Beranda / Young Adult / Istri kontrak om duda / Tamu yang tak diundang

Share

Tamu yang tak diundang

Penulis: Tiffany
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-16 23:24:27

Bab — Tamu yang Tak Diundang

Ayudia menatap tanpa berkedip, seolah tubuhnya membeku dalam waktu yang mendadak melambat. Pandangan matanya terpaku pada dua sosok yang kini berdiri di ambang pintu rumah besar itu, sosok yang kehadirannya bagai badai dingin yang menerobos masuk tanpa peringatan.

Wanita berusia setengah abad itu melangkah masuk tanpa diminta. Gerakannya menunjukkan keanggunan yang tidak dibuat-buat, tapi dibalut dengan aura otoritas yang kental. Setiap langkah tumit stiletto-nya menghantam lantai marmer dengan dentuman yang tegas, suara yang cukup untuk menggetarkan dada Ayudia yang sedang dilanda kecemasan. Wajah wanita itu terawat rapi—garis-garis usia memang tampak jelas, namun bukan kelemahan yang tercermin darinya, melainkan justru kekuatan, wibawa, dan otoritas. Tatapan matanya menusuk lurus ke arah Ayudia dengan dingin, sinis, dan tanpa berusaha menyamarkan rasa tidak suka yang terpancar begitu terang dari dalam dirinya.

Di sampingnya berdiri seorang perempuan muda. Usianya barangkali sekitar akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan, mungkin hanya terpaut beberapa tahun dari usia Ayudia sendiri. Rambut panjangnya yang hitam pekat tergerai rapi, wajahnya cantik dengan pulasan make-up tipis yang elegan. Pakaian yang ia kenakan—blazer krem dengan potongan rapi dipadu celana panjang slim-fit—memberinya aura modern, profesional, seakan baru saja keluar dari halaman sebuah majalah mode kelas atas. Perempuan itu tidak langsung membuka suara. Ia hanya berdiri di sisi sang wanita yang lebih tua, menatap Ayudia dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Ada dingin yang samar, ada penilaian yang jelas, ada pula rasa ingin tahu yang tidak bisa ditepis.

“Jadi dia pilihannya Ardhan? Dari kampung?” suara wanita setengah baya itu akhirnya pecah, lebih lantang daripada sapaan sebelumnya di pintu. Nada suaranya jelas mengandung cemoohan, bahkan penghinaan, yang disampaikan tanpa sedikit pun rasa bersalah.

Ayudia mengernyitkan dahinya. Rasa panas menjalar di pipinya, meski tidak ada kata-kata kotor yang langsung ditujukan padanya. Namun intonasi yang keluar dari bibir wanita itu sudah cukup untuk membuatnya merasa diremehkan.

Kepala pelayan yang sejak tadi berdiri kaku di samping pintu menundukkan tubuhnya dalam-dalam. Suaranya pelan, hati-hati, seolah tidak ingin menyalakan api yang sudah jelas berkobar di hadapan mereka.

“Iya, Nyonya,” ucapnya.

Kata itu—Nyonya—membuat jantung Ayudia seolah melompat ke tenggorokan. Seakan ada sesuatu yang menyambar pikirannya secara tiba-tiba.

“Ini Nona Ayudia, istri Tuan Ardhan.” Lanjut si pelayan dengan suara semakin lirih, menundukkan kepalanya lebih rendah, seakan mencoba melindungi diri dari amarah yang mungkin bisa mengarah padanya.

Ayudia membeku di tempatnya. Kata Nyonya itu berulang-ulang menggema dalam benaknya, menelusup ke rongga dadanya, membuatnya sulit bernapas. Ia tidak perlu mendengar konfirmasi apa pun lagi untuk memahami siapa sosok di hadapannya. Tidak salah lagi—wanita yang kini berdiri dengan wibawa penuh amarah di ruang makan itu adalah ibunda Ardhan.

Dan jika tebakannya benar, maka langkah kecil yang beberapa menit lalu membawanya turun dari kamar menuju ruang makan, kini berubah menjadi langkah fatal yang menyeretnya ke dalam sebuah medan perang yang sama sekali tidak ia persiapkan.

Wanita itu kini menoleh, pandangan matanya menancap langsung ke arah Ayudia. Tatapannya tajam, seakan hendak menembus lapisan-lapisan pertahanan paling dalam, merobek habis selubung yang selama ini melindungi dirinya.

“Jadi kau… Ayudia?” tanyanya datar. Tidak ada intonasi ramah, tidak ada nada hangat seorang ibu yang biasanya melekat pada kata-kata pertama ketika bertemu menantu. Nada suaranya dingin, berat, namun juga penuh penghakiman.

Ayudia mencoba menegakkan tubuhnya. Ia tahu ia tidak boleh terlihat gentar, meski jantungnya berdentum begitu keras di dalam dada. Tangannya yang tadi memegang sendok kini bergetar pelan, sehingga dengan cepat ia sembunyikan ke balik lipatan rok yang ia kenakan.

“Iya, Bu,” jawabnya singkat. Suaranya berusaha ia jaga agar tetap tenang, meski terdengar agak serak, seperti terseret oleh rasa takut yang berusaha ia tekan sedalam mungkin.

Wanita itu mendengus kecil, suara yang terdengar lebih sebagai ejekan daripada sekadar ekspresi. Ia melangkah semakin dekat. Setiap langkahnya seakan menekan udara di sekeliling, membuat Ayudia merasa sesak, membuat paru-parunya seperti kehilangan ruang untuk bernapas.

“Ardhan selalu… berbeda,” katanya pelan, namun tajam. “Tapi ternyata pilihannya bahkan lebih… rendah dari perkiraan saya.”

Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mengandung kehangatan, melainkan penghinaan yang berbalut ketenangan.

Ayudia terdiam. Kata-kata itu menghantam dirinya tanpa basa-basi, bagai cambuk yang diayunkan langsung ke wajahnya. Ia ingin menjawab, ia ingin membela diri, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

Tadi ia sudah berniat berdiri, mencoba memberikan salam kepada wanita itu, memperlihatkan sikap sopan dan hormat sebagaimana seharusnya menantu kepada mertua. Namun niatnya kandas begitu saja. Wanita itu bahkan tidak memberinya kesempatan. Sebelum ia sempat mendekat, sebelum ia bisa mengulurkan tangan, sebelum sapaan sopan terucap, sudah terlebih dahulu kata-kata tajam meluncur, mencaci, dan meremehkannya.

Perempuan muda yang sejak tadi diam akhirnya angkat suara. Suaranya lembut, terdengar jauh lebih manusiawi daripada suara dingin wanita di sampingnya. Namun suaranya jelas, tegas, seolah ingin memberi sedikit keseimbangan di tengah percakapan yang sudah terlalu berat sebelah.

“Mama… mungkin kita belum mengenalnya dengan baik,” katanya sambil melirik sekilas ke arah Ayudia. Pandangannya singkat, namun cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya setuju dengan sikap ibunya. “Lagipula, Ardhan pasti punya alasan.”

“Mhm.” Sang wanita—yang kini Ayudia semakin yakin adalah ibunda Ardhan—mengerling tajam pada putrinya itu. “Alasan? Ardhan selalu punya alasan, tapi kali ini… saya sulit menerimanya.”

Ayudia merasakan sesuatu bergolak dalam dirinya. Ia tidak tahu siapa sebenarnya perempuan muda itu. Kakak Ardhan? Adik? Kerabat dekat? Atau justru seseorang yang lebih berbahaya, seseorang yang mungkin sudah lama berdiri di sisi keluarga ini? Tatapan Ayudia berpaling sebentar ke arah kepala pelayan, berharap ada secuil petunjuk dari wajahnya. Namun kepala pelayan hanya menunduk, membisu, seolah mengunci rapat semua informasi yang ia miliki. Ia tak berani ikut campur.

Keheningan yang menyusul begitu tebal, hingga Ayudia bisa mendengar jelas detik jam dinding di ruang makan itu. Suasana benar-benar tidak baik-baik saja.

“Bagaimana bisa, dia memutuskan menikah seenaknya saja?!” Suara sang wanita akhirnya pecah lagi, kali ini lebih keras, penuh emosi. Wajahnya memerah, rahangnya menegang, matanya menyala marah. “Di saat aku, ibunya, sudah menyiapkan pilihan terbaik, jodoh yang sesuai dengan derajat dan martabat keluarga ini, dia justru memilih untuk menghancurkan semuanya dengan keputusan mendadak! Dengan seenaknya! Dengan perempuan yang entah dari mana asalnya!”

Ayudia menelan ludah. Jantungnya terasa semakin menyempit.

“Dan lihat bagaimana pilihan itu?” wanita itu kembali menoleh tajam ke arahnya. Kekecewaan dan amarah berbaur di wajahnya, membuat ekspresinya semakin menakutkan.

Ayudia hanya bisa menghela napas perlahan. Ia mencoba menenangkan diri, meski seluruh tubuhnya seakan menjerit karena tertekan.

“Mama, sudahlah,” ucap perempuan muda di sisinya. Suaranya terdengar lebih seperti permohonan. Ada nada letih, ada rasa ingin melerai, seakan ia sudah terbiasa menghadapi ledakan emosi sang ibu.

Ayudia menatap perempuan itu dengan sekilas rasa penasaran yang semakin besar. Hanya ada satu kemungkinan yang masuk akal: perempuan itu adalah kakak perempuan Ardhan.

“Bagaimana bisa mama harus menyudahi semuanya?” suara sang wanita semakin meninggi, penuh nada tidak terima.

Kemudian, ia menoleh lagi pada Ayudia, kali ini lebih dekat, lebih menusuk. Tatapannya penuh dengan kebencian yang belum sempat ia sembunyikan. “Dan kau, gadis kampung… mana sopan santunmu? Begitu caramu menyambut orang tua?”

Tubuh Ayudia menegang. Ia memang sudah berusaha, ia bahkan sudah mencoba mendekat, namun semua usahanya ditolak mentah-mentah. Ia kembali mencoba mengulurkan tangan, niatnya tulus untuk memberikan salam. Namun seketika itu pula, tangan mungilnya ditepis kasar, tanpa ampun.

“Akhh! Aku bisa gila melihatnya!” teriak sang wanita, nadanya semakin penuh amarah. “Katakan padaku, bagaimana caranya kau bisa bertemu dengan putraku? Apa yang kau lakukan? Kau gunakan guna-guna, ya? Kau pakai pelet untuk membuatnya terikat padamu?!”

Ayudia terperangah. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena kemarahan yang dilemparkan kepadanya, tapi juga karena rasa terhina yang begitu dalam.

“Bagaimana bisa… seleranya serendah itu?!” lanjut wanita itu dengan suara serak yang penuh penghinaan.

Dan di sana, Ayudia hanya bisa berdiri. Tak mampu menjawab. Tak mampu membela diri.

Hatinya remuk, tapi ia tahu, ia harus tetap tegak.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri kontrak om duda   Kemarahan yang mengakar

    “Lihatlah pilihan Ardhan itu.”Suara Mama Niar terdengar lagi, kali ini dengan nada kesal yang menusuk telinga, ditujukan kepada putri tertuanya, Vivi.Perempuan bernama Vivi itu hanya terdiam di kursi makan, menunduk sembari memotong buah semangka di hadapannya. Telinganya sudah terbiasa dengan ocehan ibunya yang tak pernah berhenti jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Sejak kecil ia sudah kenyang mendengar suara bernada tinggi dari ibunya, jadi ia sama sekali tidak heran ketika ocehan itu kembali meluncur sekarang.Memang sudah begitulah watak Mama Niar, pikir Vivi. Wanita itu jarang sekali merasa cocok dengan sesuatu atau seseorang. Bahkan dulu ketika ayah menikahi Mama Niar, kabarnya hubungan mereka pun penuh pertentangan di awal. Namun pada akhirnya, setelah waktu berjalan dan mereka saling mengenal lebih dalam, semua berubah. Sekarang justru ayah menjadi kebanggaan di mata Mama Niar. Itulah yang Vivi yakini: pada dasarnya sifat seorang ibu memang selalu menola

  • Istri kontrak om duda   Sentuhan yang menguatkan

    Ayudia hanya bisa menghela napas panjang, dada terasa penuh sesak oleh luka yang baru saja digoreskan. Kata-kata pedas yang meluncur begitu lancang dari bibir wanita itu—wanita yang kini ia tahu adalah ibu kandung Ardhan—masih berputar-putar di telinganya, menggema tanpa henti, seakan-akan diputar ulang dalam kepalanya. Setiap kalimat, setiap intonasi, setiap tatapan penuh penghinaan, bagaikan paku yang ditancapkan satu per satu ke dalam hatinya yang rapuh.Ia berusaha menegakkan tubuh, namun gemetar halus di tangannya tak bisa disembunyikan. Wajahnya yang tadi berusaha ditahan tetap tenang, perlahan terasa panas. Rasa malu, sakit hati, sekaligus marah yang tak berdaya bercampur menjadi satu.Sebelum ia sempat benar-benar menguasai dirinya, pandangan matanya masih mengikuti sosok wanita itu—wanita yang dengan segala wibawa dan otoritasnya melangkah naik ke lantai atas. Gaun elegan yang dipakainya berayun lembut mengikuti gerakannya. Tumit stiletto yang menghantam lantai marmer meningg

  • Istri kontrak om duda   Tamu yang tak diundang

    Bab — Tamu yang Tak DiundangAyudia menatap tanpa berkedip, seolah tubuhnya membeku dalam waktu yang mendadak melambat. Pandangan matanya terpaku pada dua sosok yang kini berdiri di ambang pintu rumah besar itu, sosok yang kehadirannya bagai badai dingin yang menerobos masuk tanpa peringatan.Wanita berusia setengah abad itu melangkah masuk tanpa diminta. Gerakannya menunjukkan keanggunan yang tidak dibuat-buat, tapi dibalut dengan aura otoritas yang kental. Setiap langkah tumit stiletto-nya menghantam lantai marmer dengan dentuman yang tegas, suara yang cukup untuk menggetarkan dada Ayudia yang sedang dilanda kecemasan. Wajah wanita itu terawat rapi—garis-garis usia memang tampak jelas, namun bukan kelemahan yang tercermin darinya, melainkan justru kekuatan, wibawa, dan otoritas. Tatapan matanya menusuk lurus ke arah Ayudia dengan dingin, sinis, dan tanpa berusaha menyamarkan rasa tidak suka yang terpancar begitu terang dari dalam dirinya.Di sampingnya berdiri seorang perempuan muda

  • Istri kontrak om duda   Hari kedua tidak baik-baik saja

    Hari Kedua yang Tak Baik-Baik SajaHari kedua seharusnya memberi ruang untuk beradaptasi, atau setidaknya membuat Ayudia sedikit lebih tenang. Namun begitu matanya terbuka pagi itu, yang ia rasakan justru kekosongan yang semakin menyesakkan.Cahaya matahari menyusup masuk dari balik tirai tipis jendela besar di kamar itu, menari lembut di lantai marmer. Tapi sinar pagi yang biasanya membawa harapan, kini tak lebih dari cahaya asing di ruang asing. Ayudia membuka matanya perlahan, menoleh ke sekeliling. Sunyi. Kosong. Hening. Ia sendirian.Tak ada suara langkah kaki di lorong. Tak ada suara napas berat seorang laki-laki di ruangan lain. Ia tahu… Ardhan sudah pergi.Entah sejak jam berapa.Entah ke mana.Dan, entah mengapa, fakta bahwa pria itu pergi tanpa satu pun kabar atau sekadar catatan di meja membuat hatinya terasa makin beku. Tapi Ayudia tidak terkejut. Ia bahkan tidak kecewa. Ini justru sesuai dengan apa yang ia harapkan—sejauh mungkin dari hubungan fisik atau kedekatan emosion

  • Istri kontrak om duda   Masuk ke dunia miliknya

    Kediaman ArdhanSehari Setelah PernikahanMobil hitam berkelas dengan desain elegan itu meluncur pelan di jalanan kawasan elit yang sunyi dan terawat sempurna. Sorot lampunya yang tajam menyapu jalanan beraspal mulus yang dibingkai deretan pohon kamboja dan bougenville, memberikan nuansa yang hampir seperti lukisan—indah tapi dingin, jauh dari kehangatan. Di dalam kabin yang senyap itu, hanya terdengar desiran lembut dari AC dan dengungan mesin yang nyaris tak terdengar.Ayudia duduk di bangku belakang, tubuhnya kaku dan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terlipat di atas pangkuan, jemarinya saling menggenggam erat seolah menjadi satu-satunya pegangan yang masih ia miliki di dunia baru yang belum sepenuhnya ia pahami. Wajahnya menunduk sedikit, namun sesekali ia melirik ke arah pria yang duduk di sampingnya.Ardhan. Lelaki itu masih dengan ekspresi dingin yang tak pernah berubah sejak kemarin sore—sejak mereka meninggalkan kafe tempat perjanjian hidup mereka ditandatangani. Tidak sepa

  • Istri kontrak om duda   Kesepakatan hitam di atas putih

    Kesepakatan hitam di atas putih.Sebuah Kafe, Sore HariKafe itu terletak di sudut kota yang tidak terlalu bising, agak tersembunyi di balik deretan pohon angsana dan bangunan-bangunan bercorak kolonial yang telah direstorasi menjadi tempat usaha. Dari luar, bangunannya tampak seperti rumah tua yang hangat, dengan jendela-jendela besar berbingkai putih dan pintu kayu yang dicat cokelat gelap. Di terasnya, ada beberapa kursi rotan dan meja bundar, dihiasi tanaman gantung yang menggantung lembut, menari pelan bersama semilir angin senja.Di dalam, suasana terasa jauh berbeda dari dunia luar yang hiruk-pikuk. Lampu gantung bergaya industrial menggantung rendah, memancarkan cahaya kuning lembut yang menciptakan nuansa hangat dan intim. Aroma kopi dan kayu manis memenuhi udara. Beberapa pengunjung duduk diam, larut dalam bacaan atau obrolan pelan. Musik jazz instrumental mengalun sayup dari pengeras suara tersembunyi, menambah kesan eksklusif namun menenangkan.Ayudia duduk di salah satu s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status