Ijab yang Tak Pernah Kusebut Cinta
Langit sore itu tampak menggantung muram. Awan kelabu berarak lambat di cakrawala, seolah ikut menyimpan luka dan rahasia yang tak sanggup diungkapkan oleh manusia. Matahari yang biasanya bersinar gagah, kini redup seperti enggan menyaksikan apa yang akan terjadi di bawah naungannya. Angin berembus pelan, membawa aroma bunga dan debu yang tak kasatmata, tetapi menusuk tepat ke dada Ayudia. Hatinya bergolak. Gelisahnya menumpuk, menyembunyikan riak-riak keresahan yang bahkan tak sanggup ia uraikan dalam kalimat. Di tengah gemuruh batin yang menyempitkan dada itu, terdengar suara lirih namun tajam—memecah keheningan yang menjerat. "Mari kita mulai..." Kalimat itu sederhana, namun dampaknya luar biasa. Ia seperti palu yang menghantam keras kesadarannya, menyeret Ayudia keluar dari alam pikirannya yang kosong tapi gaduh. Suara itu terdengar nyaring di telinga, menggema dalam benak yang sudah terlalu sesak oleh kebimbangan dan kecemasan. Ayudia menundukkan kepalanya perlahan. Nafas panjang ia hembuskan diam-diam, berusaha menenangkan degup jantung yang berpacu tak beraturan. Ia merasa seperti sedang melangkah di ujung tebing, dengan mata tertutup, tanpa tahu apakah langkah berikutnya akan menyelamatkan atau justru menjatuhkannya ke jurang. Kebaya putih yang membalut tubuhnya tampak indah, bahkan terlalu indah untuk hari yang terasa kelabu baginya. Payet-payet perak di atas kain putih itu berkilauan terkena sorotan lampu pelaminan, menciptakan ilusi seolah ia adalah pengantin yang bahagia dan siap menyambut takdir barunya. Make up tipis yang membingkai wajahnya pun nyaris sempurna, menyembunyikan kegelisahan yang menggulung di balik kedua bola matanya yang berkaca. Ia tampak memesona, seperti putri dalam dongeng. Namun hanya Ayudia sendiri yang tahu bahwa di balik penampilan luar yang anggun itu, ia tengah retak. Ia berdiri di hadapan orang banyak, tapi sesungguhnya merasa sendirian, terasing di antara senyum-senyum palsu dan sorak-sorai yang tak menyentuh hatinya. Suara penghulu kembali terdengar. Kali ini lebih lantang, lebih mengikat. "Saya terima nikahnya... kawinnya..." Dan pada saat itu juga, seakan waktu berhenti sejenak. Ruang seketika menyempit, seperti oksigen di dalamnya menghilang. Tubuh Ayudia membeku. Kata-kata itu menghantam dadanya, membuat napasnya tercekat. Ia ingin berteriak, ingin membatalkan semuanya, ingin mengatakan bahwa ia belum siap. Tapi tenggorokannya seperti terkunci. Lidahnya kelu. Semua yang ingin diucapkan tertahan di dasar hati yang bergetar hebat. "Sah kah aku menjadi istri seseorang?" Pertanyaan itu terlintas begitu saja. Namun dampaknya seolah mengguncang fondasi dalam dirinya. Ayudia mengangkat wajahnya perlahan. Pandangannya tertuju ke ujung ruangan, ke arah seorang laki-laki yang kini duduk menghadap penghulu, bersandar tenang di balik balutan jas hitam rapi. Sosok itu—Ardhan, lelaki yang kini menjadi suaminya secara sah, secara hukum, secara agama. Tapi... apakah secara batin juga? Tak ada lamaran, tak ada waktu untuk saling mengenal lebih dalam. Semua berjalan cepat. Terlalu cepat. Tergesa, seperti pagi yang dipaksa berlari sebelum fajar sempat menyingsing sempurna. "Menikah?" bisik hatinya lirih, nyaris seperti suara napas yang tercekat. Ia memejamkan mata. Ada jeda dalam dirinya. Dan saat mata itu terbuka kembali, terdengarlah pertanyaan paling sakral yang menggema dari mulut sang penghulu. "Sah?" Suasana tiba-tiba hening. Beberapa detik berlalu sebelum para saksi dan tamu menjawab serempak dengan suara lantang: "Sah." "Sah." "Sah." Tiga kali. Dan tiga kali pula, hati Ayudia seolah runtuh. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah perlahan. Bukan dalam isak, bukan dalam tangis yang pecah—melainkan dalam diam. Ada luka yang tak dapat dijelaskan, ada kesedihan yang mengalir tanpa suara. Ia menunduk. Tangisnya hanyalah aliran sepi yang tidak seorang pun menyadari. Di hadapan para tamu, ia tetap menjadi sosok pengantin yang anggun dan tenang. Tapi di dalam dirinya, badai telah menggulung habis semua keyakinan. Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut menghampiri bahunya. "Apa kamu bahagia, Nak?" Sebuah suara lembut, hangat dan penuh kasih menyapa telinganya. Ayudia menoleh perlahan. Di sampingnya, seorang perempuan paruh baya duduk dengan wajah teduh dalam balutan kebaya pastel sederhana. Bola mata perempuan itu bergetar, berkaca-kaca, menyimpan banyak tanya yang tak terucap. Itu adalah ibunya—satu-satunya tempat pulang, tempat ia biasa menyimpan tangis dan lelah. Ayudia menatapnya, dan dalam sekejap, dinding ketegarannya mulai runtuh. Air mata mengalir lebih deras. Ibu menggenggam tangannya erat, tak berkata apa-apa. Tapi dalam genggaman itu, Ayudia merasa disentuh oleh cinta yang paling murni. Mereka hanya saling menatap. Hening. Tapi dalam hening itu ada banyak percakapan yang tak perlu diucap. Ibu tahu. Ibu selalu tahu. Betapa hati Ayudia sedang berperang dalam senyap. Betapa bahagia yang tampak hanyalah topeng. Dan kemudian, kenangan malam sebelumnya kembali datang tanpa diundang. > "Menikah itu bukan permainan, Ayudia..." Suara ibu terdengar dalam ingatannya, penuh tekanan dan kasih yang berbaur menjadi satu. "Bukan seperti naik komidi putar yang bisa kamu hentikan kalau kamu pusing. Ini ibadah, ini janji suci. Bukan hanya janji antara kamu dan dia, tapi juga antara kamu dan Allah. Jangan pernah mempermainkan pernikahan, Nak. Karena pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling dicintai Allah. Jangan jadikan ibadah itu sekadar formalitas." Waktu itu Ayudia hanya diam, tidak menjawab. Ia hanya sibuk di dapur, berpura-pura tidak mendengar, mengaduk adonan bolu yang bahkan tak jadi dipanggang. Bukan karena malas. Tapi karena hatinya terlalu berat untuk menyambut hari yang akan datang. "Bismillah, Mak... InsyaAllah," ucapnya saat itu, lirih seperti desahan angin. Ia sendiri tak tahu kepada siapa kata itu ditujukan. Pada ibunya? Pada Tuhan? Atau pada dirinya sendiri yang sedang mencoba menipu rasa takut? Dan kini, ia telah resmi menjadi seorang istri. Namun, tidak ada satu pun yang tahu bahwa pernikahan ini tak seperti yang dibayangkan banyak orang. Tak ada kisah cinta yang mekar, tak ada kenangan manis sebelum hari ijab. Semuanya berjalan seperti drama yang sudah ditulis tanpa skrip emosi. Ayudia kembali menatap ibunya yang kini menggenggam jemarinya, lalu menarik tubuh putrinya ke dalam pelukan. Pelukan yang dalam, lama, dan menenangkan. Dan dalam pelukan itu, ibu berbisik dengan suara parau, namun penuh keyakinan. > "Jama’allahu syamlakumaa, waas’ada jadda kumaa, wabaarik ‘alaikumaa, waakhraja minkumaa katsiiran thayyiban..." (Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.” – HR. Anas bin Malik) Doa itu masuk perlahan ke dalam hati Ayudia. Bukan karena ia merasa layak mendapatkan semua harapan baik itu. Tapi karena suara itu datang dari ibunya. Dan bagi Ayudia, tak ada doa yang lebih sakral selain yang keluar dari mulut ibu yang mencintainya tanpa syarat. Ia menangis lagi. Kali ini lebih tulus. Bukan karena sedih semata, tapi karena ia merasa bersalah. Karena ia tahu, ini bukan jalan yang benar-benar ia pilih dengan penuh suka cita. "Maaf." Hanya satu kata. Satu bisikan dari lubuk hatinya yang terdalam. Kata yang tak terdengar siapa pun, tak terucap secara nyata, tapi mengandung seribu penyesalan. Dari kejauhan, tampak Ardhan berdiri. Ia menatap Ayudia dan ibunya dalam diam. Tak ada ekspresi di wajahnya. Tidak juga senyuman yang biasanya menghiasi mempelai pria saat hari pernikahan. Ia berdiri seperti patung batu. Tegap, tapi beku. Tatapan matanya dalam, tapi kosong. Mungkin Ardhan pun sedang menyimpan rahasia. Mungkin hatinya juga tak sepenuhnya utuh. Mereka kini terikat, sah menurut agama dan negara, namun batin mereka masih asing satu sama lain. Dua insan yang dipertemukan bukan oleh cinta, melainkan oleh keadaan. Ayudia kembali menunduk. Dalam hatinya, badai belum reda. Tapi ia tahu, kehidupan telah dimulai dari titik ini. Dan ia harus menjalaninya—entah dengan hati yang penuh atau hati yang masih bolong. Di luar sana, langit yang sejak tadi mendung akhirnya menitikkan air hujan pertama. Rintiknya jatuh perlahan di atas atap, seperti ikut meratapi kisah yang baru saja dimulai. Bukan dengan tawa dan pelukan, tapi dengan diam dan air mata. Perjalanan ini akan panjang. Dan Ayudia belum tahu, akan ia arungi dengan cinta—atau sekadar kewajiban.Kembali ke rumah utama Papa Gunawan dan Mama Niar.Perjalanan menanjak menuju kediaman besar keluarga Gunawan benar-benar menguras tenaga. Jalan yang menukik perlahan dari bawah terasa panjang dan melelahkan, apalagi setelah mobil yang mereka tumpangi mengalami kendala dan terpaksa berhenti di ujung jalan. Ardhan berjalan di depan, langkahnya cepat, mantap, dan terkesan tidak peduli dengan orang lain, sementara Ayudia harus berusaha keras menyesuaikan langkahnya di belakang.Keringat dingin sudah mulai membasahi pelipisnya. Helaan napasnya makin berat, seolah paru-parunya menolak bekerja sama. Yang paling menyiksa sebenarnya bukan hanya rasa lelah pada tubuhnya, melainkan perih yang menjalar di kedua kakinya. Sepasang sepatu hak tinggi yang baru pertama kali ia kenakan sore ini terasa seperti alat penyiksa. Heels berwarna krem yang harganya mahal itu memang tampak anggun, tetapi bagian dalamnya yang masih kaku menusuk tumitnya hingga terasa lecet.Ayudia sempat ingin mengeluh, setidak
Beberapa waktu sebelumnya,sebelum mereka benar-benar tiba di rumah besar Papa Gunawan dan Mama Niar.Perjalanan yang semula terasa mulus dan lancar itu tiba-tiba berubah di luar dugaan. Begitu mobil yang ditumpangi Ardhan dan Ayudia hampir mencapai kediaman rumah utama keluarga Gunawan, mendadak kendaraan yang mereka gunakan bertingkah aneh. Tanpa tanda apa pun, mesin mobil berhenti begitu saja, mogok seketika. Peristiwa itu jelas membuat suasana di dalam mobil terasa hening, hanya tersisa desah napas keduanya yang saling bersahut.Ardhan yang duduk di kursi pengemudi langsung mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka akan mengalami kejadian semacam ini, apalagi mobil yang ia gunakan masih tergolong sangat baru, bahkan belum genap setahun sejak pertama kali dibawa keluar dari dealer. Selama ini tidak pernah ada masalah berarti, mesin selalu bekerja dengan baik, performanya prima. Namun, anehnya, malam ini justru terjadi hal yang di luar perkiraannya."Tumben?" gumamnya pelan, suara r
Rumah Keluarga Utama ArdhanKediaman Papa Gunawan dan Mama Niar selalu menjadi tempat yang penuh dengan aturan dan tata krama. Sebuah rumah besar bergaya modern klasik, dengan dinding bercat putih yang selalu tampak bersih berkilau meskipun sudah bertahun-tahun berdiri. Di bagian dalamnya, setiap sudut ruangan dipenuhi dengan perabotan yang tertata rapi, seolah ada garis tak kasatmata yang melarang benda-benda itu bergeser dari tempatnya. Aroma kayu manis bercampur harum masakan dari dapur tercium samar, menandakan bahwa jam makan malam sudah semakin dekat.Di tengah suasana rumah yang tenang itu, suara Mama Niar tiba-tiba pecah. Nada suaranya meninggi, terdengar jelas dari arah tangga menuju ke dapur.“Mereka terlambat?” ucapnya dengan nada tak sabar.Langkahnya cepat, seolah setiap hentakan tumitnya adalah pelampiasan kekesalan. Ia berjalan melewati ruang tengah dengan gaun rumah panjang berwarna krem yang membalut tubuhnya, kainnya bergerak mengikuti irama langkah. Sesekali tangann
Mendengar pertanyaan dari kakak perempuannya, Ardhan sama sekali tidak segera membalas ucapan itu. Lelaki itu memilih untuk tetap diam, menahan segala sesuatu yang mungkin akan meluncur dari bibirnya. Ia hanya berdiri tegak di tempatnya, mengatur napas, lalu perlahan mengalihkan pandangannya pada sosok Ayudia. Tatapan yang ia berikan bukanlah tatapan biasa. Ada ketegasan yang samar-samar terbaca, ada pesan tersembunyi yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Sorot matanya seolah hendak berkata: “Hati-hati dengan ucapanmu, jangan sembarangan memilih kata di hadapanku maupun di hadapan keluargaku.”Ayudia merasakan sorot itu menghujam, namun ia sama sekali tidak bergeming. Tubuhnya tetap tegak di tempatnya, kedua tangannya ia rapatkan di depan, jemarinya saling menggenggam erat seperti mencari pegangan. Gadis itu tahu betul apa yang tengah melintas di kepala Ardhan. Ia bisa membaca maksud dari tatapan itu, bisa menebak dengan jelas bahwa Ardhan ingin menekannya dengan isyarat diam-di
Rumah Utama ArdhanJelang Makan Malam KeluargaBegitu Ardhan melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah besarnya, sejenak pandangan mata laki-laki itu menangkap sosok dua orang yang tengah bergerak menuruni anak tangga. Gerakan itu begitu anggun dan tertata, seakan setiap pijakan kaki mereka memiliki ritme tertentu yang mengisi keheningan rumah pada sore itu. Tatapan mata Ardhan langsung tertuju pada Vivi, kakak perempuannya, lalu bergeser ke arah gadis muda yang berjalan di sisi Vivi, yaitu Ayudia.Ardhan terdiam di tempatnya untuk beberapa waktu. Ada sesuatu yang menghentikan gerak tubuhnya, membuat langkah yang semula ingin segera dipercepat menuju ruang makan itu tertahan begitu saja. Pandangannya terpaku pada sosok Ayudia yang perlahan menuruni anak tangga, mengikuti setiap gerakannya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.Laki-laki itu menelisik penampilan Ayudia dengan mata yang tajam namun penuh perhitungan. Ia memperhatikan dandanan yang telah dipoles dengan sentuhan tangan ahli
Gunawan GroupRuang kerja Ardhan.Ardhan memejamkan kedua matanya rapat-rapat, jari-jarinya yang kokoh menekan pelipisnya yang sejak pagi terasa berdenyut. Pekerjaan yang menumpuk di atas meja besar berlapis kayu jati itu belum juga selesai, sementara tubuhnya masih terasa letih akibat urusan pernikahannya beberapa hari yang lalu. Tumpukan dokumen, agenda rapat yang tertunda, serta dering telepon yang tak kunjung berhenti membuat pikirannya semakin berat. Rasa letih itu tidak hanya melekat di tubuh, tetapi juga menyeret batinnya ke dalam kelelahan yang lebih dalam. Setiap kali ia mencoba menghela napas panjang, yang hadir justru rasa sesak, seakan ruangan itu terlalu sempit untuknya.Jam pulang kerja semakin dekat. Namun, anehnya, ini kali pertama Ardhan enggan untuk bergegas pulang. Biasanya, meski lelah, rumah tetap menjadi tempat istirahat baginya. Tapi kali ini, entah mengapa, ada sesuatu yang menahannya. Ia tahu pasti apa alasannya. Saat ia kembali ke rumah, ia akan berhadapan de