"Sudah aku bilang, mas harus punya pekerjaan tambahan jika sudah menikah dengan aku. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tanggapan orangtuaku?"
Piring dan sendok berterbangan karena gebrakan keras di atas meja yang mewarnai satu keluarga baru di sebuah rumah kecil di Jakarta. Rumah minimalis dengan dua kamar tidur menjadi saksi atas pertengkaran yang terus menerus terjadi antara mereka. Ini sudah ketiga kalinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengejek dan menyindir tapi anehnya saling mencintai. "Aku juga kerja keras, Win. Kamu enggak lihat aku tiap hari ke luar rumah cari tambahan sana sini?" "Aku enggak mau hidup susah, mas. Pokoknya kamu harus bisa yakinkan orangtuaku kalau kita bisa hidup bahagia." Satu gebrakan lagi berhasil membuat isi meja berhamburan ke atas lantai dapur. Abi sudah menahannya, sangat menahannya. Bagaimana cara Winda memperlakukan dirinya bak pengemis setiap kali pulang. Bagaimana ketusnya Winda saat ia memberikan uang belanja setiap minggunya. Apa yang salah dengan dirinya? "Aku sudah berusaha, Winda." "Kamu enggak bisa lihat usaha teman kamu? Lihat Hadi, Kuncoro dan Bimo. Mereka punya pekerjaan yang bisa dibanggakan." Winda terlihat murka, menunjuk-nunjuk wajah Abi dengan telunjuknya hingga hampir menggores pipinya. "Kamu membandingkan aku dengan orang lain? Kamu memang tahu bagaimana mereka berjuang untuk mendapatkan pekerjaan?" balas Abi. "Kamu memang pernah tanya sama mereka bagaimana cara mereka berjuang?" Keduanya saling adu pendapat. Winda yang tak mau kalah dengan Abi meninggikan kepalanya hingga mendongak menampilkan wajah marah nan kasar seperti hendak menerkam. Sedangkan Abmbi, menantang balik istrinya dengan decihan dari bibirnya. "Mau kamu apa?" tantang Abi. "Cerai!! Aku mau kita cerai!!" tegas Winda. Beberapa tahun yang lalu, rumah kecil itu jadi saksi hancurnya kisah rumah tangga Abi dan Winda. Kisah yang dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang yang tulus harus kandas dengan ego yang menempel di salah satu sisi hati mereka. Abmbi yang saat itu baru saja merintis usahanya mendapat tekanan luar biasa dari istri dan juga keluarganya. Usahanya kacau, hutang menumpuk dan beberapa aset dijual. Ditambah dengan beban biaya yang harus ia tanggung setiap harinya dan itu sukses membuat keduanya hancur dan memilih perpisahan sebagai jalan keluarnya. "Kamu melamun lagi, Mas?" tanya Carla yang baru saja keluar dari kamar mandi. Abi mengangguk. "Memikirkan siapa? Almarhumah?" tanyanya lagi. "Apa yang salah denganku? Kenapa ibu—" Carla menautkan jari telunjuknya tepat di bibir Abi. Tak ingin suaminya melanjutkan pembicaraan yang di luar batas. "Kita ikuti saja kemauan ibu. Toh tak ada ruginya," ujar Carla. Hari ini ia ingin sekali menyesap wangi teh chamomile yang ringan. Beranjak menuju ruang makan, Carla menyeduh dua cangkir untuk dirinya dan juga Abbi suaminya. Masih dengan pikiran yang sama, pagi ini Carla lebih banyak merenungi apa yang ibu mertuanya katakan. Perihal anak dan juga masa lalu serta primbon Jawa yang masih dijaga ketat leluhur Abbi. "Kamu setuju kan, dengan keinginan ibu?" tiba-tiba suara yang tak ingin Carla dengar menggema di ruangan makan yang cukup besar ini. Carla tak menjawab. Ia masih sibuk mengaduk tehnya. "Kamu punya telinga kan?" sindiran halus telak menusuk relung hatinya. "Punya, bu." "Jawab, dong." sang ibu terlihat tak sabar menunggu jawaban Carla. Carla mengangguk pelan. Kepalanya sengaja ia naikkan sedikit agar tak perlu memandang wajah ibu mertuanya yang menatap tajam padanya. Bagaikan elang, mata itu membuat Carla takut dan ingin sekali mundur. "Nah, begitu. Nanti biar ibu saja yang bilang ke Abi." Dada Carla terasa sesak. Sangat sesak. Bagaikan dihimpit banyaknya batu karang atau tembok besar. Ingin rasanya menangis tapi sulit sekali rasanya air mata itu turun. Mata Carla memejam sesaat lalu terbuka dan tersenyum kembali. "Semoga ini hanya sementara," gumamnya. Hari ini jadwal Carla mengantar Adam ke sekolah. Tepat pukul enam pagi ia sudah bersiap dengan sedannya menuju ke sekolah anak tirinya itu. Carla berteriak pelan dari luar rumah memanggil Adam yang sedang sibuk mengikat tali sepatu. "Ayo sayang, cepat. Nanti terlambat," teriak Carla. Adam berlari dari dalam rumah sambil tersenyum manis. "Adam sudah tampan ya, ma." "Sudah sayang. Yuk, kita jalan." Carla berjalan memutar membuka pintu mobil sebelah kiri. Lalu masuk dan memakai sabuk pengaman. Dari dalam kendaraan bisa terlihat Abi yang baru saja ke luar dan masih saja berdebat dengan ibu kandungnya. Carla tak mau ambil pusing. Ia lebih baik mengantar Adam agar tidak kesiangan. "Papa berantem sama eyang," celetuk Adam. Carla menoleh sekilas. "Oh, ya? Kenapa bisa berantem?" tanya Carla berpura tak tahu. "Kata eyang, papa harus nikah lagi." tiba-tiba saja raut wajah Carla menegang mendengar kata menikah. Sejauh itukah ibu mertuanya memperlakukan dirinya? "Memangnya nikah itu apa sih?" tanya Adam polos. Anak seusia Adam memang belum paham. Ia belum siap menerima kata-kata yang menurutnya tidak awam untuk diucapkan. "Menurut Adam apa?" Carla bertanya balik. "Main. Papa disuruh main kan, sama eyang?" "Ehm, nanti kalau Adam sudah besar Adam akan mengerti. Sekarang, Adam belajar yang rajin." Carla memarkir sedan mewahnya sejenak di pelataran sekolah Adam. Ia turun dan menggandeng tangan mungil bocah kecil itu lalu mengantarnya hingga ke dalam kelas. Adam duduk paling depan. Beruntung anak itu mau. Biasanya ia hanya ingin tempat duduk yang berjauhan dengan gurunya. "Mama mau pulang?" tanya Adam. Carla mengangguk. "Hati-hati di jalan. Nanti yang jemput Adam siapa?" "Mungkin mama atau pak Asep. Kamu jangan pulang sendiri kalau belum dijemput ya," pesan Carla. Adam mengangguk. Kepala Carla sedikit menunduk saat Adam akan mencium keningnya. Anak kecil itu sangat romantis. Entah dari siapa ia belajar. Sikapnya yang manis membuat Carla berpikir ulang, apakah benar Adam anak kandung Abi? "Mama pergi dulu. Bye, Adam." Carla melambaikan tangannya pada bocah kecil itu. Adam membalasnya sebentar lalu pergi menuju teman-temannya di dalam kelas. Carla sempat tersenyum sekilas sampai akhirnya menghilang dari pintu kelas Adam. 'Hanya Adam semangat hidupku.' Di kantor, Abi yang belum melihat Carla sedetikpun menjadi kurang bersemangat mengawali hari. Ada saja yang membuat ia kesal. Perdebatan tadi pagi menyisakan banyak kesakitan dalam hatinya. Cintanya kembali diuji untuk kedua kalinya. Abi tak sabar ingin bertemu dengan Carla. Sebelum jam makan siang, ia nekat pergi ke kantor istrinya dan mengajaknya makan siang bersama. Namun, apa yang ia lihat saat ini sungguh di luar perkiraannya. Istrinya tengah berduaan dengan seseorang di dalam ruangan bersekat. "Selamat siang," sapa Abi yang masuk ke dalam ruangan Carla setelah mengetuk pintunya. Carla tersenyum menyambutnya. "Selamat siang," sahut Carla. "Hari ini kita makan siang bersama kan?" tanya Abi sambil melirik pria di samping Carla. Pria itu tak bergeming. Ia hanya menyunggingkan senyum manisnya pada Carla. "Ah, iya. Hari ini makan siang bersama. Pak Ardian, apakah ingin—" "No, aku hanya ajak kamu. Ada yang ingin aku bicarakan," putusnya. Merasa ada hal yang sangat penting, Ardian pun pamit undur diri. Ia berdiri dan memberi salam hormat pada keduanya lalu keluar ruangan dengan perasaan bercampur aduk. Niatnya mendekati Carla, hilang sudah. "Kita bicara di rumah saja." "Sekarang juga. Karena ibu minta kepastiannya sekarang." "Aku setuju."Epilog: Tak ada yang tahu bagaimana takdir berjalan. Tak ada yang tahu juga bagaimana sebuah cinta akan berakhir dengan seseorang yang dicintai atau tidak. Carla telah jatuh dan bangkit karena cinta, kini hidupnya akan kembali disatukan dengan sebuah cinta. Satu bulan setelah perceraian Abi dan Risya, kabar duka datang dari Carla yang kehilangan suami tercintanya. Setelah berjuang melawan penyakit paru-paru yang telah menggerogotinya selama lima tahun, Vian pun menyerah. Ia meninggalkan seorang anak dan istri yang masih mencintainya. Carla kira, dirinya yang akan pergi lebih dulu. Mengingat penyakitnya yang tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Ternyata tuhan masih memberikan umur panjang padanya. Setelah tiga bulan resmi menyendiri, sebuah lamaran datang kembali padanya. Kali ini, ia kembali pada cinta sejatinya yang tak mungkin bisa dilupakan. "Mama cantik sekali," puji Adam yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar rias calon ibunya. Carla memeluk anak pertamanya itu dengan erat. "Ter
Sidang putusan pengadilan akhirnya memutuskan perceraian antara Risya dan Abi. Mereka resmi berpisah dengan dikabulkannya tuntutan yang dilayangkan oleh Abi pada Risya. Perselingkuhan itu terbukti dilakukan dengan sadar dan atas kemauan mereka berdua. Risya sempat pingsan saat pembacaan putusan, walau tak lama kemudian ia sadar lalu menangis meraung-raung memikirkan nasibnya setelah ini. Abi tersenyum pedih melihat surat keputusan cerai yang telah diterimanya. Ini adalah surat ketiga yang dimilikinya. Ia tak lagi sanggup menangis, karena ini terlalu pedih. "Pa, makam mama apakah ada yang menjaganya?" Abi menoleh pada anaknya yang tengah mengemudi di sampingnya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. "Adam kangen sama mama Winda." "Papa juga. Andai waktu itu papa tidak terburu-buru menceraikan dia dan pergi begitu saja dari sisinya. Pasti kita akan jadi keluarga yang bahagia saat ini. Maafkan papa, Adam. Papa salah dan berdosa padamu dan juga mama Winda." Abi mengusap air mata yang menga
"Itu adalah anakku, aku adalah ayahnya." Suara itu menggema memecah keramaian drama yang baru saja ditunjukkan oleh Risya di depan hakim persidangan. Semua orang menatap heran pria yang baru saja masuk ke dalam ruang sidang. Risya yang tadi menangis tersedu-sedu kini hanya bisa diam. Isi kepalanya ikut menghilang seperti air mendidih yang menguap. "Dia adalah anak saya pak hakim," tunjuk Sandy, pria yang tadi memasuki ruang sidang. "Itu bohong, pak. Saya hanya melakukan itu dengan suami saya!" bantah Risya. Sandy menyeringai. "Apa perlu aku putar video mesra kita saat menghabiskan malam romantis dan panas berdua?" Huuu Terdengar suara gaduh dari saksi yang mendengar ancaman dari Sandy. Semua orang kini memandang jijik dua orang yang tengah berdebat di depan hakim persidangan. "K-kamu yang jebak aku!" "Kau—" Belum selesai Sandy bicara, hakim mengetuk palunya. "Sidang ditunda minggu dep
Mantan ibu mertuanya duduk dengan nyaman di sofa rumah Abi setelah menunggu lebih dari dua jam kepulangannya. Abi memang sengaja pulang sedikit terlambat tadi. Ia menyempatkan mengajak kedua anaknya berjalan-jalan di pasar malam melihat pertunjukan lalu makan malam sejenak dan akhirnya pulang. Abi tak mengira, mantan ibu mertuanya akan datang dan menunggunya hingga selarut ini. Lebih mengherankan lagi, mata wanita paruh baya itu terlihat sembab dan lelah. Apa yang sebenarnya akan dia katakan hingga mengorbankan waktu istirahatnya? "Ibu ke sini diantar siapa?" tanya Abi sekedar berbasa-basi. Ibu Risya tersenyum getir. Ia menarik napas panjangnya lalu menunduk sejenak. "Tadi, ibu datang bersama menantu ibu yang kebetulan akan berangkat kerja." ibu Risya menggeser posisi duduknya, sedikit mendekat pada Abi yang terdiam di tempatnya. "Kedatangan ibu ke sini, hanya ingin mengatakan sesuatu. Semoga ini akan menjadi pertimbangan dirimu untuk membatalkan rencana perceraian besok." Abi me
Hoeekk hoekkk Risya terbangun dengan kepala pening dan perut yang mual sejak matanya terbuka. Hampir setengah jam ia berjalan mondar-mandir memasuki kamar mandi hanya untuk menuntaskan rasa mualnya. Tak ada sisa makanan yang ke luar, hanya cairan bening yang meluncur dari mulutnya. "Kamu hamil?" suara sang ibu terdengar dari balik pintu kamar mandi. Tangan wanita paruh baya itu menyilang di dadanya. "Anak siapa?" Dengan kaki gemetar, Risya membalikkan tubuhnya menghadap ibunya. Ibu Risya, terkenal keras sejak dulu. Ia memang menyayangi Risya dan sering memanjakannya. Namun jika anaknya itu melakukan kesalahan, ia tak segan untuk berbuat kejam. "Kamu tuli?" bentak ibu Risya. Suara menggelegar itu membuat Risya ketakutan. "Jawab!" "I-iya. I-ini anak mas Abi," jawab Risya gemetar. Tangannya berpegangan pada sisi wastafel agar tak jatuh. Kemarin, sesudah semua orang rumah pergi, Risya diam-diam pergi membeli alat tes kehamilan di apotek. Ia mulai merasakan hal yang tak beres dengan
Dua minggu sudah Risya dikembalikan ke rumah orang tuanya, dua minggu pula Abi merasakan kedamaian di rumahnya. Berkali-kali mantan ibu mertuanya mencoba menghubungi Abi untuk membatalkan perceraian, berkali-kali pula Abi menolaknya. Abi tak ingin luluh lagi dalam jeratan rayuan Risya seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Pria yang sebentar lagi menyandang status duda untuk keempat kalinya itu termenung di pinggir ranjang. Di tangannya, ada selembar surat undangan dari pengadilan untuk sidang cerainya pertama kali. Besok, akan jadi penentuan baginya untuk hidupnya yang baru. Pintu kamar pun terbuka, Adam dan Fariska yang hari ini tengah libur masuk ke dalam kamar milik ayahnya. Abi tersenyum melihat keduanya. "Pa, hari ini kita ke kantor papa ya? Aku lagi enggak ada kelas, Ika lagi rapat guru-gurunya. Boleh kan?" tanya Adam yang dibalas anggukan oleh Abi. "Kalau gitu, Adam sama Ika tunggu di bawah." "Iya. Papa nanti nyusul. Kalian sarapan saja dulu." Kedua anak Abi itu segera