada yang dikenal oleh Kian. Baik tamu undangan dari pihak ya, maupun dari pihak Ega. Agar ia tetap merasa bahwa dia orang luar dan tidak pernah diterima. 

"Wah, datang kau." Lamunan Vanilla buyar karena suara sapaan Kian kepada tamu Ega.

"Tentu saja. Ini kan pernikahan sahabatku," balas tamu itu bersama istrinya yang mengenakan long dress maroon.

Vanilla kenal, tamu itu adalah pengusaha nikel, teman Ega. Dulu pernah dikenalkan ketika tamu itu datang ke Malang, mengunjungi Ega. Dan itu tak berlangsung hanya pada tamu ini, tetapi pada hampir seluruh tamu yang datang Kian pun kenal dan menyapanya dengan ramah. Bagaimana Kian kenal hampir semua tamu yang ia dan Ega undang? Hatinya semakin sesak karena menginginkan Kian ikut merasa tak bahagia seperti yang dirinya rasakan saat ini.

Selama acara, Vanilla memasang topeng ceria di wajahnya, sama seperti yang Kian lakukan. Begitu pintu mobil ditutup setelah acara selesai, Vanilla meremas pundak Kian dengan gusar. "Jelaskan sekarang, Kian. Ke mana Ega?"

Kian tak menjawab. Kian tak melepaskan remasan tangan Vanilla di pundaknya. Entah sakit, entah memang Kian bisa menahan jemari kecil Vanilla yang meremas pundaknya keras. Lelaki itu hanya diam menatap mata Vanilla lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil.

Vanilla melepaskan tangannya. Lebih pada rasa putus asa dan rasa ingin meledak akan kejadian yang baru saja berlangsung. "Ega ke mana? Kenapa suamiku jadi kau?"

Bertepatan dengan akhir pertanyaan itu, mereka telah sampai di depan rumah Vanilla dan mereka harus turun. "Sabarlah. Nanti akan kujelaskan."

Acara resepsi berjalan lancar dan meriah. Berlawanan dengan Vanilla. Ia sekarang telah sah menjadi seorang istri. Seperti yang ia nanti-nantikan. Namun, kenapa malah istri dari lelaki yang sangat dibencinya ini? Bagaimana dengan Ega? Apakah Ega sakit? Ke mana dia sebenarnya?

Begitu mereka sampai di kamar pengantin, kamar yang rencananya digunakan oleh Vanilla dan Ega, Kian berdiri berkacak pinggang di hadapan perempuan yang kini resmi jadi istrinya. "Kau dan nenek mulai saat ini ikut aku tinggal di rumahku."

Vanilla menatapnya tak percaya. Ia menyurukkan pantatnya di pinggir ranjang. Tak peduli kelopak-kelopak bunga yang sudah disiapkan untuk malam pertama berterbangan dan berhambur ke lantai. 

"Kau sudah gila, ya?! Aku tak sudi ikut denganmu."

"Tidak ada bantahan. Bukan saatnya lagi kau membantah. Nenek sudah menyiapkan semua barang-barangmu."

Vanilla tak bergeming. Wajahnya sudah merah padam. Matanya nanar, ingin meledakkan lahar panas yang sedari tadi menerjangnya dari dalam. 

Kian mendekati Vanilla yang tengah duduk di tepi ranjang. Melawan Vanilla yang tengah marah, tak ada gunanya. Kian duduk di sebelah Vanilla dan berkata lembut, "Jika kau ikut denganku, kau akan tahu kenapa aku yang jadi mempelai priamu dan bukan Ega."

Wajah Vanilla yang awalnya kaku, mulai melemas. Ia tergoda.

Mbak Denik dipanggil oleh Kian untuk membantu Vanilla melepaskan seluruh gaun dan make up-nya. 

Baru sekarang Vanilla sadari bahwa di pinggir pintu telah berdiri rapi dua koper besar berwarna sage dan 1 buah kardus besar. Itu semua pasti barang-barangnya. 

Bagaimana dengan rumah ini? Ia sudah terlanjur suka dengan rumah ini. Ketika awal tunangan, Ega mengejutkan Vanilla dengan rumah ini dan langsung memboyong tunangan dan neneknya pindah dari rumah kontrakan kecil yang ada di pinggir kota. Rumah dua lantai nuansa putih. Yang ia harap akan penuh kebahagiaan ia dan Ega kelak.

-bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status