Share

Berpisah?

Author: Rachel Bee
last update Last Updated: 2024-06-02 14:34:56

"Katakan pada ibu, apa hasil tesnya? Kabar baik atau buruk?"

Malam ini tanpa di sangka, ibu datang ke rumah Abbi dengan wajah yang ditekuk tajam. Ia ternyata mengetahui jika Abi dan Carla tadi siang datang menemui dokter Din. Entah darimana ia tahu, buktinya saat ini ia sudah datang sambil meneror sepasang suami istri itu.

Napas Carla seakan tercekat, ia menahan tangisnya. Bukan karena keadaannya, tapi apa yang bisa ia lakukan setelah ibu tahu hal ini?.

"Ibu, sekarang makan malam dulu ya. Ibu kan baru saja sampai." Carla berdiri dan membujuk ibu mertuanya untuk makan malam bersama. Untung sang ibu menurut. Mungkin pikirnya, jangan tergesa-gesa jika menginginkan sebuah jawaban.

Makan malam di meja makan terasa seperti di sebuah kuburan, sunyi senyap. Bahkan Abi yang biasanya cerewet mengomentari makanan, kini berubah menjadi pendiam. Carla pun sama. Rasa ayam goreng yang biasanya enak, terasa hambar di lidah dan seakan tak bisa ia telan karena tersangkut di tenggorokan.

"Kenapa makannya sedikit? Biasanya kamu makan banyak?" ibu membuka percakapan yang terdengar sinis di telinga Carla. Apakah ini perasaannya atau memang ia benar sedang menyindir?.

"Ehhmm....nanti nambah kok bu," jelas Carla. Ia sengaja mengambil satu centong nasi lagi supaya ibu mertuanya percaya. Abi berpura-pura tak melihat ibunya. Rasanya aneh sekali jika dia ikut membela istrinya.

"Abi, ibu mau bicara empat mata sama kamu." ibu berdiri dari duduknya, lalu berkata lagi." Ibu tunggu di kamar ibu."

Mata Abi dan Carla saling melirik, memandang satu sama lain. Gelisah di wajah Carla membuat Abi berpikir sejenak, apa yang harus ia katakan pada ibunya?.

"Sayang, maaf. Aku..."

"Jujur saja, mas. Aku siap lahir batin."

"Tetap saja aku merasa bersalah. Tenang ya, aku akan membelamu di depan ibu." Abi berdiri dan segera menemui ibunya yang sudah ada di dalam kamar. Sementara Carla membereskan meja makan, sambil terus berdoa agar ibu mertuanya tak memisahkan dirinya dan Abi.

Di dalam kamar, suasananya pun tak ada bedanya dengan ruang makan tadi. Abi dan ibunya belum terlibat pembicaraan apapun. Masih saling menunggu dan berharap salah satunya akan memulainya lebih dulu.

Klikkkk...

Ibu membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih. Ibu mengambil gunting dan mulai membuka amplop tersebut. Ia mengeluarkan sebuah surat dan menyerahkannya pada Abi.

"Baca!!"

Abi meraihnya dan mulai membuka serta membaca isinya. Mula-mula Abi mengerutkan dahinya, lama kelamaan ia terlihat gelisah dan ada keringat dingin mengucur di dahinya.

"Bu, bagaimana bisa? Bu, Abi tidak percaya. Abi tidak akan melakukan hal itu. Maaf bu." Abi menutup surat dan menyerahkannya lagi pada ibunya.

Ibu hanya diam dan tampak datar melihat si bungsu yang menolak kemauannya. Dalam hati diam-diam merutuki persetujuannya dulu saat putra kesayangannya menikahi Carla.

"Itu salahmu. Dulu waktu kamu nikah sama Winda, kamu memaksa tanpa melihat penanggalan jawa. Padahal, kalian itu tidak jodoh. Nah, sekarang sama Carla pun sama. Inilah akibatnya nikah terburu nafsu. Lihat saja kejadian di rumah tangganya."

Perkataan ibu sangat pedas. Tak apalah jika Abi memilih dimarahi, daripada Carla yang tak tahu apa-apa juga ikut terbawa. Ini hidupnya, maka ia yang menentukannya.

"Maaf, bu. Tapi Abbi....."

"Abi, ibu sudah bisa menerka dari wajah kalian berdua. Pasti hasilnya tidak bagus, kan? Carla belum ada kepastian untuk hamil kan? Ya sudah, ceraikan saja. Mudah toh." mata Abi membelalak tajam mendengar perkataan kejam yang keluar dari mulut ibu yang ia cintai. Aneh, ia tak membelanya sedikit pun.

"Bu, Abi sayang sama Carla. Jangan seperti ini. Kalau pun Carla tidak punya anak, masih ada Adam. Abi tidak masalah." Abi membela Carla yang memang seharusnya ia bela. Ini bukan kesalahan mereka. Ini takdir.

"Abi, pikiran kamu kok aneh sekali. Jangan terhasut atas nama cinta. Ibu tekankan sekali lagi, ada dua pilihan yang harus kamu ambil. Cerai atau kamu nikah lagi. Karena, sisi kosong tanpa anak menyebabkan kamu akan kehilangan segalanya nanti. Camkan kata-kata ibu!" ibu berdiri. Ia melangkah keluar kamar lalu menemui Carla dan meninggalkan Abi sendiri di dalam kamarnya.

"Ibu.....aku..."

"Ibu sengaja berbicara keras tadi. Bagaimana, kamu setuju kan? Ini demi kelangsungan hidup Abi. Kamu jangan egois." Carla menunduk. Ia ingin membalas bahkan berteriak, tapi seakan mulutnya terikat jika sudah berhadapan dengan ibu mertuanya.

"Tapi, bu...."

"Tidak ada tapi-tapian. Bulan depan harus sudah dilaksanakan."

Ibu tak peduli dengan perasaan halus Carla. Ia tak peduli juga dengan pemberontakan dalam diri Carla. Ia bahkan tak mau mendengarkan apa yang tersirat dalam hasratnya.

'Hikss....hikss...'

****

Langit malam ini terasa kelam. Bintang yang berbaur jadi satu pun tak menampilkan keindahan di mata seorang Carla. Kesedihan hatinya merenggut itu semua. Sepertinya, tak akan ada ruang lagi di hatinya atas nama cinta.

"Carla, sudah malam. Ayo masuk," ajak Abi dengan suara lembutnya. Ia berjongkok di hadapan Carla yang sedang duduk memandang langit di atas balkon rumahnya. Tempat ia dan Abbi biasa menghabiskan malam sambil bercanda, terkadang pun bersama Adam.

Abi menarik tangan Carla dan menggenggamnya. Lalu ia mencium dan meletakkannya di wajah. Seolah Carla sedang membelai wajanya dengan lembut.

"Maafkan ibuku Carla. Aku yakin kita bisa hadapi semuanya. Aku akan tetap di sisimu sampai kapanpun. Aku mencintaimu," ujar Abi. Ia menancapkan pesan mesra lewat tatapan matanya yang syahdu. Tersirat juga perasaan sayang pada Carla, sang istri tercinta.

"Mas..." Carla menegang. Tubuhnya merespon ucapan Abi tadi. Tapi, ini respon negatif.

"Kenapa sayang? Katakan."

"Bagaimana kalau kita—

Carla menggantung kata-katanya. Ia dan Abi saling berpandangan. Aura tegang menyelinap diam-diam diantara mereka. Abbi sudah berpikiran buruk sejak ia duduk berjongkok di hadapan Carla. Pertanda burukkah?

—masuk ke dalam. Disini dingin." lanjut Carla. Abbi mengembus napas lega. Hampir saja darahnya berhenti mengalir.

"Yuk..kita hangatkan suasana ranjang seperti kemarin."

Abi tersenyum, tiba-tiba ia menggendong Carla, menuruni tangga rumah perlahan-lahan. Carla menyematkan tangan di leher Abbi dan sengaja mendekatkan bibirnya ke pipi Abi lalu menciumnya.

'Ini hanya sementara Abi. Selanjutnya, kita akan terasa jauh.'

***

Serasa menyematkan duri diantara daging, rasanya menusuk sampai daging yang terdalam. Ini bukan hanya tentang kata-kata yang menusuk hati. Ini tentang harga diri dan perasaan menentang apa yang seharusnya tak terjadi.

Semua serasa lepas tangan dan mata. Mencoba untuk tak tahu atau pura-pura tak tahu.

Carla masih menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Ia masih mencoba bersabar walau kenyataannya tidak. Enam tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal lebih jauh Abi hingga ke akarnya. Tapi, malam tadi ia serasa tak mampu. Entahlah, rasanya Abi hanya berkata semampunya.

"Mas, pagi ini aku mau ke butik. Aku bawa Adam." Carla membuka tirai dan selimut yang menutupi tubuh Abi. Ia mengguncang tubuh polos suaminya tanpa pakaian dan mencubitnya lembut.

"Eungghh..." Abi mengerang. Satu tangannya menarik kasar pinggang Carla dan memeluknya erat. Tubuh Carla jatuh di atas dada Abi. Tak ada rasa berat, Abi malah mendudukkan Carla di atasnya.

"Mas..."

"Kamu makin ringan. Kamu diet ya?"

Carla menggeleng, ia tak pernah diet. Ia bahkan selalu makan dengan lahap setiap harinya, ia juga sadar sepemuhnya kalau dirinya semakin lama semakin tirus.

"Aku baru sadar kalau aku kurus, mas. Kenapa ya?"

Abi menjawil hidung Carla dengan gemasnya. Lalu berkata," Jangan banyak pikiran. Anggap semua angin lalu."

Carla mengangguk. Ia segera turun dari tubuh Abi, tapi lagi-lagi ditahan oleh tangan suaminya itu.

"Mas, aku mau beresin baju."

"Morning kiss, my babe...."

Satu ciuman mendarat di bibir hati sang suami. Abi melumatnya pelan. Satu tangannya ia letakkan di belakang kepala Carla dan ia menahannya. Memastikan jika Carla juga menikmati ciuman panas pagi ini.

"Aku tunggu di ruang makan."

"Ok, babe."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ini cerita lebih dari drama ikan terbang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Istri kedua pilihan mertua    Epilog : Ketika Semua Bersama

    Epilog: Tak ada yang tahu bagaimana takdir berjalan. Tak ada yang tahu juga bagaimana sebuah cinta akan berakhir dengan seseorang yang dicintai atau tidak. Carla telah jatuh dan bangkit karena cinta, kini hidupnya akan kembali disatukan dengan sebuah cinta. Satu bulan setelah perceraian Abi dan Risya, kabar duka datang dari Carla yang kehilangan suami tercintanya. Setelah berjuang melawan penyakit paru-paru yang telah menggerogotinya selama lima tahun, Vian pun menyerah. Ia meninggalkan seorang anak dan istri yang masih mencintainya. Carla kira, dirinya yang akan pergi lebih dulu. Mengingat penyakitnya yang tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Ternyata tuhan masih memberikan umur panjang padanya. Setelah tiga bulan resmi menyendiri, sebuah lamaran datang kembali padanya. Kali ini, ia kembali pada cinta sejatinya yang tak mungkin bisa dilupakan. "Mama cantik sekali," puji Adam yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar rias calon ibunya. Carla memeluk anak pertamanya itu dengan erat. "Ter

  • Istri kedua pilihan mertua    Semua Selesai

    Sidang putusan pengadilan akhirnya memutuskan perceraian antara Risya dan Abi. Mereka resmi berpisah dengan dikabulkannya tuntutan yang dilayangkan oleh Abi pada Risya. Perselingkuhan itu terbukti dilakukan dengan sadar dan atas kemauan mereka berdua. Risya sempat pingsan saat pembacaan putusan, walau tak lama kemudian ia sadar lalu menangis meraung-raung memikirkan nasibnya setelah ini. Abi tersenyum pedih melihat surat keputusan cerai yang telah diterimanya. Ini adalah surat ketiga yang dimilikinya. Ia tak lagi sanggup menangis, karena ini terlalu pedih. "Pa, makam mama apakah ada yang menjaganya?" Abi menoleh pada anaknya yang tengah mengemudi di sampingnya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. "Adam kangen sama mama Winda." "Papa juga. Andai waktu itu papa tidak terburu-buru menceraikan dia dan pergi begitu saja dari sisinya. Pasti kita akan jadi keluarga yang bahagia saat ini. Maafkan papa, Adam. Papa salah dan berdosa padamu dan juga mama Winda." Abi mengusap air mata yang menga

  • Istri kedua pilihan mertua    Pengakuan Langsung

    "Itu adalah anakku, aku adalah ayahnya." Suara itu menggema memecah keramaian drama yang baru saja ditunjukkan oleh Risya di depan hakim persidangan. Semua orang menatap heran pria yang baru saja masuk ke dalam ruang sidang. Risya yang tadi menangis tersedu-sedu kini hanya bisa diam. Isi kepalanya ikut menghilang seperti air mendidih yang menguap. "Dia adalah anak saya pak hakim," tunjuk Sandy, pria yang tadi memasuki ruang sidang. "Itu bohong, pak. Saya hanya melakukan itu dengan suami saya!" bantah Risya. Sandy menyeringai. "Apa perlu aku putar video mesra kita saat menghabiskan malam romantis dan panas berdua?" Huuu Terdengar suara gaduh dari saksi yang mendengar ancaman dari Sandy. Semua orang kini memandang jijik dua orang yang tengah berdebat di depan hakim persidangan. "K-kamu yang jebak aku!" "Kau—" Belum selesai Sandy bicara, hakim mengetuk palunya. "Sidang ditunda minggu dep

  • Istri kedua pilihan mertua    Sidang Perceraian Pertama

    Mantan ibu mertuanya duduk dengan nyaman di sofa rumah Abi setelah menunggu lebih dari dua jam kepulangannya. Abi memang sengaja pulang sedikit terlambat tadi. Ia menyempatkan mengajak kedua anaknya berjalan-jalan di pasar malam melihat pertunjukan lalu makan malam sejenak dan akhirnya pulang. Abi tak mengira, mantan ibu mertuanya akan datang dan menunggunya hingga selarut ini. Lebih mengherankan lagi, mata wanita paruh baya itu terlihat sembab dan lelah. Apa yang sebenarnya akan dia katakan hingga mengorbankan waktu istirahatnya? "Ibu ke sini diantar siapa?" tanya Abi sekedar berbasa-basi. Ibu Risya tersenyum getir. Ia menarik napas panjangnya lalu menunduk sejenak. "Tadi, ibu datang bersama menantu ibu yang kebetulan akan berangkat kerja." ibu Risya menggeser posisi duduknya, sedikit mendekat pada Abi yang terdiam di tempatnya. "Kedatangan ibu ke sini, hanya ingin mengatakan sesuatu. Semoga ini akan menjadi pertimbangan dirimu untuk membatalkan rencana perceraian besok." Abi me

  • Istri kedua pilihan mertua    Hamil Bukan Anak Suami

    Hoeekk hoekkk Risya terbangun dengan kepala pening dan perut yang mual sejak matanya terbuka. Hampir setengah jam ia berjalan mondar-mandir memasuki kamar mandi hanya untuk menuntaskan rasa mualnya. Tak ada sisa makanan yang ke luar, hanya cairan bening yang meluncur dari mulutnya. "Kamu hamil?" suara sang ibu terdengar dari balik pintu kamar mandi. Tangan wanita paruh baya itu menyilang di dadanya. "Anak siapa?" Dengan kaki gemetar, Risya membalikkan tubuhnya menghadap ibunya. Ibu Risya, terkenal keras sejak dulu. Ia memang menyayangi Risya dan sering memanjakannya. Namun jika anaknya itu melakukan kesalahan, ia tak segan untuk berbuat kejam. "Kamu tuli?" bentak ibu Risya. Suara menggelegar itu membuat Risya ketakutan. "Jawab!" "I-iya. I-ini anak mas Abi," jawab Risya gemetar. Tangannya berpegangan pada sisi wastafel agar tak jatuh. Kemarin, sesudah semua orang rumah pergi, Risya diam-diam pergi membeli alat tes kehamilan di apotek. Ia mulai merasakan hal yang tak beres dengan

  • Istri kedua pilihan mertua    Makan Siang Bersama

    Dua minggu sudah Risya dikembalikan ke rumah orang tuanya, dua minggu pula Abi merasakan kedamaian di rumahnya. Berkali-kali mantan ibu mertuanya mencoba menghubungi Abi untuk membatalkan perceraian, berkali-kali pula Abi menolaknya. Abi tak ingin luluh lagi dalam jeratan rayuan Risya seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Pria yang sebentar lagi menyandang status duda untuk keempat kalinya itu termenung di pinggir ranjang. Di tangannya, ada selembar surat undangan dari pengadilan untuk sidang cerainya pertama kali. Besok, akan jadi penentuan baginya untuk hidupnya yang baru. Pintu kamar pun terbuka, Adam dan Fariska yang hari ini tengah libur masuk ke dalam kamar milik ayahnya. Abi tersenyum melihat keduanya. "Pa, hari ini kita ke kantor papa ya? Aku lagi enggak ada kelas, Ika lagi rapat guru-gurunya. Boleh kan?" tanya Adam yang dibalas anggukan oleh Abi. "Kalau gitu, Adam sama Ika tunggu di bawah." "Iya. Papa nanti nyusul. Kalian sarapan saja dulu." Kedua anak Abi itu segera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status