-Telepon Pagi Buta-Vanilla terbangun di tengah malam. Obat biusnya sudah tidak berefek lagi. Sekarang kakinya ngilu dan perih. Ia sedikit mengerang kesakitan. Perempuan itu segera menutup mulutnya ketika dari belakang punggungnya, ia melihat Kian tengah lelap tertidur. Vanilla berusaha bangun, ingin bersandar dan mencari minum. Tangannya meraih nakas di samping tempat tidurnya. Tiba-tiba suara Kian menghentikannya. "Kau akan mencelakai dirimu lagi jika seperti itu."Vanilla menoleh ke belakang punggungnya. Kian sudah bangun sambil bersila menghadapnya. "Aku bisa sendiri. Apa yang bisa terjadi lagi jika aku sudah di fase terburuk begini," sanggah Vanilla keras kepala sambil mengulurkan tangannya lebih jauh. Vanilla terperanjat ketika merasakan tubuh Kian berada tepat di belakangnya dan tangannya panjang terulur. Kian dengan mudah meraih gelas berisi air dan mengangsurkannya kepada Vanilla. Vanilla hanya terbelalak, merasakan jantungnya berdenyut dengan sangat keras. Tapi ia berkata
-Sebelum Menjadi Cinderella dengan Sepatu yang Lepas-Vanilla hanya berguling-guling di ranjangnya yang luas. Matanya nyalang. Besok ia takkan sendiri lagi tidur di sini. Setiap malam akan ada yang senantiasa menemani tidurnya. Membayangkan itu saja, Vanilla sudah terkikik-kikik senang. Gadis itu tak sabar lagi menanti esok hari agar lekas datang. Sudah tak sabar rasanya ingin segera duduk di pelaminan, diminta secara resmi kepada keluarganya. Berjanji akan senantiasa suka duka bersama, dan berjanji akan berbahagia bersama selamanya.Rambut ikalnya berantakan kusut bergesekan dengan kasur. Ia menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Sudah lewat tengah malam. Jika ia adalah Cinderella, saat ini ia akan terbangun dari mimpinya bertemu pangeran. Namun, kebalikan dari Cinderella, begitu lewat hari ini, ia sudah bukan Vanila Amyta lagi. Ia akan menyandang nama Ega Prayogi sebagai suaminya.Matanya memejam. Secepat itu pu
-Bukan Suara Kekasih-Vanilla masih di dalam kamar. Suara itu jelas bukan suara Ega. Ia hanya memandang gelisah neneknya. Neneknya yang sedari tadi menemaninya di kamar mulai merasa ada yang janggal. Neneknya mengintip di celah pintu kamar dan memastikan bahwa itu bukan Ega."Itu siapa, Van? Yang mengucap ijab qobul tadi bukan Ega."Lalu belum pertanyaan neneknya terjawab, juga pertanyaan dalam benak Vanilla, beberapa orang wanita sudah datang menjemputnya untuk keluar dan duduk bersanding di kursi berpita putih dengan 'suami sahnya'.Vanilla seperti berjalan di tepian dengan beling-beling menancap di kakinya. Dia terus memandang belakang tubuh pengantin prianya. Dan itu memang bukan Ega. Semua tamu seperti tersihir, tak ada satu pun yang mempertanyakan kenapa wajah suaminya berganti dengan lelaki lain. Kenapa tidak ada yang merasa aneh?Ketika sudah semakin dekat, Vanilla akhirnya bisa melihat dengan jelas siapa lelaki itu. Lelaki y
-Pengantin Tak Diinginkan-Mobil merah SUV Kian melesat membelah keramaian malam Minggu itu. Vanilla melihat dari balik kaca kursi penumpang depan, banyak pasangan kekasih yang tengah menghabiskan hari mereka dengan kencan romantis. Pemandangan itu semakin mengiris perih hatinya. Ia mencuri pandang lelaki di sebelahnya. Kian menyetir mobil dalam diam. Pandangannya terfokus ke depan. Tak menggubris sama sekali kehadiran Vanilla. Bukannya Vanilla ingin digubris, hanya saja suasana di dalam mobil sama seperti di kuburan. Hening dan mati.Perempuan itu kembali memandang ke jalanan sambil tangannya menopang wajahnya. Selesai ia menanggalkan gaunnya, neneknya datang dan berkata, "Apa pun yang terjadi, Kian sudah menjadi suamimu. Memang sudah sepantasnya kita pindah dari rumah yang dibeli Ega ini." "Iya, Nek. Kupikir juga begitu."Neneknya membantu melepas jepitan yang trsisa dari rambut Vanilla. "Ayahmu, maksud Nenek, Bagas ingin be
-Surat Wasiat Ega-Kian berkata setelah mengembuskan napas keras. Kedua bola matanya tak tenang. Bergerak dengan gelisah. "Ega sakit."Vanilla mengerutkan kening. "Sakit apa maksudmu?""Kalau kau tunangannya saja tidak tahu, bagaimana aku tahu?" Vanilla sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapan Kian. Tapi Kian memotongnya dengan mengangkat tangannya ke depan mulut. "Aku hanya dihubungi oleh Ega dua hari sebelum pernikahan ini.""Kenapa dia tidak menghubungiku? Dan malah menghubungimu?" Vanilla memang sudah dua hari ini tak bisa menghubungi Ega. Seminggu sebelum pernikahan memang kepercayaan keluarganya bahwa calon pengantin tidak boleh bertemu dulu. Istilah yang biasa digunakan yaitu dipingit. Vanilla berkata, "Kami sudah menjalin hubungan selama 5 tahun. Tidak mungkin dia merahasiakan sesuatu dariku. Apalagi tentang penyakitnya. Apapun keadaannya aku pasti bisa menerimanya begitu pula Ega menerimaku.""La
-Pertama Kali Seranjang-Vanilla membongkar koper yang ditinggalkan oleh Pak Ujang di depan pintu kamar. Lemari built in di salah satu sisi dinding memuat banyak penyimpanan baju. Ia membuka salah satunya. Tak ada gunanya ia malu-malu di sini. Di salah satu pintu lemari, ia menemukan baju-baju lelaki yang digantung dengan rapi. Ia membuka pintu berikutnya. Bagian itu kosong. Entah sejak dulu memang kosong atau baru-baru ini dikosongi. Vanilla segera memasukkan baju-bajunya di sana dengan rapi. Vanilla berteriak ke arah kamar mandi, "Lemari kosong ini aku pakai, ya, Kian."Terdengar jawaban dari kamar mandi. "Pakai saja apa-apa yang ada di sana."Ia berkacak pinggang menatap lemari lalu berbalik. Kamar ini memang kamar bujangan. Dipan ranjangnya terbuat dari kayu keras yang dipernis gelap. Begitu pula lemari, meja nakas, juga gorden. Perpaduan antara warna coklat, hitam, dan abu-abu.Vanilla ingin s
-Kian dan Kisah Patah Hatinya-"Kau mau ke mana?" tanya Vanilla."Aku perlu ke kantor karena selama satu minggu ke Jogja," ucap Kian.Vanilla berseloroh, "Seorang bos juga perlu ke kantor?" Dulu Anin pernah bercerita bahwa Kian mendirikan perusahaan periklanan yang sekarang menjadi sangat besar. Perusahaan Kian berada di pusat kota dengan gedung kantor yang tinggi menjulang. Ia selalu berhasil menjalin kontrak dengan perusahaan besar juga dengan artis-artis papan atas. "Kau pikir bos malah bisa berleha-leha di rumah?"Vanilla mencibir, "Ya tidak akan seberat pekerja seperti aku, kan.""Nah, tentang itu, lebih baik kau berhenti saja kerja di kafe," kata Kian tanpa menatap Vanilla. Ia tetap sibuk dengan sarapan dan tabletnya.Vanilla terkesiap. "Lho kenapa? Aku suka kerja di sana.""Sekarang kau istri Kiandio Reynand. Kau kan bisa membeli apa pun yang kau mau.""Tapi setahun lagi ketika aku tidak lagi menjadi istrimu bagaimana? Seperti katamu, aku membutuhkan uang untuk memeriksakan ne
Kian berkendara membelah kemacetan yang selalu lekat dengan kota ini. Mereka sampai di depan mall yang memiliki banyak butik-butik dengan barang-barang branded dan mahal.Vabilla bertanya, "Untuk apa kita ke sini?" Ia melangkahkan kaki keluar mobil begitu pintu dibukakan oleh Kian.Kian menjawab, "Berkencan."Vanilla menginjak kaki Kian keras. "Aku tidak mau kencan denganmu.""Sayang sekali. Padahal ribuan perempuan lain rela mengorbankan apapun yang dimiliki agar bisa berkencan denganku," ucap Kian bangga."Yang pasti itu bukan aku."Kian memandu Vanilla menuju salah satu butik. Mereka masuk ke dalam. Salah seorang wanita cantik dan rapi menyambut mereka. "Ingin mencari apa, Ibu? Akan saya bantu memenuhi keinginan Ibu dan Bapak."Kian menjawab, "Bawakan gaun, blouse, dan celana untuk istriku."Vanilla memelototi Kian. Ia berbisik, "Aku tidak butuh pakaian, Kian. Ayo kita pergi saja." Vanilla tidak pernah masuk ke butik ini. Pelayanannya yang memuaskan sebandihg dengan harga yang haru