Share

Pernikahan

Author: Nona Kirei
last update Last Updated: 2021-04-26 11:17:41
Wajah dan rambut Naila terlihat basah oleh air hujan. Andri menatap lekat wajah cantik bahkan terlihat seksi. Wajah tirus, kulit putih, bibir tipis merah muda dan hidung yang mancung, menurutnya sempurna untuk seorang wanita. 

Ah, kalau saja dia itu pacarku, batin Andri yang semakin terpesona. 

"Kamu liatin apa?" Tiba-tiba saja suara Naila menyadarkan Andri.

"Eh, nggak ada. Maaf." Andri terlihat malau ketika kepergok oleh Naila. 

Naila tersenyum. 

Senyumnya sungguh manis, ya Tuhan, tolong, jerit hati Andri yang semakin terpesona. 

"Makasih, ya, Kak."

"Untuk apa?"

"Kakak sudah melindungiku dari hujan oleh payung yang Kakak bawa."

"Oh, gak papa. Nai, kita belum berkenalan," ujar Andri sembari mengulurkan tangan. "Andri," ucapnya. 

"Aku Naila, Kak. Salam kenal." 

"Nama yang cantik, sesuai dengan wajahnya."

"Apa?"

Astaga! Bibirku berkata apa tadi? Batin Andri terperanjat. 

"Enggak, enggak papa kok. Oh iya gimana di kampus? Betah?" Andri mengalihkan pembicaraan. 

"Betah kok, Kak. Aku senang kuliah di kampus itu karena memang keinginanku untuk meneruskan jenjang perguruan tinggi di sana."

"Em ... baguslah. Semoga betah."

Naila dan Andri mengobrol banyak hal, gadis itu seolah menemukan sosok baru yang membuat hatinya nyaman. Walau jauh dari lubuk hatinya, Naila masih berharap Radit kembali padanya.

Hujan pun mulai reda. Andri dan Naila menuju gerbang TPU, tepat di depan gerbang, Naila berpisah dengan Andri. Gadis itu masuk dalam mobilnya, sedangkan Andri menaiki tunggangan motor gede kesayangannya. 

"Bye Naila, sampai ketemu esok di kampus," ujar Andri sambil melambaikan tangan kemudian melesat pergi. 

Naila melesatkan mobilnya dengan kecepatan sedang. Menembus jalan beraspal yang cukup licin karena terpaan air hujan. Naila kembali teringat akan perjodohannya dengan lelaki yang hampir seusia Papanya. 

Berarti nanti sama aja aku menikah dengan Om-om? Batin Naila kemudian bergidik kala membayangkan raut wajah yang mungkin tidak jauh dari sang Ayah. 

"Ya Tuhan, tidak ada lelaki yang lebih muda dari Om Bram, kah? Katanya, seseorang itu akan berjodoh dengan orang yang sama dengan kita? Lalu, apa kesamaanku dengan Om Bram?"

Naila terus menyanggah dengan kenyataan yang akan terjadi padanya. Ia masih berharap akan berjodoh dengan Radit, kekasih hatinya yang mungkin ada di London untuk meneruskan kuliah. 

"Dit, bisakah aku hidup tanpamu?"

Hingga tidak terasa, mobil yang melesat cukup kencang itu kini telah terparkir di depan rumah mewah dan megah. Naila membuka pintu, kaki putihnya kini terlihat melangkah masuk ke rumah. Di sana sudah ada Rudi dan Riyanti yang sudah menunggunya di sofa ruang tamu setelah seharian Rudi mencarinya. 

"Kamu dari mana saja, Nai?" tanya Rudi dengan wajah khawatir. 

"Nai--Nai dari pusara Ibu, Yah," jawab Naila bergetar. Ia terlalu takut Ayahnya akan marah. 

Rudi mengangguk, "Duduk sini, Nai," titahnya. 

Naila pun mendekat, dengan kaki yang ragu. Kini ia duduk tepat di samping Rudi. Wajah Rudi dan Riyanti kini terlihat serius, tidak ada lengkungan pada bibir itu yang dapat menenangkan hatinya. Yang ada justru kegelisahan pada wajah rudi kala ia hendak bercerita.

Tangan Rudi kini mendarat di kepala Naila, dengan lembut, ia mengusap rambut yang cukup basah. 

"Dalam waktu dekat, kamu akan menikah." Kata-kata Rudi bak runcingnya anak panah yang menghujam jantung. 

Naila hanya bisa diam, mematung dengan segala sanggahan yang ada di dalam hatinya. Air mata kini telah berkumpul di sudut mata, ia tidak terima dengan keputusan Ayahnya. 

Tetapi, aku bisa apa? Batin Naila pasrah. 

"Ikut Tante, yuk," ajak Riyanti lembut. 

Tanpa bisa protes, kaki Naila mengikuti langkah Riyanti yang masuk ke kamar. Naila duduk di ujung ranjang king size milik ayah dan juga Riyanti. Ranjang yang dulu dipakai oleh almarhum sang ibu. 

"ini, cobalah." Riyanti memberikan kebaya putih yang ia ambil dari dalam lemari. 

"Apa ini?" tanya Naila yang sesungguhnya tahu itu merupakan kebaya berwarna putih. 

"Kebaya."

"Maksud Nai untuk apa, Tante?" 

"Untuk pernikahanmu yang akan digelar esok hari," ujar Riyanti yang menghancurkan segala asa yang Naila punya. 

Naila menunduk di tepi ranjang, bulir sebening kristal kini terjatuh di pangkuannya. Tangan lembut Riyanti kini mengusap pucuk kepala Naila. Sebagai seorang wanita, ia pun dapat merasakan kepedihan hati Naila. Walau ini terjadi atas campur tangannya. Ia  menyesal. 

"Sabar, ya, Nai. Maafin Tante, maafin Ayahmu yang telah menjodohkanmu dengan Bram," ucap Riyanti yang terus mengusap rambut Naila. 

Naila mematung, hatinya kini hancur lebur dengan kenyataan yang akan ia jalani, dimana masa mudanya harus berakhir dengan status perkawinannya dengan seorang duda kaya yang berusia tidak jauh dari Ayahnya. 

"Mbak Nindi, maafin aku yang justru membuat putrimu sedih seperti saat ini." Rianti terus menyalahkan dirinya dan membawa nama ibu kandung dari Naila, ia merasa gagal menjadi ibu sambung untuk Naila. 

"Sudah, Tan. Mungkin ini jalan hidup Naila, Naila coba terima," lirihnya yang membuat Riyanti semakin merasa bersalah. 

"Maafin Tante, Nai. Maafin Tante." Riyanti mendekap erat tubuh gadis yang dulu pernah ia sia-siakan. 

Riyanti tidak menyangka bahwa hati Naila begitu luas, ia memaafkan segala kesalahannya di masa lalu. Riyanti merupakan wanita yang merebut ayah dalam hidup Naila. Ia juga yang membuat ibu Naila meninggal terkena serangan jantung kala mengetahui perselingkuhan Rudi dengan dirinya. Namun, tidak ada dendam pada gadis belia yang tumbuh cantik itu. Ia selalu memaafkan kesalahan Riyanti dan itu yang membuat Riyanti merasa malu dan menyesal. 

"Andai saja ada cara untuk membatalkan pernikahan kalian, Tante adalah orang pertama yang akan menggagalkannya, tapi maaf Nai, yang dapat membatalkannya hanya dengan sejumlah uang dan kami tidak memilikinya," ujar Riyanti yang merasa bersalah. "Tante bodoh, Nai!" Sambil memukuli pipinya. 

"Sudah, Tan. Ini sudah suratan takdir, jangan lagi menyalahkan diri Tante." Naila menghalangi tangan Riyanti yang hendak memukul pipinya sendiri. 

Sungguh, Riyanti merasa sangat malu. Ia merasa tidak mempunyai harga diri di depan anak tirinya. 

***

Akhirnya pernikahan itu pun datang tanpa ada pertemuan terlebih dahulu. Ini kali pertama mereka bertemu. Di sana sudah ada Bram yang gagah dengan setelan kemeja putih dan dasi yang didobel dengan jas berwarna hitam. Dengan gaya rambut soft side parting yang membuatnya terlihat rapi tetapi tetap trendy di usia yang tak lagi muda bagi Naila. Dengan degup dada yang makin mengencang kala ia harus bersanding di samping lelaki itu. 

Wajah tampan dengan jambang tipis yang menghiasi pipi lelaki yang berstatus duda itu memiliki kharismatik tersendiri. Hidung mancung dan bibir yang agak tebal kini terlihat oleh sudut mata Naila, ia tidak berani menatap langsung lelaki yang hendak menjadi suaminya, tatapan mata Bram bak elang yang siap menerkamnya. 

Sementara Bram malah asyik memandang wajah cantik Naila, ia tidak menyangka Naila lebih cantik dari foto yang pernah ia lihat. Jantungnya berpacu lebih kencang kala melihat lirikan mata Naila. 

Indah sekali matamu, batin Bram kala menatap wajah cantik itu di balik kerudung transparan yang menyembunyikan wajah Naila dengan riasan pengantin yang tidak terlalu tebal, membuatnya semakin terlihat cantik natural. 

Acara ijab pun dimulai, penghulu mulai menyebutkan doa dan ikrar untuk meresmikan pernikahan Bram dan Naila. 

"Saya terima nikah dan kawinnya Naila Pratama binti Rudi Pratama dengan mas kawin tersebut, tunai!" Ikrar itu terucap dengan mantap tanpa grogi sedikitpun, mungkin karena Bram pernah menikah sebelumnya yang menjadikan pengucapannya lancar. 

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"SAH!!!" Terucap dari para saksi dan yang mendatangi pernikahan mereka di sebuah masjid di kota itu. 

"Selamat, ya, Bram!" Beberapa rekan bisnis dari kantor Rudi memberikan selamat padanya tetapi, tidak ada satu pun rekan kerja di kantornya yang datang, termasuk ian, sahabatnya, karena Bram menyembunyikan pernikahannya itu. 

Setelah semuanya membubarkan diri, kini menyisakan Naila, Bram, Rudi dan Riyanti. 

"Papa mertua, apakah anda tidak ingin memberikan semangat pada pasangan pengantin yang telah 'sah' ini?" ujar Bram yang melingkarkan Tangannya di pinggang Naila. Sementara Naila terlihat risih ketika tangan lelaki itu melingkar. 

"Selamat!" ujar Rudi dengan pandangan yang berpaling. 

"Papa mertua, kalau mendoakan itu yang ikhlas biar dapat pahala dan kami berdua bahagia. Iya enggak, istriku?" ujar Bram sambil menatap Naila. 

Naila hanya merunduk, setelah sepasang matanya melihat Bram yang kini menjadi suaminya. 

"Sekarang pernikahannya sudah selesai, kan?" tanya Rudi pada Bram. 

Bram mengangguk yang disertai senyum menyeringai yang membuat Naila menjadi takut. 

"Ayo, Nai. Ikut Ayah pulang!" Rudi menarik tangan Naila. Namun Bram menahannya. 

"Hey, Papa mertua sudah lupa, kah? Bahwa seorang anak yang telah menikah itu menjadi kewajiban sang suami? Maaf, Papa mertua. Putrimu sekarang harus ikut pulang denganku!" gertak Bram yang membuat Rudi tak dapat berkutik. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Yang Tersakiti   Ranjang Membara

    "Halo Pak, saya ingin membuat laporan. Tolong tangkap orang ini yang sudah melakukan penganiayaan dan percobaan pemerkosaan terhadap istri saya. Posisi kami ada di Jalan Kenanga nomor 30," ujar Bram dalam sambungan ponselnya. Ponsel itu kemudian ditutup dan Bram meletakkan ponselnya di meja, tepatnya ada di samping Naila. Bram mengusap lembut pucuk kepala sang istri, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah menyesal. Menyesal karena dia tidak mempercayai ucapan dari istrinya, dia terlalu percaya dengan apa yang dilihat oleh matanya. Naila masih terdiam, Bram menggendong tubuh gadis itu kemudian memasukannya dalam mobil. Cukup lama Bram menunggu pihak polisi datang. Hingga akhirnya satu mobil bersirine lengkap dengan beberapa lelaki berpakaian gagah keluar dari mobil. "Siang, Pak. Apa Bapak yang tadi mengisi laporan dalam sambungan telepon?" ujar salah seorang dari mobil bers

  • Istri Yang Tersakiti   Trauma

    Bel rumah berbunyi.Asisten rumah tangganya pun segera berlari ke pintu depan. Di rumah sepi, hanya ada asisten rumah tangga Bram. Sedangkan Naila dan sopir pribadinya sudah berangkat setengah jam yang lalu untuk menemui Bram.Pintu terbuka.Mata asisten rumah tangga itu membulat, seperti terhipnotis dirinya hanya mematung dan untuk mengucap satu kata pun bibirnya terasa kelu."Bibi kenapa?" ujar Bram sambil melambaikan tangan tepat di depan wajah asisten rumah tangganya."Tu-tuan Bram?" katanya dengan nada terbata."Iya, ini saya, Bram. Bibi kenapa, sih? Seperti melihat setan saja," ujar Bram yang merasa heran ketika melihat asistennya."Bu-bukannya Tu-Tuan Bram Kecela-kaan?" kata yang semakin terbata terucap dari bibir pembantunya."Wh

  • Istri Yang Tersakiti   Kecelakaan

    Timbul kecemasan pada Naila karena hingga jam sebelas siang, suaminya belum juga pulang. Dia mulai menghubungi Bram tapi sayang ponselnya tidak aktif. Gadis itu mulai membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Tiba-tiba saja Naila mendengar deru mesin mobil yang memasuki halaman rumah yang luas dengan rumput yang hijau. Wanita itu berlari ke arah jendela, dia melihat kalau suaminya sudah sampai di rumah. Dengan perasaan senang, gadis itu meraih cincin yang ada dalam sebuah kotak merah, kemudian berlari untuk menemui Bram. "Om Bram?" sapa Naila dengan senyum manis dan binar mata bahagia. "Kenapa kamu?" tanya Bram ketus. "Mari, kita makan, Om. Pasti Om Bram belum sarapan, kan?" Naila masih bersikap manis walau Bram masih ketus dan sombong. Lelaki itu pun berjalan berdampingan denga

  • Istri Yang Tersakiti   Club Malam

    Bram menghabiskan malam di club, kerlap-kerlip lampu dalam ruangan gelap memberikan kesan ceria walau tidak dengan hatinya. Dentum musik yang kuat mengalihkan perasaan Bram yang kini telah kalut. Dia masih mengira kalau Naila berselingkuh, sama seperti mantan kekasihnya.Satu gelas minuman beralkohol larut membasahi kerongkongannya yang haus karena luapan emosi yang mendalam. Gelas demi gelas alkohol kini telah menguasai tubuh dan pikirannya. Bram kini sudah tidak sadarkan diri, bahkan ketika club hendak tutup, Bram masih sulit untuk meninggalkan tempat itu, walaupun beberapa kali pelayan di sana telah menyuruhnya pulang."Rese banget sih, ni orang!" keluh salah satu pelayan club."Sabar, dia memang sering seperti ini. Kita coba tunggu saja dulu sambil menunggu waktu tutup club," ujar pelayan yang sudah mengetahui kebiasaan Bram.Mereka tidak berani kasar terhadap Bram, karena lelaki in

  • Istri Yang Tersakiti   Masa Lalu

    "Kenapa aku di sini?"Naila yang heran ketika dia terbangun sudah ada di tempat tidur. Matahari pun telah bersinar cerah, tetapi tidak dengan Naila. Gadis itu belum menjelaskan inti permasalahan itu pada suaminya.Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan terlihat sesosok pria bermata elang. Sorot mata tajam yang terkadang membuat Naila merasa takut. "Om Bram?" gumamnya kala lelaki itu mendekatinya."Apa yang kamu mau katakan padaku? Hingga kamu rela tidur terduduk di sofa seperti itu, hah?" tanya Bram yang kini duduk di tepi ranjang."Em, itu--masalah kemarin, Om salah paham," ujar Naila."Salah paham gimana?""Sebenarnya aku--" Kata itu terputus saat dering ponsel Bram berbunyi."Sebentar," ujar lelaki itu kemudian meraih ponsel yang ada di nakas.

  • Istri Yang Tersakiti   Salah Paham

    Baru juga beberapa detik Bram menyaksikan tangan Naila digenggam laki-laki lain, dia sudah terbakar cemburu. Dia langsung tancap gas, melesat meninggalkan Naila."Aargghh! Sialan! Ternyata kelakuan dia seperti itu di belakangku!" umpatnya sambil memukul stir mobil, "sial, sial, siaaall!!!"Dengan kecepatan tinggi, Bram melesatkan mobilnya menuju rumah. Hatinya sungguh geram ketika melihat Naila. Baru digenggam saja, Bram sudah marah seperti itu. Bagaimana kalau dirinya menjadi Naila? Bram tidak berpikir kalau dirinya pun bersikap seperti itu, bahkan sangat jauh dari itu. Bram sudah tidur dengan perempuan lain dan bukan hanya satu. Apa dia tidak bisa memposisikan dirinya sebagai Naila?Sesampainya di apartemen, Bram langsung masuk ke kamar lalu membanting pintu dengan kasar. Tubuh jangkungnya kini sudah terhempas di ranjang. "Aarrgghhhh!"Bram berusaha memejamkan mata, tetapi lelaki itu tidak dapat tidur. Bagaimana bisa, yang ada dalam pikira

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status