Share

Istri Warisan
Istri Warisan
Author: Vryda

Sebelum Menjadi Cinderella dengan Sepatu yang Lepas

-Sebelum Menjadi Cinderella dengan Sepatu yang Lepas-

Vanilla hanya berguling-guling di ranjangnya yang luas. Matanya nyalang. Besok ia takkan sendiri lagi tidur di sini. Setiap malam akan ada yang senantiasa menemani tidurnya. Membayangkan itu saja, Vanilla sudah terkikik-kikik senang.

Gadis itu tak sabar lagi menanti esok hari agar lekas datang. Sudah tak sabar rasanya ingin segera duduk di pelaminan, diminta secara resmi kepada keluarganya. Berjanji akan senantiasa suka duka bersama, dan berjanji akan berbahagia bersama selamanya.

Rambut ikalnya berantakan kusut bergesekan dengan kasur. Ia menatap jam yang menempel di dinding kamarnya. Sudah lewat tengah malam. Jika ia adalah Cinderella, saat ini ia akan terbangun dari mimpinya bertemu pangeran. Namun, kebalikan dari Cinderella, begitu lewat hari ini, ia sudah bukan Vanila Amyta lagi. Ia akan menyandang nama Ega Prayogi sebagai suaminya.

Matanya memejam. Secepat itu pula matanya kembali terbuka. Ia benar-benar tak bisa tidur. Vanilla mengembuskan napasnya keras. Di luar kamarnya masih terdengar suara-suara bising piring yang beradu, atau suara air yang dituang. Semuanya bercampur menjadi satu, hingga membuat Vanilla tak bisa memejamkan mata.

Akhirnya ia menyerah. Ia putuskan untuk mandi sembari menunggu penata riasnya datang. Tinggal sebentar lagi juga.

Sembari berjalan ke kamar mandi, ia bersenandung ringan. Akad nikah akan diadakan di rumahnya ini. Rumah yang ia beli bersama Ega ini terletak di salah satu kompleks perumahan elite di Malang. Cukup besar juga untuk menampung para tamu. Selesai akad nikah, Vanilla juga Ega akan langsung menuju ballroom hotel Mercure, tempat akan dilangsungkan resepsi pernikahan.

Tak habis di situ saja, setelah bayangan semua kesemarakan dan keriuhan pernikahannya, ia dan suaminya nanti akan langsung pergi bulan madu ke Jogja. Tempat yang memang sejak dulu ingin mereka singgahi kembali. Pernah Vanilla bercanda berkata, "Aku ingin bulan madu ke Jogja, kota yang sangat indah. Kalau kau tak mengajakku, aku akan mengajak lelaki lain ke sana." Lalu Ega akan mencubit kedua pipi Vanilla dengan gemas.

Ternyata Vanilla mandi memakan waktu lebih lama dari biasanya. Begitu ia keluar dari kamar mandi, penata rias sudah menunggu di kamar dengan koper-koper abu-abu besar berisi gaun, alat make up, juga segala asesoris yang akan ia kenakan seharian ini.

“Eh, Mbak Denik, kok sudah datang?” sapa Vanilla kepada perempuan yang tengah menyiapkan koper berkaca dengan bohlam-bohlam menyala di pinggiran cerminnya.

“Iya, Mbak Vani. Tadi takut macet, jadi berangkat tengah malam. Ternyata lumayan lengang.”

Vanilla langsung duduk di kursi meja rias yang sudah dipersiapkan Mbak Denik. “Mending begitu, Mbak. Daripada telat, malah tidak jadi nikah aku nanti,” ucap Vanilla sambil tertawa bercanda.

“Hush, tidak boleh bilang begitu. Pamali, Mbak.”

Vanilla melepaskan handuk putih yang masih melingkar di pundaknya. “Bercanda, Mbak.”

“Mbak Vani sarapan dulu saja, nanti malah tidak bisa makan jika tidak sekarang.”

Vanilla beringsut pergi ke dapur. Ia mendapati neneknya tengah membungkus adonan hijau lengket dengan daun pisang. “Nenek kenapa belum tidur? Kue bugis itu biar dikerjakan ibu-ibu yang lain.”

Nenek tersenyum hangat mendapati cucunya mendekatinya. “Cucu kesayangan Nenek menikah, bagaimana Nenek bisa tidur? Lagian bugis ini harus nenek sendiri yang membuat. Punya cita rasa khas sendiri.” Vanilla memakan kue bugis berisi kinco- kelapa yang sudah diberi gula. Nenek memberinya piring berisi nasi dan soto daging. “Makan ini juga. Seharian nanti pasti tidak akan sempat makan.”

Dengan anggukan singkat, Vanilla mulai melahap habis makanannya.

Selesai Vanilla makan, Mbak Denik mulai meriasnya. Sejak kecil, sejak ibunya meninggal ia tak suka berdandan. Gadis itu menganggap make up akan menutupi dirinya yang asli, dan menampilkan wajah orang lain. Hanya ketika wisuda dan sekarang pernikahannya ini dia ber-make up.

Vanilla mematut dirinya di standing mirror di sudut kamarnya. Kebaya brokat putih tulang dipadu dengan jarit sida asih membalut tubuhnya dengan indah. Rambut panjangnya dicepol rendah dan dihiasi dengan melati serta mawar putih kecil.

Gadis itu tersenyum puas. "Bagaimana kau tidak jatuh cinta padaku, jika aku secantik ini, Ega?" ucapnya sendiri pada cermin di depannya.

Wajah neneknya tiba-tiba menyembul dari balik pintu. "Ayahmu sudah datang."

"Om Bagas, Nek. Bukan ayah."

Neneknya tidak berkomentar lagi jika Vanilla sudah bilang seperti itu. Luka karena ditinggalkan sejak bayi oleh ayah kandungnya membuatnya memendam benci. Namun, apalah daya, akad nikah ini Vanilla harus menjadi walinya.

Vanilla turun dari kamarnya ke lantai 1. Pengantin pria dan rombongannya belum datang. Gadis itu masuk ke kamar neneknya, tempat ia menunggu hingga Ega mengucapkan ijab qobul dan semuanya berkata sah.

Keluarga juga sahabat sudah berkumpul di ruang tamu yang telah dipercantik dengan dekorasi serba putih dan nuansa pink di bunga-bunga yang digunakan. Keluarga besarnya juga beberapa sahabat telah siap dengan seragam kebaya dusty pink dan batik nuansa pink kecoklatan untuk para lelaki.

Om Bagas menghampiri Vanilla dan berucap, "Kau cantik. Mirip sekali dengan ibumu."

"Semoga kau masih ingat namaku, Om, agar tak salah ketika akad nanti," ucap Vanilla sarkas.

Om Bagas tidak membalas ucapannya. Ia sangat tahu bagaimana perasaan anak kandungnya itu. Jadi, ia tak menyalahkannya. Semua memang salahnya hingga Vanilla harus hidup tanpa ibunya yang meninggal dan ayahnya yang pergi dari mereka. Menemukan wanita lain untuk mengisi peran istrinya.

Pikiran mereka berkelana dalam diam. Vanilla sangat menantikan hari ini. Hanya satu yang merusaknya, yaitu rasa benci yang tak bisa hilang walaupun ayahnya sudah datang jauh-jauh dari Bali untuk menikahkannya dengan lelaki yang dicintainya.

Tak berapa lama penghulu datang. Vanilla melihat dari balik pintu penghulu sedang bercakap-cakap dengan Om Bagas juga tamu lelaki lain. Rombongan pengantin pria belum datang. Mungkin macet, pikir Vanilla.

Dari pagi ia memang telah mengirim pesan ke Ega. Namun, belum ada balasan. Pasti persiapan mengantar rombongan itu menyita banyak waktu.

Tak berapa lama, rombongan pengantin pria sampai di depan. Terdengar pintu-pintu mobil dibanting tertutup. Langkah kaki mulai mendekati gerbang dan mereka semua masuk. Vanilla tak berani mengangkat wajahnya. Ia hanya duduk di kasur sembari membayangkan wajah Ega mengenakan beskap putih yang senada dengan kebayanya. Pipi Vanilla sedari tadi sudah bersemu merah membayangkan akan menjadi istri Ega.

Telinga Vanilla menangkap sayup suara-suara berdecak kagum, juga nada bertanya. Vanilla tak bisa menangkap satu pun perkataan mereka karena sibuk dengan dentuman jantungnya sendiri. Semua yang hadir pasti juga tersihir oleh ketampanan Ega. Begitu pula yang terjadi dengan dirinya ketika menerima pernyataan cintanya dulu.

Pengantin pria duduk di kursi akad. Vanilla masih di kamar. Masih tak berani mengangkat wajahnya dan tenggelam dalam senyum bahagia di wajahnya.

Semua berjalan sangat cepat, hingga terdengar suara lelaki yang bukan suara Ega mengucap ijab qobul dengan lantang. "Saya terima nikah dan kawinnya Vanilla Amyta binti Bagas Wicaksono dengan maskawin seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan dengan berat 12,12 gram, tunai."

Vanilla terkesiap. Itu bukan suara Ega, calon suaminya.

-BERSAMBUNG-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status