Hari Kedua yang Tak Baik-Baik Saja
Hari kedua seharusnya memberi ruang untuk beradaptasi, atau setidaknya membuat Ayudia sedikit lebih tenang. Namun begitu matanya terbuka pagi itu, yang ia rasakan justru kekosongan yang semakin menyesakkan. Cahaya matahari menyusup masuk dari balik tirai tipis jendela besar di kamar itu, menari lembut di lantai marmer. Tapi sinar pagi yang biasanya membawa harapan, kini tak lebih dari cahaya asing di ruang asing. Ayudia membuka matanya perlahan, menoleh ke sekeliling. Sunyi. Kosong. Hening. Ia sendirian. Tak ada suara langkah kaki di lorong. Tak ada suara napas berat seorang laki-laki di ruangan lain. Ia tahu… Ardhan sudah pergi. Entah sejak jam berapa. Entah ke mana. Dan, entah mengapa, fakta bahwa pria itu pergi tanpa satu pun kabar atau sekadar catatan di meja membuat hatinya terasa makin beku. Tapi Ayudia tidak terkejut. Ia bahkan tidak kecewa. Ini justru sesuai dengan apa yang ia harapkan—sejauh mungkin dari hubungan fisik atau kedekatan emosional. Ia bersyukur… untuk saat ini. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, menarik napas panjang dan memandang ke luar jendela. Pikiran-pikiran liar mulai berkelindan. Ia tidak tahu apa pekerjaan pasti lelaki itu. Ia tidak tahu di mana Ardhan sekarang. Tapi satu hal yang pasti: pria itu bukan orang sembarangan. Dari cerita keluarga yang menghubungkan mereka, juga dari potongan informasi yang didengarnya, Ayudia tahu Ardhan adalah seorang pengusaha kelas atas. Wajahnya sering muncul di media cetak dan digital—di artikel bisnis, di forum-forum ekonomi, di akun resmi perusahaan-perusahaan besar. Nama Ardhan disebut-sebut sebagai salah satu pria paling berpengaruh, tajir, dan ditakuti di lingkaran elit negeri ini. Bahkan Ayudia sempat menemukan beberapa artikel tentangnya saat diam-diam mencarinya lewat ponsel usang miliknya—artikel dengan judul-judul bombastis seperti "Sang Raja Akuisisi: Ardhan R. Maheswara", "Tangan Dingin Pengubah Laju Bisnis Nasional", hingga "CEO Paling Misterius di Asia Tenggara." Namun di balik semua julukan dan kemewahan itu, Ayudia tetap tidak tahu siapa Ardhan sebenarnya. Pria itu terlalu pendiam, terlalu dingin, dan terlalu jauh untuk didekati. Tapi pagi ini, satu hal yang membuatnya bisa bernapas lebih lega adalah kenyataan bahwa Ardhan tidak menuntut hak malam pertamanya. Tak ada ketukan pintu tengah malam, tak ada tangan dingin yang mencoba menyentuh tubuhnya, tak ada suara berat yang memanggilnya ke kamar lain. Ia selamat… setidaknya untuk semalam. Namun Ayudia tahu, ia tidak bisa merasa aman selamanya. Malam berikutnya bisa jadi cerita berbeda. Atau minggu depan. Atau bulan depan. Ia tidak tahu bagaimana pria itu berpikir. Dan ketidaktahuan itulah yang paling menakutkan. Pagi itu, pelayan rumah kembali datang, mengetuk pintu dengan sopan, lalu menyapanya dengan senyum profesional. “Selamat pagi, Nona Ayudia. Sarapan telah disiapkan. Jika Nona menghendaki, saya bisa menyiapkan air hangat untuk mandi lebih dulu.” Ayudia mengangguk pelan. “Terima kasih…” Pelayan itu memberi sedikit anggukan hormat sebelum berlalu. Sementara Ayudia kembali memandangi kamarnya. Kamar yang kini menjadi miliknya—meskipun ia belum bisa menyebut tempat ini sebagai rumah. Ia berjalan menuju kamar mandi, membersihkan diri dalam air hangat yang dituang dalam bathtub besar berlapis keramik mewah. Wewangian lembut dari sabun cair yang tertata di rak mulai memenuhi udara. Tapi tetap saja, hati Ayudia terasa kosong. Setelah mandi dan berganti pakaian—yang rupanya sudah disiapkan di lemari oleh staf rumah tangga—Ayudia turun ke ruang makan. Di atas meja panjang bergaya minimalis itu, sudah tersedia berbagai hidangan: roti panggang, buah segar, sup ayam ringan, jus jeruk, dan teh hangat. Semua disajikan dengan rapi dan elegan, layaknya restoran hotel bintang lima. Namun satu benda di atas meja membuat langkah Ayudia terhenti sejenak. Sebuah amplop berwarna hitam pekat terletak rapi di dekat piring makannya. Di atasnya, namanya tertulis dengan huruf timbul berwarna perak. Ayudia Dengan sedikit ragu, ia mengambil amplop itu dan membukanya. Di dalamnya, terdapat sebuah kartu hitam dengan ukiran nama Ardhan Maheswara di pojok kanan bawah. Tak ada catatan. Tak ada pesan. Tapi Ayudia tahu, ini bukan kartu biasa. Ini adalah black card. Kartu eksklusif yang hanya dimiliki oleh segelintir orang di dunia. Limitnya… tidak terbatas. Untuk beberapa detik, Ayudia hanya bisa memandang kartu itu dengan tangan bergetar. Jantungnya berdegup pelan, bukan karena bahagia… tapi karena bingung. Apa maksud dari semua ini? Mengapa pria itu meninggalkan kartu ini untuknya? Apakah ia diharapkan menggunakan ini? Untuk apa? Mengapa? Langkah pelayan rumah yang datang menghampiri membuyarkan lamunannya. “Ini titipan dari Tuan Ardhan sebelum berangkat tadi pagi, Nona. Beliau bilang, kartu ini bisa Nona gunakan untuk semua keperluan pribadi selama tinggal di sini. Termasuk untuk belanja, pakaian, atau hal lain yang diperlukan.” Ayudia terdiam. Ia menatap pelayan itu dengan sorot mata yang sulit dijelaskan—antara syok, takut, dan tak percaya. “Apakah… dia akan pulang malam ini?” tanyanya pelan. “Saya tidak diberi informasi soal itu, Nona,” jawab si pelayan sopan. “Tuan Ardhan biasanya tidak menyampaikan jadwalnya, bahkan pada kami.” Ayudia mengangguk kecil. “Baik…” Pelayan itu kemudian mundur dengan sopan, membiarkan Ayudia menikmati sarapan dalam diamnya. Ayudia mulai menyantap makanannya perlahan, walau lidahnya belum sepenuhnya mampu menikmati rasa. Pikirannya terlalu penuh. Namun baru saja ia menyesap teh hangat, suara dari arah depan rumah membuat tubuhnya tegang. Ada suara mobil berhenti. Bukan suara mobil yang sama dengan Ardhan kemarin. Lalu suara langkah kaki. Suara tumit tinggi yang mantap, elegan, dan... mendekat. Cepat. Ayudia menoleh ke arah lorong menuju pintu utama. Beberapa detik kemudian, suara bel rumah terdengar. Ting tong. Ia nyaris menjatuhkan sendok. Pelayan rumah bergegas menuju pintu. Ayudia bangkit dari duduknya secara refleks, berdiri di tengah ruang makan dengan jantung berdegup keras. Ia tidak tahu siapa yang datang. Ardhan? Tidak mungkin… Ardhan tidak mengetuk rumahnya sendiri. Atau… seseorang dari masa lalu Ardhan? Seorang wanita? Keluarga? Atau... seseorang yang tidak pernah dia bayangkan? Pintu akhirnya terbuka. Ayudia mematung. Dan di ambang pintu, berdiri seseorang—dengan aura yang langsung memenuhi seluruh ruangan—dengan sorot mata yang menatap langsung ke arahnya, tajam dan tidak suka. "Jadi, dia orang nya?" dan suara itu menggema, memecah keheningan diantara semuanya. --- (Bersambung)Kembali ke rumah utama Papa Gunawan dan Mama Niar.Perjalanan menanjak menuju kediaman besar keluarga Gunawan benar-benar menguras tenaga. Jalan yang menukik perlahan dari bawah terasa panjang dan melelahkan, apalagi setelah mobil yang mereka tumpangi mengalami kendala dan terpaksa berhenti di ujung jalan. Ardhan berjalan di depan, langkahnya cepat, mantap, dan terkesan tidak peduli dengan orang lain, sementara Ayudia harus berusaha keras menyesuaikan langkahnya di belakang.Keringat dingin sudah mulai membasahi pelipisnya. Helaan napasnya makin berat, seolah paru-parunya menolak bekerja sama. Yang paling menyiksa sebenarnya bukan hanya rasa lelah pada tubuhnya, melainkan perih yang menjalar di kedua kakinya. Sepasang sepatu hak tinggi yang baru pertama kali ia kenakan sore ini terasa seperti alat penyiksa. Heels berwarna krem yang harganya mahal itu memang tampak anggun, tetapi bagian dalamnya yang masih kaku menusuk tumitnya hingga terasa lecet.Ayudia sempat ingin mengeluh, setidak
Beberapa waktu sebelumnya,sebelum mereka benar-benar tiba di rumah besar Papa Gunawan dan Mama Niar.Perjalanan yang semula terasa mulus dan lancar itu tiba-tiba berubah di luar dugaan. Begitu mobil yang ditumpangi Ardhan dan Ayudia hampir mencapai kediaman rumah utama keluarga Gunawan, mendadak kendaraan yang mereka gunakan bertingkah aneh. Tanpa tanda apa pun, mesin mobil berhenti begitu saja, mogok seketika. Peristiwa itu jelas membuat suasana di dalam mobil terasa hening, hanya tersisa desah napas keduanya yang saling bersahut.Ardhan yang duduk di kursi pengemudi langsung mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka akan mengalami kejadian semacam ini, apalagi mobil yang ia gunakan masih tergolong sangat baru, bahkan belum genap setahun sejak pertama kali dibawa keluar dari dealer. Selama ini tidak pernah ada masalah berarti, mesin selalu bekerja dengan baik, performanya prima. Namun, anehnya, malam ini justru terjadi hal yang di luar perkiraannya."Tumben?" gumamnya pelan, suara r
Rumah Keluarga Utama ArdhanKediaman Papa Gunawan dan Mama Niar selalu menjadi tempat yang penuh dengan aturan dan tata krama. Sebuah rumah besar bergaya modern klasik, dengan dinding bercat putih yang selalu tampak bersih berkilau meskipun sudah bertahun-tahun berdiri. Di bagian dalamnya, setiap sudut ruangan dipenuhi dengan perabotan yang tertata rapi, seolah ada garis tak kasatmata yang melarang benda-benda itu bergeser dari tempatnya. Aroma kayu manis bercampur harum masakan dari dapur tercium samar, menandakan bahwa jam makan malam sudah semakin dekat.Di tengah suasana rumah yang tenang itu, suara Mama Niar tiba-tiba pecah. Nada suaranya meninggi, terdengar jelas dari arah tangga menuju ke dapur.“Mereka terlambat?” ucapnya dengan nada tak sabar.Langkahnya cepat, seolah setiap hentakan tumitnya adalah pelampiasan kekesalan. Ia berjalan melewati ruang tengah dengan gaun rumah panjang berwarna krem yang membalut tubuhnya, kainnya bergerak mengikuti irama langkah. Sesekali tangann
Mendengar pertanyaan dari kakak perempuannya, Ardhan sama sekali tidak segera membalas ucapan itu. Lelaki itu memilih untuk tetap diam, menahan segala sesuatu yang mungkin akan meluncur dari bibirnya. Ia hanya berdiri tegak di tempatnya, mengatur napas, lalu perlahan mengalihkan pandangannya pada sosok Ayudia. Tatapan yang ia berikan bukanlah tatapan biasa. Ada ketegasan yang samar-samar terbaca, ada pesan tersembunyi yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Sorot matanya seolah hendak berkata: “Hati-hati dengan ucapanmu, jangan sembarangan memilih kata di hadapanku maupun di hadapan keluargaku.”Ayudia merasakan sorot itu menghujam, namun ia sama sekali tidak bergeming. Tubuhnya tetap tegak di tempatnya, kedua tangannya ia rapatkan di depan, jemarinya saling menggenggam erat seperti mencari pegangan. Gadis itu tahu betul apa yang tengah melintas di kepala Ardhan. Ia bisa membaca maksud dari tatapan itu, bisa menebak dengan jelas bahwa Ardhan ingin menekannya dengan isyarat diam-di
Rumah Utama ArdhanJelang Makan Malam KeluargaBegitu Ardhan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah besarnya, sejenak pandangan mata laki-laki itu menangkap sosok dua orang yang tengah bergerak menuruni anak tangga. Gerakan itu begitu anggun dan tertata, seakan setiap pijakan kaki mereka memiliki ritme tertentu yang mengisi keheningan rumah pada sore itu. Tatapan mata Ardhan langsung tertuju pada Vivi, kakak perempuannya, lalu bergeser ke arah gadis muda yang berjalan di sisi Vivi, yaitu Ayudia.Ardhan terdiam di tempatnya untuk beberapa waktu. Ada sesuatu yang menghentikan gerak tubuhnya, membuat langkah yang semula ingin segera dipercepat menuju ruang makan itu tertahan begitu saja. Pandangannya terpaku pada sosok Ayudia yang perlahan menuruni anak tangga, mengikuti setiap gerakannya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.Laki-laki itu menelisik penampilan Ayudia dengan mata yang tajam namun penuh perhitungan. Ia memperhatikan dandanan yang telah dipoles dengan sentuhan tangan ahli
Gunawan GroupRuang kerja Ardhan.Ardhan memejamkan kedua matanya rapat-rapat, jari-jarinya yang kokoh menekan pelipisnya yang sejak pagi terasa berdenyut. Pekerjaan yang menumpuk di atas meja besar berlapis kayu jati itu belum juga selesai, sementara tubuhnya masih terasa letih akibat urusan pernikahannya beberapa hari yang lalu. Tumpukan dokumen, agenda rapat yang tertunda, serta dering telepon yang tak kunjung berhenti membuat pikirannya semakin berat. Rasa letih itu tidak hanya melekat di tubuh, tetapi juga menyeret batinnya ke dalam kelelahan yang lebih dalam. Setiap kali ia mencoba menghela napas panjang, yang hadir justru rasa sesak, seakan ruangan itu terlalu sempit untuknya.Jam pulang kerja semakin dekat. Namun, anehnya, ini kali pertama Ardhan enggan untuk bergegas pulang. Biasanya, meski lelah, rumah tetap menjadi tempat istirahat baginya. Tapi kali ini, entah mengapa, ada sesuatu yang menahannya. Ia tahu pasti apa alasannya. Saat ia kembali ke rumah, ia akan berhadapan de