Home / Young Adult / Istri kontrak om duda / Masuk ke dunia miliknya

Share

Masuk ke dunia miliknya

Author: Tiffany
last update Huling Na-update: 2025-07-28 17:27:20

Kediaman Ardhan

Sehari Setelah Pernikahan

Mobil hitam berkelas dengan desain elegan itu meluncur pelan di jalanan kawasan elit yang sunyi dan terawat sempurna. Sorot lampunya yang tajam menyapu jalanan beraspal mulus yang dibingkai deretan pohon kamboja dan bougenville, memberikan nuansa yang hampir seperti lukisan—indah tapi dingin, jauh dari kehangatan. Di dalam kabin yang senyap itu, hanya terdengar desiran lembut dari AC dan dengungan mesin yang nyaris tak terdengar.

Ayudia duduk di bangku belakang, tubuhnya kaku dan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terlipat di atas pangkuan, jemarinya saling menggenggam erat seolah menjadi satu-satunya pegangan yang masih ia miliki di dunia baru yang belum sepenuhnya ia pahami. Wajahnya menunduk sedikit, namun sesekali ia melirik ke arah pria yang duduk di sampingnya.

Ardhan. Lelaki itu masih dengan ekspresi dingin yang tak pernah berubah sejak kemarin sore—sejak mereka meninggalkan kafe tempat perjanjian hidup mereka ditandatangani. Tidak sepatah kata pun keluar dari bibir pria itu sejak mobil mulai melaju. Bahkan tak ada lirikan atau sekadar helaan napas yang bisa memberinya celah untuk merasa nyaman. Semua gerak-geriknya seolah dirancang untuk menciptakan batas yang tegas, batas yang tidak bisa dilanggar.

Ayudia menarik napas perlahan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terus berdetak tak beraturan. Usianya baru sembilan belas tahun—masih belia, masih di tahap belajar memahami kehidupan, namun hari ini, hidup memaksanya menapaki jalan yang bahkan tidak semua orang dewasa sanggup melaluinya tanpa ragu. Hidup telah memaksanya menanggalkan keraguan dengan cepat, menjatuhkan langkah besar yang menuntut pengorbanan lebih dari sekadar kenyamanan diri sendiri.

Sementara lelaki di sebelahnya—Ardhan—adalah sosok yang sangat berbeda dari dunia yang pernah Ayudia kenal. Pria matang dengan usia tiga puluh enam tahun, nyaris dua kali lipat dari usianya sendiri. Ia tidak hanya lebih tua, tapi juga lebih keras, lebih tertutup, dan lebih menguasai suasana. Wajahnya tegas dengan garis rahang yang kokoh dan mata tajam yang seolah mampu membaca isi kepala orang lain hanya lewat satu lirikan. Tidak ada kelembutan di wajah itu, tidak pula keramahtamahan. Yang ada hanyalah keheningan penuh kendali.

Sebagai CEO dari perusahaan besar yang namanya dikenal hingga luar negeri, Ardhan terbiasa memerintah dan dituruti, bukan berdialog atau membangun hubungan emosional. Ia adalah jenis pria yang berdiri kokoh seperti gunung—tak tergoyahkan, tak terbaca, dan tak tersentuh. Dan sekarang, Ayudia, seorang gadis dari keluarga sederhana, akan tinggal di bawah atap yang sama dengannya.

Mobil berhenti perlahan di depan sebuah gerbang tinggi berwarna hitam matte dengan desain minimalis modern. Gerbang itu otomatis terbuka, memperlihatkan jalan setapak yang mengarah ke sebuah hunian megah yang tak sekadar rumah, tapi simbol kekuasaan, kestabilan, dan ketertiban. Bangunan utama berdiri gagah dengan arsitektur kontemporer yang menonjolkan elemen batu alam dan kayu gelap. Tidak ada kemewahan mencolok yang norak. Semua terlihat eksklusif—mahal, tapi tidak berisik. Seolah rumah itu dibangun oleh seseorang yang tidak hanya kaya, tapi juga tahu persis bagaimana cara mengendalikan dunia tanpa perlu banyak bicara.

“Turun,” ucap Ardhan akhirnya, suaranya rendah dan tenang, namun dingin. Ia membuka pintu mobil lebih dulu tanpa menoleh sedikit pun pada Ayudia.

Ayudia menelan ludah, berusaha menelan juga rasa canggung dan gemetar yang sejak tadi bersembunyi di balik dadanya. Ia menggerakkan kakinya keluar dari mobil dengan langkah ragu, lalu berdiri di atas lantai marmer pekarangan rumah yang berkilau. Ia mendongak, menatap rumah yang menjulang dengan jendela-jendela tinggi dan dinding kokoh yang membuatnya merasa begitu kecil.

Beberapa detik ia terpaku. Rumah itu terlalu luas. Terlalu senyap. Terlalu dingin, bahkan meskipun matahari masih menggantung tinggi di langit siang.

Pintu utama terbuka perlahan dari dalam. Seorang pria paruh baya dengan penampilan sangat rapi berdiri di ambang pintu, membungkuk hormat begitu melihat Ardhan. Wajahnya datar dan serius. Dari sorot matanya yang dingin dan cara berbicara yang terukur, Ayudia bisa menebak bahwa ia adalah kepala pelayan atau mungkin asisten rumah tangga senior.

“Selamat datang di kediaman Tuan Ardhan,” ucap pria itu dengan suara formal, berat namun sopan.

Ayudia mengangguk kecil. Matanya bergerak cepat, memperhatikan interior rumah yang bisa dilihat dari balik pintu: ruang tamu yang luar biasa rapi, simetris, dan penuh ketertiban. Tidak ada jejak kehidupan keluarga di sana. Tak ada mainan anak-anak, tak ada tumpukan buku bacaan, tak ada aroma masakan rumah yang hangat. Hanya ada aroma kayu yang dipernis, udara dingin dari pendingin ruangan, dan atmosfer steril yang lebih mirip galeri seni daripada rumah tinggal.

“Mulai sekarang, ini tempat tinggalmu,” ucap Ardhan saat mereka memasuki ruang tengah yang lebih luas dan terang. Nada suaranya tetap dingin, namun kini ia akhirnya menoleh ke arah Ayudia, menatap langsung ke matanya untuk pertama kalinya sejak kemarin.

Ayudia menahan napas.

“Kamar untukmu sudah disiapkan di lantai atas. Kita akan tetap menjalani kehidupan masing-masing. Aku tidak akan mencampuri urusanmu selama kamu tidak melanggar perjanjian.”

Nada suaranya terdengar seperti membaca pasal-pasal kontrak, tidak ada getaran emosi, tidak ada jeda kehangatan. Ia seperti seorang bos yang menyampaikan aturan kerja kepada karyawan baru—ringkas, padat, dan tak perlu ditanggapi.

Ayudia menunduk perlahan, menahan rasa perih yang tiba-tiba menjalari dadanya. Ia tahu, ia sudah menyetujui kesepakatan ini. Ia bukan istri dalam artian sesungguhnya, tidak juga tamu yang istimewa. Ia hanyalah seseorang yang hadir karena syarat dan keadaan.

“Terima kasih…” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.

Ardhan tidak memberi respons. Ia hanya mengangguk singkat lalu berbalik, langkahnya mantap meninggalkan Ayudia berdiri sendirian di tengah ruang yang terlalu lapang dan terlalu sunyi. Langkah kakinya bergema di lantai batu yang mengilat, menghilang ke arah ruang kerjanya entah di mana.

Tak lama berselang, kepala pelayan yang tadi menyambut mereka kembali muncul. Tanpa banyak bicara, ia memberi isyarat halus kepada Ayudia untuk mengikutinya. Mereka berjalan menaiki tangga berkarpet lembut menuju lantai atas, melewati lorong panjang dengan dinding bercat putih susu dan lampu gantung bergaya industrial. Semua tampak mahal, bersih, dan... tidak ramah.

Mereka berhenti di depan sebuah pintu bercat abu muda di sisi kanan bangunan. Pria itu membukanya perlahan, memperlihatkan ruangan yang jelas disiapkan dengan detail sempurna. Kamar itu luas, dengan ranjang ukuran king, seprai putih bersih, jendela lebar yang menghadap langsung ke taman belakang, dan furnitur minimalis berwarna netral.

“Kalau Nona membutuhkan sesuatu, cukup tekan bel ini,” ujar pria itu, menunjuk ke sebuah tombol kecil di dekat pintu. Suaranya masih formal, tanpa nada personal.

Ayudia mengangguk. “Terima kasih.”

Saat pintu ditutup perlahan dan suara langkah sang pelayan menjauh, Ayudia berdiri membeku di tengah kamar. Ia menatap sekeliling: tempat tidur yang terlalu besar, lemari yang terlalu kosong, jendela yang terlalu lebar, dan langit-langit yang terlalu tinggi. Semua terasa asing. Terlalu sempurna, terlalu sunyi, terlalu bersih… terlalu tidak manusiawi.

Ia berjalan pelan ke tepi ranjang, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke dalam kasur empuk yang menyambut tubuh ringkihnya seperti awan. Ayudia menatap langit-langit. Tak ada apa-apa di sana selain cahaya lampu yang temaram dan gema keheningan yang mulai bergema dari dalam dadanya sendiri.

Pandangan matanya beralih ke jendela. Di luar sana, taman kecil dengan rerumputan hijau dan semak berbunga tampak indah dan tertata rapi. Tapi seindah apa pun taman itu, tetap saja tidak menghadirkan kehangatan. Tak ada suara burung, tak ada aroma tanah basah, tak ada tawa anak-anak. Hanya ketertiban. Dan ketertiban tanpa jiwa, adalah kesunyian yang halus namun menyakitkan.

Air mata nyaris menetes, menggenang di pelupuk mata yang sudah lelah. Tapi Ayudia buru-buru mengerjap, menghapus kelembaban itu sebelum jatuh. Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuhnya, menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan napasnya tenang, menata ulang kekuatan yang sempat goyah.

Ini bukan waktunya untuk rapuh. Ia sudah memilih jalan ini. Dan seperti jalan mana pun yang penuh pengorbanan, satu-satunya cara adalah maju. Bertahan. Menegakkan kepala, seberapa pun beratnya beban di atas pundak.

Hari itu menjadi awal dari kehidupan baru bagi Ayudia. Sebuah awal yang tidak pernah ia bayangkan, tapi harus ia jalani. Di rumah yang besar, sepi, dan nyaris tanpa jejak manusia itu, ia harus belajar menjadi lebih dewasa dari usianya. Harus tumbuh lebih cepat dari semestinya. Harus menanggalkan masa remajanya dan melangkah sebagai sosok baru: seorang perempuan yang bersedia menukar kebebasan dan kebahagiaannya demi nyawa orang yang ia cintai.

Dan dia sejak awal sudah memutuskan takdir nya.

Dan meskipun kini mereka tinggal di bawah atap yang sama, jarak antara Ayudia dan Ardhan tetaplah seperti dua kutub berlawanan. Pria itu masih menjadi gunung es yang tak tergoyahkan, sementara ia—Ayudia—hanyalah percikan api kecil yang harus tetap menyala… entah sampai kapan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri kontrak om duda   Di atas meja makan

    Kembali ke rumah utama Papa Gunawan dan Mama Niar.Perjalanan menanjak menuju kediaman besar keluarga Gunawan benar-benar menguras tenaga. Jalan yang menukik perlahan dari bawah terasa panjang dan melelahkan, apalagi setelah mobil yang mereka tumpangi mengalami kendala dan terpaksa berhenti di ujung jalan. Ardhan berjalan di depan, langkahnya cepat, mantap, dan terkesan tidak peduli dengan orang lain, sementara Ayudia harus berusaha keras menyesuaikan langkahnya di belakang.Keringat dingin sudah mulai membasahi pelipisnya. Helaan napasnya makin berat, seolah paru-parunya menolak bekerja sama. Yang paling menyiksa sebenarnya bukan hanya rasa lelah pada tubuhnya, melainkan perih yang menjalar di kedua kakinya. Sepasang sepatu hak tinggi yang baru pertama kali ia kenakan sore ini terasa seperti alat penyiksa. Heels berwarna krem yang harganya mahal itu memang tampak anggun, tetapi bagian dalamnya yang masih kaku menusuk tumitnya hingga terasa lecet.Ayudia sempat ingin mengeluh, setidak

  • Istri kontrak om duda   Insiden tak terduga

    Beberapa waktu sebelumnya,sebelum mereka benar-benar tiba di rumah besar Papa Gunawan dan Mama Niar.Perjalanan yang semula terasa mulus dan lancar itu tiba-tiba berubah di luar dugaan. Begitu mobil yang ditumpangi Ardhan dan Ayudia hampir mencapai kediaman rumah utama keluarga Gunawan, mendadak kendaraan yang mereka gunakan bertingkah aneh. Tanpa tanda apa pun, mesin mobil berhenti begitu saja, mogok seketika. Peristiwa itu jelas membuat suasana di dalam mobil terasa hening, hanya tersisa desah napas keduanya yang saling bersahut.Ardhan yang duduk di kursi pengemudi langsung mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka akan mengalami kejadian semacam ini, apalagi mobil yang ia gunakan masih tergolong sangat baru, bahkan belum genap setahun sejak pertama kali dibawa keluar dari dealer. Selama ini tidak pernah ada masalah berarti, mesin selalu bekerja dengan baik, performanya prima. Namun, anehnya, malam ini justru terjadi hal yang di luar perkiraannya."Tumben?" gumamnya pelan, suara r

  • Istri kontrak om duda   Penantian di meja makan

    Rumah Keluarga Utama ArdhanKediaman Papa Gunawan dan Mama Niar selalu menjadi tempat yang penuh dengan aturan dan tata krama. Sebuah rumah besar bergaya modern klasik, dengan dinding bercat putih yang selalu tampak bersih berkilau meskipun sudah bertahun-tahun berdiri. Di bagian dalamnya, setiap sudut ruangan dipenuhi dengan perabotan yang tertata rapi, seolah ada garis tak kasatmata yang melarang benda-benda itu bergeser dari tempatnya. Aroma kayu manis bercampur harum masakan dari dapur tercium samar, menandakan bahwa jam makan malam sudah semakin dekat.Di tengah suasana rumah yang tenang itu, suara Mama Niar tiba-tiba pecah. Nada suaranya meninggi, terdengar jelas dari arah tangga menuju ke dapur.“Mereka terlambat?” ucapnya dengan nada tak sabar.Langkahnya cepat, seolah setiap hentakan tumitnya adalah pelampiasan kekesalan. Ia berjalan melewati ruang tengah dengan gaun rumah panjang berwarna krem yang membalut tubuhnya, kainnya bergerak mengikuti irama langkah. Sesekali tangann

  • Istri kontrak om duda   Seribu kecurigaan

    Mendengar pertanyaan dari kakak perempuannya, Ardhan sama sekali tidak segera membalas ucapan itu. Lelaki itu memilih untuk tetap diam, menahan segala sesuatu yang mungkin akan meluncur dari bibirnya. Ia hanya berdiri tegak di tempatnya, mengatur napas, lalu perlahan mengalihkan pandangannya pada sosok Ayudia. Tatapan yang ia berikan bukanlah tatapan biasa. Ada ketegasan yang samar-samar terbaca, ada pesan tersembunyi yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Sorot matanya seolah hendak berkata: “Hati-hati dengan ucapanmu, jangan sembarangan memilih kata di hadapanku maupun di hadapan keluargaku.”Ayudia merasakan sorot itu menghujam, namun ia sama sekali tidak bergeming. Tubuhnya tetap tegak di tempatnya, kedua tangannya ia rapatkan di depan, jemarinya saling menggenggam erat seperti mencari pegangan. Gadis itu tahu betul apa yang tengah melintas di kepala Ardhan. Ia bisa membaca maksud dari tatapan itu, bisa menebak dengan jelas bahwa Ardhan ingin menekannya dengan isyarat diam-di

  • Istri kontrak om duda   Tatapan dalam kebisuan

    Rumah Utama ArdhanJelang Makan Malam KeluargaBegitu Ardhan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah besarnya, sejenak pandangan mata laki-laki itu menangkap sosok dua orang yang tengah bergerak menuruni anak tangga. Gerakan itu begitu anggun dan tertata, seakan setiap pijakan kaki mereka memiliki ritme tertentu yang mengisi keheningan rumah pada sore itu. Tatapan mata Ardhan langsung tertuju pada Vivi, kakak perempuannya, lalu bergeser ke arah gadis muda yang berjalan di sisi Vivi, yaitu Ayudia.Ardhan terdiam di tempatnya untuk beberapa waktu. Ada sesuatu yang menghentikan gerak tubuhnya, membuat langkah yang semula ingin segera dipercepat menuju ruang makan itu tertahan begitu saja. Pandangannya terpaku pada sosok Ayudia yang perlahan menuruni anak tangga, mengikuti setiap gerakannya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.Laki-laki itu menelisik penampilan Ayudia dengan mata yang tajam namun penuh perhitungan. Ia memperhatikan dandanan yang telah dipoles dengan sentuhan tangan ahli

  • Istri kontrak om duda   Kenangan yang terlalu sulit dilupakan

    Gunawan GroupRuang kerja Ardhan.Ardhan memejamkan kedua matanya rapat-rapat, jari-jarinya yang kokoh menekan pelipisnya yang sejak pagi terasa berdenyut. Pekerjaan yang menumpuk di atas meja besar berlapis kayu jati itu belum juga selesai, sementara tubuhnya masih terasa letih akibat urusan pernikahannya beberapa hari yang lalu. Tumpukan dokumen, agenda rapat yang tertunda, serta dering telepon yang tak kunjung berhenti membuat pikirannya semakin berat. Rasa letih itu tidak hanya melekat di tubuh, tetapi juga menyeret batinnya ke dalam kelelahan yang lebih dalam. Setiap kali ia mencoba menghela napas panjang, yang hadir justru rasa sesak, seakan ruangan itu terlalu sempit untuknya.Jam pulang kerja semakin dekat. Namun, anehnya, ini kali pertama Ardhan enggan untuk bergegas pulang. Biasanya, meski lelah, rumah tetap menjadi tempat istirahat baginya. Tapi kali ini, entah mengapa, ada sesuatu yang menahannya. Ia tahu pasti apa alasannya. Saat ia kembali ke rumah, ia akan berhadapan de

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status