Share

H.4

Farid pulang, anak-anak sedang mengerjakan tugas sekolah dengan dibantuku di meja makan. Karena hal itu kebiasaan kami, kadang anak-anak tidak fokus kalau mengerjakan PR di kamar mereka, alasannya 'ngantuk'. Padahal dari yang aku lihat ya anak-anak hanya ingin aku membantunya. 

"Kak, kamu katanya diminta ikut lomba matematika perwakilan sekolah, beneran?" Sengaja aku bersuara agak keras, supaya Farid yang sedang melepaskan sepatu di teras terdengar. 

"Assalamualaikum," sapanya. 

"Waalaikumsalam," jawab kami kompak seraya menoleh ke arah pintu ruang tamu rumah kecil kami, hanya dengan ukuran luas tanah 100m². 

"Kak Nazwa ikut lomba? Keren anak Papa," pujinya sambil berjalan ke dapur untuk cuci tangan. Setelah mengeringkan tangan, Farid mencium pucuk kepala anak-anak bergantian. Lalu mencium pipi kiriku lama, sangattt ... lama hingga kedua mataku terpeja karena justru merasa nyeri di hati. 

"Kakak masih mikir, Pa," kata Nazwa. 

"Kenapa masih mikir?" Farid memeluk bahuku dari belakang saat bertanya pada Nazwa, bahkan ia menempelkan pipi kirinya di atas kepalaku. Aku mencoba tersenyum lepas, namun justru pahit terasa. 

"Ya mikir aja, Pa." Nazwa seperti ogah-ogahan menjawab pertanyaan papanya. Farid melepaskan pelukan saat aku hendak beranjak dengan alasan mau menyiapkan makan malam. Arinda, melirik ke Farid, ia minta di peluk. Suamiku mendekat lalu justru menciumi gemas pipi anak bungsu kami. 

"Papa kangen kalian," lirih Farid yang aku lihat, dia juga meraih jemari tangan kanan Nazwa lalu ia ciumi sambil satu tangan lain tetap merengkuh Arinda dalam pelukannya. 

"Papa mau pergi lagi ya?" tanya Arinda. 

"Nggak. Papa nggak kemana-mana, Papa di sini, kok." Ia menatapku saat mata kami bertemu. Aku sedang memanaskan sop buntut, anak-anak segera merapikan buku tugas kemudian meletakkan di kamar mereka. PR mereka sudah selesai dikerjakan. 

"Aku mandi dulu, ya," bisiknya kemudian mencium pipi kiriku. Aku menjawab dengan anggukan kepala. Kedua tanganku meremas pinggiran meja dapur, sakit sekali rasanya. Ya Allah, kuatkan aku, batinku menenangkan diri sendiri. 

Saat makan malam bersama, menjadi momen langka buat keluarga kami. Bukan hanya karena Farid tak sering di rumah, tapi karena saat makan bersama aku seperti merasakan punya keluarga utuh, normal, baik-baik saja tanpa harus mematahkan hati wanita lain. 

Farid dan anak-anak makan begitu lahap, aku senang melihatnya. Puas karena masakanku cocok dilidah suami dan anak-anak. 

"Tambah kuahnya, Ma," pinta Farid diakhiri senyuman. Aku mengangguk, kembali beranjak untuk mengambilkan kuah sup. 

Selesai makan, Nazwa memaksa mau mencuci piring, gelas dan sendok sementara aku merapikan meja makan lagi sedangkan Arinda sibuk cerita kepada papanya tentang banyak hal. 

"Papa kenapa sering pergi?" Pertanyaan terlontar dari Arinda, Nazwa melirikku saat ia sedang mengeringkan tangan dengan lap bersih, buru-buru aku memutuskan pandangan. Memasukkan sisa sup ke dalam kulkas. 

"Kerjaan Papa banyak banget, maaf ya, seringnya keluar kota terus. Adek mau dibeliin apa?" 

Nah, selalu berujung seperti itu sebagai senjata supaya Arinda tidak banyak bertanya lagi. 

"Sepatu, Pa, sepatu baru, ya. Tapi belinya sama Papa, ke mal. Jangan sama Mama melulu, Papa hari minggu besok di rumah, kan?" Arinda tersenyum lebar, rambut lurus sebahu dengan poni tengah, membuatnya terlihat menggemaskan. 

"Ma, Pa, Nazwa tidur duluan. Adek mau tidur, nggak?" Ajak sang kakak. Arinda mengangguk, tapi Nazwa sudah masuk ke dalam kamarnya. 

"Kak, sholat Isya dulu," kataku mengingatkan. 

"Iya, Ma," jawabnya dari dalam kamar. Aku duduk di sebelah suamiku, menatapnya begitu dalam yang juga ia balas sembari tersenyum lebar. 

Nazwa keluar kamar lagi bersama Arinda menuju kamar mandi untuk berwudhu, setelah anak-anak kembali ke kamar aku mulai bicara dengan suamiku dengan nada bicara pelan cenderung berbisik. 

"Sampai kapan kita begini?" bisikku lirih. Farid tampaknya paham, ia merapat ke arahku lalu membawa ke dalam pelukannya. Aku balas memeluk dengan erat, menenggelamkan wajahku dibahunya. Menghirup dalam-dalam suamiku yang juga suami Siska. "Siska tadi ke sini," kataku lagi. Farid melepaskan pelukan dengan cepat. 

"Benar?! Dia nggak bilang ke aku?!" Ia panik. Farid mengajakku ke kamar, setelah semua lampu padam dan pintu ruang tamu dikunci, kami menuju ke kamar untuk berbicara. "Dia labrak kamu?" 

Aku menggeleng. 

"Marahin kamu atau bertindak yang--"

Aku menyela dengan menggelengkan kepala lagi. 

"Farid, kamu harus tegas. Nggak bisa hidup dengan keadaan seperti ini terus. Sudah dua belas tahun kita menikah dan pernikahan kamu dengan Siska sudah empat belas tahun. Kamu juga lebih sering sama dia bukan di sini. Aku takut anak-anak semakin terluka." Aku duduk di kursi meja rias, air mataku perlahan turun. Ya, aku secengeng ini jika membahas soal keluarga. 

"Nisa," lirihnya, ia berlutut di hadapanku. "Maafkan aku karena keliru dengan semua ini. Aku mencintai kamu juga, ditambah anak-anak, aku bisa tetap adil, Nis ... tolong jangan minta aku memilih, ya," pintanya lembut, tangannya menggenggam jemariku. 

"Siska minta aku izinkan kamu lebih sering dan lama dengannya dari pada di sini karena takut kalau keluarga besar Siska curiga karena kamu jarang ada diantara mereka. Farid ... aku seperti tawanan, tidak bebas. Tolong kasih aku jawaban, aku harus apa? Dan ... kenapa kamu ngotot mempetahanku." bisikku dengan suara parau. Aku membingkai wajahnya dengan kedua telapak tanganku yang gemetaran, penglihatanku buram karena tertutup air mata. 

"Jangan menangis, Nisa, jangan ... aku bersalah sama kamu, maafkan aku." Farid membawaku ke dalam pelukannya, aku terisak pelan. 

"Aku mencintaimu, tapi kalau harus membuat Siska terluka lebih dalam, aku mohon tegas ambil keputusan, lepaskan aku, Farid... aku ikhlas," kataku. Farid melepaskan pelukan, ia menggelengkan kepala cepat, air matanya juga sudah mulai menetes. 

"Aku ... cinta kamu, cinta anak-anak juga. Tolong, apapun yang terjadi jangan minta aku melepaskan kamu dan anak-anak. Kalian hartaku, kalian hidupku."

"Lalu Siska? Kamu juga sangat mencintainya, bukan? Farid ... jangan biarkan semua berlarut, aku tidak mau di cap pelakor, karena aku saat itu tidak tau kamu sudah menikah, aku tidak mau namaku buruk." Aku menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan, terisak lagi. 

"Maafkan aku istriku sayang, maafkan aku. Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan kamu dan anak-anak." Ia kembali memelukku. "Aku dan Siska, kami menikah karena kecelakaan, saat itu aku masih kuliah semester akhir dan dia sudah bekerja di kantor tempat aku riset. Aku anak magang, dia seniorku. Siska juga lebih tua tiga tahun dari kita, jika kita berdua seumuran, tidak dengan dia." Farid menghela napas panjang, ia beranjak, menggandeng tanganku ke arah ranjang, kami merebahkan diri dengan kepalaku berbantal pada lengannya. Farid mencium keningku sejenak sebelum bicara. 

"Saat itu imanku masih lemah, aku salah bergaul sampai sempat ada di klub malam beberapa kali untuk hang out, lalu ada Siska yang beberapa kali ketemu di sana. Sampai akhirnya kita dekat, bukan pacaran, hanya dekat hingga ... kami tidur bersama."

"Astaghfirullah!" Aku berucap kencang. Baru kali ini Farid cerita gamblang, selama ini dia tidak mau cerita juga aku yang tak mau ambil pusing. 

"Mabuk, atau setengah sadar karena tak mabuk sekali. Cuma karena aku bersalah dan Siska minta aku bertanggung jawab, kami resmi pacaran. Dia kerja di perusahaan itu sampai saat ini dan aku memilih ikut tes pegawai negeri karena permintaan Mama Papa yang mau lihat aku punya pekerjaan tetap juga mapan. Seperti mereka juga Kakakku, Mas Zidan." 

Farid mengatur napasnya, ia mengangkat daguku dengan ibu jari dan telunjuk tangannya mata kami beradu tatap. 

"Pernikahanku dan Siska, sampai detik ini tidak dikaruniai anak, Nisa. Siska, dulu mengecewakanku karena dia menggurkan kandungannya saat usia pernikahan kami satu tahun, dengan alasan ia tak siap punya anak. Aku marah, kecewa dan sakit hati. Ia tega membunuh anak kami."

Aku terbelalak. "Berarti saat kalian tidur bersama itu ...."

"Dia tidak sampai hamil, tapi aku bertanggung jawab karena sudah merenggut mahkotanya." 

"Ya Allah," lirihku. 

Kini aku tau, Farid, suamiku benar-benar tipe lelaki bertanggung jawab sampai akhir dalam hal apapun. Rasa penasaran akan Siska mendadak muncul, jika memang Siska berbohong jika Farid bergitu mencintainya dari pada mencintaiku, aku akan terus berada di sisi suamiku, bukan seperti seorang istri sebatas harapan. 

bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status