Share

Bab 7

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-16 09:34:27

Benda persegi panjang dengan layar menyala menampilkan gambar-gambar design milik Rani. Tercatat ratusan design yang telah mendapat persetujuan perusahaan. Design-design itu rencananya akan dibuat bahan meeting dan pengajuan kerja sama. Rani segera menyimpan semua file pada flashdisk yang telah disiapkan sejak dari Jakarta.

"Mbak, enggak tidur?" Fita yang sudah merebahkan diri sejak tadi, kini membuka mata lagi karena merasakan tenggorokan yang kering. Gadis itu pun segera bangkit dan berjalan sempoyongan bak orang mabuk menuju tempat air minum.

"Aku enggak bisa tidur, Fit." Masih dengan tatapan pada laptop, Rani menjawab. Tangannya masih menari di atas keyboard, lalu Fita ikut duduk di sebelahnya. Memahami setiap perkataan Rani agar ia tidak kagok besok.

*

Semburat mentari pagi membuat dua raga melangkah cepat. Mondar-mandir mencari pakaian dan menata berkas, mereka terlihat kalang kabut meski semalam sudah disiapkan, tetapi mereka tak ingin ada satu pun yang tertinggal. Mereka harus siap sebelum jam tujuh pagi, karena konon klien mereka adalah orang yang tak bisa menunggu.

Siap dengan segala penampilan dan bahan meeting, Rani dan Fita bergiliran keluar dari kamar hotel. Blazer hitam dan jilbab senada membuat Rani terlihat cantik. Ia mengetuk pintu kamar Arfan dan tak lama setelah itu pria berwajah manis dengan lesung di pipi itu keluar. Senyum menawan pun tersaji bak seorang pangeran.

Disusul di belakang mereka, Fatih dengan sorot mata tajam siap menyambar mengikuti dari belakang. Bibirnya yang semu kemerahan membuat sedikit perhatian Rani tertuju padanya. Namun, begitu Fatih menyadari bahwa gadis itu menatapnya ia semakin bangga diri.

"Tidak usah heran, aku memang terlahir tampan. Buruan jalan!" Fatih melukis seringai tipis.

Sontak ucapannya tadi membuat Rani mendengkus kesal. Sikap Fatih memang berlebihan. Tabiat yang memang melekat padanya adalah kesombongan.

Mereka memasuki ruang meeting yang disewa dalam hotel tersebut. Dipimpin oleh seorang Fatih yang terlihat gagah tetapi tak main-main jika mengambil keputusan. Fatih berencana mengeluarkan dana besar untuk kerja sama dengan klien di Bali.

Rani dan Arfan selaku penasihat belum memberikan komentar, sebab mereka paham betul jawaban apa yang akan didapat jika berhadapan dengan putra kedua dari Bramantyo Airlangga Nabhan itu.

Setelan semua tanda tangan dan keluar ruangan, Arfan dan Rani sengaja tertinggal. Mereka mendiskusikan keputusan Fatih. Haruskah menghubungi direktur utama mereka atau semua yang Fatih lakukan sudah mendapat persetujuan Bramantyo.

"Menurutmu gimana, Ran?" Arfan menatap dengan senyum mengembang.

"Enggak usah ngeliat aku dengan begitu kali, Mas. Jengah aku!" Rani tertawa, menutup wajahnya segera.

"Ngapain malu? Orang aku cuman ngeliat aja, bukan mau bikin kamu malu." Arfan ikut tertawa.

"Menurut aku, kita ikuti saja permainan Fatih. Jika perusahaan mengalami kerugian, toh, dia yang mengambil keputusan tanpa berunding sama kita." Rani menatap jauh, ia menimbang ucapannya lagi. "Tapi, kasihan juga nanti kalau ada apa-apa. Apa kita bicarakan sama dia lagi?”

"Menurutku jawaban pertama itu lebih tepat. Kalau ada apa-apa, dia sendiri yang akan menanggung. Dia itu tidak bisa dikasih tau."

Rani mengangguk.

Dari balik dinding, sebuah kepalan tangan membentur dengan keras. Namun, tak sampai terdengar oleh dua anak manusia yang tengah membicarakannya di dalam. Mereka telah menertawakannya.

Semua urusan di sana telah mendapat kata sepakat, artinya semua telah finis atau selesai.. Sore itu, Fita pulang lebih dulu karena sebuah urusan keluarga, sementara Rani tertinggal dengan dua lelaki di sana. Sebelum pulang, Arfan mengajak Rani untuk jalan-jalan menikmati alam yang membentang di hadapan mata.

Di sekitar pinggiran pantai, terdapat penjual beraneka buah tangan dan pernak-pernik. Satu sentuhan tangan Arfan memegang sebuah liontin. Pemuda itu tak bertanya harga dan ia segera meminta penjualnya menotal belanjaan.

"Untukmu," kata Arfan. Ia mengalungkan langsung pada leher gadis itu.

Tiba-tiba Fatih datang dan langsung menarik liontin tersebut hingga putus. Bibir mengatup rapat dengan tangan melempar liontin tadi ke sembarang arah. Dua lelaki itu saling beradu pandang dan siap melayangkan amarah meski mereka di depan umum.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Yang Kucampakkan   End

    "Mamaaaa!" Fatih berteriak kencang sampai semua orang yang ada di sana menoleh padanya. Sementara itu, Rani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua orang melihat kejadian kecelakaan itu. Dengan suasana yang ramai itu, semua orang berhamburan mendekati wanita yang tadinya terpental karena tertabrak kendaraan. "Mama!""Mah!""Maaah!" Fatih mengguncang-guncangkan lengan mamanya. Dengan wajah penuh air mata itu, ia ingin sekali menggendong mamanya dan membawa masuk ke dalam rumah sakit. Namun apa daya, ia tak kuasa karena semua persendian terasa ngilu dan tak kuat karena melihat darah bersimbah di kepala wanita itu. "Mah! Mama dengan suara Fatih, kan?" Melania masih bisa membuka matanya. Bibirnya yang terasa kaku itu kini bergetar. "Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari lisan Melania. Ia pun lantas memejamkan matanya karena nyawa telah tiada. Fatih berteriak memanggil karena histeris. Beberapa orang langsung membantunya mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke ge

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 54

    "Hallo, Mah?" Fatih menerima panggilan dari nomor mamanya malam itu."Datanglah ke sini, Fatih! Mama sedang sakit. Enggak ada orang di rumah Mama." Suara serak itu membuat Fatih panik. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah mamanya. Yang melahirkannya. "Mama di rumah Mama sendiri?" tanya Fatih seraya melirik ke samping, pada Rani yang sudah terlelap dengan pakaiannya tidurnya. Fatih tak tega membangunkan Rani, masih mendengarkan cerita dari wanita di seberang sana. Dengan segala pertimbangan, akhirnya fatih berangkat juga. Ia menarik jaket hitamnya lalu pergi setelah mencium kening istrinya. Hujan lebat malam itu Fatih terobos dengan mobilnya. Ia buru-buru karena tak ingin mamanya kenapa-kenapa. Fatih memutar kemudinya memasuki halaman rumah mamanya yang terlihat sepi sekali. Satpam pun tak ada di sana. Ia harus membuka pagar sendiri, sampai pakaiannya setengah basah. Fatih kembali masuk ke dalam mobil dan masuk ke halaman. Lelaki itu mulai berlari ke dalam rumah yang tak terkunci i

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 53

    Fatih berjalan bersama Rani pagi itu lorong kantor. Mereka tampak semringah karena kisah mereka kembali dimulai. Fatih tak mau melepaskan tangan Rani selama mereka berjalan. Senyum di bibir tiada henti menatap sang kekasih. "Fatih, aku harus ke ruanganku sendiri." Rani menghentikan langkahnya. "Iya, aku tau. Kita juga sudah sampai di depan ruanganmu. Jangan lupa, kiss dulu." Fatih tertawa. "Malu. Kita kan lagi di kantor. Bukan di rumah.""Yah, padahal aku sangat ingin.""Tadi pagi kan sudah." Rani tersipu malu. "Lagi." Fatih tertawa lagi. Tak lama saat mereka ingin berpisah ruangan, tiba-tiba muncul seorang wanita berwajah tegas melangkah mendekati mereka. Rani pun segera mundur dua langkah karena menghormati wanita bernama Melania itu. "Mama ...." Fatih bergumam."Fatih, Mama mau bicara sebentar. Bisa?" Melania menyentuh lengan putranya. Ia tak mau menoleh pada Rani sama sekali. "Bisa, Mah." Fatih beralih pada Rani yang masih membisu di dekatnya itu. Rani pun mengangguk sebaga

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 52

    Sepekan sudah Fatih dirawat di rumah sakit, ia sudah tak mau lagi di sana karena merasa bosan. Apalagi Rani sering meninggalkannya karena harus ke kantor. Pagi ini, pria itu meminta papanya untuk membawanya pulang. "Pah, aku sudah enggak apa-apa. Tinggal kakiku saja yang masih belum bisa maksimal," ujarnya. "Iya-iya. Nanti Papa bilang sama dokter. Tapi kamu harus janji, jangan buat Rani sedih lagi." Bram tertawa. "Papa enggak percayaan banget sama aku. Aku sudah tobat, Pah. Aku tau, aku salah sejak awal." Hampir saja ia tersulut emosi lagi karena Bram. "Iya-iya, Fatih. Papa hanya bercanda. Tapi Rani hari ini ada perwakilan di tempat lain dari perusahaan kita. Dia pasti tidak bisa datang ke sini. Dia Papa mintai tolong karena enggak ada lagi yang bisa membantu. Papa hanya percaya dengan dia.""Tapi, bukannya dia kerja di tempat Roy?" Kening Fatih terlihat karena merasa heran. "Iya, tapi ini kan mendadak. Tidak bisa lagi ditunda. Makanya, habis ini kamu harus bilang makasih sama di

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 51

    "Fatih, jangan! Kamu mau apa?" Rani berusaha bangun, tetapi Fatih selalu mencegahnya. "Aku hanya ingin rujuk, Ran. Aku mau kita bersama lagi." Fatih menatapnya lekat. "Fatih, jangan memaksaku! Aku sudah tidak bisa bersama kamu lagi.""Kenapa?" Fatih membalas tatapan sendu mantan istrinya. Rani menggeleng lalu ia bangkit dan menjauh dari mantan suaminya itu. Fatih menarik tangan Rani yang hendak keluar. "Aku menyesal, Ran. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku melakukan itu semua karena ... tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku termakan oleh api cemburu.""Aku sudah pernah mendengar kalimat ini darimu dulu, Fatih. Maaf, sekarang aku tidak bisa lagi memberikan kesempatan ketiga. Dan selanjutnya, kita jalani saja hidup kita sendiri-sendiri.""Ran, tolonglah! Aku sudah meninggalkan semuanya. Semua apa yang pernah papa berikan. Demi kamu, Ran.""Sayang sekali, Fatih. Hatiku sudah mati. Dan juga sedang tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun." Rani kembali memuta

  • Istri Yang Kucampakkan   Bab 50

    "Bisa aja kamu, Roy." Rani menunduk sambil tertawa. Mereka berdua berjalan melewati lorong dan setiap pintu yang tertutup. Sambil mengobrol kenapa Roy pindah dari perusahaan Bram, mereka berdua memasuki lift dan berniat pergi meeting dengan mobil yang sama. Sampai di lantai bawah, ketika Rani baru saja membuka pintu mobil Roy, tiba-tiba seorang pria mencegahnya. Menutup pintu mobil itu di depan Rani. Sontak kedua mata Rani melebar melihat Fatih datang dengan mengejutkan. Fatih menutup pintu mobil lalu menarik tangan Rani agar mendekat padanya. "Fatih!" Rani ternganga. "Ran, please ikut aku!" Fatih terus menarik tangan Rani. Akan tetapi, Rani tidak mau. Gadis itu menarik tangannya lagi agar terlepas dari Fatih. Roy yang melihat kejadian itu pun langsung berlari mengejar mereka. "Fatih!" panggil Roy lalu ketika ia sampai di dekat dua orang itu, Roy melepas tangan Fatih dan Rani. "Fat, kamu jangan memaksanya. Kasian dia. Sadarlah, kalian sudah pisah.""Roy, tolong! Aku mau bicara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status