Farid pulang, anak-anak sedang mengerjakan tugas sekolah dengan dibantuku di meja makan. Karena hal itu kebiasaan kami, kadang anak-anak tidak fokus kalau mengerjakan PR di kamar mereka, alasannya 'ngantuk'. Padahal dari yang aku lihat ya anak-anak hanya ingin aku membantunya.
"Kak, kamu katanya diminta ikut lomba matematika perwakilan sekolah, beneran?" Sengaja aku bersuara agak keras, supaya Farid yang sedang melepaskan sepatu di teras terdengar.
"Assalamualaikum," sapanya.
"Waalaikumsalam," jawab kami kompak seraya menoleh ke arah pintu ruang tamu rumah kecil kami, hanya dengan ukuran luas tanah 100m².
"Kak Nazwa ikut lomba? Keren anak Papa," pujinya sambil berjalan ke dapur untuk cuci tangan. Setelah mengeringkan tangan, Farid mencium pucuk kepala anak-anak bergantian. Lalu mencium pipi kiriku lama, sangattt ... lama hingga kedua mataku terpeja karena justru merasa nyeri di hati.
"Kakak masih mikir, Pa," kata Nazwa.
"Kenapa masih mikir?" Farid memeluk bahuku dari belakang saat bertanya pada Nazwa, bahkan ia menempelkan pipi kirinya di atas kepalaku. Aku mencoba tersenyum lepas, namun justru pahit terasa.
"Ya mikir aja, Pa." Nazwa seperti ogah-ogahan menjawab pertanyaan papanya. Farid melepaskan pelukan saat aku hendak beranjak dengan alasan mau menyiapkan makan malam. Arinda, melirik ke Farid, ia minta di peluk. Suamiku mendekat lalu justru menciumi gemas pipi anak bungsu kami.
"Papa kangen kalian," lirih Farid yang aku lihat, dia juga meraih jemari tangan kanan Nazwa lalu ia ciumi sambil satu tangan lain tetap merengkuh Arinda dalam pelukannya.
"Papa mau pergi lagi ya?" tanya Arinda.
"Nggak. Papa nggak kemana-mana, Papa di sini, kok." Ia menatapku saat mata kami bertemu. Aku sedang memanaskan sop buntut, anak-anak segera merapikan buku tugas kemudian meletakkan di kamar mereka. PR mereka sudah selesai dikerjakan.
"Aku mandi dulu, ya," bisiknya kemudian mencium pipi kiriku. Aku menjawab dengan anggukan kepala. Kedua tanganku meremas pinggiran meja dapur, sakit sekali rasanya. Ya Allah, kuatkan aku, batinku menenangkan diri sendiri.
Saat makan malam bersama, menjadi momen langka buat keluarga kami. Bukan hanya karena Farid tak sering di rumah, tapi karena saat makan bersama aku seperti merasakan punya keluarga utuh, normal, baik-baik saja tanpa harus mematahkan hati wanita lain.
Farid dan anak-anak makan begitu lahap, aku senang melihatnya. Puas karena masakanku cocok dilidah suami dan anak-anak.
"Tambah kuahnya, Ma," pinta Farid diakhiri senyuman. Aku mengangguk, kembali beranjak untuk mengambilkan kuah sup.
Selesai makan, Nazwa memaksa mau mencuci piring, gelas dan sendok sementara aku merapikan meja makan lagi sedangkan Arinda sibuk cerita kepada papanya tentang banyak hal.
"Papa kenapa sering pergi?" Pertanyaan terlontar dari Arinda, Nazwa melirikku saat ia sedang mengeringkan tangan dengan lap bersih, buru-buru aku memutuskan pandangan. Memasukkan sisa sup ke dalam kulkas.
"Kerjaan Papa banyak banget, maaf ya, seringnya keluar kota terus. Adek mau dibeliin apa?"
Nah, selalu berujung seperti itu sebagai senjata supaya Arinda tidak banyak bertanya lagi.
"Sepatu, Pa, sepatu baru, ya. Tapi belinya sama Papa, ke mal. Jangan sama Mama melulu, Papa hari minggu besok di rumah, kan?" Arinda tersenyum lebar, rambut lurus sebahu dengan poni tengah, membuatnya terlihat menggemaskan.
"Ma, Pa, Nazwa tidur duluan. Adek mau tidur, nggak?" Ajak sang kakak. Arinda mengangguk, tapi Nazwa sudah masuk ke dalam kamarnya.
"Kak, sholat Isya dulu," kataku mengingatkan.
"Iya, Ma," jawabnya dari dalam kamar. Aku duduk di sebelah suamiku, menatapnya begitu dalam yang juga ia balas sembari tersenyum lebar.
Nazwa keluar kamar lagi bersama Arinda menuju kamar mandi untuk berwudhu, setelah anak-anak kembali ke kamar aku mulai bicara dengan suamiku dengan nada bicara pelan cenderung berbisik.
"Sampai kapan kita begini?" bisikku lirih. Farid tampaknya paham, ia merapat ke arahku lalu membawa ke dalam pelukannya. Aku balas memeluk dengan erat, menenggelamkan wajahku dibahunya. Menghirup dalam-dalam suamiku yang juga suami Siska. "Siska tadi ke sini," kataku lagi. Farid melepaskan pelukan dengan cepat.
"Benar?! Dia nggak bilang ke aku?!" Ia panik. Farid mengajakku ke kamar, setelah semua lampu padam dan pintu ruang tamu dikunci, kami menuju ke kamar untuk berbicara. "Dia labrak kamu?"
Aku menggeleng.
"Marahin kamu atau bertindak yang--"
Aku menyela dengan menggelengkan kepala lagi.
"Farid, kamu harus tegas. Nggak bisa hidup dengan keadaan seperti ini terus. Sudah dua belas tahun kita menikah dan pernikahan kamu dengan Siska sudah empat belas tahun. Kamu juga lebih sering sama dia bukan di sini. Aku takut anak-anak semakin terluka." Aku duduk di kursi meja rias, air mataku perlahan turun. Ya, aku secengeng ini jika membahas soal keluarga.
"Nisa," lirihnya, ia berlutut di hadapanku. "Maafkan aku karena keliru dengan semua ini. Aku mencintai kamu juga, ditambah anak-anak, aku bisa tetap adil, Nis ... tolong jangan minta aku memilih, ya," pintanya lembut, tangannya menggenggam jemariku.
"Siska minta aku izinkan kamu lebih sering dan lama dengannya dari pada di sini karena takut kalau keluarga besar Siska curiga karena kamu jarang ada diantara mereka. Farid ... aku seperti tawanan, tidak bebas. Tolong kasih aku jawaban, aku harus apa? Dan ... kenapa kamu ngotot mempetahanku." bisikku dengan suara parau. Aku membingkai wajahnya dengan kedua telapak tanganku yang gemetaran, penglihatanku buram karena tertutup air mata.
"Jangan menangis, Nisa, jangan ... aku bersalah sama kamu, maafkan aku." Farid membawaku ke dalam pelukannya, aku terisak pelan.
"Aku mencintaimu, tapi kalau harus membuat Siska terluka lebih dalam, aku mohon tegas ambil keputusan, lepaskan aku, Farid... aku ikhlas," kataku. Farid melepaskan pelukan, ia menggelengkan kepala cepat, air matanya juga sudah mulai menetes.
"Aku ... cinta kamu, cinta anak-anak juga. Tolong, apapun yang terjadi jangan minta aku melepaskan kamu dan anak-anak. Kalian hartaku, kalian hidupku."
"Lalu Siska? Kamu juga sangat mencintainya, bukan? Farid ... jangan biarkan semua berlarut, aku tidak mau di cap pelakor, karena aku saat itu tidak tau kamu sudah menikah, aku tidak mau namaku buruk." Aku menunduk, menutup wajah dengan kedua tangan, terisak lagi.
"Maafkan aku istriku sayang, maafkan aku. Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan kamu dan anak-anak." Ia kembali memelukku. "Aku dan Siska, kami menikah karena kecelakaan, saat itu aku masih kuliah semester akhir dan dia sudah bekerja di kantor tempat aku riset. Aku anak magang, dia seniorku. Siska juga lebih tua tiga tahun dari kita, jika kita berdua seumuran, tidak dengan dia." Farid menghela napas panjang, ia beranjak, menggandeng tanganku ke arah ranjang, kami merebahkan diri dengan kepalaku berbantal pada lengannya. Farid mencium keningku sejenak sebelum bicara.
"Saat itu imanku masih lemah, aku salah bergaul sampai sempat ada di klub malam beberapa kali untuk hang out, lalu ada Siska yang beberapa kali ketemu di sana. Sampai akhirnya kita dekat, bukan pacaran, hanya dekat hingga ... kami tidur bersama."
"Astaghfirullah!" Aku berucap kencang. Baru kali ini Farid cerita gamblang, selama ini dia tidak mau cerita juga aku yang tak mau ambil pusing.
"Mabuk, atau setengah sadar karena tak mabuk sekali. Cuma karena aku bersalah dan Siska minta aku bertanggung jawab, kami resmi pacaran. Dia kerja di perusahaan itu sampai saat ini dan aku memilih ikut tes pegawai negeri karena permintaan Mama Papa yang mau lihat aku punya pekerjaan tetap juga mapan. Seperti mereka juga Kakakku, Mas Zidan."
Farid mengatur napasnya, ia mengangkat daguku dengan ibu jari dan telunjuk tangannya mata kami beradu tatap.
"Pernikahanku dan Siska, sampai detik ini tidak dikaruniai anak, Nisa. Siska, dulu mengecewakanku karena dia menggurkan kandungannya saat usia pernikahan kami satu tahun, dengan alasan ia tak siap punya anak. Aku marah, kecewa dan sakit hati. Ia tega membunuh anak kami."
Aku terbelalak. "Berarti saat kalian tidur bersama itu ...."
"Dia tidak sampai hamil, tapi aku bertanggung jawab karena sudah merenggut mahkotanya."
"Ya Allah," lirihku.
Kini aku tau, Farid, suamiku benar-benar tipe lelaki bertanggung jawab sampai akhir dalam hal apapun. Rasa penasaran akan Siska mendadak muncul, jika memang Siska berbohong jika Farid bergitu mencintainya dari pada mencintaiku, aku akan terus berada di sisi suamiku, bukan seperti seorang istri sebatas harapan.
bersambung,
Peran istri itu seperti apa?Aku berpikir beberapa waktu, mencoba menelaah apakah aku salah selama ini menjadi istri. Baik saat bersama Farid atau saat ini bersama Ilham.Pandanganku lurus ke arah halaman depan rumah kami. Terlihat juga sinar matahari pagi begitu indah saat memberikan vitamin bagi tanaman di taman kecil yang kumiliki.Menjadi istri banyak sekali yang harus dipelajari bahkan seumur hidup. Jangan merasa menjadi yang paling tau tentang pasangan yang sudah dinikahi. Nyatanya, sifat dan watak seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu.Pekerjaan seorang istri pun banyak, apalagi istri yang juga pekerja di kantor. Sudah lelah memikirkan pekerjaan, saat pulang tetap harus memikirkan pekerjaan di rumah yang bayarannya pahala.Pekerjaan gratis yang kadang terasa miris jika mendapatkan pasangan hidup yang membuat jiwa terkikis.Aku menghela napas, saat mengingat semua perjalanan pernikahanku dengan Farid yang aku pikir indah ... nyatanya ada kebohongan yang membuatku hancu
Hai, maaf lama nggak update. ______ Jodoh, rezeki, bahkan maut, semua Allah yang atur. Manusia hanya bisa berharap dan berdoa supaya semua hal itu baik-baik saja. Aku merenungi masalah rumah tangga kami yang tak tau juntrungannya seperti apa. Rasa cemburu Ilham terhadap sikap mantan suamiku membuatnya hilang akal sehingga mengabaikanku dalam keadaan hamil. Farid sendiri sikapnya menunjukkan jika ia mampu berubah menjadi seseorang yang baru dan baik. Ia mau memperbaiki hubungan kami karena dua anak kandungnya yang sudah gadis pasti ingin melihat orang tuanya akur kembali. Tetapi, ada Ilham yang kini bersamaku walau nyatanya ia terus diam bahkan saat aku memintanya mengajukan gugatan cerai. Hah, aku lelah dengan semua drama yang terjadi. Berada di antara dua lelaki yang mudah meremehkan satu masalah disaat aku terus menata hati dan hidup, rasanya aku memilih hidup sendirian saja. Pikiranku buntu, ditambah memikirkan kondisi bayiku yang masih di NICU. Berapa biaya yang akan habis
Aku membuka mata, terlihat senyuman Ilham menatap ke arahku. Kupandangi sekeliling, tak ada siapa-siapa lagi selain kami. "Nis," sapanya lembut. Aku hanya bisa diam, tubuhku tak bisa digerakan, begitu kaku. Bersuara pun aku tidak bisa. "Anak kita sehat, laki-laki." Ia melanjutkan bicara. "Maaf, aku harus bawa dia menjauh dari kamu. Setelah ini aku akan lepaskan kamu dan kamu bisa kembali bersama Farid."Tidak, tidak bisa. Apa-apaan Ilham. Aku meronta, berusaha bergerak juga bersuara saat ia menggendong bayiku yang diberikan dokter. Mulutku seperti terbungkam, hanya erangan tertahan yang aku rasakan. Suasana berubah sedetik kemudian, gelap, aku seperti berada di goa yang tak ada cahaya sama sekali. Aku sadar aku tidak lagi berada di atas ranjang rumah sakit, berlari kencang menjadi keputusanku tapi lagi-lagi arah mana yang kutuju sama sekali aku tidak tau. "Ya Allah ini di mana," rintihku karena merasa lelah setelah lama mencari jalan. "Anisa, kemari," suara itu terdengar. Ada cah
Kami semua tiba di tanah air, aku duduk di kursi roda namun bukan Ilham yang mendorongnya melainkan teman lainnya sesama perempuan. Ilham dan aku terus perang dingin, sudah cukup lama jika dihitung. Dari kantor, Ustadzah Tyas kirim mobil untuk menjemput kami lalu diantar hingga sampai di rumah. Masih terus diam. Saat ditanya beberapa teman dan jamaah, aku beralasan sedang tidak enak badan. Saat tiba di rumah, bibi membantu membawa koper pakaian juga oleh-oleh ala kadarnya karena tak bisa belanja banyak untuk anak-anak. Ilham memanggilku, mengajak duduk di kamar tapi aku enggan. Aku memilih tidur karena kami tiba sudah sore hari saat di bandara. Baru saka hendak terlelap, ranjang bergerak karena Ilham ikut merebahkan diri. "Farid masih berharap sama kamu." Tak ku respon ucapannya, tak penting. Kupejamkan mata tetapi terdengar ia bicara lagi. "Farid bilang, dia seharusnya nggak bohong sama kamu, Nis. Aku tau dia menyesal setelah semua yang terjadi. Sebagai laki-laki yang masuk dia
Aku dan Ilham tak saling bicara, ia terus diam dengan pikiran yang mencurigai aku dan Farid diam-diam masih berkomunikasi. Bujuk rayu bahkan aku selalu mengajaknya membahas karena tak baik berlarut-larut menyimpan masalah namun sepertinya Ilham keras hati hingga menutup telinga untuk mendengar penjelasanku. Di depan orang kami terlihat baik-baik saja walau Ilham lebih sering menjauh dengan alasan mengawasi peserta umrah, aku tak mau mempersoalkan karena malu takut nantinya menjadi perhatian semua orang. "Ham, mau ikut beli oleh-oleh atau makanan buat dibawa pulang? Rombongan udah mau berangkat," kataku sambil duduk di tepi ranjang saat Ilham tiduran memunggungiku. Sedih rasanya, mengapa ia menjadi begini, menjadi keras kepala. Masih saja ia diam, entah tidur atau pura-pura tidur. "Aku izin ikut, ya. Mau beli oleh-oleh buat anak-anak," lanjutku kemudian beranjak untuk membawa tas selempang milikku. Baru saja hendak membuka pintu kamar hotel, Ilham bersuara. "Ada Farid, kan? Sama di
Aku heran dengan sikap Ilham sekarang, hingga tiba di Mekkah ia lebih sering mendiamiku walau perhatiannya tak luntur. Hanya saja aku merasa kikuk sendiri. Kami akan melakukan ibadah pertama bersama para rombongan termasuk Farid dan kedua orang tuanya, aku tetap duduk di kursi roda. Selesai ibadah, kami makan malam di hotel, aku membantu memastikan makanan untuk jamaah kami tidak kekurangan dan sesuai rencana. Sengaja aku memilih menghindar suamiku supaya tak berlarut over thinking. Dengan percakapan menggunakan bahasa inggris aku berkomunikasi dengan para petugas hotel. Makanan siap, aku mengarahkan para jamaah untuk mulai mengambil makanan. "Nisa, laki-laki atau perempuan?" tanya mantan ibu mertuaku. "Kata dokter laki-laki, Bu," jawabku seraya tersenyum. Ibu mengangguk. "Selamat ya, sayang. Ibu senang, Bapak juga. Dari semalam bahas kamu, mau belikan hadiah untuk anak kamu nanti." "Jangan repot-repot, Bu. Ibu dan Bapak kok bisa ikut rombongan kami, bukannya tinggal di luar ko