Share

Bab 5 — Jangan Menolak

Sejak Valency memasuki rumah Jayden, dia tak bisa berhenti berdecak kagum pada segala hal yang dilihatnya. Sepanjang mata Valency memandang hanya ada kemewahan yang elegan, tidak terlalu mencolok dan norak menurut Valency. Dari melihat isi rumahnya saja Valency bisa tahu bahwa Jayden adalah penikmat seni. 

Apalagi melihat foto-foto yang terpajang di dinding memiliki bingkai khusus yang belum pernah Valency lihat. Sepanjang sisi bingkainya dihiasi batu permata yang indah. 

Jayden yang menyadari tatapan berbinar Valency dan ketertarikannya pada bingkai-bingkai di rumahnya membuat Jayden tersenyum tanpa sadar. 

“Bingkai-bingkai itu semuanya dibuat khusus dan edisi terbatas dari Diamant Corp, biasanya diberikan ke pelanggan VIP sebagai hadiah,” ucap Jayden menjelaskan. “Bagaimana menurutmu? Bagus?” 

Valency menoleh, mengangguk penuh semangat. “Sangat bagus dan indah!” ucap Valency menggebu-gebu. 

“Kamu suka?” tanya Jayden lagi. 

Lagi-lagi Valency menjawabnya dengan anggukan penuh semangat. 

“Kalau kamu suka, aku akan memesankan khusus untukmu.”

Sontak Valency terdiam. “Tidak, tidak perlu, Jay! Aku hanya suka melihatnya. Lagi pula, ke depannya aku bisa melihat bingkai-bingkai ini setiap hari dan pasti aku akan bosan sendiri,” tolak Valency halus. 

Dia tak berani menerima hadiah semewah itu. Valency bisa menebak jika harganya pasti sangat mahal, apalagi dia melihat bingkai itu memakai beberapa jenis batu permata yang sudah langka. 

Mendengar Valency berkata bisa melihat bingkai-bingkai itu setiap hari di rumah tersebut membuat Jay kembali tersenyum. Benar juga, gadis tersebut mulai dari sekarang adalah bagian dari rumah ini.

Dengan kepala mengangguk, Jayden pun berkata, “Aku menurutimu.”

Ucapan Jayden membuat Valency agak canggung. Pria itu seakan memperjelas bahwa dirinya tidak memaksakan karena patuh kepada permintaan Valency.

Menepiskan percakapan tersebut, keduanya kembali melanjutkan langkah mereka yang sempat tertunda. Sesampainya di ruang tamu, seorang wanita paruh baya berdiri tegap dengan senyum ramah menyambut mereka. Wanita itu memakai seragam hitam putih.

“Selamat datang Tuan dan Nyonya,” sapanya ramah. 

“Ini May, kepala pelayan di rumah ini. Kamu bisa memanggilnya jika butuh bantuan apa pun,” ucap Jayden.

Valency mengangguk pelan dan menyunggingkan senyum tak kalah ramah pada wanita itu. 

“May, antar Valency ke kamar dan bantu dia membereskan barang-barangnya.” Jayden berbalik menatap Valency. “Aku masih punya sedikit pekerjaan di ruang kerja. Setelah selesai, aku akan langsung menyusulmu."

“Terima kasih,” balas Valency dengan kepala mengangguk dan senyuman manis.

Melihat hal itu, Jayden terdiam sesaat. Pria tersebut mengusap kepala Valency, lalu berbalik meninggalkan tempat itu.

Selama sesaat, Valency terbengong sembari menyentuh kepalanya. 

Sentuhan Jayden … begitu hangat.

“Mari Nyonya, saya antar ke atas.” 

Ucapan May memecah lamunan Valency seiring dirinya mengambil alih koper gadis tersebut. 

Selagi memimpin jalan nyonya barunya itu naik ke lantai dua rumah, May menjelaskan, “Seluruh kamar di rumah ini berada di lantai dua, baik kamar utama maupun kamar tamu.”

May membawa Valency memasuki sebuah kamar. Begitu masuk, Valency dibuat terperangah dengan kamarnya yang begitu luas, bahkan tiga kali lipat dari luas kamar asramanya. Interior kamar itu didominasi dengan warna abu-abu. 

“Ini kamar Anda, Nyonya. Saya akan menata barang-barang Anda di lemari ini,” ucap May seraya membuka sebuah lemari kayu besar di sudut kamar.

Saat pintu lemari dibuka, Valency bisa melihat sudah ada banyak pakaian pria yang mengisi dan tersusun di dalam, membuat Valency mengernyitkan kening bingung. 

“Itu ... pakaian siapa di dalam sana?” tanya Valency. 

May menoleh, menghentikan kegiatannya menyusun pakaian Valency ke dalam lemari. “Tentu saja milik Tuan Jayden, Nyonya,” jawabnya santai.

Mata Valency membulat kaget. “Apa?”

“Ada apa Nyonya?” tanya May, dia berbalik bingung melihat tingkah nyonya barunya. 

“Kenapa baju Jayden juga ada di sini?” Valency menautkan alis.

May mengerjapkan mata. “Tentu saja karena ini juga kamar Tuan Jayden, Nyonya.” Dia menggelengkan kepala, sadar salah bicara. “Lebih tepatnya, kamar ini kamar kalian berdua.” 

Sadar dengan Valency yang tampak kaget, May lanjut bertanya, “Memangnya ada apa Nyonya?” 

May agak bertanya-tanya dalam hati. Bukankah sudah wajar suami-istri tidur bersama dalam satu kamar?

“Ah, y-ya. May benar. Aku hanya belum terbiasa saja,” sahut Valency dengan tawa canggung. “Bukankah ini hanya pernikahan kontrak saja? Apa perlu sampai tidur bersama juga?” batin Valency dengan agak panik. 

Tak membutuhkan waktu lama, May telah selesai menyusun pakaian Valency ke dalam lemari. “Pekerjaan saya sudah selesai, Nyonya. Saya pamit kembali ke bawah, jika butuh sesuatu Nyonya bisa panggil saya,” pamitnya. 

“Terima kasih, May.”

Begitu May hendak keluar dari kamar, mereka dikejutkan dengan sosok Jayden yang ternyata sedang bersandar di pintu entah sejak kapan. May membungkuk hormat sebelum berakhir melenggang meninggalkan keduanya. 

“Sejak kapan kamu di sana?” tanya Valency canggung. 

“Pakaianmu terlalu sedikit,” ucap Jayden yang sama sekali tak menjawab pertanyaan Valency. Maniknya memerhatikan baju Valency yang hanya mengisi seperempat bagian lemari mereka. “Aku akan buat janji temu dengan salah satu desainer untukmu.”

Valency terbelalak. “Aku rasa … itu tidak perlu.”

Jayden menatap Valency, lalu tersadar. “Tidak hari ini, Valency. Janji itu untuk besok.” Melihat keraguan Valency, Jayden kembali bersuara, “Ah, mungkin kamu lelah? Kalau begitu, kupanggil mereka ke sini saja.” 

Sontak Valency menggeleng cepat. “Jangan! Tidak perlu, Jay. Pakaian yang kubawa sudah cukup!” Gadis itu agak panik melihat Jayden sungguh siap menelepon seseorang. “Aku jarang bepergian, jadi aku tidak membutuhkan banyak pakaian,” ucap Valency beralasan. 

Valency merasa tak enak hati jika harus menerima segala pemberian dari Jayden. Mendapat bantuan pria itu dalam balas dendamnya saja dia sudah bersyukur, tidak mungkin sekarang dia hanya secara cuma-cuma menerima pakaian yang dibelikan pria itu!

“Kamu memerlukannya,” ucap Jayden bersikeras. “Di setiap acara yang harus kudatangi, tentunya kamu perlu hadir di sisiku.”

“Apa?”

“Kamu istriku, jadi tentu saja kamu harus selalu berada di sampingku, bukan begitu?”

Jayden tak tahu saja jika ucapannya itu berhasil memporak-porandakan hati Valency. Gadis itu tidak menyangka pria tersebut bisa memasang wajah begitu datar ketika mengucapkan hal seperti itu!

“Tapi ….”

“Jangan menolak, Valency.” Jayden menambahkan, “Jangan lupa bahwa di kontrak tertulis dirimu harus menjadi istri sesuai yang kuinginkan. Anggap ini bagian dari tanggung jawabmu.”

Belum menghabiskan banyak waktu bersama, tapi Jayden bisa mengerti jalan pikiran Valency. Gadis itu paling takut berutang budi, jadi hanya dengan mengatakan bahwa membeli baju adalah bagian dari tanggung jawab barulah Jayden bisa meyakinkan Valency untuk menerima.

“Aku … mengerti.”

Selagi Jayden mengirimkan pesan kepada salah satu bawahannya untuk menghubungi desainer terbaik demi Valency, ponsel gadis tersebut mendadak berdering, membuat Valency buru-buru mengambil ponselnya. Ekspresi cerah Valency mendadak luntur melihat nama Felix yang tertera di layar. 

Padahal dia sengaja tidak membalas pesan Felix sejak kemarin, tetapi sekarang pria itu malah menerornya dengan panggilan. Valency menghela nafas panjang.

Kalau Valency tidak menjawab panggilan Felix, pria itu pasti curiga, terutama setelah tahu dari Cecilia bahwa dirinya pindah dari asrama. Seperti kata pepatah, baiknya jangan menakuti mangsa sebelum yakin tertangkap. Oleh karena itu, Valency pun mengangkat panggilan.

“Valency! Kamu dari mana saja, sih?! Aku chat dari kemarin gak dibalas! Aku telepon juga baru diangkat. Ada apa? Kamu sudah nggak cinta sama aku lagi?! Aku khawatir sama kamu, tahu?!”

Valency sontak mengernyitkan wajahnya. Kekhawatiran Felix penuh dengan kepura-puraan. Sungguh memuakkan!

“Bateraiku habis dan aku sibuk mengerjakan tugas akhir semester,” jelas Valency singkat. “Ada apa?” tanyanya, menghilangkan embel-embel panggilan sayang yang biasa dia gunakan. 

Di ujung telepon yang lain, Felix mengerutkan dahi, merasa ada yang berbeda dari Valency. Akan tetapi, karena tidak terbiasa memerhatikan gadis tersebut, pria itu tidak tahu jelas apa yang berbeda.

Tidak penting, Felix masih ada hal lain yang perlu diurus!

“Kamu masih tanya kenapa? Aku rindu lah, Sayang. Udah dua hari loh kita gak ketemu. Kamu di asrama kan? Aku jemput ya? Kita jalan-jalan, sekalian ganti hadiah hari jadian kita kemarin.”

Tubuh Valency merinding mendengar suara dan kata-kata menjijikkan yang keluar dari mulut Felix. Jika dulu dia akan sangat senang dengan panggilan sayang Felix dan perhatiannya, kini Valency merasa mual mendengarnya. 

Sedetik pun dia tak pernah melupakan bagaimana Felix mengkhianatinya. 

“Kudengar dari Cecilia kamu sibuk, jadi seharusnya kamu jangan membuang-buang waktu denganku,” ujar Valency dengan tegas. “Atau mungkin, ada sesuatu yang kamu perlukan?” tebak Valency. 

Felix tertawa di ujung telepon yang lain. “Kok kamu gitu sih tebakannya. Tapi, memang aku ada perlu bantuan kamu untuk membahas proyek baru. Kamu ada waktu, ‘kan?” Merasa bujukannya kurang, pria itu menambahka, “Ini juga untuk tabungan biaya kita nikah kan, jadi kamu harus datang ya! Please!”

Senyum sarkastis menghiasi bibir Valency. 

Kan, benar dugaannya. Felix memang ada mau. 

Seperti biasa, jika Felix mengucapkan kalimat sayang seperti itu, sudah pasti ada udang di balik batu. Jelas keinginan pria tersebut tak jauh-jauh dari masalah desain perhiasan.

Felix benar-benar tahu cara memanfaatkan talenta Valency bagai parasit. 

Valency mendesis dan memutar bola matanya malas. Iming-iming yang selalu Felix berikan padanya kini menjadi omong kosong memuakkan baginya.

“Aku–”

Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Valency tersentak saat matanya menangkap ekspresi Jayden yang menggelap. Rahang pria itu mengetat dan matanya menatap Valency tajam, membuat Valency menciut sekaligus kaget. 

A-apa yang salah?’ batin Valency bertanya-tanya.

Seakan bisa membaca pikiran Valency, perlahan Jayden menghampiri gadis itu. Kemudian, pria itu memojokkan gadis tersebut ke lemari. 

Tanpa suara, bibir pria itu bergerak seolah mengatakan, “Akhiri panggilannya.” Dia menambahkan, “Sekarang.”

**

Creative Words

Waduh, cemburu kahh? Gimana nih guys?? Terima kasih untuk kalian yang sudah baca sampai akhir! Kalau kalian suka karya ini, jangan lupa untuk berikan like, vote, dan comment yaa! Biar author tahu tanggapan kalian terhadap karya ini, terima kasih!

| 6
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Lilis Astriani
harapanku cemburu itu lebih manis ceritanya
goodnovel comment avatar
Diana Rasima Hutagalung
yeah mulai nampak cemburu..
goodnovel comment avatar
Eva Arini Devi
wah mulai pocecip ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status