Anita dan Kendra pulang ke rumah. Kendra masih saja menggendong Cia yang terlihat nyaman dalam pelukannya sedari di taman tadi. "Yuk, Cia ikut mama," ajak Anita mengulurkan kedua tangan ke arah bayi tiga bulan itu. Namun, Cia bergeming. Dia tetap ingin berada dalam gendongan Kendra. "Ayo, Cia. Om Kendra mau pulang. Dia ada banyak kerjaan," bujuk Anita. Anita mengambil Cia dari gendongan Kendra. Tidak disangka, Cia menunjukkan ekspresi sedih. Hendak mewek dengan bibir melebar dan kedua matanya tampak berkaca. "Udah, sana pulang dulu. Aku bisa atasi," desis Anita pada Kendra. "Beneran nggak apa-apa?" tanya Kendra dengan wajah khawatir karena sedikit lagi dipastikan Cia akan meledakkan tangis. "Iya, nggak apa-apa. Kamu kan banyak kerjaan pastinya. Iya, kan?" tanya Anita mendorong Kendra agar segera masuk ke mobilnya. "O-oke," sahut Kendra yang masih melekatkan pandangan ke Cia yang berharap digendong lagi olehnya. "Udah, buruan," desak Anita. Kendra mengangguk. Sebelum Kendra p
"Kenapa tertawa, Bu? Bukannya normal orang hamil jauh-jauh dari suaminya?" tanya Bagas, mengulang ucapan Rosmini waktu itu."Iya, ada. Tapi, nggak lama seperti ini juga. Ya ... kita lihat aja bulan selanjutnya. Biasanya wanita ngidam di awal bulan. Bisa juga dia menjadi aneh dari awal bulan sampe bulan ke sembilan, sampe pas lahiran. Kamu dikuat-kuatin aja." Bagas terbelalak mendengar ucapan Tantri. Masa dia harus menahan diri sampai sembilan bulan? Bisa gondrong nganggur. "Bu, yang bener aja?" sungutnya, tiba-tiba hilang nafsu makannya. "Udah dibilangin, dilihat aja. Bukan ibu mau bilang pasti, tapi bisa jadi. Ibu cuma mau kamu bersiap untuk menyediakan sabar yang gede menghadapi ibu hamil," terang Tantri. Sebenarnya Tantri malah merasa aneh dengan kepergian Delisa saat ini. Tambah, dia juga merasa jauh dengan keluarga Delisa sejak awal mereka bertemu dalam acara lamaran. Rasanya ada yang tidak rela juga dengan pernikahan Bagas dan Delisa. Waktu itu, Tantri menepis perasaannya. D
"Kamu nggak kerja, Ken?" tanya Anita. Sejujurnya dia tidak enak hati dengan lelaki itu. Karena dirinya, maka Kendra harus meninggalkan pekerjaannya. "Kerjaanku bisa kutinggalin sebentar. Ada asisten yang menggantikan. Soal perceraian kamu, itu pun penting karena itu akan mempengaruhi masa depanku. Papa juga nyuruh aku mengawal kamu sampai selesai proses perceraian." Anita mengangguk. Dalam hati dia merasa campur aduk karena hari ini dia akan menjalani proses perpisahannya dengan Bagas, lelaki yang sangat dia cintai. "Bulatkan tekad kamu, Anita. Dia bukan lelaki yang pantas buat kamu."Anita menoleh pada Kendra. Dia meringis, kenapa Kendra bisa menebak pikirannya? "Iya," sahut Anita. Kendra mengemudikan mobilnya menuju ke pangadilan agama. Anita terdiam mengikuti alur perjalanan dengan diam, karena banyak pikirannya kala itu. Seorang istri, menggugat cerai suaminya. Antara sedih, kecewa dan kasihan pada anaknya yang nantinya tidak memiliki ayah. Anita melirik ke arah Kendra. Dia
Bagas terhenyak melihat layar ponselnya. Setelah sidang yang cukup menegangkan karena pertama kali Bagas melakoni sidang perceraian, dia sekarang melihat daftar panggilan yang banyak. "Delisa, kenapa ya?" gumamnya, melangkah ke parkiran. Bagas memencet nomor Delisa dengan wajah cemas. Tak lama, panggilan itu diangkat oleh seseorang. "Halo," ucap Bagas mengawali karena di ujung sana memang mengangkat teleponnya, tapi tidak mengucap sepatah kata pun. "Delisa, kamu kenapa? Tadi nelepon aku–" "Bagas! Kamu itu lagi ngapain? Nggak becus jadi suami anak saya? Delisa lagi sakit gara-gara hamil. Dia butuh kamu antar ke dokter, kamu malah lelet angkat teleponnya!" Gerutuan itu, Bagas yakin bukan Delisa, melainkan ibunya. "M-ma, maaf saya nggak tau. Lalu, Delisa ada di mana sekarang, Ma?" tanya Bagas. "Huh, pake nanya. Lagian kalo kamu tau dia ada di mana sekarang, kamu bisa ke sini dalam waktu berapa detik, hah? Untung kamu cuma pegawai. Kalo kamu dokter, apa nggak keburu mati itu pasie
"Lancar, Om. Syukurlah tidak ada hal yang menghambat jalannya sidang tadi." Raut lega tampak dari wajah Laksono. Anita menyapu sekitar dengan pandangannya. Tadi, Anarita ada di depan, tapi sekarang wanita itu tidak ikut serta, padahal jelas-jelas dia menyambut kedatangan Anita tadi. Anita hanya pasrah, mengikuti pembicaraan Kendra dan Laksono dengan berpura-pura ikut tersenyum. Meski dalam hatinya ada yang mengganjal. Lega sekali saat Anita bisa keluar dari rumah itu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya kalau menikah sementara waktu dengan Kendra. *** Waktu berlalu. Anita semakin fokus pada perceraian dan usahanya. Hubungannya dengan Rahma sang ibu juga semakin dekat. Dia banyak mendesign baju-baju selama tiga bulan itu. Hingga surat resmi perceraiannya pun tiba. Anita merasa sangat lega, sekaligus merasa cemas akan kehidupan selanjutnya. Masa iddah Anita dihabiskan di rumah dengan mendesign baju. Suatu ketika, seorang perempuan muda mendatangi ruko di mana Rahma sedan
Bagas memarkir mobilnya di garasi rumah. Anita, sang istri menyambutnya dengan senyuman cerah. Namun, seberapapun cerah senyuman yang diupayakan, tidak juga membuat Bagas membalas senyumannya. Pria itu menyodorkan tasnya ke tangan Anita, lalu melewati sang istri begitu saja. Anita menatap nanar pada punggung suami yang selalu saja tidak bersikap hangat padanya. Senyumnya pudar, begitu melihat sikap yang biasa dilakukan oleh suaminya. Namun, kesalahan satu tahun yang lalu membuatnya bertahan, karena keyakinannya akan cinta suami yang masih dia harapkan. "Mas, ini taruh sini?" tanya Anita, meletakkan tas Bagas di meja. "Biasanya juga di situ, kan!" balas Bagas. Suara yang terasa agak lebih keras. Namun, bagi Anita sudah biasa diperlakukan seperti itu. Mungkin dia lelah seharian bekerja. "Baik," sahut Anita tanpa menyaingi volume suara suaminya. "Minum kopi apa teh, Mas?" tanyanya lagi saat Bagas melepaskan kemejanya. "Terserah," sahut Bagas masih terasa ketus. "Baik," sahut Anit
"Kenapa muka kamu? Kusut bener?" tanya Roni pada Bagas yang kala itu duduk di cafenya. Datang dengan wajah kesal, Bagas menghempaskan pantatnya begitu saja ke kursi di pojokan. Untungnya, pengunjung belum berdatangan petang itu. Jadi, Roni bisa menemui temannya itu dulu. "Kesel." "Kenapa, kenapa?" cecar Roni.Bagas menghela napas kesal. "Punya istri yang kucel kayak Nita. Mamaku ngidam apaan dulu sampe aku kudu nikahin adek kelas yang dari dulu memang nggak terkenal itu." Roni terkekeh mendengarnya. Meski dia berasal dari sekolah yang berbeda, tapi dia tau bagaimana Bagas bisa menikahi Anita. "Walau bagaimanapun, itu istri kamu. Apa kamu udah kasih dia pelayanan maksimal? Perawatan di salon atau kasih dia baju-baju bagus gitu?" tanya Roni, mencoba mencarikan solusi terselubung. "Heleh, ngapain dikasih kayak gituan. Udah boros, nanti nggak ada perubahan. Aslinya jelek ya jelek aja," sahut Bagas. Nadanya memang sudah eneg. Tidak mau mendengar saran Roni. Baginya, sosok Anita buk
"Aku punya istri." Bagas menemukan gurat kecewa di wajah Delisa. Rasanya ada sedikit kerisauan untuk mengakui keadaan sebenarnya, tapi melihat raut wajah Delisa, dia berubah menjadi agak gembira. Seseorang bisa merasa senang ketika orang yang disukai dia kira menaruh rasa cemburu dan Bagas berharap itu. "Oh, maaf. Jadi, aku sekarang duduk bersama dengan pria beristri." Delisa tersenyum getir. Dia rasa, menemukan orang yang sama-sama single di usianya sekarang tidaklah mudah. Bahkan teman-teman prianya banyak yang sudah menikah. Delisa merasa sendirian lagi. Hal yang selalu disesalinya, kenapa dia pilih-pilih kekasih di masa lalu. Itu membuat para pria menjauh darinya dan makin merasa kecil hati di hadapan seorang Delisa yang pintar dan cantik. "Nggak apa-apa. Kamu nggak usah ngerasa sungkan. Nggak usah kamu pikirkan statusku. Toh, di sini nggak ada yang kita kenal. Teman-teman kita banyak yang sudah pergi dari kota ini." "Tapi, kan ada teman istrimu–" Bagas tersenyum mendengar k