Bab 95. Ancaman dari Masa Lalu“Kamu pikir bisa lolos begitu saja, Aisyah? Aku tahu rahasia Amarta Grub yang bisa menghancurkanmu!” Suara serak di ujung telepon membuat Aisyah menegang. Ia berdiri di balkon apartemennya di Jakarta, memandang lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di malam hari. Hijab cokelat mudanya sedikit tertiup angin, namun matanya yang tegas tetap fokus.“Siapa ini?” tanya Aisyah, suaranya dingin namun terkendali. “Jangan main-main dengan ancaman kosong.”Penelepon tertawa sinis. “Aku Budi, mantan anak buah Hendra. Aku punya dokumen yang membuktikan Amarta Grub menyembunyikan pajak di Singapura. Bayar aku 5 miliar, atau dokumen ini sampai ke media.”Aisyah menarik napas dalam, mencoba menahan amarah. “Kamu pikir aku takut? Kirim bukti itu sekarang, atau aku yang akan melacakmu.”Telepon terputus. Aisyah menatap ponselnya, jantungan berdetak kencang. Rendra, yang baru saja masuk dari ruang tamu, melihat ekspresi istrinya dan segera mendekat. “Ada apa, Sayang? Wajahm
Bab 94. Ekspansi Bisnis Aisyah“Selamat, Aisyah! Cabang Amarta Grub di Singapura resmi beroperasi mulai hari ini!” seru Rendra, mengangkat gelas berisi jus apel di tangan kanannya. Matanya yang tajam namun hangat menatap Aisyah dengan penuh kebanggaan. Mereka berada di ruang makan apartemen mewah di Jakarta, dikelilingi pemandangan kota yang berkilau di malam hari.Aisyah tersenyum lebar, hijab biru lautnya yang elegan sedikit bergoyang saat ia mengangguk. “Terima kasih, Rendra. Tanpa dukunganmu, aku nggak yakin bisa sampai di titik ini.” Suaranya lembut, tapi penuh keyakinan, mencerminkan wanita tangguh yang telah bangkit dari masa lalu yang kelam.Rendra tertawa kecil, meletakkan gelasnya di meja kaca. “Jangan bilang gitu. Ini semua karena kerja kerasmu. Aku cuma pendamping setia di belakang layar.”Di sudut ruangan, asisten Aisyah, Nita, masuk membawa tablet. “Mbak Aisyah, undangan sebagai pembicara di Global Women Leadership Summit di London sudah dikonfirmasi. Mereka ingin Anda b
Bab 93. Reuni dan PenutupanTepuk tangan riuh menggema di ballroom megah. Rendra, CEO muda PT Indomarka, perusahaan pemasok produk, melangkah maju, mengambil mikrofon. “PT Indomarka berkomitmen mendukung misi Amarta Grub. Kami bukan hanya bisnis, tapi juga mitra yang punya tujuan lebih besar.”Di sudut ruangan, kamera media internasional merekam setiap kata. Seorang wartawan dari Singapura mendekati Aisyah setelah ia turun dari panggung. “Ms. Aisyah, Amarta Grub, perusahaan distribusi makanan impor di bawah kepemimpinan ayah Anda, Pak Hermawan, kini disebut sebagai salah satu perusahaan paling inovatif di Asia. Apa rahasia kesuksesan Anda?”Aisyah tersenyum, tangannya memegang gelas air mineral. “Tidak ada rahasia. Hanya kerja keras, visi yang jelas, dan tim yang luar biasa. Rendra dan PT Indomarka adalah mitra hebat yang membantu mewujudkan mimpi Amarta Grub.”Rendra, yang berdiri di sampingnya, menambahkan, “Aisyah adalah otak di balik semua ini. PT Indomarka hanya membantu mengekse
Bab 92. Aisyah Kembali ke Dunia Bisnis“Dua tahun terakhir ini seperti mimpi buruk, tapi sekarang aku siap kembali, Ren. Amarta Grub akan bangkit lebih kuat!” Aisyah menatap Rendra dengan mata penuh semangat, tangannya memegang erat laporan keuangan di atas meja ruang rapat yang luas. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela kaca besar, menerangi ruangan bergaya modern dengan dominasi warna putih dan abu-abu.Rendra, yang duduk di seberang meja, tersenyum tipis. Wajahnya yang tampan dengan rahang tegas dan mata cokelatnya yang hangat memancarkan kepercayaan. “Aku nggak pernah ragu sama kamu, Aisyah. Kamu punya visi, dan aku di sini untuk bantu wujudkan itu. Ekspansi ke pasar internasional bukan cuma mimpi, kita bisa mulai dari Asia Tenggara.”Aisyah mengangguk, jari-jarinya menelusuri dokumen di depannya. “Singapura dan Malaysia jadi langkah awal. Kita punya produk unggulan, tapi aku ingin pastikan branding kita kuat di pasar global. Kita harus beda dari kompetitor.”“Setuju. A
Bab 91. Kelahiran Anak Aisyah“Aisyah, lihat matanya! Persis seperti matamu, tegas dan penuh semangat,” ujar Rendra sambil memandang bayi kecil yang baru lahir, terbungkus selimut putih di tangan perawat. Suaranya penuh kelembutan, namun tak bisa menyembunyikan kegembiraan yang meluap.Aisyah, masih lelah namun tersenyum lebar, menatap bayi itu dari ranjang rumah sakit. Wajahnya yang manis dengan kulit kuning langsat tampak bersinar meski keringat masih membasahi dahi. Hijab biru mudanya sedikit bergeser, tapi ia tetap terlihat elegan. “Arsyad... nama yang kita pilih cocok untuknya, bukan?” katanya pelan, suaranya serak namun penuh kehangatan.Rendra mengangguk, mendekat dan mencium kening Aisyah dengan lembut. “Keren, seperti ibunya. Anak ini akan jadi kebanggaan kita.” Ia duduk di sisi ranjang, memegang tangan Aisyah erat-erat. Ruangan rumah sakit swasta di Jakarta terasa hangat meski udara pendingin berdengung pelan. Cahaya matahari pagi menyelinap melalui jendela, menerangi ruanga
Bab 90. Tantangan Kehamilan Aisyah“Aisyah, kamu yakin baik-baik saja?” Rendra berdiri di samping ranjang rumah sakit, tangannya memegang erat tangan Aisyah. Ruang rawat inap VIP di rumah sakit swasta itu terasa nyaman dengan dinding krem, sofa kecil di sudut, dan jendela besar yang menampilkan pemandangan taman hijau. Namun, aroma antiseptik dan suara monitor jantung yang berdetak pelan menciptakan suasana tegang. Aisyah, mengenakan hijab putih sederhana dan gaun rumah sakit, tersenyum lemah dari ranjangnya.“Rendra, jangan khawatir. Dokter bilang ini cuma komplikasi kecil,” kata Aisyah, suaranya lembut tapi berusaha meyakinkan. “Tekanan darahku agak tinggi, jadi aku harus istirahat total untuk sementara.”Rendra mengerutkan kening, wajah tampannya penuh kekhawatiran. “Komplikasi kecil? Aisyah, kamu pingsan di kantor kemarin! Aku tidak akan membiarkan kamu memaksakan diri lagi.”Aisyah menghela napas, menatap Rendra dengan mata tegas yang masih mempertahankan pesonanya meski ia lelah