[Saya sudah dapat informasi siapa yang membawamu pulang malam itu, Al]Sebuah pesan dari Nina berhasil membuat dada ini bergemuruh hebat. Segera aku melakukan panggilan ke nomor sahabatku itu.[Hallo, Nin.][Iya, Al.][Siapa Nin orangnya?][Resty, mantan pacarnya Tama dulu, pas masih di Poltekkes.][Hah? Benarkah, Nin?][Iya, benaran. Suamiku yang lihat. Ni aku kirim alamat rumahnya ya. Biar kamu bisa langsung samperin orangnya.][Oh iya, Nin. Makasih ya.][Sama-sama.]Setelah menutup telpon, langsung saja kulakukan panggilan pada ponselnya Mas Radit, siapa tahu Mas Radit sedang tidak ada kegiatan dan bisa mengantarkanku ke sana.[Iya, Sayang?][Mas, barusan Nina hubungi Alya, katanya yang bawa saya malam itu mantan pacarnya Mas Tama.][Benar, Yank?][Iya, Mas. Nina juga kasih alamat rumah, supaya kita bisa tanyakan langsung sama orang itu.][Hm, tapi Mas masih ada pasien ni. Setengah jam lagi Mas pulang, ya.][Iya, Mas. Alya tunggu.]*Seperti ucapannya, setengah jam dari kumenutup t
"Ayo meneran Mbak, sedikit lagi. Tarik napasnya, yuk. Bismillah."Sekuat tenaga kukumpulkan kekuatan untuk meneran. Untuk ketiga kali, akhirnya rasa ini kembali menghampiri. Rasanya mustahil manusia sanggup terbiasa dengan penderitaan sepedih ini. Namun, dengan sang kekasih di sisi yang terus menyemangati, mengusap peluh di kening, menggosok punggung yang terasa sakit, semua akan terlewati dengan mudah. Ya, kali ini ada Mas Radit yang menemaniku melewati semuanya.Dia yang sedari awal mulai kontraksi terus menjadi tempat tangan ini menggenggam. Dia yang sedari awal bahkan rela meninggalkan segalanya demi mendampingiku. Aku sangat bersyukur di persalinan ketiga ini, Allah memberi kesempatan merasakan dampingan seorang suami dalam bertarung antara hidup dan mati. Demi melahirkan seorang bayi ke dunia."Ayo Mbak, sedikit lagi.""Bismillah."Doa dan zikir menggema hingga akhirnya, tangisan bayi terdengar membelah kesunyian malam kala itu. Bidan yang menolong segera mengikat tali pusat l
Pagi ini Mas Radit kembali mengunjungiku. Sudah enam tahun semenjak dia menjatuhkan talak dan aku memilih kembali menempati rumah ibu, lelaki itu kerap datang menjenguk.Tak bisa kututupi, gelenyar aneh yang membarengi jiwa, tatkala mendapati ia menuruni mobil dan berbicara pada bibik di depan pintu. meski aku tidak pernah menemuinya, tapi jujur cintaku pada mantan suamiku itu masih sama seperti dulu. Dimana saat itu, hanya ada aku ratu di istananya.Aku terus menelisik langkahnya yang semakin mendekati rumah. Saat kaki jenjang lelaki itu sudah melewati pagar, istri muda yang harusnya menanti di dalam mobil terlihat membuka pintu bagian belakang.Wanita yang seharusnya menjadi adik maduku itu terlihat menuruni mobil, membusungkan dada seolah memberi kabar padaku bahwa perutnya sudah kembali terisi oleh benih yang ditanamkan Mas Radit. Hal yang tidak bisa aku berikan, di pernikahan kami yang bahkan sudah menginjak usia enam tahun, kala itu.*Sesuatu membuat anganku kembali terlempar k
"Terimalah kembali diri yang penuh dosa ini, Dek. Enam tahun Mas menunggu. Ditiap malam, Mas selalu bertanya kabarmu pada angin, mereka diam membisu, seakan begitu membenci ketololan diri yang sudah melepasmu demi wanita lain. Hati ini masih milikmu, Dek. Tidak ada yang berubah."Aku tercenung sesaat mendengar kalimat penyesalan yang keluar dari mulutnya. Andai dulu ia tidak termakan fitnah yang dibuat oleh ibunya sendiri, tentu aku dan Akbar tak pernah tahu bagaimana sakitnya ditinggalkan. Tak akan pernah merasa hina dengan tuduhan berzina, sedang jelas anak dalam kandunganku ini adalah darah dagingnya.Andai Mas, andai saja kamu bisa terus berpegang pada janjimu, bahwa jangan pernah goyah, apapun hasutan yang dibuat oleh ibu dan calon istrimu, tentu kami tak akan pernah merasa kesepian disetiap malam, merasa takut setiap kali petir terdengar membelah langit. Tentu kami tidak harus pindah dari satu tempat ke tempat lain, demi menghindari amukan warga yang menganggapku wanita kotor.
"Coba Mama lihat Sayang, mana jam oleh-oleh dari Ayah?"Kucoba kembali membuka percakapan seusai makan siang. Sebab entah kenapa aku mulai mencemburui Mas Radit perihal jam yang kini melekat di jemari Akbar. Ia begitu menyukainya, bahkan lupa jika akupun memberinya hadiah lain.Akbar bangkit dan menunjukkan jam di tangannya padaku."Wah, bagus. Kamu senang dapat hadiah ini dari Ayah?"Akbar mengangguk girang. Setelah itu ia berusaha menarik lenganku menuju kamarnya."Ma, kamar Akbar kurang bagus deh. Kayaknya harus dibikin lebih menarik."Dia melepas tanganku dan naik ke atas ranjang. Menarik sprei, menghentak-hentakkan bantal hingga sarungnya terlepas. Lalu menggulung semua kain tersebut dan memberi padaku."Akbar mau yang warna lebih lelaki, Ma. Warna biru dengan motif bola."Aku mendelik, bukankah sprei ini baru kemarin dipakai."Kok ganti lagi, Sayang? 'Kan kasihan Bik Ina capek nyuci sebentar-bentar. Padahal sprei ini baru kemarin diganti?"Akbar mengulum senyum."Ini semua udah
Sudah jam lima sore, Akbar masih menanti kedatangan Mas Radit di depan teras. Sudah hampir satu jam dia tidak beranjak. Rasanya kasihan juga jika sampai Mas Radit membatalkan kedatangannya malam ini."Nunggunya di dalam aja Nak, sambil nonton televisi," tawarku melihat dia mulai jenuh."Nggak Ma, Akbar mau nunggu di sini. Di dalam Akbar kayak ngerasa kepanasan gitu, Ma."Tersenyum aku mendengar alasan yang keluar dari mulutnya. Meski tanpa dampingan Mas Radit, namun dia sepenuhnya menuruni kecerdikan sang ayah. Ah, andai Mas Radit ikut mengasuhnya bersamaku, pasti ia tumbuh menjadi sosok yang lebih luar biasa dari sekarang.Astaghfirullah, aku mengelus dada akan andai-andai yang tidak berdalil ini. Lalu memilih duduk di sofa ruang tamu. Entah kenapa hati inipun diam-diam menanti kedatangannya.*Tepat pukul enam, saat azan magrib hampir mengumandang. Terdengar deru mobil berhenti di depan pagar. Aku mengangkat tubuh dari kegiatan mengisi laporan ruangan, sambil menyibak sedikit gorden
"Jangan pergi, Dek. Jangan siksa Mas lagi," ucapnya dengan mulai membuka mata. Jadi daritadi, dia berpura-pura tidur?Kubuang napas sambil memendam kekesalan. Harus kuakui hati ini seolah tercerabut paksa mendengar permintaan yang kembali keluar dari mulut Mas Radit. Aku jadi tak mengerti, atau jangan-jangan dia amnesia hingga lupa bahwa yang memilih berpisah adalah dia, bukan diriku!Jika banyak wanita akan mengamuk untuk meluapkan kekesalan hatinya, tapi tidak denganku. Dari dulu tabiat ini memang tidak berubah. Kukumpulkan kekuatan untuk hanya mengeluarkan suara."Mas sudah terlalu banyak berbicara semenjak kemarin. Saya minta Mas jangan sampai salah paham perihal keijinan untuk menginap di rumah ini. Semua saya lakukan demi Akbar."Ucapanku pelan namun tegas. Dia tergerak, seperti hendak berbicara."Tolong beri Mas kesempatan untuk menjelaskan semuanya, Dek.""Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Talak yang Mas ucapkan enam tahun yang lalu sudah menjelaskan semuanya. Saya ha
POV Bik InaPagi ini saya ditugaskan Mbak Alya mengawasi mantan suaminya. Sebenarnya saya tidak menyukai pekerjaan ini, tapi demi beliau yang teramat saya sayangi, saya bersedia melakukannya.Sudah lima tahun saya bekerja di rumah majikan saya ini, tepat setelah beliau melahirkan anak pertamanya bernama Akbar. Saat itu beliau tinggal di rumah eyangnya di Kota Malang. Yang saya tahu, beliau baru ditalak oleh suami dan diusir oleh ibu mertuanya.Seharusnya pula, beliau tinggal bersama ibu kandung yang berposisi di Kudus. Tapi kenyataan, di daerah itu pula sudah tersiar kabar bahwa beliau mengandung anak hasil hubungan terlarang.Saya tahu benar bagaimana kehidupan beliau. Kepahitan serta kepiluan yang beliau rasa. Selama masih mengandung, beliau setiap saat dalam keadaan murung, selalu menanti mantan suaminya datang untuk merujuk. Tapi ternyata, lelaki itu baru datang setelah Mbak Alya melahirkan.Entah apa sebenarnya yang terjadi diantara mereka, tapi satu yang saya tahu, bahwa mereka