Satu mangkuk sup telah dihidangkan oleh Anita di atas meja makan. Bagas dan Delisa telah duduk di ruang makan. Bagas memegang tangan Delisa, seolah Anita adalah batu di antara mereka. "Kamu harus makan makanan bergizi, Sayang. Pasti anak kita lahir tampan kalo laki-laki dan cantik seperti ibunya kalo perempuan." Delisa menarik tangannya dari genggaman Bagas saat Anita masuk. Menyadari itu, Bagas melengos pada Anita. Dalam pikirannya, Anita yang membuat Delisa seringkali tidak mau dia perlakukan dengan mesra. "Ngapain kamu lama-lama, Nit? Ada bayi yang harus kamu urus. Kenapa malah diam di situ? Harusnya habis masak kamu mandiin bayi kamu atau apalah ... asal jangan di sini," ujar Bagas ketus. Anita terhenyak mendengarnya. Bagas sudah menyuruhnya memasak dan melarang Delisa untuk menyentuh barang-barang dapur untuk dia gantikan semua pekerjaannya, tapi sekarang pria itu malah mengusirnya tanpa perasaan. Tampak tangan Delisa menarik baju Bagas agar tidak bersikap buruk pada Anita, t
Anita menggendong anaknya seraya menyeret koper melewati jalan-jalan di mana dulu masa kecilnya dia habiskan di situ. Dia menyunggingkan senyum saat melihat suasana yang agak berubah di tempat tinggalnya. Kenangan-kenangan semasa kecilnya terlintas, menari indah dalam benak. "Senangnya masa kecilku. Main boneka, main lompat tali. Ah, masalah beratku hanya PR matematika saat itu. Anita menatap bayinya. Ada sesal, tapi juga ada si kecil yang memercikkan kebahagiaan tersendiri. Cia adalah obat dari segala kegundahannya. Kedua mata Anita berkaca-kaca saat teringat dia nyaris membunuh darah dagingnya sendiri beberapa waktu yang lalu. Sedikit bersyukur karena meski bagaimanapun, Delisa telah menyelamatkannya. Entah apa yang akan dia terima sekarang jika tidak ada yang menyadarkan dirinya. Anita mencium kening Cia. Bayi yang tidur nyenyak dalam pelukannya itu. Tidak ada raut dendam meski ibunya nyaris menghilangkan nyawanya. "Mama nggak akan lagi membiarkan kamu sakit, Nak." Anita melan
Rahma menggendong Cia pagi itu. Anita merasa lebih nyaman berada di rumah ibunya. Meski kadang jika teringat dengan Bagas, rasanya pedih sekali dengan pengkhiatan suaminya. Terkadang, Anita mengintip akun sosial media milik Delisa. Meski yang dia lakukan hanya menabur garam ke lukanya. Namun, dia merasa penasaran dengan wanita yang dipuja-puja oleh Bagas. Anita bisa stalking akun Delisa karena berteman dengan suaminya. Terkadang, bulat tekad Anita untuk berpisah, tapi kadang dia merasa enggan. Rahma membiarkan Anita yang lebih merasa tenang saat hari-hari di rumahnya. Dengan dekat bersama anak dan cucunya, dia sendiri merasa terhibur. Apalagi, Cia sedang berada di usia yang sedang lucu-lucunya. "Bu, apa Ibu kerepotan atau keberatan dengan adanya aku dan Cia?" tanya Anita setelah seminggu dia berada di rumah ibunya. "Kamu kok bilang gitu, mana ada nenek yang kerepotan sama anak dan cucunya? Justru, ibu sangat bahagia kalian ada di rumah ini." Anita memeluk gulingnya sambil memperh
"Bu ... Ibu?" Anita tidak percaya saat pintu terbuka dia melihat wanita paruh baya yang menatapnya penuh kerinduan. Tantri, sudah berdiri di depan pintu dengan wajah sedih. "Nita ... kenapa kamu nggak bilang kalo kamu pergi dari rumah, Nak?" tanya Tantri langsung mendekap tubuh kurus Anita. Rasanya sungkan pada Rahma, besannya. Namun, rasa rindunya pada Anita dan Cia telah mengalahkan itu semua. Dia sampai mengabaikan perasaan sungkannya itu pada sang besan dengan menyusul Anita. "Benar dugaan ibu kalo kamu pulang ke sini, Anita. Maafin kelakuan Bagas ya, Nak?" pinta Tantri. Di tangan Tantri ada sebuah kantong berisi buah tangan yang dia bawakan untuk Anita, Cia dan juga Rahma. "Lho, Bu Tantri, sama siapa, Bu? Mari, silakan masuk." Meski jengkel anaknya diperlakukan dengan tidak baik, tapi Rahma belum pernah mendengar Tantri bersikap buruk pada Anita. Jadi, dia berusaha untuk bersikap netral pada Tantri. Wajah Tantri agak memucat melihat Rahma menyambutnya. Ini bagai wajahnya
Anita berdiri termangu di depan sebuah klinik kecantikan. Sejak kecil, hidupnya sederhana dan dia tidak pernah memasuki tempat perawatan seperti itu. Dia yang sedang menggendong sang anak, menoleh pada ibunya. "Apa Ibu sering ke sini?" tanya Anita, memperhatikan wajah ibunya lebih bersinar. "Iya, bercak-bercak hitam di wajah ibu sangat mengganggu penampilan. Jadi, ibu putuskan untuk merawat diri. Sekarang, hasil dari usaha ibu bisa digunakan untuk itu. Apa lagi sih yang bisa ibu lakukan buat menghibur diri? Kamu tau sendiri kan, ayahmu pergi begitu saja. Dia kecantol wanita lain. Jadi, ibu harus bangkit menjadi lebih baik, bukan malah terpuruk. Membahagiakan diri sendiri dengan hal yang positif lah yang ibu ingin jalani sekarang." Anita tertegun mendengar ucapan ibunya. Baru setelah dirinya menikah, sang ayah pergi dengan perempuan lain. Anita menatap dirinya di pantulan dinding kaca. Dia memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan sang ibu. Apakah memang takdir mereka seperti itu
Bagas mendorong tubuh kurus Anita hingga tersungkur ke jalan setapak. Kendra, pria yang sedark tadi di belakang menyimak percakapan mereka ikut kaget dengan apa yang dilakukan oleh Bagas. Melihat ketidak adilan, mau tidak mau dia ikut turun tangan. Dia mendekat ke arah Bagas, menepuk dada kiri lelaki itu dengan telapak tangannya. "Hey, Bung. Dia itu perempuan. Nggak seharusnya kamu yang laki-laki memakainya sebagai lawan." Bagas mengerutkan dahi melihat lelaki asing itu. Dia mendengkus, merasa pria itu ikut campur masalahnya. "Kamu siapa?" tanya Bagas. Kendra menaikkan sudut bibirnya. Dia sudah merasa tidak senang dengan sikap Bagas. "Aku? Aku teman Anita," sahut Kendra, menoleh ke arah wanita yang berupaya berdiri dibantu oleh Delisa. Kendra jadi tahu nama Anita dari percakapan yang dia dengar tadi. Anita menoleh cepat ke Kendra, kaget dengan ucapannya, tapi dia lebih memilih diam karena dia merasa pria itu hanya akan melindunginya. "Oh, jadi kamu temennya? Temen apa pacar?" t
Bagas menghela napas mendengar sahutan Delisa. Beberapa hari menjadi istrinya, Delisa belum memanggil Tantri dengan sebutan ibu. Hubungan keduanya juga belum bisa dekat. Bagas kira, itu hanya awal-awal saja, tapi ternyata beberapa hari belum juga berubah. Akhirnya dia hanya diam dan pasrah saja dengan keadaan itu. Asal Delisa tetap bersamanya, dia tidak akan mempermasalahkan. Mungkin juga karena baru beberapa hari."Kamu mau beli apa buat oleh-oleh?" tanya Bagas. Delisa menoleh ke samping. Menatap ke sepanjang jalan yang mereka lalui. "Nanti kalo ada toko oleh-oleh, aku minta berhenti," sahut Delisa. Bagas mengangguk. Betapa sulit menawari Delisa. Tiba-tiba dia ingat dengan Anita yang selalu mengoceh sepanjang perjalanan ketika dia pernah mengantarnya ke pasar. "Mas Bagas, nanti mampir ke toko buah ya, aku kepengen anggur." "Mas Bagas, kayaknya seblak enak ya?" "Mas, boleh nggak aku beli dawet di sana itu. Nanti sekitar seratus meter lagi berhenti ya?" Berbagai pertanyaan Anit
Anita duduk di tepi ranjangnya setelah mandi. Meski wajahnya masih kemerahan akibat perawatan di klinik kecantikan, tapi Anita tidak begitu perduli. Dia melihat ke tempat tidur. Cia sedang tidur dengan pulas. Rasanya ingin kembali seperti Cia yang belum memikirkan urusan kehidupan ini. Namun, ada juga rasa iba melihat sang anak yang akan tumbuh tanpa ayah jika dia benar-benar berpisah dengan Bagas. Anita ingat akan perkataan Kendra tadi. Dia kemudian mengambil tas dan merogoh dompetnya untuk menemukan sebuah kartu yang diberikan oleh Kendra. "Kendra Bakti Wirabhuana. Kenapa dia langsung menawariku menikah? Aku juga nggak ngerti dia itu normal apa sinting? Kenapa aku langsung mau janji untuk nikah sama dia setelah cerai? Jangan-jangan aku yang sinting," gumam Anita, menempelkan telapak tangan ke dahinya. Anita berdecak, menggelengkan kepala, tapi tangannya tetap mengetik nomor Kendra di layar ponsel. Dari aplikasi hijau, tampak foto profil Kendra yang terlihat jelas sekarang. "Gant