Share

Pernikahan

Wajah dan rambut Naila terlihat basah oleh air hujan. Andri menatap lekat wajah cantik bahkan terlihat seksi. Wajah tirus, kulit putih, bibir tipis merah muda dan hidung yang mancung, menurutnya sempurna untuk seorang wanita. 

Ah, kalau saja dia itu pacarku, batin Andri yang semakin terpesona. 

"Kamu liatin apa?" Tiba-tiba saja suara Naila menyadarkan Andri.

"Eh, nggak ada. Maaf." Andri terlihat malau ketika kepergok oleh Naila. 

Naila tersenyum. 

Senyumnya sungguh manis, ya Tuhan, tolong, jerit hati Andri yang semakin terpesona. 

"Makasih, ya, Kak."

"Untuk apa?"

"Kakak sudah melindungiku dari hujan oleh payung yang Kakak bawa."

"Oh, gak papa. Nai, kita belum berkenalan," ujar Andri sembari mengulurkan tangan. "Andri," ucapnya. 

"Aku Naila, Kak. Salam kenal." 

"Nama yang cantik, sesuai dengan wajahnya."

"Apa?"

Astaga! Bibirku berkata apa tadi? Batin Andri terperanjat. 

"Enggak, enggak papa kok. Oh iya gimana di kampus? Betah?" Andri mengalihkan pembicaraan. 

"Betah kok, Kak. Aku senang kuliah di kampus itu karena memang keinginanku untuk meneruskan jenjang perguruan tinggi di sana."

"Em ... baguslah. Semoga betah."

Naila dan Andri mengobrol banyak hal, gadis itu seolah menemukan sosok baru yang membuat hatinya nyaman. Walau jauh dari lubuk hatinya, Naila masih berharap Radit kembali padanya.

Hujan pun mulai reda. Andri dan Naila menuju gerbang TPU, tepat di depan gerbang, Naila berpisah dengan Andri. Gadis itu masuk dalam mobilnya, sedangkan Andri menaiki tunggangan motor gede kesayangannya. 

"Bye Naila, sampai ketemu esok di kampus," ujar Andri sambil melambaikan tangan kemudian melesat pergi. 

Naila melesatkan mobilnya dengan kecepatan sedang. Menembus jalan beraspal yang cukup licin karena terpaan air hujan. Naila kembali teringat akan perjodohannya dengan lelaki yang hampir seusia Papanya. 

Berarti nanti sama aja aku menikah dengan Om-om? Batin Naila kemudian bergidik kala membayangkan raut wajah yang mungkin tidak jauh dari sang Ayah. 

"Ya Tuhan, tidak ada lelaki yang lebih muda dari Om Bram, kah? Katanya, seseorang itu akan berjodoh dengan orang yang sama dengan kita? Lalu, apa kesamaanku dengan Om Bram?"

Naila terus menyanggah dengan kenyataan yang akan terjadi padanya. Ia masih berharap akan berjodoh dengan Radit, kekasih hatinya yang mungkin ada di London untuk meneruskan kuliah. 

"Dit, bisakah aku hidup tanpamu?"

Hingga tidak terasa, mobil yang melesat cukup kencang itu kini telah terparkir di depan rumah mewah dan megah. Naila membuka pintu, kaki putihnya kini terlihat melangkah masuk ke rumah. Di sana sudah ada Rudi dan Riyanti yang sudah menunggunya di sofa ruang tamu setelah seharian Rudi mencarinya. 

"Kamu dari mana saja, Nai?" tanya Rudi dengan wajah khawatir. 

"Nai--Nai dari pusara Ibu, Yah," jawab Naila bergetar. Ia terlalu takut Ayahnya akan marah. 

Rudi mengangguk, "Duduk sini, Nai," titahnya. 

Naila pun mendekat, dengan kaki yang ragu. Kini ia duduk tepat di samping Rudi. Wajah Rudi dan Riyanti kini terlihat serius, tidak ada lengkungan pada bibir itu yang dapat menenangkan hatinya. Yang ada justru kegelisahan pada wajah rudi kala ia hendak bercerita.

Tangan Rudi kini mendarat di kepala Naila, dengan lembut, ia mengusap rambut yang cukup basah. 

"Dalam waktu dekat, kamu akan menikah." Kata-kata Rudi bak runcingnya anak panah yang menghujam jantung. 

Naila hanya bisa diam, mematung dengan segala sanggahan yang ada di dalam hatinya. Air mata kini telah berkumpul di sudut mata, ia tidak terima dengan keputusan Ayahnya. 

Tetapi, aku bisa apa? Batin Naila pasrah. 

"Ikut Tante, yuk," ajak Riyanti lembut. 

Tanpa bisa protes, kaki Naila mengikuti langkah Riyanti yang masuk ke kamar. Naila duduk di ujung ranjang king size milik ayah dan juga Riyanti. Ranjang yang dulu dipakai oleh almarhum sang ibu. 

"ini, cobalah." Riyanti memberikan kebaya putih yang ia ambil dari dalam lemari. 

"Apa ini?" tanya Naila yang sesungguhnya tahu itu merupakan kebaya berwarna putih. 

"Kebaya."

"Maksud Nai untuk apa, Tante?" 

"Untuk pernikahanmu yang akan digelar esok hari," ujar Riyanti yang menghancurkan segala asa yang Naila punya. 

Naila menunduk di tepi ranjang, bulir sebening kristal kini terjatuh di pangkuannya. Tangan lembut Riyanti kini mengusap pucuk kepala Naila. Sebagai seorang wanita, ia pun dapat merasakan kepedihan hati Naila. Walau ini terjadi atas campur tangannya. Ia  menyesal. 

"Sabar, ya, Nai. Maafin Tante, maafin Ayahmu yang telah menjodohkanmu dengan Bram," ucap Riyanti yang terus mengusap rambut Naila. 

Naila mematung, hatinya kini hancur lebur dengan kenyataan yang akan ia jalani, dimana masa mudanya harus berakhir dengan status perkawinannya dengan seorang duda kaya yang berusia tidak jauh dari Ayahnya. 

"Mbak Nindi, maafin aku yang justru membuat putrimu sedih seperti saat ini." Rianti terus menyalahkan dirinya dan membawa nama ibu kandung dari Naila, ia merasa gagal menjadi ibu sambung untuk Naila. 

"Sudah, Tan. Mungkin ini jalan hidup Naila, Naila coba terima," lirihnya yang membuat Riyanti semakin merasa bersalah. 

"Maafin Tante, Nai. Maafin Tante." Riyanti mendekap erat tubuh gadis yang dulu pernah ia sia-siakan. 

Riyanti tidak menyangka bahwa hati Naila begitu luas, ia memaafkan segala kesalahannya di masa lalu. Riyanti merupakan wanita yang merebut ayah dalam hidup Naila. Ia juga yang membuat ibu Naila meninggal terkena serangan jantung kala mengetahui perselingkuhan Rudi dengan dirinya. Namun, tidak ada dendam pada gadis belia yang tumbuh cantik itu. Ia selalu memaafkan kesalahan Riyanti dan itu yang membuat Riyanti merasa malu dan menyesal. 

"Andai saja ada cara untuk membatalkan pernikahan kalian, Tante adalah orang pertama yang akan menggagalkannya, tapi maaf Nai, yang dapat membatalkannya hanya dengan sejumlah uang dan kami tidak memilikinya," ujar Riyanti yang merasa bersalah. "Tante bodoh, Nai!" Sambil memukuli pipinya. 

"Sudah, Tan. Ini sudah suratan takdir, jangan lagi menyalahkan diri Tante." Naila menghalangi tangan Riyanti yang hendak memukul pipinya sendiri. 

Sungguh, Riyanti merasa sangat malu. Ia merasa tidak mempunyai harga diri di depan anak tirinya. 

***

Akhirnya pernikahan itu pun datang tanpa ada pertemuan terlebih dahulu. Ini kali pertama mereka bertemu. Di sana sudah ada Bram yang gagah dengan setelan kemeja putih dan dasi yang didobel dengan jas berwarna hitam. Dengan gaya rambut soft side parting yang membuatnya terlihat rapi tetapi tetap trendy di usia yang tak lagi muda bagi Naila. Dengan degup dada yang makin mengencang kala ia harus bersanding di samping lelaki itu. 

Wajah tampan dengan jambang tipis yang menghiasi pipi lelaki yang berstatus duda itu memiliki kharismatik tersendiri. Hidung mancung dan bibir yang agak tebal kini terlihat oleh sudut mata Naila, ia tidak berani menatap langsung lelaki yang hendak menjadi suaminya, tatapan mata Bram bak elang yang siap menerkamnya. 

Sementara Bram malah asyik memandang wajah cantik Naila, ia tidak menyangka Naila lebih cantik dari foto yang pernah ia lihat. Jantungnya berpacu lebih kencang kala melihat lirikan mata Naila. 

Indah sekali matamu, batin Bram kala menatap wajah cantik itu di balik kerudung transparan yang menyembunyikan wajah Naila dengan riasan pengantin yang tidak terlalu tebal, membuatnya semakin terlihat cantik natural. 

Acara ijab pun dimulai, penghulu mulai menyebutkan doa dan ikrar untuk meresmikan pernikahan Bram dan Naila. 

"Saya terima nikah dan kawinnya Naila Pratama binti Rudi Pratama dengan mas kawin tersebut, tunai!" Ikrar itu terucap dengan mantap tanpa grogi sedikitpun, mungkin karena Bram pernah menikah sebelumnya yang menjadikan pengucapannya lancar. 

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"SAH!!!" Terucap dari para saksi dan yang mendatangi pernikahan mereka di sebuah masjid di kota itu. 

"Selamat, ya, Bram!" Beberapa rekan bisnis dari kantor Rudi memberikan selamat padanya tetapi, tidak ada satu pun rekan kerja di kantornya yang datang, termasuk ian, sahabatnya, karena Bram menyembunyikan pernikahannya itu. 

Setelah semuanya membubarkan diri, kini menyisakan Naila, Bram, Rudi dan Riyanti. 

"Papa mertua, apakah anda tidak ingin memberikan semangat pada pasangan pengantin yang telah 'sah' ini?" ujar Bram yang melingkarkan Tangannya di pinggang Naila. Sementara Naila terlihat risih ketika tangan lelaki itu melingkar. 

"Selamat!" ujar Rudi dengan pandangan yang berpaling. 

"Papa mertua, kalau mendoakan itu yang ikhlas biar dapat pahala dan kami berdua bahagia. Iya enggak, istriku?" ujar Bram sambil menatap Naila. 

Naila hanya merunduk, setelah sepasang matanya melihat Bram yang kini menjadi suaminya. 

"Sekarang pernikahannya sudah selesai, kan?" tanya Rudi pada Bram. 

Bram mengangguk yang disertai senyum menyeringai yang membuat Naila menjadi takut. 

"Ayo, Nai. Ikut Ayah pulang!" Rudi menarik tangan Naila. Namun Bram menahannya. 

"Hey, Papa mertua sudah lupa, kah? Bahwa seorang anak yang telah menikah itu menjadi kewajiban sang suami? Maaf, Papa mertua. Putrimu sekarang harus ikut pulang denganku!" gertak Bram yang membuat Rudi tak dapat berkutik. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status