Istri Yang Kubenci

Istri Yang Kubenci

Oleh:  Yudhi Nita  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
2 Peringkat
41Bab
1.9KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

"Aku sangat membencinya, wanita yang dulu nggak sengaja tidur denganku dan dia sekarang makin buruk rupa. Badannya penuh lemak menggelambir di bagian tubuhnya. Nggak enak dipandang." Arsenio Bagas, pria berusia tiga puluh tahun itu menatap wanita yang sedang menggendong anak dan mencuci piring di dapur dengan pandangan benci. Dia sangat menyesali kenapa dulu dia mau menikah dengan wanita yang telah dihamilinya itu saat malam, sewaktu dia mabuk saat reuni akbar. Bagas, ingin sekali menceraikan wanita bernama Anita yang dia nikahi satu tahun yang lalu. Selama ini, dia telah bertahan, tetapi rasa muak menyesak di dada ketika pulang kerja dan selalu mendapati Anita tidak seperti wanita yang dia inginkan. Akankah pernikahan itu kandas atau Anita mempertahankan pernikahannya karena dia mencintai Bagas?

Lihat lebih banyak
Istri Yang Kubenci Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Agniya14
Suka sama ceritanya
2024-01-25 08:29:07
0
user avatar
Ary Susilo
Bagus ceritanya... Semangat ya Kak
2024-01-23 20:17:08
0
41 Bab
Bab 1. Istri Yang Kubenci
Bagas memarkir mobilnya di garasi rumah. Anita, sang istri menyambutnya dengan senyuman cerah. Namun, seberapapun cerah senyuman yang diupayakan, tidak juga membuat Bagas membalas senyumannya. Pria itu menyodorkan tasnya ke tangan Anita, lalu melewati sang istri begitu saja. Anita menatap nanar pada punggung suami yang selalu saja tidak bersikap hangat padanya. Senyumnya pudar, begitu melihat sikap yang biasa dilakukan oleh suaminya. Namun, kesalahan satu tahun yang lalu membuatnya bertahan, karena keyakinannya akan cinta suami yang masih dia harapkan. "Mas, ini taruh sini?" tanya Anita, meletakkan tas Bagas di meja. "Biasanya juga di situ, kan!" balas Bagas. Suara yang terasa agak lebih keras. Namun, bagi Anita sudah biasa diperlakukan seperti itu. Mungkin dia lelah seharian bekerja. "Baik," sahut Anita tanpa menyaingi volume suara suaminya. "Minum kopi apa teh, Mas?" tanyanya lagi saat Bagas melepaskan kemejanya. "Terserah," sahut Bagas masih terasa ketus. "Baik," sahut Anit
Baca selengkapnya
Bab 2. Pertanyaan Yang Wajar
"Kenapa muka kamu? Kusut bener?" tanya Roni pada Bagas yang kala itu duduk di cafenya. Datang dengan wajah kesal, Bagas menghempaskan pantatnya begitu saja ke kursi di pojokan. Untungnya, pengunjung belum berdatangan petang itu. Jadi, Roni bisa menemui temannya itu dulu. "Kesel." "Kenapa, kenapa?" cecar Roni.Bagas menghela napas kesal. "Punya istri yang kucel kayak Nita. Mamaku ngidam apaan dulu sampe aku kudu nikahin adek kelas yang dari dulu memang nggak terkenal itu." Roni terkekeh mendengarnya. Meski dia berasal dari sekolah yang berbeda, tapi dia tau bagaimana Bagas bisa menikahi Anita. "Walau bagaimanapun, itu istri kamu. Apa kamu udah kasih dia pelayanan maksimal? Perawatan di salon atau kasih dia baju-baju bagus gitu?" tanya Roni, mencoba mencarikan solusi terselubung. "Heleh, ngapain dikasih kayak gituan. Udah boros, nanti nggak ada perubahan. Aslinya jelek ya jelek aja," sahut Bagas. Nadanya memang sudah eneg. Tidak mau mendengar saran Roni. Baginya, sosok Anita buk
Baca selengkapnya
Bab 3. Tidak Mencintainya
"Aku punya istri." Bagas menemukan gurat kecewa di wajah Delisa. Rasanya ada sedikit kerisauan untuk mengakui keadaan sebenarnya, tapi melihat raut wajah Delisa, dia berubah menjadi agak gembira. Seseorang bisa merasa senang ketika orang yang disukai dia kira menaruh rasa cemburu dan Bagas berharap itu. "Oh, maaf. Jadi, aku sekarang duduk bersama dengan pria beristri." Delisa tersenyum getir. Dia rasa, menemukan orang yang sama-sama single di usianya sekarang tidaklah mudah. Bahkan teman-teman prianya banyak yang sudah menikah. Delisa merasa sendirian lagi. Hal yang selalu disesalinya, kenapa dia pilih-pilih kekasih di masa lalu. Itu membuat para pria menjauh darinya dan makin merasa kecil hati di hadapan seorang Delisa yang pintar dan cantik. "Nggak apa-apa. Kamu nggak usah ngerasa sungkan. Nggak usah kamu pikirkan statusku. Toh, di sini nggak ada yang kita kenal. Teman-teman kita banyak yang sudah pergi dari kota ini." "Tapi, kan ada teman istrimu–" Bagas tersenyum mendengar k
Baca selengkapnya
Bab 4. Kuatkan Aku
"Tapi kamu bersedia menikahinya. Setidaknya, dia bisa menjadi pendamping hidup kamu. Lihat hidupku, kesepian tanpa seorang pendamping."Bagas tertawa kering mendengar ucapan Delisa. Bagaimana bisa dia hidup bahagia sedangkan dia sendiri tidak pernah memiliki cinta untuk Anita? "Pernah dengar tidak, lebih baik hidup sendiri dari pada harus hidup dengan orang yang tidak pernah kita cintai." Delisa meringis, menggelengkan kepalanya perlahan. "Tapi ada juga yang bilang kalo cinta bisa tumbuh dari kebiasaan. Iya kan, Gas?" Bagas tertawa miris. Memang ada kisah seperti itu, tapi entah kenapa dalam hatinya tidak pernah ada rasa cinta yang tumbuh secuil pun untuk Anita. Malahan, ketika melihat Delisa, rasa cinta itu mekar tak tertahankan dalam beberapa menit saja. "Mungkin ada beberapa, tapi bukan aku salah satunya, Delisa." Delisa tertegun mendengarnya, melanjutkan makan tanpa berkomentar lagi. Betapa rumit kehidupan berumah tangga ternyata. Bukan sekadar jatuh cinta, menikah memiliki
Baca selengkapnya
Bab 5. Kenapa Dengan Bagas
Bagas mengeluarkan mobilnya dengan menekan pedal gas kasar malam itu. Dia melajukan mobil ke rumah ibunya. Setiap kali merasa kesal, dia selalu pergi ke rumah sang ibu. Rumah ibunya berjarak beberapa kilometer. Meski seringkali saat curhat ibunya malah memarahinya seperti hari ini. "Kenapa malam-malam kamu datang ke sini, Gas? Apalagi nggak sama Nita." Sambutan sang ibu membuat Bagas kesal. Kenapa ibunya tidak mendukungnya seperti perempuan lain yang mendukung anak lelakinya mati-matian? Bagas menyelonong masuk dan merebahkan diri di sofa tanpa menjawab pertanyaan ibunya. "Aku mau tidur di sini, Bu. Malam ini aku sumpek di rumah." Tengah malam, sudah terganggu tidurnya oleh Bagas, ditambah lagi anak lelakinya malah meninggalkan sang istri sendirian di rumah. "Kenapa, Gas!" bentak sang ibu. "Bu, aku capek! Aku cuma lagi sumpek di rumah! Tadi, bayi itu merengek terus. Ibunya nggak bisa diemin. Barusan, haus aja nggak dibikinin minuman kalo nggak dibangunin. Istri macam apa itu, B
Baca selengkapnya
Bab 6. Kapan Datang
Suara tangis bayi membuat Bagas menghentikan aksi brutalnya. Tangannya melepas begitu saja semua yang dia sentuh. Anita masih tersungkur di lantai yang dingin. Rasanya sangat terhina ketika Bagas melepaskan Anita dengan satu sentakan ke lantai. Bagas tampak meraup wajah, tapi kemudian memakai kembali bajunya. "Urus bayimu." Anita bergeming. Dia terisak menelungkup di atas lantai dengan daster robek, persis seperti korban pemerkosaan. Mengabaikan bayinya yang menangis seolah merasakan apa yang dia rasakan. Ketika tersadar, Anita segera berdiri dengan susah payah, merasakan perih di daerah kemaluannya. Sakit fisik juga sakit hatinya. Anita berjalan tertatih ke kamarnya dan melihat sang bayi menendang-nendang sambil memejamkan kedua mata menangis kencang. "Iya, ibu nggak apa-apa, Nak. Sini, ibu gendong. Minum susu, ya?" Dengan suara tersendat, Anita mencoba menenangkan sang bayi. Meski tangannya masih bergetar karena kelakuan Bagas tadi, tapi dia berusaha untuk menggendong anaknya de
Baca selengkapnya
Bab 7. Perasaan Tidak Enak
"Kamu yang baik dong sama Nita. Kasihan dia, udah capek ngurusin rumah, tapi sikap kamu udah kayak nggak pernah diajarin akhlak di rumah," omel Tantri. "Akhlak? Ibu ngomongin akhlak? Tanya tuh sama menantu kesayangan Ibu. Akhlak dia masuk ke kamar hotelku waktu itu! Apa dia nggak sengaja? Menurut Ibu, dia nggak sengaja kayak gitu?" balas Bagas. Tantri mendesah mendengar ucapan Bagas. Menurutnya memang itu sebuah kesalahan, tapi selama ini Anita adalah menantu yang penurut. Jadi, dia sudah suka dengan Anita. "Kamu juga mabuk kan? Andai kamu nggak mabuk, pasti juga nggak kejadian kayak gini. Yang jelas Cia juga anak kamu. Udah kamu tes juga DNA-nya. Jadi, apa lagi? Masih mau bersikap buruk sama dia? Nih, gendong Cia! Ibu belum pernah lihat kamu gendong Cia!" sungut Tantri, menyerahkan bayi dalam gendongannya ke tangan Bagas. Bagas gelagapan menerima bayi itu. "Bu, Bu! Ini berat, Bu." "Laki-laki kok gendong bayi aja berat. Masih berat tabung gas yang setiap hari ditenteng sama Nita
Baca selengkapnya
Bab 8. Apa Yang Dilakukan Bagas
"Duluan datang, Gas? Oh iya, panitia harus dateng duluan ketimbang tamu undangan," kekeh Iqbal.Bagas memukul pelan lengan Iqbal seraya tertawa. Dia menyembunyikan maksudnya, memang sengaja datang lebih awal bukan karena tanggung jawab menjadi panitia, tapi hanya ingin memastikan bahwa Delisa akan datang hari itu. "Kursi VIP buat donatur udah jadi disiapin, kan?" tanya Bagas pada Iqbal. Iqbal mendesah mendengar pertanyaan Bagas. "Aku nggak siapin. Apa nggak berlebihan kalo musti dikasih kursi VIP buat donatur, Gas? Nanti kerasa ada ketimpangan dalam hal ekonomi. Yang nggak jadi donatur ngerasa tersingkir." Bagas mencebik. Dia hanya bermaksud mengistimewakan Delisa, itu saja. Namun, sepertinya niat Bagas tidak terkabulkan. "Oke, nggak masalah. Asal para donatur datang. Kita juga harus menghargai sumbangan mereka. Apalagi Delisa, dia menyumbang lima puluh juta buat acara reuni ini. Itu sebuah kehormatan bagi panitia, Bal."Iqbal mengangguk-angguk. Dia juga tidak menyangka jika Deli
Baca selengkapnya
Bab 9. Tolong Keluar
Anita mendesah, berkali-kali mencoba menghubungi Bagas, tapi tidak ada sambungan. Akhirnya, dia menghubungi Wina. "Win, apa kamu lihat Mas Bagas? Dia masih di tempat reuni, kah?" tanyanya. "Aku udah pulang, Nit. Tadi pas acara udah mau kelar, aku nggak lihat Mas Bagas deh kayaknya. Sorry banget ya, Nit? Ini udah jam dua belas malam, mungkin sebentar lagi Mas Bagasmu itu pulang. Yah, mungkin dia lagi ketemu temen-temen lamanya. Siapa tau dia keasyikan? Kamu juga sih, nggak mau dateng," cerocos Wina. Anita hanya menghela napas. Dia tidak pernah menyesali keputusannya untuk tidak datang ke reuni karena sekarang dia bisa bersama sang anak dan melihat bayinya tertidur dengan tenang. "Hm, ya udah Win. Iya, paling juga dia balik sebentar lagi. Ya udah, maaf udah ganggu kamu. Met istirahat ya, Win?" ucap Anita mengakhiri panggilannya. Meski begitu, dia masih belum bisa memejamkan mata. Sampai kantuk menyerangnya di jam dua pagi setelah menyusui bayinya. Mungkin Anita tidak tahu bahwa pe
Baca selengkapnya
Bab 10. Satu Bulan Berlalu
Tiga bulan usia Cia hari ini, bayi itu makin pintar karena Anita menstimulasi bayinya dengan baik. Walau hati Anita tidak baik-baik saja dengan sikap suaminya yang makin parah. Pria itu jarang pulang setelah ditanyai soal malam setelah reuni. Bagas marah karena menilai Anita terlalu cerewet dengan urusan pribadinya. Sore itu, Anita sedang menyapu halaman. Seperti biasa, dia sibuk membersihkan rumah saat Cia tidur siang. Sapu lidi itu terhenti di depan dua kaki yang memakai sepatu putih bersih dengan merk yang menunjukkan kelas seseorang. Anita terhenyak melihat sepatu yang dia ketahui harganya bisa mencapai jutaan. Kedua matanya menelusuri ujung kaki hingga ke atas. Dia seorang wanita berwajah sayu, tampak sangat lelah seperti ada yang dia pikirkan dengan berat. Meski begitu, tidak mengurangi kecantikannya. Kulitnya putih terawat, kedua matanya berwarna hazel dengan bibir yang berwarna pink alami. Wanita itu masih tampak cantik meski rambut gelombangnya tergerai acak. Anita mencoba
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status