Share

Surat Wasiat Ega

-Surat Wasiat Ega-

Kian berkata setelah mengembuskan napas keras. Kedua bola matanya tak tenang. Bergerak dengan gelisah. "Ega sakit."

Vanilla mengerutkan kening. "Sakit apa maksudmu?"

"Kalau kau tunangannya saja tidak tahu, bagaimana aku tahu?" Vanilla sudah membuka mulutnya untuk membalas ucapan Kian. Tapi Kian memotongnya dengan mengangkat tangannya ke depan mulut. "Aku hanya dihubungi oleh Ega dua hari sebelum pernikahan ini."

"Kenapa dia tidak menghubungiku? Dan malah menghubungimu?" Vanilla memang sudah dua hari ini tak bisa menghubungi Ega. Seminggu sebelum pernikahan memang kepercayaan keluarganya bahwa calon pengantin tidak boleh bertemu dulu. Istilah yang biasa digunakan yaitu dipingit.

Vanilla berkata, "Kami sudah menjalin hubungan selama 5 tahun. Tidak mungkin dia merahasiakan sesuatu dariku. Apalagi tentang penyakitnya. Apapun keadaannya aku pasti bisa menerimanya begitu pula Ega menerimaku."

"Lalu di mana dia sekarang? Seharusnya aku menjaganya. Apalagi sekarang dia sedang sakit."

Kian menggeleng. "Aku pun tidak diberitahu dia sekarang ada di mana. Tante Rosa hanya memberi tahu Ega butuh ketenangan."

"Apakah semua ini akal-akalan Tante Rosa yang tetap tidak setuju dengan pernikahanku dan Ega?"

"Aku benar-benar tidak tahu, oke. Dia hanya memberiku surat."

Vanilla tertawa kering. "Meninggalkan surat? Surat apa, apakah surat wasiat?"

"Mungkin kau bisa menyebutnya surat wasiat, karena Ega sudah memikirkan kemungkinan terburuknya."

Kian berjalan ke nakas di samping tempat tidur, mengambil sebuah map kertas, dan mengangsurkannya kepada Vanilla. "Bacalah."

Kian duduk di tepi ranjang. Rambut bergelombang jatuh membingkai wajah putihnya.

"Dengan surat ini, aku ingin meminta Kian untuk memiliki Vanilla dalam pernikahan yang seharusnya kulakukan. Tidak ada yang bisa memastikan aku bisa sembuh atau tidak. Dan seberapa lama waktu yang kubutuhkan untuk sembuh dari sakit ini. Semua kerugian akan ditanggung oleh keluarga besarku."

Vanilla begitu syok membaca surat itu. Ia terduduk di ranjang. Tangannya mengepal di atas pangkuan. Itu memang tulisan tangan Ega juga tanda tangannya. Banyak tanda tanya yang memukul-mukul kepalanya. Membuatnya sakit dan kupingnya berdengung. Apakah selama ini ia barang yang dengan mudahnya dipindahalihkan ke lelaki lain? Apa nilainya bagi Ega selama lima tahun menjalin hubungan ini?

"Apakah semua ini bohong? Bisa saja yang mengacaukan pernikahanku adalah mama Ega yang sedari dulu tidak menyukaiku."

"Aku tidak tahu. Bisa saja ada campur tangan Tante Rosa." Kian menyebut nama mama Ega.

Perempuan itu menatap buku jarinya yang memutih. "Kebahagiaanku tak pernah rumit dan kuusahakan tak mengambil kebahagiaan orang lain. Tapi kenapa kebahagiaanku sendiri selalu dipatahkan?"

Kian membisu. Membiarkan Vanilla larut dalam kesedihan, kekecewaan, dan kemarahannya.

Perempuan itu menatap Kian lurus. "Kita tidak pernah dekat. Tidak ada keharusan untukmu mau menerima permintaan konyol Ega."

Kian mengalihkan pandangannya dari tatapan curiga Vanilla. Ia berbicara perlahan, "Kau tak bisa mendebat karena kau berada di kamar saat akad dan baru keluar ketika menyadari semua janji nikah sudah terucap. Kenapa aku setuju? Karena Ega dan keluarga besarnya akan malu kepada tamu-tamu mereka jika Ega tidak datang, bukan? Selama ini mereka sudha baik kepadaku. Tidak mungkin aku menolak. Oh ya, Ega juga akan memberikan perusahaan penerbitan keluarganya kepadaku... dan kepadamu."

Senyum sinis Vanilla menguar. "Wah, hargaku lumayan tinggi ya." Ia bangkit dari ranjang dan akan melewati Kian sebelum Kian meraih tangan Vanilla agar berhenti. "Entah apa yang kau tahu tentangku, Kian. Tapi aku tidak sematre itu. Ambil saja perusahaan Ega. Terserah mau kau apakan. Aku tidak butuh dan aku tidak peduli." Vanilla mengibaskan tangan Kian yang tengah memegang pergelangan tangannya.

Kian melepaskan genggamannya dan berujar, "Walaupun kau tidak butuh, tapi kau juga harus memikirkan nenekmu. Beliau butuh tiap minggu kontrol ke rumah sakit. Lalu apa dengan terus bekerja di kafe, kau bisa memenuhi itu?"

Vanilla terdiam. Kian melepaskan anak panah tepat sasaran. Selama ini memang Vanilla sudah kelimpungan dengan biaya periksa sebulan sekali dan obat neneknya. Belum kontrakan dan biaya makan sehari-hari. Bayarannya di kafe hanya cukup untuk membayar kontrakan dan biaya sehari-hari. Vanilla sampai sekarang masih merasa bersalah karena tidak bisa memeriksakan neneknya rutin sesuai anjuran dokter.

Vanilla terus menimbang-nimbang ragu. Kian yang seorang pebisnis, pasti tidak rela jika kesempatan memiliki perusahaan itu sampai hilang. Benar saja, Kian mencoba merayunya kembali.

Lelaki itu berucap, "Berikan waktu satu tahun saja. Lalu kita bisa bercerai. Tepat setelah proses pengalihan kepemilikan perusahaan Ega selesai." Melihat Vanilla masih menimbang-nimbang, Kian melanjutkan, "Jika kau langsung ingin bercerai saat ini juga. Apa nanti yang akan dikatakan orang-orang? Mungkin kau tidak akan peduli. Tapi nenekmu pasti akan ikut sedih. Padahal beliau tidak boleh banyak pikiran, bukan?"

Vanilla bertanya, "Apakah pengalihan perusahaan memang butuh waktu selama itu?"

"Tentu saja. Karena perusahaan Ega besar, prosesnya semakin lama."

"Baiklah. Hanya satu tahun. Setelah itu kau harus menyingkir dari kehidupanku."

"Wah, sebenci itu kau padaku?" tanya Kian.

Vanilla mendengus, "Tentu saja. Bagaimana bisa aku tidak benci denganmu yang telah berselingkuh dari Anin? Lebih marah lagi karena kau selalu ikut-ikut Tante Rosa tidak setuju hubunganku dengan Ega."

Anin adalah sahabat Vanilla sejak kecil. Mereka selalu berada di sekolah dan kelas yang sama. Baru ketika masuk perguruan tinggi, mereka berpisah. Anin mengambil jurusan Bisnis, sedangkan Vanilla mengambil jurusan Tata Boga. Namun, mereka tetap bersahabat dan sering menghabiskan waktu bersama.

Kian tetap diam. Matanya meredup.

Vanilla tidak ambil pusing. Wajah Kian selalu seperti itu setiap mereka bertemu. "Kalau begitu, aku tidur di mana? Tidak mungkin kita tidur sekamar karena satu tahun lagi kita akan bercerai."

Kian menatap Vanilla. "Kita tidur di kamar yang sama, ranjang yang sama. Kamar di lantaj 2 hanya ini. Tidak mungkin kau tidur di kamar tamu karena bersebelahan dengan kamar nenekmu. Juga dekat dengan kamar Bik Sri dan Pak Ujang. Asal kau tahu saja, orangtuaku sering tiba-tiba datang. Jadi tidak mungkin kita tidur terpisah."

"Bagaimana kalau dimasukkan ranjang lagi ke kamar ini? Atau aku bisa tidur di sofa." Vanilla menunjuk sofa tempat mereka duduk saat ini.

"Sofa ini tidak akan nyaman untuk tubuh kecilmu. Dan jika aku yang disuruh tidur di sini, aku tidak akan mau. Nenek atau orangtuaku bisa saja tiba-tiba masuk kamar. Apa yang akan mereka pikirkan begitu melihat ada dua ranjang terpisah?"

Vanilla mengembuskan napas lelah. "Baiklah."

Perdebatan dan perjanjian mereka selesai. Kian masuk ke kamar mandi di dalam kamar itu.

Vanilla segera mengambil dua guling yang ada di ranjang dan meletakkannya pas di tengah. Ranjang itu memang luas. Tapi lebih baik meminimalkan risiko Kian kena tendangan Vanilla ketika tidur, bukan? Memang sejak kecil kebiasaan Vanilla yang tidur dengan banyak tingkah menyusahkan neneknya juga.

Ia mendengar suara air di kamar mandi. Kian sedang mandi. Bagaimana bisa dia menikah dengan lelaki yang tidak ia inginkan. Lelaki yang ia benci. Dan sekarang malah sedang mendengarkan lelaki itu mandi di sebelah.

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status