"Pemeriksaan kandunganku tiap bulannya membutuhkan biaya, dan aku tidak mau merepotkan Oliver." Alesha menggigit ujung ibu jarinya dan mondar-mandir di teras sejak tadi. Wajahnya serius dan tengah berpikir keras. Sedangkan Bibi Ruitz yang memperhatikannya, wanita itu kebingungan dengan tingkah Alesha seperti anak kecil. "Nyonya, ada apa? Kenapa Nyonya Alesha terlihat resah sekali?" tanya Bibi mendekati Alesha."Iya Bi. Aku stress sekali hari ini..." Alesha menepuk keningnya. "Apa semalam tidur dalam pelukan Tuan masih membuat Nyonya Alesha stress?" Mendengar lelucon yang terucap oleh sang pembantu, wajah Alesha langsung memerah. Dia menggelengkan kepalanya cepat. "Ti-tidak! Tidak begitu!""Lalu, apa yang sebenarnya sekarang Nyonya pikirkan? Nyonya bisa bercerita pada saya." Alesha berdiri menatap taman di pekarangan rumah Oliver. "Bi, aku butuh banyak uang untuk pemeriksaan kandunganku sampai sembilan bulan nanti. Aku tidak mau merepotkan Oliver, apalagi sampai meminta uang pa
Keesokan paginya, begitu Oliver keluar dari dalam kamar dengan pakaian kerjanya. Laki-laki menuruni anak tangga, dia melihat istrinya sedang sibuk dengan beberapa barang-barang yang baru saja dia beli. "Apa saja yang dia beli? Banyak sekali," gumam Oliver lirih. Langkah Oliver mendekati Alesha, dia bersedekap memperhatikan wajah cantik itu nampak serius dengan beberapa kotak-kotak kayu kecil di atas meja marmer. "Jadi kau membelanjakan uang yang aku pinjamkan untuk barang-barang tidak berguna ini? Boros sekali hidupmu!" sinis Oliver dari belakang di pundak kiri istrinya. Alesha tersentak kaget mendengar suara Oliver tiba-tiba, dia langsung membalik badannya dan terpana dengan wajah tampan Oliver. Rambut pirangnya yang sudah tertata rapi. "Aku... Aku tidak boros, aku membeli beberapa bibit tanaman. Kalau salju sudah menipis, aku akan menanamnya!" seru Alesha tersenyum gemas. "Bagaimana kalau bunga-bunga itu mati?" tanya Oliver lagi sembari menyeringai licik dia mendekatkan wajahny
Alesha begadang malam ini, dia sibuk dengan semua perlengkapan biji-bijian bunga miliknya. Sibuk memberikan nama tiap kotak, hingga tak terasa jam menunjukkan pukul setengah dua belas tepat. Gadis itu mengembuskan napasnya pelan menutup kotak terkahir. "Selesai!" seru Alesha tersenyum lega. "Sekarang aku ingin lihat, apa saljunya sudah menipis?" Alesha berjalan membuka gorden jendela, dia melihat ke arah luar di mana salju benar-benar sudah menipis. "Akhirnya... Besok aku akan meminta bantuan Bibi Ruitz," gumam Alesha kesenangan. Telapak tangannya mengusap perutnya yang masih datar, hatinya terasa nyeri tiap kali memikirkan anak ini. Entah bagaimana rupa laki-laki yang telah tega melakukan hal keji itu pada Alesha, ingatannya membuat Alesha bersedih. Dia tidak tahu bagaimana nanti kalau anak ini lahir? Apa dia akan mencintainya? Atau membencinya? "Mama akan berusaha menjagamu. Karena kau tidak bersalah, tapi... Maafkan Mama, kadang Mama marah padamu." Alesha mengusap air matany
Alesha keluar dari kamar menepuk-nepuk pipinya dengan pelan. Wajahnya masih memerah karena menahan gugup dan malu luar biasa. "Ekhemm... Selamat pagi, Nyonya."Suara Bibi Ruitz membuat Alesha terkejut. Wanita itu muncul seperti hantu, berdiri di dekat sofa dengan pakaian rapinya. "Oh Bibi, selamat pagi," balas Alesha tersenyum. "Apa Nyonya baik-baik saja?" tanya Bibi mendekati Alesha. "Aku tidak papa Bi, memangnya kenapa?" Alesha mengerjapkan kedua matanya, pagi ini pun ia sudah cantik dengan balutan dress merah muda bermotif, panjang menutupi betisnya. Rambut panjang Alesha juga tergerai indah seperti biasa. Belum sempat Bibi Ruitz menjawab, pintu kamar pun terbuka dan muncul Oliver menatap kedua wanita itu. "Selamat pagi Tuan," sapa Bibi tersenyum cerah. "Hem," balas laki-laki itu bergumam. Oliver melirik ke arah Alesha yang kini diam tak berani berkontak mata. "Bi, perintahkan dua tukang kebun rumah membantu gadis di sampingmu menanam bunga." "Baik Tuan. Tapi... Apa tidak
"Oliver akan pergi bertugas, aku akan selalu merindukannya." Ucapan itu terdengar lembut dari bibir tipis Alesha. Mata indahnya memperhatikan Oliver yang tengah berbincang dengan rekannya. Pagi ini, mereka sudah ada di pelabuhan, di sana ada beberapa perwira hebat yang akan dikirim menjaga perbatasan. Lengkap dengan pakaian seragam berwarna putih, lencana yang terpasang di seragamnya, Oliver menoleh ke arah Alesha yang berdiri tersenyum padanya. Sampai akhirnya Oliver pun melangkah mendekat ke arah Alesha. "Kenapa kau tersenyum begitu?" tanya Oliver sedikit memiringkan kepalanya. "Kau senang aku pergi, kan?" "Tidak," jawab Alesha, telapak tangan Alesha meraih tangan Oliver. "Aku akan selalu merindukanmu dan menunggumu pulang." Menunggu untuk pulang. Oliver tidak pernah mendengar kata-kata ini dari siapapun, baik keluarga, ataupun saat ia bersama dengan Susan. Tapi Alesha Alister, mengatakan hal itu padanya. "Jaga dirimu baik-baik, Alesha." Oliver membalas genggaman tangan istri
Berlayar di tengah-tengah lautan luas yang biru. Oliver menatap sekitar sembari diam menunggu salah satu bawahannya yang ditugaskan mendapatkan informasi dari beberapa pos. Oliver merogoh saku celana yang dia pakai dan mengambil sebuah jam saku berwana emas yang istrinya berikan. 'Aku akan pulang dengan selamat, Alesha. Aku pastikan aku akan memelukmu saat kembali nanti,' batin Oliver berucap jujur. Laki-laki itu mengecup jam saku milik wanita yang bergitu perhatian padanya. Bayangan Alesha tersenyum terus melanda hati Oliver dan membuatnya tak tenang. "Kapten Oliver!" Suara keras Hubert, bawahan Oliver. Oliver menatapnya tajam, Hubert mendekatinya dengan wajah panik. "Bagaimana?!" "Kami mendapatkan kabar dari dua pos di selatan, ada penyerangan di sekitar pos dan beberapa korban. Rupanya pemberontak belum mau menyerah." Oliver terkejut. "Sudah aku duga, wilayah yang selalu ditugaskan padaku dan Kapten Lionil bukanlah wilayah yang aman seperti kelompok lain." "Benar Kapt, ban
Pagi-pagi sekali Alesha meminta Bibi Ruitz untuk menemaninya pergi jalan-jalan. Tepat tiga setengah minggu Oliver bertugas, tidak satu hari pun Alesha melewatkan pergi ke pelabuhan meskipun hanya sekedar untuk melihat lautan yang biru dan kapal-kapal di depannya."Udara semakin dingin Nyonya, apa Nyonya tidak papa?" Bibi Ruitz memasangkan mantel tebal dari belakang tubuh Alesha. "Aku tidak papa Bi, tapi suamiku... Aku tidak mendapatkan kabar apapun darinya," ujar Alesha.Kondisi Alesha membuat Bibi Ruitz cemas, kepergian Oliver tanpa kabar ini membuat Alesha terus diserang rasa cemas. Berkali-kali sakit dan pingsan, Alesha terus menerus menanyakan Oliver. Bibi Ruitz akan memarahi Tuan Mudanya itu bila pulang nanti. "Tuan pasti baik-baik saja Nyonya, percaya pada saya. Seorang pahlawan angkatan laut yang terkenal di kota ini, pasti baik-baik saja." Bibi Ruitz mengusap pundak Alesha dengan lembut. Alesha tertunduk menatap telapak tangannya yang kedinginan. Ia juga memakai syal mera
"Oliver akan segera pulang, aku tidak sabar menjemputnya di Pelabuhan dan memeluknya dengan erat!" Alesha tersenyum manis, gadis itu kini tengah merapikan kamar Oliver di lantai satu. Sengaja Alesha tidak meminta bantuan siapapun untuk membersihkan kamar itu. "Aku juga akan memasakkan makanan yang enak!" serunya bersemangat. Alesha berjalan mendekati jendela, menatap taman di samping rumah. Beberapa orang tengah memanen bunga Peony dan beberapa jenis bunga lainnya. "Aku rasa uangku penjualan bunga tiga hari ini belum cukup," gumamnya lirih. Kembali gadis cantik itu menyergah napasnya kasar dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Alesha membuka lemari pakaian milik Oliver di bagian atas, namun sesuaatu mengejutkan Alesha saat lembaran ratusan foto berjatuhan dari dalam lemari. Terpaku tubuh Alesha saat ia menatapi foto-foto berjatuhan itu, adalah potretnya. "Fo-fotoku," lirih Alesha terkejut bukan main. "Bagaimana ada di sini? Sebanyak ini?!" pekiknya. Alena menekuk kedua kakin