Home / Young Adult / Istri kontrak om duda / Dalam keadaan terdesak

Share

Dalam keadaan terdesak

Author: Tiffany
last update Huling Na-update: 2025-07-27 21:06:37

1 Minggu Sebelumnya

Rumah Sakit xxxxxx, Pusat Kota

Udara malam terasa menggigit dingin, menusuk hingga ke tulang. Lampu-lampu neon di lorong rumah sakit memancarkan cahaya pucat yang tak ramah. Di salah satu sudut bangku tunggu, duduk dua perempuan dalam diam yang berat. Salah satunya, perempuan paruh baya dengan kerudung lusuh dan wajah yang terlihat jauh lebih tua dari usianya, memandang lurus ke depan. Tatapannya mengarah pada sebuah pintu putih—pintu ruangan tempat suaminya terbaring lemah, berjuang antara hidup dan mati.

“Bapak tidak baik-baik saja…” bisiknya pelan, nyaris seperti suara angin yang terhembus pelan di antara dedaunan.

Ayudia tidak langsung menjawab. Ia hanya duduk di samping ibunya dalam keheningan yang tak nyaman, tangan kirinya menggenggam erat ujung lengan jaketnya sendiri. Ia mendengar jelas setiap kata ibunya, namun hatinya terlalu sibuk berperang dengan banyak hal. Pikiran-pikiran yang saling berbenturan, suara-suara yang memekik dalam kepalanya, semuanya membentuk badai yang tidak bisa ia jinakkan.

“Kalau tidak segera dioperasi,” lanjut ibunya, kali ini dengan suara yang lebih keras dan jelas, “kemungkinan besar Bapak tidak akan bertahan.”

Kalimat itu seperti sebilah pisau yang menghujam tepat di dada Ayudia. Ia merasakan denyutan sakit yang menjalar perlahan, lalu mengendap di rongga dadanya. Ia menarik napas dalam, mencoba menahan gejolak emosi yang nyaris meledak, namun matanya tetap terpaku ke arah pintu ruang rawat.

Rumah sakit itu terasa sangat lengang malam itu. Suasana sunyi merayap di antara dinding putih yang dipenuhi aroma antiseptik. Hanya ada satu-dua perawat yang lalu-lalang, menyibukkan diri dengan tugas malam mereka. Denting jam dinding terdengar begitu nyaring, mengalahkan bisik-bisik ketegangan yang menggantung di udara. Di sanalah Ayudia duduk, bersama ibunya, menanti dengan segala kekhawatiran yang bisa dimiliki oleh seseorang yang berada di ambang kehilangan.

“Bagaimana mungkin kita bisa mengumpulkan uang sebanyak itu?” Suara ibunya pecah oleh tangis. Ia mengangkat kedua tangannya, menutup wajah yang telah lama terbakar rasa bersalah. “Mak tidak tahu harus bagaimana lagi, Nak. BPJS sudah tak bisa meng-cover. Biaya operasi Bapak… terlalu besar.”

Ayudia menoleh perlahan, menatap ibunya yang kini mulai terisak lirih. Di sanalah perempuan yang telah melahirkannya, menangis dalam kesendirian, memikul beban yang seharusnya tidak ia tanggung seorang diri. Hati Ayudia terasa nyeri.

Dan tiba-tiba, di tengah segala kekacauan itu, sebuah ingatan datang menyergapnya. Seperti suara gema yang menyelinap masuk ke ruang pikirannya, kalimat itu kembali menggaung dengan jelas:

"Kalau kamu mau menerima tawaran Mamang, hubungi nomor orang ini…”

Ayudia memejamkan mata sejenak. Ia bisa membayangkan kembali saat tawaran itu datang padanya. Begitu tiba-tiba, begitu absurd, namun menggoda karena menyimpan harapan akan solusi. Perlahan, tangan kanannya merogoh ke dalam kantong jaket lusuh yang membungkus tubuh kurusnya. Jemarinya menyentuh sebuah benda keras berbentuk persegi.

Sebuah kartu nama.

Di sana, tertera jelas nama seseorang. Ardhan. CEO dari sebuah perusahaan besar yang namanya sering menghiasi halaman media bisnis. Seorang laki-laki yang kaya, terpandang, dan memiliki kekuasaan besar.

Namun tawaran yang datang dari lelaki itu... sungguh tak masuk akal.

“Dia sedang mencari seseorang. Seorang perempuan untuk dijadikan istri sementara. Seseorang yang bersedia melahirkan anak untuknya.”

Itulah isi tawaran yang diberikan oleh Mamang—kerabat jauh mereka yang kini menetap di kota. Tawaran yang saat itu membuat Ayudia nyaris tertawa pahit karena tak mampu mempercayainya. Tapi malam ini, di saat hidup ayahnya dipertaruhkan, tawaran itu tiba-tiba terasa tidak terlalu gila untuk dipertimbangkan.

Ayudia membuka mata. Kartu nama itu masih ada di tangannya, kini tergenggam lebih erat. Ia tidak tahu seperti apa kehidupan yang menantinya jika ia menerima tawaran tersebut. Ia bahkan tidak yakin apakah dirinya akan mampu melewati konsekuensinya. Tapi yang ia tahu pasti malam itu adalah satu hal—ia tidak ingin melihat ibunya menangis lebih lama, dan ia tidak ingin ayahnya mengembuskan napas terakhirnya hanya karena mereka tidak punya uang.

“Mak… jangan khawatir,” akhirnya Ayudia berbicara, suaranya lirih namun penuh tekad.

Perempuan paruh baya itu mengalihkan pandangan, menatap anak perempuannya dengan mata sembab. “Apa maksudmu, Nak?”

Ayudia tidak segera menjawab. Ia memandang kartu nama di tangannya, lalu menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mempersiapkan dirinya untuk melangkah menuju jurang.

“Ayudia Pastika akan mendapatkan uangnya secepatnya,” ucapnya pelan namun tegas. Ada keteguhan dalam nada bicaranya yang belum pernah terdengar sebelumnya.

Ibunya mengerutkan kening. “Dari mana, Nak? Kamu mau pinjam ke siapa?”

Pertanyaan itu tidak dijawab. Ayudia hanya tersenyum samar. Senyuman yang tidak membawa ketenangan, justru membuat ibunya semakin gelisah. Tapi sebelum sang ibu sempat mendesak lebih jauh, suara pintu di depan mereka mendadak terbuka.

Klek.

Kedua perempuan itu sontak menoleh. Dari balik pintu, seorang dokter muda keluar dengan langkah tenang, namun raut wajahnya serius. Ayudia segera bangkit, demikian pula ibunya yang dengan cepat menghampiri sang dokter dengan langkah panik.

“Dokter… bagaimana keadaan suami saya?” tanya ibunya dengan suara terbata, seolah takut mendengar jawaban yang akan keluar dari mulut pria itu.

Sang dokter memandang perempuan itu beberapa saat, kemudian menoleh ke arah Ayudia. Gadis itu hanya berdiri di tempat, tak mengatakan apa pun. Wajahnya datar, tapi jantungnya berdegup kencang. Ia menunggu penjelasan itu seperti seorang terdakwa menanti vonis di ruang sidang.

“Keadaannya cukup kritis. Operasi menjadi satu-satunya pilihan,” jawab sang dokter akhirnya, suaranya tenang namun tegas. “Jika keluarga setuju, kami akan siapkan berkas administrasi dan prosedur medis. Tapi kami butuh persetujuan serta pelunasan dana terlebih dahulu.”

Perkataan dokter itu seperti palu godam yang menghantam keras ke dalam kesadaran mereka. Sang ibu limbung, wajahnya seketika memucat. Bibirnya bergetar, matanya menatap nanar ke arah dokter, lalu kembali ke arah Ayudia.

“Tapi, uangnya… kami tidak—”

“Aku yang akan menyelesaikannya,” potong Ayudia cepat, sebelum ibunya menyelesaikan kalimatnya.

Matanya menatap tajam ke arah dokter, tidak ada keraguan di sana. Meskipun tubuhnya gemetar, meskipun hatinya porak-poranda, ia tahu keputusan itu harus diambil saat ini juga.

“Lakukan saja operasinya, Dok. Saya akan menyelesaikan semuanya,” ulang Ayudia, kali ini lebih mantap.

Ibunya menoleh dengan pandangan syok. “Ayu… dari mana uangnya, Nak? Kamu…”

Tapi Ayudia tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, memegang kartu nama di tangannya dengan genggaman yang lebih erat. Malam itu, keputusan telah dibuat.

Ia tidak tahu apakah ia akan menyesalinya kelak. Tapi untuk menyelamatkan nyawa ayahnya—untuk membuat air mata ibunya berhenti mengalir—ia rela menyerahkan dirinya pada takdir yang bahkan belum ia pahami sepenuhnya.

Dan semuanya dimulai dari sini.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri kontrak om duda   Kemarahan yang mengakar

    “Lihatlah pilihan Ardhan itu.”Suara Mama Niar terdengar lagi, kali ini dengan nada kesal yang menusuk telinga, ditujukan kepada putri tertuanya, Vivi.Perempuan bernama Vivi itu hanya terdiam di kursi makan, menunduk sembari memotong buah semangka di hadapannya. Telinganya sudah terbiasa dengan ocehan ibunya yang tak pernah berhenti jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Sejak kecil ia sudah kenyang mendengar suara bernada tinggi dari ibunya, jadi ia sama sekali tidak heran ketika ocehan itu kembali meluncur sekarang.Memang sudah begitulah watak Mama Niar, pikir Vivi. Wanita itu jarang sekali merasa cocok dengan sesuatu atau seseorang. Bahkan dulu ketika ayah menikahi Mama Niar, kabarnya hubungan mereka pun penuh pertentangan di awal. Namun pada akhirnya, setelah waktu berjalan dan mereka saling mengenal lebih dalam, semua berubah. Sekarang justru ayah menjadi kebanggaan di mata Mama Niar. Itulah yang Vivi yakini: pada dasarnya sifat seorang ibu memang selalu menola

  • Istri kontrak om duda   Sentuhan yang menguatkan

    Ayudia hanya bisa menghela napas panjang, dada terasa penuh sesak oleh luka yang baru saja digoreskan. Kata-kata pedas yang meluncur begitu lancang dari bibir wanita itu—wanita yang kini ia tahu adalah ibu kandung Ardhan—masih berputar-putar di telinganya, menggema tanpa henti, seakan-akan diputar ulang dalam kepalanya. Setiap kalimat, setiap intonasi, setiap tatapan penuh penghinaan, bagaikan paku yang ditancapkan satu per satu ke dalam hatinya yang rapuh.Ia berusaha menegakkan tubuh, namun gemetar halus di tangannya tak bisa disembunyikan. Wajahnya yang tadi berusaha ditahan tetap tenang, perlahan terasa panas. Rasa malu, sakit hati, sekaligus marah yang tak berdaya bercampur menjadi satu.Sebelum ia sempat benar-benar menguasai dirinya, pandangan matanya masih mengikuti sosok wanita itu—wanita yang dengan segala wibawa dan otoritasnya melangkah naik ke lantai atas. Gaun elegan yang dipakainya berayun lembut mengikuti gerakannya. Tumit stiletto yang menghantam lantai marmer meningg

  • Istri kontrak om duda   Tamu yang tak diundang

    Bab — Tamu yang Tak DiundangAyudia menatap tanpa berkedip, seolah tubuhnya membeku dalam waktu yang mendadak melambat. Pandangan matanya terpaku pada dua sosok yang kini berdiri di ambang pintu rumah besar itu, sosok yang kehadirannya bagai badai dingin yang menerobos masuk tanpa peringatan.Wanita berusia setengah abad itu melangkah masuk tanpa diminta. Gerakannya menunjukkan keanggunan yang tidak dibuat-buat, tapi dibalut dengan aura otoritas yang kental. Setiap langkah tumit stiletto-nya menghantam lantai marmer dengan dentuman yang tegas, suara yang cukup untuk menggetarkan dada Ayudia yang sedang dilanda kecemasan. Wajah wanita itu terawat rapi—garis-garis usia memang tampak jelas, namun bukan kelemahan yang tercermin darinya, melainkan justru kekuatan, wibawa, dan otoritas. Tatapan matanya menusuk lurus ke arah Ayudia dengan dingin, sinis, dan tanpa berusaha menyamarkan rasa tidak suka yang terpancar begitu terang dari dalam dirinya.Di sampingnya berdiri seorang perempuan muda

  • Istri kontrak om duda   Hari kedua tidak baik-baik saja

    Hari Kedua yang Tak Baik-Baik SajaHari kedua seharusnya memberi ruang untuk beradaptasi, atau setidaknya membuat Ayudia sedikit lebih tenang. Namun begitu matanya terbuka pagi itu, yang ia rasakan justru kekosongan yang semakin menyesakkan.Cahaya matahari menyusup masuk dari balik tirai tipis jendela besar di kamar itu, menari lembut di lantai marmer. Tapi sinar pagi yang biasanya membawa harapan, kini tak lebih dari cahaya asing di ruang asing. Ayudia membuka matanya perlahan, menoleh ke sekeliling. Sunyi. Kosong. Hening. Ia sendirian.Tak ada suara langkah kaki di lorong. Tak ada suara napas berat seorang laki-laki di ruangan lain. Ia tahu… Ardhan sudah pergi.Entah sejak jam berapa.Entah ke mana.Dan, entah mengapa, fakta bahwa pria itu pergi tanpa satu pun kabar atau sekadar catatan di meja membuat hatinya terasa makin beku. Tapi Ayudia tidak terkejut. Ia bahkan tidak kecewa. Ini justru sesuai dengan apa yang ia harapkan—sejauh mungkin dari hubungan fisik atau kedekatan emosion

  • Istri kontrak om duda   Masuk ke dunia miliknya

    Kediaman ArdhanSehari Setelah PernikahanMobil hitam berkelas dengan desain elegan itu meluncur pelan di jalanan kawasan elit yang sunyi dan terawat sempurna. Sorot lampunya yang tajam menyapu jalanan beraspal mulus yang dibingkai deretan pohon kamboja dan bougenville, memberikan nuansa yang hampir seperti lukisan—indah tapi dingin, jauh dari kehangatan. Di dalam kabin yang senyap itu, hanya terdengar desiran lembut dari AC dan dengungan mesin yang nyaris tak terdengar.Ayudia duduk di bangku belakang, tubuhnya kaku dan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terlipat di atas pangkuan, jemarinya saling menggenggam erat seolah menjadi satu-satunya pegangan yang masih ia miliki di dunia baru yang belum sepenuhnya ia pahami. Wajahnya menunduk sedikit, namun sesekali ia melirik ke arah pria yang duduk di sampingnya.Ardhan. Lelaki itu masih dengan ekspresi dingin yang tak pernah berubah sejak kemarin sore—sejak mereka meninggalkan kafe tempat perjanjian hidup mereka ditandatangani. Tidak sepa

  • Istri kontrak om duda   Kesepakatan hitam di atas putih

    Kesepakatan hitam di atas putih.Sebuah Kafe, Sore HariKafe itu terletak di sudut kota yang tidak terlalu bising, agak tersembunyi di balik deretan pohon angsana dan bangunan-bangunan bercorak kolonial yang telah direstorasi menjadi tempat usaha. Dari luar, bangunannya tampak seperti rumah tua yang hangat, dengan jendela-jendela besar berbingkai putih dan pintu kayu yang dicat cokelat gelap. Di terasnya, ada beberapa kursi rotan dan meja bundar, dihiasi tanaman gantung yang menggantung lembut, menari pelan bersama semilir angin senja.Di dalam, suasana terasa jauh berbeda dari dunia luar yang hiruk-pikuk. Lampu gantung bergaya industrial menggantung rendah, memancarkan cahaya kuning lembut yang menciptakan nuansa hangat dan intim. Aroma kopi dan kayu manis memenuhi udara. Beberapa pengunjung duduk diam, larut dalam bacaan atau obrolan pelan. Musik jazz instrumental mengalun sayup dari pengeras suara tersembunyi, menambah kesan eksklusif namun menenangkan.Ayudia duduk di salah satu s

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status