Dengan sepasang manik hitam yang menghipnotis berada di hadapannya, Valency tak elak menelan ludah. Aroma maskulin tubuh Jayden yang mengurung dirinya membuat darah gadis itu berdesir. Jantung yang berdebar cepat membuat napas Valency agak sesak.
“Lency? Kamu masih mendengarku ‘kan? Lency!”
Kali ini suara Felix berhasil membuyarkan keterkejutan Valency, buru-buru dia menormalkan ekspresi wajahnya dan memalingkan pandangannya dari Jayden.
“A-ah iya. Aku akan datang ke sana besok, tenang aja.”
“Jangan besok! Bagaimana kalau hari ini sa—”
Belum sempat Felix menyelesaikan ucapannya, Jayden sudah lebih dulu merampas ponsel itu dari tangan Valency dan mematikan panggilan mereka secara sepihak.
Gerakan Jayden yang secepat kilat membuat Valency tak punya kesempatan untuk mengelak.
Sementara Itu, di sisi lain, Felix yang mengira panggilannya dimatikan oleh Valency merasa harga dirinya tersentil. Tangannya memukul kesal setir mobil.
“Sial! Kamu kira kamu siapa sudah berani mematikan panggilanku duluan?! Kalau bukan karena otakmu itu aku juga tak sudi meneleponmu.”
Cecilia yang sejak tadi sibuk menggulir sosial medianya dibuat menoleh bingung melihat Felix yang memaki ponselnya. “Ada apa? Kenapa marah-marah begitu?”
“Valency bodoh itu sudah berani mematikan panggilanku, padahal aku belum selesai bicara!” balas Felix.
Cecilia mengusap lengan Felix manja dan menggoda. “Ayolah Sayang, jangan marah hanya karena hal sepele seperti itu. Mungkin jaringannya lagi jelek makanya tiba-tiba putus,” ucapnya menenangkan sang kekasih.
Felix menghembuskan napas kasar. “Aku merasa ada yang aneh dengannya,” ucap pria itu tiba-tiba.
Kening Cecilia mengernyit bingung. “Aneh bagaimana?”
“Saat bicara di telepon tadi, dia seperti nggak sesemangat biasanya. Bahkan beberapa kali dia balas singkat, gak seperti Lency yang biasanya,” ucap Felix merasa janggal. Dia kembali mengingat-ingat percakapannya dengan Valency dulu. “Kamu tahu sendiri kan kalau biasanya Lency bakal merengek buat teleponan lebih lama denganku? Ini dia bahkan seperti nggak minat bicara sama sekali!”
Sejenak keduanya terdiam, membuat suasana hening.
“Jangan-jangan dia selingkuh lagi?!” tebak Felix asal.
Sontak tawa Cecilia meledak mendengar tebakan Felix.
“Astaga! Kamu lucu deh, Lix,” balas Cecilia.
“Cecil, aku serius!”
Cecilia menghapus air mata yang di pojok matanya akibat merasa omongan Felix terlalu lucu. Dia pun berkata, “Mana ada sih cowok yang mau sama dia? Udah dekil, miskin, culun, gampang dibegoin lagi. Bahkan cowok paling culun di kampus pun gak bakal naksir sama dia!” Gadis itu melambaikan tangannya dengan acuh tak acuh. “Kalaupun ada yang nembak dia, paling karena taruhan atau mau manfaatin dia doang. Ya kayak kamu!”
Felix memutar bola matanya mendengar balasan Cecilia. “Tapi tetap saja, aku merasa ada yang janggal sama sikap dia.”
Wajah Cecilia kembali serius karena kekasihnya itu bersikeras dengan perasaannya. Akhirnya, gadis itu pun teringat dengan pertemuannya bersama Valency di asrama.
“Tapi iya sih. Bahkan ketika tadi bicara sama aku aja, dia jadi sedikit dingin.” Cecilia mengangkat kedua bahunya. “Tapi, aku tidak peduli karena di akhir dia masih dengan bodohnya mengkhawatirkanku.”
Di saat itu, Cecilia mengingat satu informasi penting. “Oh iya, dia juga bilang kalau kemarin sempat mau ke apartemen kamu buat kasih kejutan hari jadian kalian, tapi gak sempat karena tiba-tiba ada urusan kampus.”
Mendadak ekspresi Felix berubah, perasaannya campur aduk mendengar cerita Cecilia. Seperti ada ketakutan di dalam hatinya.
“Apa mungkin dia tahu kita main di belakang?”
Cecilia menaikkan alisnya. “Nggak mungkin. Kalau dia tahu, pasti dia sudah menangis dan marah sama kita, atau bahkan kemarin dia sudah langsung masuk dan mengamuk di apartemen kamu. Nggak mungkin dia diam saja dan bersikap sama bodohnya seperti sekarang dong?”
Kemudian, sebuah senyuman mengejek terpampang di wajah Cecilia.
“Ya, kecuali dia memang sebodoh itu,” imbuh gadis tersebut.
Melihat Felix masih menampakkan kekhawatiran, Cecilia pun mengaitkan lengannya dengan lengan Felix yang terbebas dari setir.
“Sudahlah, Lix. Jangan dipikirin. Hanya satu minggu lagi, semua sandiwara ini bisa kamu selesaikan,” ujar Cecilia. “Kamu bisa bilang kamu menemukan dia selingkuh dengan pria lain, lalu memutuskannya biar orang-orang nggak salahin kamu.”
Semuanya sudah direncanakan dengan matang oleh Cecilia. Dia sudah tidak tahan lagi melihat Felix bersama dengan Valency, bahkan bila tahu pria itu bersandiwara. Ada rasa jijik bagi Cecilia melihat prianya bersanding dengan Valency, seakan dirinya di level yang sama dengan gadis culun itu.
Memikirkan bagaimana wajah menangis Valency akan terlihat satu minggu lagi, Cecilia memasang wajah puas.
‘Ah … aku tidak sabar untuk pertunjukan ….’
Selagi rubah licik itu membayangkan kemenangannya atas Valency, Valency sendiri sedang sibuk menghadapi sosok Jayden.
Dengan posisi tubuh yang masih begitu dekat, Valency memandang Jayden dengan wajah bingung. “Ada apa, Jay?” Dia bertanya-tanya kenapa pria itu tampak marah.
Jayden menegaskan, “Walaupun pernikahan ini didasari sebuah perjanjian, tapi kamu telah menikah denganku. Aku minta agar kamu menjaga komitmenmu sebagai istriku. Kamu mengerti?”
Valency mengerjapkan mata. Apa ini karena dia masih berhubungan dengan Felix?
“Tentunya aku akan menjaga komitmenku, tapi … apa kamu marah karena telepon tadi?” tanya Valency.
Jayden terdiam, matanya memandangi lekat wajah istrinya, sejenak Valency bisa melihat keraguan dari matanya.
“Kamu … cemburu?” tebak Valency sembari menatap lurus sosok Jayden.
Ditanya seperti itu, Jayden tampak sedikit terkejut. Pria itu mengalihkan pandangan ke tempat lain. Samar-samar, daun telinga pria itu memerah.
“Omong kosong,” elak Jayden dengan suara rendah.
Tidak sadar Jayden berbohong, Valency juga menghela napas dalam hati. Tentu saja Jayden tidak cemburu padanya, mereka hanya menikah berdasarkan perjanjian, bukan perasaan sungguhan. Untuk apa pria itu cemburu?!
Akan tetapi, apa pun alasan Jayden, Valency tahu pria itu terganggu dengan keberadaan Felix.
“Aku tidak memiliki hubungan apa-apa lagi dengan pria itu,” jawab Valency tegas. “Hanya ada dendam yang perlu kuselesaikan dengannya.”
Ucapan Valency membuat Jayden kembali memandang gadis di hadapan.
“Seperti permintaanmu, aku akan menghormati pernikahan kita,” ucap Valency. “Akan tetapi, kamu harus tahu. Kalau suatu saat nanti kamu menemukan perempuan yang kamu sukai, beri tahu padaku. Kita bisa akhiri hubungan ini dan aku akan pergi.”
Pandangan Jayden kembali berubah gelap. Pria itu tampak tersinggung akibat kalimat Valency.
“Dalam sejarah keluarga Spencer, tidak pernah ada yang namanya perceraian. Para pria keluarga Spencer hanya memiliki satu istri dan satu pernikahan.”
Pernyataan Jayden membuat Valency kaget. “Apa? Tapi, pernikahan kita–”
Tubuh Jayden yang semakin mendekat membuat Valency bungkam. Tangan kiri kekar pria tersebut dibuat menahan di tembok selagi tangan kanannya mengangkat dagu Valency, membuat pandangan gadis itu terpaku lurus pada dirinya.
“Bagaimanapun awalnya, istri seorang Jayden Spencer juga hanya satu,” tegas Jayden, “Valency Lambert Spencer.”
Wajah tampan pria itu memenuhi pandangan Valency, membuat jantung gadis itu berdebar. Aroma mint yang menyegarkan bercampur dengan aroma maskulin tubuh Jayden membuat pikiran Valency mulai meliar dan wajahnya pun merona. Dia menggigit bibir untuk mengusir pikiran buruknya.
Tanpa Valency sadari, Jayden tampak mengepalkan tangan kirinya melihat hal itu. Pria itu mendekatkan wajahnya, mengikis jarak yang ada.
Mengira akan dicium, Valency menutup mata.
Namun, beberapa detik berlalu, Valency tidak merasakan apa pun.
Tidak ada yang terjadi.
Valency membuka mata dan mendapati Jayden telah jauh berjalan meninggalkan ruangan.
Sebelum sepenuhnya menghilang ke balik pintu, Jayden menoleh untuk menatap Valency. “Segeralah mandi. Aku akan menunggumu di ruang makan.”
Setelah Jayden keluar dan pintu tertutup, tubuh Valency langsung merosot ke lantai. Napasnya agak terengah-engah dan jantungnya berdebar. Rona merah menyelimuti wajahnya.
‘Astaga … apa yang baru saja kulakukan!? Menutup mata? Kenapa kamu menutup mata Valency!?’
Tidak bisa tergambarkan betapa malunya Valency karena sempat berpikir Jayden akan menciumnya!
Mencoba menepiskan rasa malu itu, Valency berdiri perlahan dan mengepalkan dua tangannya.
“Mandi! Aku harus mandi!” ucap gadis itu kepada dirinya sendiri seiring berlari kecil ke kamar mandi.
Di sisi lain, di depan pintu kamar Valency, Jayden menyandarkan punggungnya dan menyisir rambutnya dengan frustrasi. Samar-samar, pancaran matanya mencerminkan keinginannya yang berhasil dikendalikan.
‘Hampir saja….’
Ehem ... mikir apa tadi Jayden? Mau diapain tadi Valency hayoo?? Terima kasih untuk kalian yang sudah baca sampai akhir! Kalau kalian suka karya ini, jangan lupa untuk berikan like, vote, dan comment yaa! Biar author tahu tanggapan kalian terhadap karya ini, terima kasih!
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
"Dan aku bilang kamu beruntung karena tinggal di sebelah rumahnya?"Usai mengatakan itu, Samuel kembali memandang Eric dengan tatapan asing. Ekspresi sepupunya itu tampak senang, sekaligus puas. Seakan-akan ia baru mendapatkan momen yang ia harapkan."Tunggu, Ric. Kamu tidak tahu?" tanya Samuel. "Manusia ini. Kamu tidak mendengarkan ceritaku ya!?"Eric mengibaskan tangannya. "Tidak penting."Hal itu membuat Samuel menggerutu. Mengatakan hal-hal seperti ia yang telah membantu Eric dan selalu siap sedia, tapi begini balasan Eric padanya. Eric bahkan tidak memperkenalkan Verena lebih awal padanya, dan sebagainya.Namun, Eric tidak mendengarkan. Ia sibuk menyusun rencana.Karena Verena kembali tidak membalas pesan Eric, entah kenapa. Pria itu jadi tidak bisa mengurusi persoalan mereka yang belum selesai.Kalau Verena ada di sebelah rumah, akan lebih mudah bagi Eric untuk mengurusnya.***Namun, wanita yang Eric cari sedang tidak berada di rumah."Kamu tidak mau pulang?"Pertanyaan Ashton
"Selamat pagi, Nona Lee."Eric Gray memandang Leon, asisten kepercayaannya selama ini, yang tengah melakukan pertemuan dengan Patricia Lee, reporter yang pertama kali memuat berita tentang dirinya dan Verena. Ia ingin menyelidiki apakah Patricia terlibat pihak-pihak lain yang ingin menjatuhkannya, ataukah dia bergerak sendiri.Karena penyelidikan pun menyatakan kalau malam itu Patricia sedang berada di rumah sakit, bukan hotel tempat pesta Eric dilaksanakan.Ditambah lagi, Eric memang sudah dengan mudah menyingkirkan berita-berita yang merugikannya dan Verena. Tapi akan sulit kalau ternyata ada musuh lain yang tidak mereka ketahui.Sejauh ini, dugaannya dan Verena sama; keluarga Miller sendiri. Lebih tepatnya pihak Olivia. Meski ada ketidakcocokan mengenai asumsi tersebut di beberapa tempat."Sekarang kamu tertarik pada ibu tunggal?" Sepupunya, Samuel, menghempaskan dirinya untuk duduk di sebelah Eric dan mengamati pertemuan Leon dengan Patricia. Eric dan Samuel tidak bergabung, mela
Keith baru saja berjalan melewati pintu masuk ketika salah seorang pelayan menghampirinya dan mengatakan bahwa Verena datang berkunjung.Dan sekarang kakaknya itu ada di kamar Kimberly."Untuk apa dia ada di sana?" gumam Keith. Dia bergegas naik ke lantai 2 ketika ja mendengar suara pecahan kaca dari kamar Kimberly.Panik, Keith langsung berlari dan coba membuka pintu kamar.Terkunci. Kimberly nekat membayar orang untuk mencelakai Verena beberapa waktu yang lalu. Meskipun Keith sudah mengancam adik kembarnya itu agar ia tidak melakukannya lagi, Keith tidak yakin Kimberly akan diam saja saat melihat Verena ada di tempat yang sama dengannya.Dengan panik, Keith menggedor pintu kamar adik kembarnya.Tak berapa lama, Verena muncul di balik pintu tersebut dan langsung ditarik keluar oleh Keith."Ve!?" Tidak ada luka. Aman--tunggu. Keith mengernyit melihat tanda merah keunguan di area sekitaran tengkuk Verena. Namun, saat ia berniat memastikan tanda itu, Verena sudah menarik diri.Keith m
"Apakah benar demikian?" Senyum Verena tidak sampai matanya, seolah sedang mengolok lawan bicaranya. "Anak kandung Aster Miller?"Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti di wajah Kimberly, saat Verena mengamati. Bisa jadi gadis itu benar-benar meyakini identitasnya sebagai putri bungsu keluarga Miller."Omong kosong apa yang kamu katakan?" balas Kimberly. Gadis itu akhirnya berjalan menghampiri Verena dan menarik lengan baju Verena. "Keluar dari kamarku, sekarang!"Namun, Verena menepisnya dengan mudah. "Jangan begitu. Kita baru sampai di obrolan yang kusukai." balas Verena. Ia menyelipkan kunci kamar tersebut di tas miliknya. "Kimberly. Apakah kamu pernah berpikir dari mana kamu mendapat mata abu-abu dan rambut pirang itu? Padahal di saat yang sama, keluarga kita seluruhnya berambut gelap?""Berhenti menyebutnya keluarga kita, sialan. Menjijikkan sekali!""Tapi suka tidak suka, ini memang keluargaku juga." Verena berdiri, lalu berjalan ke tepi ranjang Kimberly. "Meski aku sempat te