Bab 88. Kemenangan Aisyah“Jadi, Tuan Wibowo, apa lagi yang bisa Anda katakan untuk membela diri?” Aisyah berdiri tegak di tengah ruang rapat besar Amarta Group, matanya yang tegas menatap pria paruh baya di ujung meja. Ruangan itu penuh dengan wartawan, mitra bisnis, dan karyawan senior, semua menahan napas menanti jawaban. Meja kayu mahoni yang mengilap memantulkan cahaya lampu kristal di atas, menciptakan suasana tegang namun megah di kantor pusat Amarta Group, perusahaan distribusi makanan impor milik Papa Aisyah, Pak Hermawan, sang CEO.Tuan Wibowo, dengan keringat membasahi keningnya, menggenggam erat dokumen di tangannya. “Ini… ini semua tuduhan tak berdasar! Kau tidak punya bukti, Aisyah!” suaranya gemetar, tapi nada sombongnya masih tersisa.Aisyah tersenyum tipis, elegan dalam balutan hijab biru tua yang serasi dengan blazer abu-abunya. “Tidak punya bukti? Baiklah, mari kita lihat.” Ia mengangguk ke asistennya, yang segera memutar proyektor. Layar besar di belakang menampilk
Bab 87. Strategi Aisyah Melawan Tuan Wibowo“Amara, kamu harus lihat ini sekarang!” Lily berlari masuk ke ruang kerja Amara di kantor PT Indomarka, memegang tablet dengan layar penuh email. Ruangan kecil di lantai 15 gedung perusahaan suplier yang memasarkan produk itu dipenuhi tumpukan kertas dan dua cangkir kopi dingin di meja. Pagi itu, suasana kantor terasa tegang, dengan rapat pemegang saham hanya tiga hari lagi.Amara mengambil tablet dari tangan Lily, matanya menyipit membaca teks di layar. “Email dari anak buah Tuan Wibowo? Bagaimana kamu dapat ini, Lily?”Lily menarik napas. “Seseorang dari tim IT Wibowo Group membocorkannya ke kontakku. Lihat, mereka menyebut nama-nama orang yang pernah bekerja untuk Hendra. Ternyata Wibowo merekrut sisa anak buahnya untuk memata-matai kita.”Amara menelusuri email itu, wajahnya mengeras. “Jadi Wibowo tidak bekerja sendiri. Dia pakai orang-orang Hendra untuk menggali rahasia PT Indomarka. Ini lebih buruk dari yang kukira.”Pintu ruangan terb
Bab 86. Munculnya Musuh Baru“Rendra, laporan keuangan kuartal ini bikin saya pusing. Ada kebocoran aneh di divisi pemasaran PT Indomarka, tapi saya tidak bisa melacak sumbernya,” kata Amara sambil meletakkan setumpuk dokumen di meja kerja CEO PT Indomarka. Ruangan itu terasa sesak pagi ini, dengan sinar matahari menyelinap lewat jendela besar yang menghadap gedung-gedung tinggi Jakarta.Rendra menurunkan cangkir kopi hitamnya, menatap Amara serius. “Kebocoran? Maksudmu apa? Kita baru audit dua minggu lalu. Semuanya bersih.”“Bersih di atas kertas. Tapi saya temukan transaksi mencurigakan—pembayaran ke vendor yang tidak terdaftar resmi. Setelah dicek, nama vendornya fiktif,” jelas Amara. Suaranya tegas, tapi mata menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.Di sudut ruangan, Lily yang sedang merapikan dokumen rapat sore nanti langsung menghentikan aktivitasnya. “Kamu yakin, Amara? Kalau ini bocor ke media, bisa jadi krisis reputasi besar.”“Saya tidak main-main. Ini bukan hanya soal angka.
Bab 85. Kehidupan Baru Aisyah“Sayang, kamu yakin nggak mau istirahat dulu? Proyek Amarta ini bikin kamu lembur terus,” kata Rendra sambil meletakkan secangkir teh hangat di meja kerja Aisyah.Apartemen mereka di kawasan elit Jakarta Selatan tampak hangat, diterangi cahaya lembut dari lampu gantung modern. Di balik jendela besar, gemerlap kota malam memantul di kaca.Aisyah, dengan hijab sederhana namun elegan, mengalihkan pandangan dari layar laptop. Tatapannya yang tegas melunak saat melihat suaminya.“Mas, aku baik-baik aja. Lagi pula, Amarta Group lagi di puncak. Aku nggak mau kehilangan momentum.”Rendra duduk di sampingnya, menggenggam tangannya. “Aku tahu kamu hebat. Tapi jangan lupa istirahat, ya. Aku nggak mau kamu jatuh sakit.”Aisyah terkekeh. “Tenang, Mas. Selama ada kamu yang jagain aku, semuanya terasa ringan.”Tiga bulan pernikahan mereka terasa seperti bertahun-tahun penuh kebersamaan. Setiap pagi, mereka sarapan sambil berbagi cerita dan rencana. Aisyah yang kini memi
Bab 84. Hari Pernikahan Aisyah dan Rendra "Aisyah, kamu yakin nggak deg-degan? Ini kan hari besar!" tanya Mama Mirna sambil menyesuaikan posisi hijab putrinya yang terlihat sempurna dengan gaun pengantin berwarna ivory. Ruang persiapan pengantin di gedung mewah kawasan Jakarta Selatan itu dipenuhi aroma bunga melati dan mawar yang disusun rapi di setiap sudut. Cahaya lampu kristal memantulkan kilau lembut, menciptakan suasana hangat dan elegan.Aisyah tersenyum kecil. Matanya yang tegas memandang cermin di depannya. "Deg-degan sih, Ma. Tapi lebih ke bahagia. Rasanya... seperti semua yang pernah hancur, sekarang mulai utuh lagi."Mama Mirna mengangguk. Tangannya meremas lembut bahu Aisyah. "Kamu pantas bahagia, Nak. Rendra itu pria baik. Mama lihat dari matanya, dia tulus sama kamu."Di luar ruangan, suara para tamu mulai ramai. Gedung yang berkapasitas 500 orang itu hampir penuh. Keluarga besar Aisyah dan Rendra, kolega dari Amarta Group—perusahaan distribusi makanan impor milik Papa
Bab 83. Masa Lalu yang Tertutup“Aisyah, kamu dengar kabar tentang Bella?” Rendra menurunkan ponselnya, nadanya hati-hati saat mereka duduk di kafe favorit mereka di kawasan SCBD, Jakarta. Meja kayu di depan mereka dipenuhi dokumen pernikahan dan dua cangkir kopi yang masih mengepul.Aisyah mengangguk pelan, menatap keluar jendela. “Iya, tadi pagi Mama cerita. Dia… meninggal karena komplikasi HIV-nya.” Suaranya datar, tapi ada sedikit kesedihan di matanya. “Aku nggak benci dia, Ren. Tapi apa yang dia lakukan… itu pilihan dia sendiri.”Rendra meraih tangan Aisyah, jari-jarinya hangat. “Kamu nggak perlu mikirin dia lagi, Sayang. Kita fokus ke hidup kita, ke pernikahan kita. Bella memang pernah dijodohkan orang tuaku dulu, karena dia karyawan PT Indomarka yang mereka pikir cocok buat aku. Tapi ternyata, dia cuma incar harta. Sekarang semua itu sudah berlalu.”Aisyah tersenyum tipis, merasakan ketenangan dari kata-kata Rendra. Kafe itu ramai dengan suara pelanggan dan denting cangkir, tap