Share

Pertama Kali Seranjang

-Pertama Kali Seranjang-

Vanilla membongkar koper yang ditinggalkan oleh Pak Ujang di depan pintu kamar. Lemari built in di salah satu sisi dinding memuat banyak penyimpanan baju. Ia membuka salah satunya. Tak ada gunanya ia malu-malu di sini. 

Di salah satu pintu lemari, ia menemukan baju-baju lelaki yang digantung dengan rapi. Ia membuka pintu berikutnya. Bagian itu kosong. Entah sejak dulu memang kosong atau baru-baru ini dikosongi. Vanilla segera memasukkan baju-bajunya di sana dengan rapi. 

Vanilla berteriak ke arah kamar mandi, "Lemari kosong ini aku pakai, ya, Kian."

Terdengar jawaban dari kamar mandi. "Pakai saja apa-apa yang ada di sana."

Ia berkacak pinggang menatap lemari lalu berbalik. Kamar ini memang kamar bujangan. Dipan ranjangnya terbuat dari kayu keras yang dipernis gelap. Begitu pula lemari, meja nakas, juga gorden. Perpaduan antara warna coklat, hitam, dan abu-abu.

Vanilla ingin sekali mendekorasi kamar ini agar lebih terang. Namun, apa gunanya. Toh, setahun lagi ia akan angkat kaki dari rumah ini. Tak perlu lagi terlalu menyukai sesuatu. Sama seperti rumah yang dibeli Ega. Hanya 2 bulan ia tinggal di sana. Sudha jatuh cinta dengan rumah itu. Mencirahkan seluruh hatinya untuk mendekorasinya. Namun, malah harus keluar dari rumah itu karena tak jadi menikah dengan Ega.

Ia mengambil baju tidur dan peralatan mandi. Bersiap mandi. 

Tak berapa lama Kian membuka pintu kamar mandi yang ada di kamar itu dan keluar. "Mandilah. Di lemari wastafel ada handuk baru."

Vanilla melirik Kian. Rambutnya masih basah. Air menetes dari ujung rambutnya. Ia mengenakan celana pendek putih dan kaos untuk tidur. Handuk abu-abu tersampir di lehernya. Vanilla mengalihkan pandang dan bergegas masuk kamar mandi. 

Di kamar mandi ada dua ruang yang dipisahkan oleh kaca bening. Ruang basah berisi bathtub luas dan shower. Di sisi kering diisi oleh toilet dan wastafel. 

Vanilla menyalakan kran air panas dan dingin di bathtub. Ingin berlama-lama saja di kamar mandi. Jika yang di luar, di kamar adalah Ega. Pasti Vanilla sangat berdebar dan ingin lekas selesai mandi. Tapi yang ada di luar adalah Kian, ia akan sangat canggung untuk menghabiskan malam bersama. Walaupun benar-benar hanya tidur. 

Ia mengambil botol-botol minyak wangi dan sabun yang ada di sana. Tutup botol bening berisi cairan keemasan ia buka dan ia baui di depan hidung. Wanginya maskulin. Ia letakkan kembali. Lalu ia mengambil botol bening kedua berisi cairan berwarna ungu. Wanginya enak. 

Ia masukkan ke dalam air hangat dan ia masuk ke dalam air. Ia merendam tubuhnya hingga hanya hidung Vanilla yang ada di atas permukaan air. Ia biarkan rambutnya mengurai di dalam air dan basah. Siapa tahu dengan berendam seperti ini, isi kepalanya bisa meluruh dan mendingin. 

Setelah mandi ia hanya ingin tidur. Banyak yang telah terjadi seharian ini. Ia lelah. Besok, ia akan mencari Ega. Walaupun keluarga Ega akan menjaga lelaki itu. Tapi, pasti Ega tetap butuh  Vanilla untuk merawatnya. Tidak peduli Tante Rosa tidak suka atau mengusirnya, ia akan tetap berjuang agar bisa menemani pengobatan Ega. 

"Ega sakit apa, ya? Kenapa aku tidak tahu?" Vanilla mengembuskan napas berat sambil membentuk gelembung-gelembung air. "Aku sudah jadi tunangan yang jahat, yang tidak perhatian dengan sakit kekasihnya." 

Vanilla mengembuskan napas frustasi. "Jika ia sampai meninggalkan surat wasiat, apakah memang penyakitnya parah? Ya Tuhan, Ega, aku sangat rindu." Perempuan itu mengusap wajahnya lelah.

Sepertinya Vanilla terlalu lama berendam, karena yang ia dengar, Kian mengetuk pintu kamar mandi. "Kau sedang apa? Mandi atau tidur di dalam sana?"

Vanilla tersadar. "Iya, ini sudah selesai," ucap Vanilla geram karena lamunannya terganggu. 

Vanilla keluar kamar mandi. Kian sudah berbaring menyamping. Membelakangi sisi lain tempat tidur. Perempuan itu sudah mengeringkan rambutnya dengan hair dryer Kian yang ia temukan di laci wastafel.

Ia duduk di kursi empuk dengan cermin bundar di depannya. Meja dan bingkai cermin menggunakan kayu dengan serat yang halus, berwarna coklat keemasan. Menjadi sangat kontras karena dipadukan dengan keseluruhan perabot di kamar ini yang identik gelap. 

Vanilla mengeluarkan tas make up kecilnya dan menatanya di meja. Ia tak punya banyak alat make up atau skincare. Ia hanya memakai B Erl dan lipgloss bening. Itu pun sudah bisa membuat kulitnya tidak lagi sekadar glowing, tapi sudah berada di level nge-glazed. Memang banyak teman-temannya yang iri dengan kulitnya. Tanpa perlu make up tebal, wajahnya sudah berkilau sehat.

"Biarkan Kian tidur dulu. Baru aku naik ranjang," bisik Vanilla perlahan.

Ia mengoleskan B Erl, menepuk-nepuknya. Ia beranjak ke tempat tidur pelan-pelan begitu mendengar suara napas Kian yang teratur. Menandakan lelaki itu sudah tertidur pulas. Vanilla tidur membelakangi Kian yang juga membelakanginya. Menarik selimut menutupi dirinya juga baju tidur panjangnya. 

Ia dan teman-temannya di kafe tempatnya bekerja sudah susah payah memilih baju tidur seksi yang akan ia gunakan selepas ia dan Ega sah menjadi suami istri. Namun, sekarang, baju-baju itu sudah ia simpan di kotak paling bawah lemari bajunya. Sia-sia ia habiskan uangnya untuk membeli baju-baju itu, pikir Vanilla dalam hati.

Esok paginya Vanilla bangun, dengan Kian yang telah pergi ke lantai bawah untuk sarapan. "Dasar, Kian, baru juga aku pertama di sini. Main ditinggal aja. Dibangunkan dulu dong." Vanilla menyumpahserapahi Kian.

Vanilla mandi dengan cepat, ganti baju lalu ke lantai bawah dengan malu-malu.

Benar saja, Kian sudah duduk di meja makan dengan satu tangannya memegang sendok. Satu tangannya menari di atas tablet. 

Vanilla mencubit lengan atas Kian yang sudah terbalut kemeja putih dan dasi berwarna navy. "Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Vanilla dengan berbisik.

"Aduh, sakit." Kian kesakitan. "Kau boleh tidur lebih lama karena tidak ada kegiatan. Kan besok baru kita berangkat 'bulan madu'."

"Jangan sebut bulan madu. Kita hanya menggunakan tiket yang sudah terlanjur dibeli agar tidak mubazir." Vanilla bergidik membayangkan sebuah bayangan yang terlintas begitu istilah bulan madu terlontar dari mulut Kian.

"Kenapa tidak pergi lebih jauh? Ke Bali atau ke luar negeri?" 

Vanilla mendengus. "Aku takkan mau ke Bali karena di sana ada ayah yang sudah membuangku demi selingkuhannya. Aku hanya ingin berbulan madu di Jogja karena itu tempat bersejarah untukku dan Ega."

Kian tertawa sinis. "Kau tidak boleh terpaku pada masa lalu. Jika itu bisa membuatmu tertahan di belakang."

"Tidak usah pedulikan aku. Walau kita sudah menikah. Cintaku hanya untuk Ega."

Kian menyuap nasi goreng yang ada di depannya sambil berkata pelan, "Karena memang perjanjian kita hanya ikatan pernikahan selama satu tahun. Perjanjian tidak mengatur tentang cinta-cintaan. Jadi terserah padamu, kau mau cinta ke siapa." Kian terlihat tak peduli.

Vanilla menoleh ke kiri kanan. Siapa tahu ada yang mendengar pembicaraan mereka. "Itu juga berlaku untukmu. Selama kita belum bercerai, kau bebas menjalin kasih dengan perempuan lain."

"Tentu saja," ucap Kian tak acuh.

"Oh ya, setelah liburan ke Jogja, aku akan mencari Ega dan menemaninya hingga sembuh."

Kian memandang Vanilla sambil menyipitkan mata. "Terserah kau saja," putus Kian. 

-bersambung-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status