Home / Young Adult / Istri kontrak om duda / Hari kedua tidak baik-baik saja

Share

Hari kedua tidak baik-baik saja

Author: Tiffany
last update Last Updated: 2025-07-28 17:37:50

Hari Kedua yang Tak Baik-Baik Saja

Hari kedua seharusnya memberi ruang untuk beradaptasi, atau setidaknya membuat Ayudia sedikit lebih tenang. Namun begitu matanya terbuka pagi itu, yang ia rasakan justru kekosongan yang semakin menyesakkan.

Cahaya matahari menyusup masuk dari balik tirai tipis jendela besar di kamar itu, menari lembut di lantai marmer. Tapi sinar pagi yang biasanya membawa harapan, kini tak lebih dari cahaya asing di ruang asing. Ayudia membuka matanya perlahan, menoleh ke sekeliling. Sunyi. Kosong. Hening. Ia sendirian.

Tak ada suara langkah kaki di lorong. Tak ada suara napas berat seorang laki-laki di ruangan lain. Ia tahu… Ardhan sudah pergi.

Entah sejak jam berapa.

Entah ke mana.

Dan, entah mengapa, fakta bahwa pria itu pergi tanpa satu pun kabar atau sekadar catatan di meja membuat hatinya terasa makin beku. Tapi Ayudia tidak terkejut. Ia bahkan tidak kecewa. Ini justru sesuai dengan apa yang ia harapkan—sejauh mungkin dari hubungan fisik atau kedekatan emosional. Ia bersyukur… untuk saat ini.

Ia duduk perlahan di tepi ranjang, menarik napas panjang dan memandang ke luar jendela. Pikiran-pikiran liar mulai berkelindan. Ia tidak tahu apa pekerjaan pasti lelaki itu. Ia tidak tahu di mana Ardhan sekarang. Tapi satu hal yang pasti: pria itu bukan orang sembarangan. Dari cerita keluarga yang menghubungkan mereka, juga dari potongan informasi yang didengarnya, Ayudia tahu Ardhan adalah seorang pengusaha kelas atas. Wajahnya sering muncul di media cetak dan digital—di artikel bisnis, di forum-forum ekonomi, di akun resmi perusahaan-perusahaan besar. Nama Ardhan disebut-sebut sebagai salah satu pria paling berpengaruh, tajir, dan ditakuti di lingkaran elit negeri ini.

Bahkan Ayudia sempat menemukan beberapa artikel tentangnya saat diam-diam mencarinya lewat ponsel usang miliknya—artikel dengan judul-judul bombastis seperti "Sang Raja Akuisisi: Ardhan R. Maheswara", "Tangan Dingin Pengubah Laju Bisnis Nasional", hingga "CEO Paling Misterius di Asia Tenggara."

Namun di balik semua julukan dan kemewahan itu, Ayudia tetap tidak tahu siapa Ardhan sebenarnya. Pria itu terlalu pendiam, terlalu dingin, dan terlalu jauh untuk didekati.

Tapi pagi ini, satu hal yang membuatnya bisa bernapas lebih lega adalah kenyataan bahwa Ardhan tidak menuntut hak malam pertamanya. Tak ada ketukan pintu tengah malam, tak ada tangan dingin yang mencoba menyentuh tubuhnya, tak ada suara berat yang memanggilnya ke kamar lain. Ia selamat… setidaknya untuk semalam. Namun Ayudia tahu, ia tidak bisa merasa aman selamanya. Malam berikutnya bisa jadi cerita berbeda. Atau minggu depan. Atau bulan depan. Ia tidak tahu bagaimana pria itu berpikir. Dan ketidaktahuan itulah yang paling menakutkan.

Pagi itu, pelayan rumah kembali datang, mengetuk pintu dengan sopan, lalu menyapanya dengan senyum profesional.

“Selamat pagi, Nona Ayudia. Sarapan telah disiapkan. Jika Nona menghendaki, saya bisa menyiapkan air hangat untuk mandi lebih dulu.”

Ayudia mengangguk pelan. “Terima kasih…”

Pelayan itu memberi sedikit anggukan hormat sebelum berlalu. Sementara Ayudia kembali memandangi kamarnya. Kamar yang kini menjadi miliknya—meskipun ia belum bisa menyebut tempat ini sebagai rumah. Ia berjalan menuju kamar mandi, membersihkan diri dalam air hangat yang dituang dalam bathtub besar berlapis keramik mewah. Wewangian lembut dari sabun cair yang tertata di rak mulai memenuhi udara. Tapi tetap saja, hati Ayudia terasa kosong.

Setelah mandi dan berganti pakaian—yang rupanya sudah disiapkan di lemari oleh staf rumah tangga—Ayudia turun ke ruang makan. Di atas meja panjang bergaya minimalis itu, sudah tersedia berbagai hidangan: roti panggang, buah segar, sup ayam ringan, jus jeruk, dan teh hangat. Semua disajikan dengan rapi dan elegan, layaknya restoran hotel bintang lima.

Namun satu benda di atas meja membuat langkah Ayudia terhenti sejenak.

Sebuah amplop berwarna hitam pekat terletak rapi di dekat piring makannya. Di atasnya, namanya tertulis dengan huruf timbul berwarna perak.

Ayudia

Dengan sedikit ragu, ia mengambil amplop itu dan membukanya. Di dalamnya, terdapat sebuah kartu hitam dengan ukiran nama Ardhan Maheswara di pojok kanan bawah. Tak ada catatan. Tak ada pesan. Tapi Ayudia tahu, ini bukan kartu biasa.

Ini adalah black card. Kartu eksklusif yang hanya dimiliki oleh segelintir orang di dunia. Limitnya… tidak terbatas.

Untuk beberapa detik, Ayudia hanya bisa memandang kartu itu dengan tangan bergetar. Jantungnya berdegup pelan, bukan karena bahagia… tapi karena bingung. Apa maksud dari semua ini? Mengapa pria itu meninggalkan kartu ini untuknya? Apakah ia diharapkan menggunakan ini? Untuk apa? Mengapa?

Langkah pelayan rumah yang datang menghampiri membuyarkan lamunannya.

“Ini titipan dari Tuan Ardhan sebelum berangkat tadi pagi, Nona. Beliau bilang, kartu ini bisa Nona gunakan untuk semua keperluan pribadi selama tinggal di sini. Termasuk untuk belanja, pakaian, atau hal lain yang diperlukan.”

Ayudia terdiam. Ia menatap pelayan itu dengan sorot mata yang sulit dijelaskan—antara syok, takut, dan tak percaya.

“Apakah… dia akan pulang malam ini?” tanyanya pelan.

“Saya tidak diberi informasi soal itu, Nona,” jawab si pelayan sopan. “Tuan Ardhan biasanya tidak menyampaikan jadwalnya, bahkan pada kami.”

Ayudia mengangguk kecil. “Baik…”

Pelayan itu kemudian mundur dengan sopan, membiarkan Ayudia menikmati sarapan dalam diamnya. Ayudia mulai menyantap makanannya perlahan, walau lidahnya belum sepenuhnya mampu menikmati rasa. Pikirannya terlalu penuh.

Namun baru saja ia menyesap teh hangat, suara dari arah depan rumah membuat tubuhnya tegang.

Ada suara mobil berhenti. Bukan suara mobil yang sama dengan Ardhan kemarin. Lalu suara langkah kaki. Suara tumit tinggi yang mantap, elegan, dan... mendekat. Cepat.

Ayudia menoleh ke arah lorong menuju pintu utama.

Beberapa detik kemudian, suara bel rumah terdengar.

Ting tong.

Ia nyaris menjatuhkan sendok.

Pelayan rumah bergegas menuju pintu. Ayudia bangkit dari duduknya secara refleks, berdiri di tengah ruang makan dengan jantung berdegup keras. Ia tidak tahu siapa yang datang. Ardhan? Tidak mungkin… Ardhan tidak mengetuk rumahnya sendiri.

Atau… seseorang dari masa lalu Ardhan? Seorang wanita? Keluarga?

Atau... seseorang yang tidak pernah dia bayangkan?

Pintu akhirnya terbuka.

Ayudia mematung.

Dan di ambang pintu, berdiri seseorang—dengan aura yang langsung memenuhi seluruh ruangan—dengan sorot mata yang menatap langsung ke arahnya, tajam dan tidak suka.

"Jadi, dia orang nya?" dan suara itu menggema, memecah keheningan diantara semuanya.

---

(Bersambung)

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri kontrak om duda   Kemarahan yang mengakar

    “Lihatlah pilihan Ardhan itu.”Suara Mama Niar terdengar lagi, kali ini dengan nada kesal yang menusuk telinga, ditujukan kepada putri tertuanya, Vivi.Perempuan bernama Vivi itu hanya terdiam di kursi makan, menunduk sembari memotong buah semangka di hadapannya. Telinganya sudah terbiasa dengan ocehan ibunya yang tak pernah berhenti jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Sejak kecil ia sudah kenyang mendengar suara bernada tinggi dari ibunya, jadi ia sama sekali tidak heran ketika ocehan itu kembali meluncur sekarang.Memang sudah begitulah watak Mama Niar, pikir Vivi. Wanita itu jarang sekali merasa cocok dengan sesuatu atau seseorang. Bahkan dulu ketika ayah menikahi Mama Niar, kabarnya hubungan mereka pun penuh pertentangan di awal. Namun pada akhirnya, setelah waktu berjalan dan mereka saling mengenal lebih dalam, semua berubah. Sekarang justru ayah menjadi kebanggaan di mata Mama Niar. Itulah yang Vivi yakini: pada dasarnya sifat seorang ibu memang selalu menola

  • Istri kontrak om duda   Sentuhan yang menguatkan

    Ayudia hanya bisa menghela napas panjang, dada terasa penuh sesak oleh luka yang baru saja digoreskan. Kata-kata pedas yang meluncur begitu lancang dari bibir wanita itu—wanita yang kini ia tahu adalah ibu kandung Ardhan—masih berputar-putar di telinganya, menggema tanpa henti, seakan-akan diputar ulang dalam kepalanya. Setiap kalimat, setiap intonasi, setiap tatapan penuh penghinaan, bagaikan paku yang ditancapkan satu per satu ke dalam hatinya yang rapuh.Ia berusaha menegakkan tubuh, namun gemetar halus di tangannya tak bisa disembunyikan. Wajahnya yang tadi berusaha ditahan tetap tenang, perlahan terasa panas. Rasa malu, sakit hati, sekaligus marah yang tak berdaya bercampur menjadi satu.Sebelum ia sempat benar-benar menguasai dirinya, pandangan matanya masih mengikuti sosok wanita itu—wanita yang dengan segala wibawa dan otoritasnya melangkah naik ke lantai atas. Gaun elegan yang dipakainya berayun lembut mengikuti gerakannya. Tumit stiletto yang menghantam lantai marmer meningg

  • Istri kontrak om duda   Tamu yang tak diundang

    Bab — Tamu yang Tak DiundangAyudia menatap tanpa berkedip, seolah tubuhnya membeku dalam waktu yang mendadak melambat. Pandangan matanya terpaku pada dua sosok yang kini berdiri di ambang pintu rumah besar itu, sosok yang kehadirannya bagai badai dingin yang menerobos masuk tanpa peringatan.Wanita berusia setengah abad itu melangkah masuk tanpa diminta. Gerakannya menunjukkan keanggunan yang tidak dibuat-buat, tapi dibalut dengan aura otoritas yang kental. Setiap langkah tumit stiletto-nya menghantam lantai marmer dengan dentuman yang tegas, suara yang cukup untuk menggetarkan dada Ayudia yang sedang dilanda kecemasan. Wajah wanita itu terawat rapi—garis-garis usia memang tampak jelas, namun bukan kelemahan yang tercermin darinya, melainkan justru kekuatan, wibawa, dan otoritas. Tatapan matanya menusuk lurus ke arah Ayudia dengan dingin, sinis, dan tanpa berusaha menyamarkan rasa tidak suka yang terpancar begitu terang dari dalam dirinya.Di sampingnya berdiri seorang perempuan muda

  • Istri kontrak om duda   Hari kedua tidak baik-baik saja

    Hari Kedua yang Tak Baik-Baik SajaHari kedua seharusnya memberi ruang untuk beradaptasi, atau setidaknya membuat Ayudia sedikit lebih tenang. Namun begitu matanya terbuka pagi itu, yang ia rasakan justru kekosongan yang semakin menyesakkan.Cahaya matahari menyusup masuk dari balik tirai tipis jendela besar di kamar itu, menari lembut di lantai marmer. Tapi sinar pagi yang biasanya membawa harapan, kini tak lebih dari cahaya asing di ruang asing. Ayudia membuka matanya perlahan, menoleh ke sekeliling. Sunyi. Kosong. Hening. Ia sendirian.Tak ada suara langkah kaki di lorong. Tak ada suara napas berat seorang laki-laki di ruangan lain. Ia tahu… Ardhan sudah pergi.Entah sejak jam berapa.Entah ke mana.Dan, entah mengapa, fakta bahwa pria itu pergi tanpa satu pun kabar atau sekadar catatan di meja membuat hatinya terasa makin beku. Tapi Ayudia tidak terkejut. Ia bahkan tidak kecewa. Ini justru sesuai dengan apa yang ia harapkan—sejauh mungkin dari hubungan fisik atau kedekatan emosion

  • Istri kontrak om duda   Masuk ke dunia miliknya

    Kediaman ArdhanSehari Setelah PernikahanMobil hitam berkelas dengan desain elegan itu meluncur pelan di jalanan kawasan elit yang sunyi dan terawat sempurna. Sorot lampunya yang tajam menyapu jalanan beraspal mulus yang dibingkai deretan pohon kamboja dan bougenville, memberikan nuansa yang hampir seperti lukisan—indah tapi dingin, jauh dari kehangatan. Di dalam kabin yang senyap itu, hanya terdengar desiran lembut dari AC dan dengungan mesin yang nyaris tak terdengar.Ayudia duduk di bangku belakang, tubuhnya kaku dan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terlipat di atas pangkuan, jemarinya saling menggenggam erat seolah menjadi satu-satunya pegangan yang masih ia miliki di dunia baru yang belum sepenuhnya ia pahami. Wajahnya menunduk sedikit, namun sesekali ia melirik ke arah pria yang duduk di sampingnya.Ardhan. Lelaki itu masih dengan ekspresi dingin yang tak pernah berubah sejak kemarin sore—sejak mereka meninggalkan kafe tempat perjanjian hidup mereka ditandatangani. Tidak sepa

  • Istri kontrak om duda   Kesepakatan hitam di atas putih

    Kesepakatan hitam di atas putih.Sebuah Kafe, Sore HariKafe itu terletak di sudut kota yang tidak terlalu bising, agak tersembunyi di balik deretan pohon angsana dan bangunan-bangunan bercorak kolonial yang telah direstorasi menjadi tempat usaha. Dari luar, bangunannya tampak seperti rumah tua yang hangat, dengan jendela-jendela besar berbingkai putih dan pintu kayu yang dicat cokelat gelap. Di terasnya, ada beberapa kursi rotan dan meja bundar, dihiasi tanaman gantung yang menggantung lembut, menari pelan bersama semilir angin senja.Di dalam, suasana terasa jauh berbeda dari dunia luar yang hiruk-pikuk. Lampu gantung bergaya industrial menggantung rendah, memancarkan cahaya kuning lembut yang menciptakan nuansa hangat dan intim. Aroma kopi dan kayu manis memenuhi udara. Beberapa pengunjung duduk diam, larut dalam bacaan atau obrolan pelan. Musik jazz instrumental mengalun sayup dari pengeras suara tersembunyi, menambah kesan eksklusif namun menenangkan.Ayudia duduk di salah satu s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status