Abian terperangah mendengar ucapan Silvia. Sepertinya istrinya itu tidak main-main. Tiba-tiba ada rasa nyeri dan sesak di dalam. Hatinya terkoyak. Tak siap bila Silvia benar-benar meminta berpisah darinya, meski dulu ini yang dinginkan Abian. Bu Anis menarik napas dalam-dalam. Menenangkan gejolak dalam dadanya. Ditatapnya lekat-lekat manik wanita muda itu. Ingin mencari kebohongan dari sorot mata itu, tetapi tidak ada. Ada denyut tak biasa yang dirasakan wanita paruh baya itu saat menantunya mengajukan pertanyaan tersebut. Meski pernah bilang setuju apabila Silvia meminta cerai anaknya. Bukan tidak bisa memegang ucapannya, bukan. Tetapi Bu Anis tidak ingin memiliki menantu yang lainnya. Silvia ingin menyerah. Bukan karena merasa kalah. Namun, tidak ingin sakit hati terlalu lama. "Apa memang sudah tidak pantas dipertahankan pernikahan kalian, Sayang?" "Apa memang sudah tidak ada kesempatan kedua, Nak?" tanya Bu Anis dengan suara yang bergetar. Ternyata "Silvia tidak tahu, Bu.""I
Wanita yang baru bangun tidur siang itu mencuri dengar pembicaraan dua pria muda di ruang tamu rumah mewah tersebut. "Selamat ya, Bian. Kamu menjadi pemenang taruhan seratus hari itu. Akhirnya kamu yang memenangkan hati Silvia. Kamu berhasil membawanya kembali." Tubuh Silvia bergetar hebat dadanya berdenyut nyeri. Badannya lunglai seketika seakan tidak ada tulang yang mampu menopangnya untuk berdiri tegak. Tubuh mungil itu pun merosot ke bawah. Syok setelah mendengar ucapan kakak iparnya. Andi.Memang, Silvia sudah mati rasa terhadap Abian. Namun, mendengar dirinya dipertaruhkan itu sangat menyakitkan.Ya, Andi sedang bertandang ke rumah Bu Anis. Kebetulan sedang ada urusan di daerah metro. Pria beranak satu itu pun menyempatkan diri ketemu Abian do rumahnya. "Aku sudah bilang, Mas. Bahwa akulah pemenangnya. Aku ini suaminya. Dia harus menjadi milikku kembali. Silakan cari perempuan lain sebagai ibu sambung Nafis. Jangan berharap mendekati Silvia." "Ya, karena harapan untuk memili
Dua tahun bukan waktu yang singkat. Namun, aku tidak bisa melupakan sosoknya begitu saja. Bahkan semakin kuat aku menepisnya rasanya pun kian menggila. Semakin menyakitkan. Mungkin semua ini ganjaran untukku. Rasa ini tidak pernah hilang setelah seseorang membawa pergi separuh jiwaku. Sampai kapan aku akan menanggung rindu yang sangat menyiksa ini? Entahlah. Aku ingin perasaan ini segera menemukan muaranya. Bertemu dengan pencuri hati."Masuk," ucapku tanpa menoleh ke arah sumber suara saat pintu ruanganku diketuk dari luar.Mataku masih menekuri layar handphone. Menatap wajah ayu yang sedang tertidur pulas. Kamu di mana? Bagaimana keadaan saat ini? Apakah kamu mempunyai perasaan yang sama seperti aku? "Maaf, Pak. Ada wanita yang ingin bertemu dengan, Bapak." Rasti — karyawanku memberi tahu setelah berdiri di hadapanku."Siapa?" tanyaku sembari mematikan handphone. "Kurang tahu, Pak." Semoga saja itu orang yang aku cari. Tapi rasanya mustahil. Ah, tidak ada yang tidak mungkin jika
"Silvia." Reflek aku memanggil namanya. Wanita itu pun menoleh ke arahku. Dia pun mematung beberapa saat sebelum membalas senyumanku."Mas." Berjalan ke arahku setelah membayar belanjaannya. Hatiku girang tidak ketulungan bisa bertemu wanita pujaan. "Bunda ternyata ada di sini. Saya cariin ke mana-mana." Seorang pria yang ada di belakangku memutuskan kontak mata kami. Spontan aku pun menoleh ke arahnya. "Maaf tidak pamit dulu," ucap Silvia. Aku seperti terhempas dari ketinggian. Setelah dibuat melayang karena bertemu dengannya kembali. Namun, seketika harus menerima kenyataan bahwa dia telah menikah lagi."Mas. Aku pamit dulu, ya. Semoga nanti bisa bertemu kembali," jelas Silvia tepat di depanku. Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Kutatap punggung wanita berjilbab lebar itu. Dadaku tiba-tiba sesak saat melihat pria yang berjalan di sampingnya. Mereka terlihat serasi. Seharusnya aku yang berjalan bersamanya. Ternyata patah hati semenyakitkan ini. Penantianku selama dua tahun ternya
Aku memang menghentikan langkah, tapi tidak menoleh ke arahnya. Takut terlihat sedang berbinar-binar. Khawatir dia menangkap basah diriku yang sedang kegirangan. "Flamboyan pintu nomor 2," jawabku sebelum kembali melanjutkan langkah. "Nanti aku akan ke sana." Aku mengangguk meski tak melihat ke arahnya. Aku sempatkan menoleh ke arah mushola sebelum mushola benar-benar tidak terlihat olehku. Tiba-tiba rasa penasaran kembali menelusup ke hatiku. Aku tidak akan bisa mendapatkan jawaban apa pun kalau tidak berbicara dengannya lagi. Aku harus segera memastikan statusnya. Sudah menikah atau masih sendiri? Setidaknya untuk pertimbangan aku agar bisa mengambil sikap setelah mengetahui kebenarannya. Aku memutar arah. Tidak jadi ke kamar ibu. Aku menuju taman yang ada di depan Mushola. Segera ku jatuhkan bobot tubuh di salah satu kursi kayu di bawah salah pohon glodokan. Ya, di taman ini tumbuh berjejer pohon glodokan. Di depan air mancur buatan. Sesekali aku mengayunkan kaki yang menginja
"Itu masalah yang saat ini sedang aku cari jalan keluarnya." Dia mengeser tempat duduk. Dari miring menjadi lurus ke depan. Pandangannya lurus ke arah air mancur."Kenapa tidak mau dengan bapaknya?" Aku semakin berani bertanya lebih jauh setelah melihat Silvia nyaman ngobrol dengan ku."Karena aku sudah memiliki kekasih hati." Aku menatapnya. Tidak ada kebohongan dari sorot matanya kali ini. Deg! Hatiku mencelos mendengarnya. "Ooh. Betapa bersyukurnya lelaki yang kamu cintai, ya. Mempunyai wanita yang setia seperti kamu." Dia hanya tersenyum dengan bibir terkatup. Kembali menyembunyikan rahasia. "Di mana dia sekarang? Kenapa kalian tidak segera menikah. Bukankah kamu sangat paham bahwa tidak boleh pacaran. Kenapa malah pacaran?" Aku akan terus mengorek informasi sebisa mungkin."Sedang sibuk sehingga belum bisa menemui dan melamar aku. Kami tidak pacaran hanya …." Aku menunggunya melanjutkan kalimatnya. Namun, dari hitungan seratus yang aku hitung mundur di dalam hati, Silvia tidak
"Saat ini kita berteman saja dulu, Mas." Silvia menatapku sekilas sebelum pandangannya ke depan."Tetapi aku ingin lebih dari sekedar teman untukmu, Via." Silvia terdiam beberapa saat. Aku menatapnya karena masih menanti jawabannya."Mas. Kita jalani hidup ini seperti air mengalir. Terserah mau seperti apa kedepannya nanti. Kalau memang masih berjodoh pasti akan ada jalan untuk menyatukan kita. Pun sebaliknya, sekalipun aku sudah menerima lamaranmu kalau memang tidak berjodoh pasti kita akan berpisah jua." Apa yang diucapkan Silvia benar. Sangat benar. Tidak jarang orang berpisah meski sudah lamaran."Lantas mengapa kamu ingin menjadi temanku?" Aku menatap air mancur di depan kami."Mas. Kita sudah pernah menjadi suami istri. Kita juga pernah menjadi saudara angkat. Sekarang aku ingin kita berteman dulu. Sejatinya kita itu tidak saling mengenal. Sehingga saat menjadi suami istri pun tidak bisa mengatasi ketidak cocokan di antara kita." "Ketidak cocokan?" Kini aku yang mengernyitkan
Beruntungnya, saat ini yang menjaga kasir sedang tidak ada di tempat. Mungkin sedang buang hajat atau sedang shalat? Ah, bodo amat. Ini kesempatan aku untuk bisa mencuri dengar pembicaraan mereka. Sehingga aku memiliki alasan untuk tetap berdiri di tempat ini. Sedang menunggu kasir. Dengan demikian aku pun bebas mendengar obrolan dua manusia dewasa yang berbeda jenis kelaminnya."Berikan saya waktu untuk bisa lebih dekat dengan Bunda," pinta pria yang sedang duduk menghadap ke arahku. Ya, mereka ngobrol di meja belakang kasir. Silvia duduk menghadap ke arah dapur kantin. Sehingga tidak melihat aku yang sedang berdiri di belakangnya. Berbeda dengan lelaki duda yang duduk di seberangnya. Pria itu menghadap ke arahku. Untungnya dia belum mengenalku. Sehingga tidak tahu kalau aku sedang menguping pembicaraan mereka."Banyak wanita yang ada di sekeliling Pak Satria. Kenapa, Bapak malah melamar saya?" Silvia mengajukan pertanyaan sembari mengaduk minumannya dalam gelas.Penjaga kasir pun t